• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Perusakan Barang yang Dilakukan Bersama-Sama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Perusakan Barang yang Dilakukan Bersama-Sama"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA

ISSN : 2580-9059 (online) 2549-1741 (cetak)

39

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PERUSAKAN BARANG YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA

CRIMINAL LIABILITY OF DESTUCTION OF GOODS CARRIED OUT JOINTLY

Syahruman Tajalla

Pendamping Program Keluarga Harapan Kementrian Sosial Provinsi Aceh Desa Seulimum, Kabupaten Aceh Besar

e-mail : tajallatj@gmail.com

Yanis Rinaldi

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Jalan Putroe Phang No.1. Darussalam, Provinsi Aceh, 23111

e-mail: yanisrinaldi@unsyiah.ac.id

Diterima: 02/12/2017; Revisi: 20/12/2017; Disetujui: 09/01/2018

Abstrak - Pasal 406 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa orang yang merusak properti orang lain dipidana penjara maksimal dua tahun delapan bulan atau denda maksimal Rp 4.500,-. Tidak dapat dikatakan adil jika perusakan terhadap properti orang lain dipidana dengan pidana penjara dan denda saja tanpa adanya pemulihan terhadap properti tersebut (ganti kerugian). Ketiadaan perbedaan pidana antara orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan pidana berdasarkan Pasal 55 KUHP, tidak dapat dikatakan adil karena perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya . Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama berdasarkan konsep keadilan. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan terdiri bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai keadilan, pidana terhadap pelaku perusakan barang adalah ganti kerugian untuk korban. Dalam tindak pidana perusakan barang secara bersama-sama, maka seharusnya masing-masing orang bertanggung jawab sesuai akibat dan perbuatannya.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Perusakan Barang, Bersama-sama

Abstract - Article 406 paragraph (1) of the Criminal Code states that the person who damages the property of

another person shall be sentenced to a maximum of two years and eight months imprisonment or a maximum fine of Rp 4.500. It can not be said to be fair if the destruction of another person's property is punishable by imprisonment and fine only in the absence of a recovery of the property (compensation). The absence of punishment difference between the perpetrator, person who ordered or involved under Article 55 of the Criminal Code, can not be said to be fair because the actions and consequences inflicted vary from one person to another. This study aims to explain the criminal liability for the destruction of goods carried out jointly based on the concept of justice. This type of research is normative legal research. The data used consist of primary, secondary and tertiary law materials. The results show that to achieve justice, the punishment to the perpetrator of the destruction of goods is a compensation to the victim. In the criminal act of destruction of goods carried out jointly, then each person should be responsible according to the consequences and actions.

Keywords: Criminal liability, Destruction of goods, carried out jointly.

PENDAHULUAN

Aturan terhadap perusakan barang dalam KUHP belumlah mencapai salah satu tujuan hukum yaitu keadilan, khususnya keadilan bagi korban. Aturan dalam Pasal 406 KUHP hanya memberi hukuman terhadap orang yang merusak barang dengan hukuman penjara selamanya-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak -banyaknya

(2)

Rp. 4500. Tidak dapat dikatakan adil jika perusakan yang dilakukan seseorang terhadap properti orang lain dipidana dengan pidana penjara dan denda, tanpa adanya pemulihan terhadap properti tersebut (ganti kerugian). Sebagai contoh, terjadi perusakan terhadap barang mewah, berharga, langka yang tentunya berharga sangat mahal. Kemudian pelaku dipidana dengan penjara, tentunya hal ini tetap tidak akan memuaskan korban karena walaupun pelaku dipidana tetapi tidak satu orang pun dapat diminta pertanggungjawaban untuk memperbaiki maupun mengganti barangnya yang rusak.

Ditinjau dari segi pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan dipidana sama. Hal ini tentu tidak proporsional dan bahkan cenderung menjauh dari nilai keadilan karena tidak ada pembedaan hukuman sesuai dengan jenis perbuatannya. Agar tidak terjadi perluasan pembahasan dalam tulisan ini, maka Penulis membatasi permasalahan dalam identifikasi masalah sebagai berikut. Bagaimanakah seharusnya konsep pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama sesuai dengan keadilan?

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tujuan untuk mengkaji dalam aspek hukum terkait pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statutary reasearch) dan pendekatan komparasi (comparative approach).

Data penelitian yang sudah terkumpul dipilah dan diklasifikasi dalam kelompok masing-masing. Setelah itu akan dianalisis secara kualitatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan ber sama-sama sebagaimana diatur pada Pasal 406 Joncto Pasal 55 KUHP sudah mendekati keadilan apabila dilihat secara parsial, artinya keadilan dengan dipidananya pelaku akibat perbuatannya. Akan tetapi jika dilihat secara integral, artinya keadilan pemulihan bagi kerugian yang diderita korban, belumlah sesuai dengan keadilan karena ketiadaan pidana

(3)

ganti rugi dan ketiadaan pembedaan pidana kepada pelaku perusakan yang melakukan tindak pidana tersebut secara bersama-sama.

Hal yang demikian terjadi karena aturan mengenai gugatan ganti kerugian merupakan ranah hukum perdata. Untuk mendapatkan restorasi dari kerugian yang diderita korban, selama ini merujuk pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur penggabungan perkara antara perdata dan pidana. Akan tetapi dalam perumusan pasal tidak mengatur secara spesifik mengenai aturan ganti rugi. Ketentuan ganti rugi yang diatur dalam KUHAP yang terdiri dari kompensasi (Pasal 77 dan 95 KUHAP) dan restitusi (Pasal 98 dan 99 KUHAP) bukan merupakan sanksi pidana yang bisa diberikan kepada korban secara alternatif. Kompensasi yang dimaksud dalam KUHAP bahwa yang menerima ganti rugi bukanlah korban kejahatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi diberikan oleh negara kepada tersangka, terdakwa maupun terpidana yang ditahan, dituntut maupun diadili serta dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan restitusi berdasarkan kesimpulan dalam 98 dan 99 KUHAP memang merupakan pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh terpidana kepada pihak yang dirugikan, namun pengajuannya berdasarkan gugatan perdata dari korban kepada terpidana dengan proses pemeriksaannya digabungkan dengan perkara pidananya.1

Penggabungan perkara gugatan di dalam KUHAP, juga terdapat benturan mengenai NHZHQDQJDQ PHQJDGLOL 3DVDO .8+$3 PHQ\HEXWNDQ ´.HWHQWXDQ GDUL DWXUDQ KXNXP acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak GLDWXU ODLQ´ VHGDQJNDQ 3DVDO D\DW .8+$3 PHQ\HEXWNDQ ³DSDELOD SLKDN \DQJ dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya XQWXN PHQJDGLOL JXJDWDQ WHUVHEXW« GVW´ %HUGDVDUNDQ NHWHQWXDQ GL DWDV MLNa kita berpijak pada Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBG, maka gugatan harus diajukan di mana tergugat berdomisili yang dalam perkara ini adalah terdakwa. Ketentuan yang demikian tersebut jelas akan bertentangan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, apalagi kalau hakim terlalu kaku menerapkan pasal tersebut yang berarti apabila terdakwa diadili di PN A sedang domisili terdakwa di kota B, maka penggugat/korban tidak dapat mengajukan permintaan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian di PN A, karena gugatan harus diajukan di tempat tergugat/terdakwa berdomisili yaitu ke PN B.

1 Pasal 77, 95, 98, dan 99 KUHAP.

(4)

Kendala lain yaitu mengenai permintaan penggabungan perkara yang diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana atau sebelum hakim menjatuhkan putusan terhadap perkara pidana yang tidak dihadiri oleh jaksa/penuntut umum (Pasal 99 ayat (1) KUHAP). Putusan terhadap perkara perdata yang dimintakan penggabungan akan mengikuti status perkara pidananya, dengan pengertian apabila perkara pidananya telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka dengan sendirinya terhadap perkara perdatanya juga akan mempunyai kekuatan hukum tetap. Demikian juga apabila perkara pidananya dimintakan banding dengan sendirinya terhadap perkara perdatanya juga akan mengikuti proses pemeriksaan dalam tingkat banding namun sebaliknya apabila perkara pidananya tidak dimintakan pemeriksaan dalam tingkat banding maka perkara perdatanya juga tidak diperbolehkan untuk dimintakan pemeriksaan dalam tingkat banding.

Berdasarkan ketentuan hukum acara tersebut di atas, kompensasi maupun restitusi bukan merupakan sanksi pidana yang mengatur secara alternatif dalam jenis-jenis pemidanaan. Begitu juga dalam rangka pemenuhan keadilan dan perlindungan hukum bagi korban terasa masih perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari pembuat undang-undang dan hakim, untuk menerapkan asas keseimbangan dalam perlindungan hukum bagi terdakwa dan korban. Porsi perlindungan hukum yang diberikan KUHAP kepada terdakwa dan korban sangat tidak seimbang, di mana dalam undang-undang tersebut hak korban untuk mendapatkan perlindungan hukum sangat terbatas, antara lain dalam penentuan besarnya ganti kerugian dan upaya hukum bagi korban yang bergantung kepada upaya hukum yang dilakukan terdakwa atau jaksa penuntut umum. Di samping itu upaya untuk melakukan eksekusi dalam prakteknya juga masih sering mendapat kendala, sehingga perlu adanya peraturan atau pasal yang khusus mengatur tentang penanganan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ini secara cermat mengingat praktek di lapangan yang ternyata tidak sesederhana sebagaimana yang tertuang di dalam pasal-pasal dalam KUHAP tersebut, sehingga porsi perlindungan hukum dan hak antara terdakwa dengan korban menjadi seimbang.

Apabila ditinjau dari segi kemampuan bertanggung jawab, maka pelaku (pembuat dan pembantu) tersebut hanya bisa dipidana jika mereka mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, jadi apabila pelaku tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya maka mereka langsung bebas dari pada hukuman yang ada.2 Ketentuan tersebut secara jelas

2 Lihat Pasal 44, Pasal 48 ± 51, Pasal 122, Pasal 221 ayat (2), Pasal 261, Pasal 310, dan Pasal 367 ayat (1) KUHP.

(5)

bahwa di dalam hukum pidana Indonesia saat ini tidak adanya pengembangan tanggung jawab yang dilakukan oleh para pelaku. Pengembangan yang penulis maksud adalah apabila seseorang dinilai hilang pertanggungjawaban pidananya, maka hilang juga pertanggungjawaban perdatanya. Padahal tidak menutup kemungkinan bahwa perbuatan pidana yang tidak mampu dipertanggungjawabkan tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi orang lain. Contohnya anak kecil yang memecahkan kaca mobil.

Menurut Roni Susanta, selama ini gugatan ganti rugi yang diinginkan oleh korban sudah sering diputuskan di pengadilan melalui penggabungan perkara berdasarkan KUHAP, akan tetapi eksekusi setelah putusan akhir tersebut tidak pernah dilakukan.3 Untuk menjaga

kepentingan yang diharapkan korban, pemidanaan yang sudah diputuskan oleh hakim haruslah dilaksanakan, oleh karena itu sudah semestinya selain adanya putusan ganti rugi, adanya penambahan hukuman bagi pelaku, seperti adanya batas waktu dalam hal ganti rugi, dan apabila batas waktu tersebut berakhir dan belum juga terpenuhi pemulihannya maka di berikan sanksi tindakan secara tegas, seperti pelaku wajib bekerja (sesuai kemampuannya), uang hasil pekerjaan tersebut bisa diberikan kepada korban untuk pemulihan barang dan juga bisa diberikan kepada keluarga pelaku yang di bebankan tanggung jawab kepadanya. Sehingga negara pun tidak perlu menghabiskan banyak anggaran untuk membiayai pelaku kejahatan di dalam penjara. Jika tindakan ini bisa dijadikan penambahan hukuman bagi pelaku perusakan, maka akan menjadi kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia, sehingga akan adanya keadilan baik korban, pelaku begitu juga negara.

Selain hal tersebut di atas, ketiadaan pembedaan pidana bagi pelaku dapat dilihat berdasarkan konsep penyertaan di dalam Pasal 55 KUHP. Konsep penyertaan di dalam KUHP hanya memberikan pembedaan pidana terhadap pembuat dan pembantu. Pembuat terdiri dari orang yang melakukan, orang menyuruh melakukan, orang yang turut serta melakukan, dan orang yang sengaja menganjurkan. Pembantu yaitu orang yang sengaja membantu waktu kejahatan itu dilakukan dan orang yang sengaja memberi kesepakatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu (Pasal 56 KUHP). Bagi para pembuat mereka diberikan hukuman yang sama tanpa ada pembedaan dari segi jenis perbuatan yang mereka lakukan. Sedangkan bagi para pembantu hanya diberikan duapertiga hukuman. 4

Oleh karena itu, konsep penyertaan di dalam KUHP belumlah mendekati keadilan bagi para pelaku perusakan. Untuk mendekati suatu keadilan dalam pertanggungjawaban

3 Roni Susanta, Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh, Hasil wawancara, Tanggal 19 Oktober 2017. 4 Penafsiran Pasal 55 dan 56 KUHP.

(6)

pidana, peneliti lebih bersependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno, yaitu: ³3HUWDQJJXQJMDZDEDQ SLGDQD PHQJDQGXQJ PDNQD EDKZD VHWLDS RUDQJ \DQJ PHODNXNDQ tindak pidana atau perbuatan melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan NHVDODKDQQ\D´5 Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana (pembuat), akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut sesuai dengan apa yang dilakukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, semestinya para pembuat tidak diberikan hukuman yang sama, dan sepatutnya mereka juga diberikan hukuman yang berbeda.

Keadilan seharusnya tidak hanya diberikan bagi pelaku, tetapi juga harus diberikan bagi korban. Paradigma terhadap hukum pidana adalah bahwa tidak akan ada putusan yang dapat memuaskan semua pihak, jika pelaku merasa bahwa suatu putusan adalah putusan yang adil maka korban akan merasa bahwa putusan tersebut adalah putusan yang tidak adil, dan begitu pula yang sebaliknya berlaku. Tetapi idealnya, apapun sub bagian hukumnya, tetap harus mengusahakan keadilan bagi semua pihak yang berperkara. Oleh karena itu diperlukan pendekatan keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana pada umumnya dan penegakan hukum perusakan barang pada khususnya.

Keadilan restoratif (Restorative Justice) dapat diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku tindak pidana. Pengertian ini berkembang setelah dimasukkan dalam sistem peradilan pidana, sehingga pengertiannya menjadi proses penyelesaian yang sistematis atas tindak pidana yang menekankan pada pemulihan atas kerugian korban dan atau masyarakat sebagai akibat perbuatan pelaku. Dalam proses penyelesaian ini melibatkan korban dan pelaku secara langsung dan aktif. Menurut Tony F. Marshal, keadilan restoratif merupakan proses dimana pihak-pihak berkepentingan, memecahkan bersama cara mencapai kesepakatan pasca terjadi suatu tindak pidana, termasuk implikasinya di kemudian hari.6 Menurut Van Ness keadilan restoratif adalah teori keadilan yang mengutamakan pemulihan kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses yang inklusif dan kooperatif.7

5 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm. 41.

6$OLK EDKDVD GDUL ³5HVWRUDWLYH MXVWLFH LV D SURFHVV ZKHUHE\ SDUWLHV ZLWK D VWDNH LQ D VSHFLILF RIIHQFH

FROOHFWLYHO\ UHVROYH KRZ WR GHDO ZLWK WKH DIWHUPDWK RI WKH RIIHQFH DQG LWV LPSOLFDWLRQV IRU WKH IXWXUH ³/LKDW 7RQ\

F. Marshall, Restorative Justice: An Overview (London: Home Office, 1999), hlm. 5. Lihat bukunya Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hlm. 3.

7 Daniel W. Van Ness, ³$Q 2YHUYLHZ RI 5HVWRUDWLYH -XVWLFH $URXQG WKH ZRUOG ´ Makalah untuk konferensi lima tahunan PBB ke-11, workshop 2 (Thailand: Bangkok, 2005), hlm. 2-3. Lihat bukunya

(7)

Dilihat dari aspek penyelesaian berbagai konflik, unsur penting definisi keadilan restoratif adalah lebih mengutamakan rekonsiliasi dari pada pembalasan.8 Tujuan utama keadilan restoratif memberdayakan korban, dimana pelaku didorong agar memperhatikan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan material, emosional dan sosial korban. Keberhasilan keadilan restortif, diukur oleh sebesar apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya sedapat mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara.

Oleh karena itu keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Di dalam rumusan sila kedua GDQ VLOD NHOLPD 3DQFDVLOD WHUGDSDW NDWD ³NHDGLODQ´ \DQJ PHQXQMXNNDQ EDKZD PHPDQJ keadilan itu harus ditegakkan dan dijunjung tinggi. Penegakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat memiliki arti penting dalam salah satu upaya membangun peradaban bangsa yang tinggi dan bermartabat. Tidak akan maju peradaban dari suatu bangsa apabila tidak didasarkan atas peri kehidupan berkeadilan. Disinilah hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan manusia, menciptakan ketertiban dan keseimbangan sehingga tercapailah keadilan yang diharapkan.

Pembahasan dalam artikel ini menyangkut pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama berdasarkan konsep keadilan. Keadilan adalah salah satu tujuan hukum dalam sistem hukum apapun, dimanapun, tak terkecuali sistem hukum Islam. Indonesia adalah sebuah negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Oleh karena itu perlu kajian terhadap konsep-konsep hukum Islam sebagai bahan perbandingan dalam pembaharuan hukum di Indonesia.

.ODVLILNDVL MDULPDK GDODP KXNXP ,VODP \DLWX +XGXG 4LVKDVK GL\DW GDQ 7D¶]LU Setelah masa kodifikasi oleh para Imam Madzhab, Terjadi kecenderungan yang melanda kalangan ulama untuk tidak mengotak-atik aturan-aturan tentang jarimah hudud dalam kitab-kitab fiqh. Dari dulu sampai sekarang jumhur berpendapat bahwa hanya ada tujuh jarimah hudud yaitu zina, qadzaf, hirabah, sariqah, bughat, riddah, dan khamar. Tidak ada pengembangan lebih lanjut mengenai fiqh klasik tersebut. Sejauh ini perkembangan fiqh

Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hlm. 3.

8 Robert I. Rotberg and Dennis Thomson, eds., Truth v, Justice, the Morality of Truth Commissions (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000). Lihat bukunya Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), hlm. 3.

(8)

terkait jarimah hudud cenderung statis karena hudud itu sendiri mempunyai definisi jarimah EHVHUWD µXTXEDW \DQJ VXGDK GLWHQWXNDQ VHFDUD NHWDW GL GDODP QDVK

Keadaan statis dalam fiqh terkait jarimah hudud tidak dialami oleh jarimah TLVKDVK GL\DW PDXSXQ MDULPDK WD¶]LU NDUHQD KDNLNDW GXD MDULPDK LWX VHQGLUL -DULPDK 4LVKDVK pada hakikatnya adalah pembalasan seimbang atau pembalasan serupa pada jarimah pembunuhan dan pelukaan. Kriteria tersebut adalah kriteria yang sangat umum sehingga dapat dengan mudah diterapkan. Bagaimapun cara seseorang melakukan pembunuhan, pada intinya ia harus dibunuh juga. Apabila ada kesulitan untuk membunuh si pelaku sesuai dengan cara ia membunuh korban, maka boleh diganti dengan cara lain yang pada intinya dapat mengakhiri hidup si pelaku. Begitu juga dengan jarimah pelukaan, pelukaan bagaimanapun jenisnya, cara melukainya, maka ia harus dibalas dengan jenis pelukaan yang sama.

Diyat juga tidak begitu memerlukan sentuhan-sentuhan pembaruan karena hakikatnya diyat adalah ganti kerugian pada tindak pidana pelukaan atau pembunuhan dalam hal qishash tidak dilaksanakan. Memang di dalam nash telah ada aturan-aturan mengenai besaran nilai diyat, tetapi dalam konteks zaman sekarang kalaupun perlu dilakukan reformulasi dalam jarimah diyat, paling-paling hanya mengenai besaran ganti kerugiannya. Besaran ganti kerugian pada zaman Rasulullah disesuaikan nilai riil-nya dengan nilai pada zaman sekarang. Penulis berpendapat bahwa penyesuaian harus dilakukan berdasarkan nilai riil karena menurut Penulis terlalu naif jika memaksakan nilai nominal secara ketat. Nilai nominal bisa saja berubah dari waktu ke waktu. Harga 100 ekor unta pada zaman sekarang tentu berbeda dengan zaman dahulu. Tingkat kesulitan orang pada zaman dahulu dan pada zaman sekarang untuk mendapatkan 100 ekor unta bisa saja berbeda. Semua perbedaan sifat dan beratnya rasa menanggung ganti rugi pada zaman dahulu perlu disesuaikan dengan kondisi pada zaman sekarang. Tentunya dengan ijtihad yang jujur dan sungguh-sungguh.

'DODP NRQWHNV SHPEDUXDQ MDULPDK WD¶]LU DGDODK MDULPDK \DQJ SDOLQJ EHUNHPEDQJ GL antara jenis-jenis jarimah dalam hukum pidana Islam. Hal ini tidak terlepas dari hakikat dan VLIDW MDULPDK WD¶]LU yang kriminalisasi dan penalisasinya merupakan wewenang penguasa. Sehingga perbuatan apapun dan jenis pidana apapun yang diundangkan maupun dijatuhkan ROHK SHQJXDVD WHUKDGDS SHODNX VXDWX SHUEXDWDQ PHUXSDNDQ MDULPDK WD¶]LU

Tindak pidana perusakan bukan merupakan salah satu dari tujuh jenis jarimah hudud. Dan juga tidak layak untuk dikategorikan jarimah qishash/diyat karena yang dirusak dalam tindak pidana perusakan adalah barang atau maal, bukan anggota tubuh seseorang. Oleh

(9)

karena itu dalam hukum pidana Islam, tindak pidana perusakan dapat dikategorikan jarimah WD¶]LU

.ULPLQDOLVDVL GDQ SHQDOLVDVL MDULPDK WD¶]LU PHUXSDNDQ ZHZHQDQJ SHQJXDVD 7HWDSL dalam penentuan jenis pidananya tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-4XU¶DQ GDQ 6XQQDK Verta tidak terlepas dari pertimbangan logika dan akal sehat. Misalnya, seorang pencuri tidak layak dihukum mati karena berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari ,EQX 0DV¶XG

³Demi dzat yang tidak ada Tuhan selain diri-Nya, darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan-Nya tidak halal ditumpahkan kecuali tiga golongan, yaitu: orang yang keluar dari Islam dan

PHPLVDKNDQ GLUL GDUL MDPD¶DK SH]LQD \DQJ WHODK PHQLNDK GDQ RUDQJ \DQJ

membunuh muslim yang lain tanSD DODVDQ \DQJ PHPEHQDUNDQ´9

Begitu juga berdasarkan pertimbangan logika dan akal sehat, tidak pantas seorang pencuri unta dihukum mati hanya karena ia menginginkan barang orang lain menjadi miliknya. Penulis berpendapat demikian bukan tanpa alasan. Al-QXU¶DQ VHFDUD LPSOLVLW menekankan pentingnya penggunaan akal (logika). Hal itu dibuktikan dengan begitu banyaknya kalimat-kalimat ³DSDNDK NDPX WLGDN PHQJJXQDNDQ DNDO"´ ³DSDNDK NDPX WLGDN

PHQJDPELO SHODMDUDQ"´ ³DSDNDK NDPX WLGDN EHUILNLU"´ di dalam Al-4XU¶an. Berdasarkan

hal tersebut Penulis berkesimpulan bahwa penggunaan pertimbangan logika amatlah sangat penting di dalam pembentukan hukum.

Pidana terhadap pelaku perusakan barang berdasarkan Pasal 406 KUHP adalah pidana penjara maksimal 2 tahun 8 bulan atau denda maksimal Rp. 4.500.000,-. Pertama-tama kita harus melihat apakah jenis pidana tersebut bertentangan atau tidak dengan Al-4XU¶DQ GDQ Sunnah. Tidak ada larangan di dalam nash jika dijatuhkan pidana penjara dan denda terhadap pelaku perusakan terhadap barang. Maka dapat disimpulkan dari sudut pandang Al-4XU¶DQ GDQ 6XQQDK ³XTXEDW WD¶]LU´ YHUVL .8+3 DGDODK VDK-sah saja.

Selanjutnya kita harus mempertimbangkan apakah jenis pidana tersebut bertentangan atau tidak dengan pertimbangan logika dan akal sehat. Pidana penjara sangat diragukan keefektifannya baik sebagai upaya preventif untuk membuat orang takut melakukan kejahatan maupun sebagai upaya kuratif untuk memperbaiki terpidana. Sudah menjadi rahasia umum bahwa penjara juga menjadi tempat yang melahirkan penjahat-penjahat besar, seolah-olah penjara sudah menjadi perguruan tinggi ilmu kejahatan, belum lagi biaya besar

9 Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, Cet. 1, Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 212.

(10)

yang harus disediakan pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana bagi narapidana di dalam penjara. Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat menilai bahwa pidana penjara tidak benar-benar layak untuk tetap dipertahankan karena pertimbangan logika.

Selanjutnya yang harus dinilai adalah penjatuhan pidana denda terhadap pelaku perusakan barang berdasarkan pertimbangan logika. Pidana denda adalah pembayaran sejumlah uang kepada negara. Artinya uang tersebut menjadi milik negara dan akan dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan negara. Ketika hanya pidana penjara atau denda yang dapat dijatuhkan kepada pelaku maka tidak ada orang yang bertanggung jawab untuk memulihkan kerugian yang diderita korban. Padahal bisa jadi barang yang dirusak tersebut bernilai sangat mahal, misalnya perusakan mobil Range Rover.

Ketiadaan pidana yang dapat memulihkan kerugian yang diderita korban menunjukkan bahwa jenis pidana terhadap pelaku perusakan barang sebagaimana diatur di dalam KUHP adalah bertentangan dengan pertimbangan logika. Oleh karena itu menurut KHPDW 3HQXOLV MHQLV SLGDQD WHUVHEXW EXNDQODK µXTXEDW WD¶]LU \DQJ OD\DN WHUKDGDS SHODNX perusakan barang.

Semua yang mempunyai fungsi dan kegunaan untuk ruh manusia (nafs) merupakan rizki dari Allah SWT. Kesehatan jasad, kelengkapan anggota tubuh, tangan, kaki, merupakan rizki dari Allah sebagai alat melakukan aktifitasnya dalam beribadah. Kedua kaki digunakan untuk berjalan di muka bumi demi mencari harta (maal), Kedua tangan digunakan untuk menginfakkan sebagian harta tersebut, kepala digunakan untuk bersujud, dll. Begitu juga dengan rumah, mobil, makanan dan segala jenis harta (maal) yang dimiliki merupakan rizki dari Allah untuk mendukung aktifitas jasad manusia dalam beribadah kepada-Nya, baik ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah. Rumah digunakan untuk menaungi keluarga, mobil digunakan untuk pergi ke masjid, makanan berguna untuk menjaga aktifitas jasad agar tetap fit, dst. Pada intinya anggota tubuh dan harta merupakan bagian dari titipan yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia bertanggungjawab untuk menjaga baik-baik pemberian tersebut.

Allah menjamin anggota tubuh manusia melalui hukumnya yang disebut dengan qishash. Dalam hal qishash tidak dilaksanakan maka berlaku diyat. Pelukaan terhadap anggota tubuh manusia dapat dikenakan pidana qishash (pembalasan serupa) dan diyat (ganti kerugian). Terhadap harta/barang/ maal, Allah memang tidak menentukan secara eksplisit apa pidana bagi orang yang merusak barang orang lain Maka perlu dilakukan ijtihad terhadap hal tersebut.

(11)

Mengingat bahwa anggota tubuh dan harta pada hakikatnya adalah sama.10 Dan mengingat bahwa pelukaan terhadap anggota tubuh (penganiayaan) dapat dipidana dengan qishash ataupun diyat.11 Maka Penulis berpendapat bahwa pidana terhadap pelaku perusakan barang memungkinkan untuk dikiaskan dengan pidana terhadap pelaku perusakan anggota tubuh, yaitu pidana diyat (ganti kerugian). Pidana qishash tidak layak diterapkan dalam pemidanaan terhadap pelaku perusakan dengan beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.

1. Sangat kecil kemungkinan pelaku memiliki barang yang sama persis dengan barang milik korban yang dirusaknya.

2. Merusak barang milik pelaku tidak akan memulihkan kerusakan barang si korban. 3. Membalas dengan merusak bertentangan dengan kaidah fiqh Adh-dhararu yuzalu.

Berdasarkan pertimbangan kesesuain dengan nash dan pertimbangan logika, Penulis EHUSHQGDSDW EDKZD µXTXEDW WD¶]LU EDJL SHODNX SHrusakan barang adalah pidana ganti kerugian. Jika pelaku tidak menjalankan ganti kerugian, Baiknya diadakan sita terhadap harta pelaku. Jika harta pelaku tidak mencukupi untuk biaya ganti kerugian baru kiranya dapat diterapkan pidana lain yang tidak bertenWDQJDQ GHQJDQ V\DUL¶DW ,VODP

Penulis sangat menekankan pidana ganti kerugian bukan tanpa alasan. Di dalam tindak pidana perusakan barang ada hak adami yang mana Allah tidak akan memaafkannya jika orang yang dirugikan tidak memaafkannya. Seseorang yang melakukan perusakan terhadap barang milik orang lain, kemudian dipidana bukan dengan pidana ganti kerugian, hal tersebut tidak dapat memulihkan kerugian yang diderita korban. Tentunya ada kemungkinan korban tidak pernah memaafkan perbuatan si pelaku. Jika demikian adanya pelaku akan disiksa di akhirat nanti karena perbuatannya yang menzalimi hak adami. Jika sudah demikian tidak akan tercapai tujuan pemidanaan dalam Islam sebagai alat penebus dosa.12 Allah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf, tetapi kejahatan yang terkait hak adami tetap akan dihukum di akhirat jika korban tidak memaafkan pelaku.

10 Pernyataan tersebut merupakan interpretasi Penulis terhadap pendapaW 6\DIL¶L $O-Bantanie yang menyatakan bahwa harta dan kelengkapan anggota tubuh merupakan nikmat yang harus disyukuri. Syafii Al-Bantanie, Dahsyatnya Syukur (Jakarta: Qultum Media, 2009), hlm. 98-177. Lihat Choirul Mahfud, The Power Of Syukur,Tafsir Kontekstual Konsep Syukur Dalam Al-4XU¶DQ 6XUDED\D /HPEDJD .DMLDQ $JDPD GDQ

Sosial, 2014), hlm. 382. Tersedia di

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=364791&val=8300&title=THE%20POWE%20OF%20SY UKUR:%20Tafsir%20Kontekstual%20Konsep%20Syukur%20dalam%20al

Qur%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2an, diakses pada tanggal 22 Desember 2017.

11Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004),hlm. 153.

12 Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: UNPAD PRESS, 2009), hlm. 87.

(12)

Penyertaan dalam hukum Islam secara umum terdiri dari turut berbuat jarimah secara langsung dan turut berbuat jarimah secara tidak langsung.13 Turut berbuat jarimah secara langsung diklasifikasi oleh para fuqaha menjadi dua golongan, yaitu: tawafuq dan

al-WDPDOX¶. Al-Tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama

tanpa kesepakatan sebelumnya. Kejahatan tersebut terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba-tiba. Seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi, yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam kasus seperti ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing-masing.14 Sedangkan Al-7DPDOX¶ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama dan terencana. Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana, ada yang mengikat, ada yang memukul, atau menembaknya. Maka mereka semua bertanggung jawab atas kematian korban.15 Menurut imam Abu Hanifah, antara tawafuq dan tamalu sama saja hukumannya, yaitu masing-masing peserta hanya bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.16

Turut berbuat jarimah tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.17 Adapun menurut Abu Hanifah, penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhannya itu sudah sampai pada tingkat paksaan. Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu harus bertanggung jawab atas kematian korban, sedangkan yang menyuruh dikenai sanksi WD¶]LU.18

Berdasarkan konsep di atas secara jelas menunjukkan bahwasanya orang yang turut berbuat jarimah baik secara langsung maupun tidak langsung diberikan jenis hukuman yang berbeda-beda, sesuai dengan apa yang dilakukannya. ,EDUDW NDWD SHSDWDK ³WDQJDQ PHQMLQMLQJ EDKX PHPLNXO´ 6HVHRUDQJ KDQ\D GLSLGDQD EHUGDVDUNDQ NDGDU SHUEXDWDQQ\D 6HVHRUDQJ \DQJ bersama-sama melakukan tindak pidana bersama orang lain tetapi kadarnya lebih rendah dibandingkan orang lain tersebut tidaklah layak untuk dipidana seimbang dan serupa dengan

13 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 3, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), hlm. 154. 14 Djazuli H. A, Fiqh Jinayat, (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 249-254.

15Ibid, Lihat Nihayatul Muhtaj, 7, hlm. 61. 16 Ahmad Hanafi, Op. Cit., hlm. 141. 17Ibid., hlm. 144.

(13)

orang lain tersebut. Jika diterapkan sama, maka seolah-olah telah terjadi pemikulan dosa seseorang kepada orang lain. Hal ini terlarang dalam Islam berdasarkan ayat:

Seseorang tidak menanggung dosa orang lain. (QS. Faathir: 18)

Agama Islam dengan ketiga aspeknya, yakni iman, Islam, dan ihsan atau akidah, syariat dan akhlak adalah murni diperuntukkan bagi kepentingan manusia. Tidak ada sedikitpun kepentingan Tuhan yang menurunkannya, karena Allah memang tidak memiliki kepentingan sekecil apapun. Karena itu setiap ketentuan agama, termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan serta perlindungan hak dan kepentingan manusia.19

Namun demikian untuk menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana atau jarimah, harus memperhatikan beberapa hal yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Termasuk di dalam pertanggungjawaban pidana adalah akibat yang ditimbulkan dari apa yang diupayakan atau tidak diupayakan itu atas dasar kemauannya sendiri. Karena pelakunya mengetahui dengan kemauan dan kebebasan itu maksud dan akibat yang akan timbul dari tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan.20

Dengan demikian, kebebasan bertindak dan mengetahui maksud dan akibat tindakan yang dilakukan menjadi pertimbangan untuk menghukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau jarimah. Karena itu anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana (jarimah) secara intelektual tidak mengetahui akibatnya sehingga tindakannya belum memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana secara sempurna. Sebab hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku jarimah selain ditentukan oleh akibat yang ditimbulkan, juga ditentukan oleh hal-hal lain yang terdapat dalam diri pelaku jarimah.

Jelasnya, bahwa pertanggungjawaban pidana dapat terhapus karena adanya sebab-sebab tertentu, baik yang berkaitan dengan perbuatan pelaku jarimah, maupun sebab-sebab yang berkaitan dengan kondisi pelaku jarimah. Alasan penghapus pertanggungjawaban pidana karena perbuatan itu sendiri, disebabkan perbuatan yang dilakukan itu diperbolehkan ROHK V\DUD¶ DWDX SHUEXDWDQQya termasuk dalam kategori perbuatan mubah (tidak dilarang oleh V\DUD¶ Sedangkan alasan penghapus pertanggungjawaban pidana atau hapusnya hukuman

19 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 75.

20 Arahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah), Cet. 1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.t), hlm. 286.

(14)

pidana karena kondisi pelaku jarimah, yaitu: Karena terpaksa, karena gila, karena mabuk, dan karena belum dewasa.21

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kejahatan atau jarimah yang dilakukan baik karena gila, mabuk, dan belum dewasa, tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap tindak pidana atau jarimah yang dilakukannya. Akan tetapi wali, orang tua maupun ulil amri dapat diminta tangung jawab secara perdata dengan membayar ganti rugi kepada korban, jika akibat tindak pidana yang dilakukan menimbulkan kerugian materil kepada korban.

Orang tua maupun walinya dibebani kewajiban membayar ganti rugi karena tindak pidana atau jarimah yang dilakukan anaknya sebagai akibat dari hasil didikan yang salah kepada anaknya. Konsekuensinya, adalah orang tua harus bertanggungjawab terhadap tindak pidana atau jarimah yang dilakukan anaknya itu. Sebab itulah khalifah Umar bin Khattab PHQJDQJJDS ³SHPLOLKDQ FDORQ LEX \DQJ EHUDNKODN EDLN VHEDJDL VDODK VDWX KDN DQDN -LND anak durhaka, atau melakukan tindak pidana (jarimah), maka, yang harus dihukum justru RUDQJWXDQ\D EXNDQ DQDNQ\D´22

Dengan demikian hukuman terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana atau jarimah dibebankan kepada walinya, yaitu orang tuanya. Karena orang tua wajib mendidik anak-anaknya agar menjadi anak baik-baik. Apabila anak menjadi jahat, berarti orang tua tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka orang tuanyalah yang menanggung akibat tindakan anaknya, yakni diberi sanksi karena kelalaiannya.

Namun demikian jika anak di bawah umur melakukan tindak pidana atau jarimah menimbulkan kerugian besar terhadap korban maka tentunya dia harus diberikan pembinaan secara konsisten sehingga anak tersebut tidak tumbuh dewasa menjadi penjahat. Sebab esensi pemberian hukuman kepada pelaku jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan, dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran, agar pelaku jarimah tidak mengulangi perbuatan yang merugikan itu serta merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.23

Begitu juga terhadap ulil amri yang tidak bisa menyediakan fasilitas untuk orang yang seharusnya diobati (gila), kemudian orang tersebut masih berkeliaran sehingga membuat

21 Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, Jilid II, (Jakarta: Pustaka Azzam , 2007), hlm. 405.

22 Imam Musbikin, Mendidik Anak Ala Shinchan, Cet. 11, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hlm.153. 23Ibid., hlm. 63.

(15)

kerusakan terhadap orang lain, maka ulil amrilah yang berkewajiban membayar ganti rugi kepada korban.

Tegasnya, bahwa tujuan utama penjatuhan hukuman pidana adalah untuk menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya dan menghargai hak orang lain sehingga apa yang dilakukannya di kemudian hari tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dengan kata lain, perbuatan baik yang dilakukannya semata-mata karena karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukuman. Pemberian hukuman kepada anak di bawah umur semata-mata harus diarahkan sebagai upaya pendidikan dan pengajaran terhadap anak di bawah umur itu, bukan untuk pembalasan atas perbuatannya.

Hukum pidana dianggap sebagai tulang punggung utama terwujudnya ketertiban publik (umum), serta tegaknya hak-hak asasi manusia yang sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan konsep maslahat sebagai tujuan dasar hukum pidana Islam untuk menjaga sekurang~kurangnya lima hal pokok bagi manusia dan ketentuan tersebuf menjadi maqasid

al-V\DUL¶DK (tujuan diturunkannya syariat).

Dari segi materinya, hukum pidana Islam begitu maksimal, sehingga ibarat obat sangat pas dengan dosis hukuman yang seharusnya, darn sangat sesuai dengan tujuan dan filosofi penjatuhan hukuman. Berbeda dengan aturan hukum pidana positif saat ini yang di antaranya sangat minimal, menyebabkan efek jera sebagai salah satu tujuan penghukuman tidak terwujud secara maksimal, bahkan di antara pelaku yang divonis menjadi lebih senang dengan penghukuman tersebut.

Hukum pidana Islam begitu apik dengan jenis hukuman had, qisas, dan WD¶]LU, akan menyebabkan tindak pidana yang ditangani semakin kecil kemungkinan akan terulang kembali, serta menjadi upaya prepentif terhadap munculnya tindak pidana serupa. Dengan asas hukum yang bersifat universal, hukum pidana Islam mampu tampil kembali sebagai hukum pidana impian, dan selalu dapat mengikuti setiap perkembangan zaman.

Kedudukan fiqh jinayah dalam struktur hukum Islam jelas erat kaitannya dengan konsep sadd al-dzari'ah (menutup jalan agar tidak tenjadi kerusakan) agar tercapai maqashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syari'at), yakni: hifzh al-din (memelihara agama), hifzh al-nafsi

(memelihara jiwa), hifzh al-'aqli (memelihara akal), hifzh al-nashli (memelihara keturunan),

hifzh al-mal (memelihara harta), dan hifzh al-ummah (memelihara umat) yang dengan tercapainya tujuan-tujuan ini diharapkan terwujud kemaslahatan hidup dan kehidupan

(16)

manusia, baik di dunia maupun di akhirat, dengan harapan terakhir mencapai ridla Allah SWT.24

Sudah barang tentu dalam melaksanakan konsep sadd al-dzari'ah ini ada kaitan yang erat antara keimanan, akhlak yang baik, dengan ancaman hukuman. Maksudnya apabila dengan keimanan dan akhlak yang baik kejahatan itu menjadi berkurang, sudah tentu pelaksanaan sanksi jarimah tidak terlalu banyak.

Penerapan jarimah ta'zir sudah barang tentu tidak selalu sama antara negara satu dengan negara lain, terutama \DQJ EHUNDLWDQ GHQJDQ MDULPDK WDµ]LU \DQJ VDQNVLQ\D GLWHQWXNDQ oleh Ulil Amri. Oleh karena itu sudah semestinya pertanngungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-VDPD DWDV SULQVLS KXNXPDQ WD¶]LU GLODNXNDQ SHUXEDKDQ GDODP hukum pidana Indonesia, baik dari segi pertanggungjawaban pidananya maupun jenis hukumannya. Sehingga tujuan untuk memperoleh keadilan, kepastian, dan kemanfaatan demi kemaslahatan bangsa dan negaranya dapat terwujud.

KESIMPULAN

Tindak pidana perusakan dapat diklasiILNDVLNDQ VHEDJDL MDULPDK WD¶]LU GDODP KXNXP ,VODP .ULPLQDOLVDVL GDQ SHQDOLVDVL MDULPDK WD¶]LU PHUXSDNDQ ZHZHQDQJ SHQJXDVD 7HWDSL dalam penentuan jenis pidananya tetap harus berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam Al-4XU¶DQ GDQ 6XQQDK VHUWD WLGDN WHUlepas dari pertimbangan logika dan akal sehat. Anggota tubuh dan harta merupakan bagian dari titipan yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia bertanggungjawab untuk menjaga baik-baik pemberian tersebut. Terhadap harta/barang/maal, Allah memang tidak menentukan secara eksplisit apa pidana bagi orang yang merusak barang orang lain. Tetapi mengingat bahwa anggota tubuh dan harta pada hakikatnya adalah sama, dan mengingat bahwa pelukaan terhadap anggota tubuh dapat dipidana dengan qishash ataupun diyat, dan mengingat sedemikian pentingnya pemulihan terhadap kerugian korban sebagai wujud keadilan restoratif, maka Penulis berpendapat bahwa pidana terhadap pelaku perusakan barang memungkinkan untuk dikiaskan dengan pidana terhadap pelaku perusakan anggota tubuh, yaitu pidana diyat (ganti kerugian). Pertanggungjawaban pidana atas perusakan barang yang dilakukan bersama-sama baik secara

tawafuq maupun WDPDOX¶, seharusnya masing-masing orang bertanggungjawab sesuai dengan apa yang dilakukannya. Orang yang turut berbuat jarimah baik secara langsung maupun tidak

(17)

langsung diberikan jenis hukuman yang berbeda-beda, sesuai dengan apa yang dilakukannya. ,EDUDW NDWD SHSDWDK ³WDQJDQ PHQMLQMLQJ EDKX PHPLNXO´ 6HVHRUDQJ \DQJ EHUVDPD-sama melakukan tindak pidana bersama orang lain tetapi dengan kadar yang lebih rendah dibandingkan orang lain tersebut tidaklah layak untuk dipidana seimbang dan serupa dengan orang lain tersebut. Jika diterapkan sama, maka seolah-olah telah terjadi pemikulan dosa seseorang kepada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Al-4XU¶DQ GDQ +DGLV

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 3, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 1, Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Arahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (syariah), Cet. 1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, t.t.

Choirul Mahfud, The Power Of Syukur,Tafsir Kontekstual Konsep Syukur Dalam Al-4XU¶DQ (Surabaya: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2014), hlm. 382. Tersedia di http://download.portalgaruda.org/article.php?article=364791&val=8300&title=THE% 20POWE%20OF%20SYUKUR:%20Tafsir%20Kontekstual%20Konsep%20Syukur% 20dalam%20al Qur%C3%A2%E2%82%AC%E2%84%A2an, diakses pada tanggal 22 Desember 2017.

Djazuli H. A, Fiqh Jinayat, Jakarta: Rajawali Press, 1996.

Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana, Jakarta: Universitas Trisakti, 2009.

Imam Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, Jilid II, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Imam Al-Hafizh Ali bin Umar Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, Cet. 1, Jilid 3, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008.

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Ed. I, Cet. 2, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Imam Musbikin, Mendidik Anak Ala Shinchan, Cet. 11, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Dari Aceh Untuk Indonesia, Bandung: UNPAD PRESS, 2009.

(18)

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Bogor: Politeia 1995.

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dijelaskan di dalam analisis strukturmikro, tampak bahwa pori-pori di bagian dalam dan luar butir menjadi semakin kecil setelah penambahan La. 2

Aladin  pun  masuk  ke  gua  untuk  meng- ambillampu wasiat itu.  la menuju  ke  tempat  yang  ditunjukkan  kakek  itu.  Apa  yang  dice- ritakan  kakek  itu  benar. 

Waduk Cirata merupakan waduk yang juga digunakan untuk pembangkitan listrik terletak kurang lebih 51 km di hilir Waduk Saguling. Waduk Cirata dengan luas DAS 4.119 km 2 dan

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan yang terdapat dalam novel Syahadat dari Negeri Sutra karya Fitri Nurhati berdasarkan teknik showing dan teknik telling ditemukan

Faktor yang paling berpengaruh dari karakteristik perawat ,isi pekerjaan dan lingkungan pekerjaan terhadap kepuasan kerja perawat adalah faktor kesempatan pengembangan karier

AICS - Inventarisasi Bahan Kimia Australia; ASTM - Masyarakat Amerika untuk Pengujian Bahan; bw - Berat badan; CERCLA - Undang-Undang Tanggapan, Kompensasi, dan Tanggung Jawab

Sesuai dengan Peraturan daerah Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031, saat ini, Kwala Bekala dikembangkan sebagai