26
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
HASIL PENELITIAN
A. Perbandingan DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia Dengan Lembaga Perwakilan Negara Lain
1) DPR Sebagai Lembaga Perwakilan di Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menurut latar belakang
pemikiran pembuat UUD 1945 merupakan wadah wakil-wakil partai
politik (parpol) hasil pemilu. Tetapi tidak semua orang masuk parpol
sehingga DPR tidak mewakili “seluruh” rakyat.1
Namun, sebenarnya didalam UUD 1945 tidak menyebutkan secara
eksplisit bahwa keanggotaannya dipilih melalui sebuah pemilihan
umum.2 Hal inilah yang menimbulkan penafsiran sepihak oleh setiap rezim yang berkuasa di Indonesia untuk mengisi lembaga perwakilan
rakyat tersebut. Inilah konstruksi rancang bangun perwakilan rakyat
dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD 1945.3
1 T.A Legowo dkk, Lembaga Perwakilan di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan
Setelah Perubahan UUD 1945, Op.Cit., h.17.
2Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2007), hlm. 154.
3Charles Simabura, Parlemen Indonesia, Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta:
27
Di negara kita DPR pernah pula menikmati masa jayanya dalam
demokrasi liberal. Akan tetapi semenjak pertengahan tahun enam
puluhan dengan berakhirnya Orde Lama orang semakin sedikit yang
mengenal badan politik ini. Dewasa ini kita mengenal Parlemen (DPR)
sebagai badan politik yang sering dilecehkan publik.4
Keinginan untuk menjadikan parlemen Indonesia menjadi dua
kamar dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa selama ini aspirasi
dan kepentingan politik yang tercermin di DPR lebih mengemuka
dibandingkan dengan aspirasi dan kepentingan territorial atau
kedaerahan. Keinginan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah pun
makin menguat, karena diharapkan dapat menyalurkan aspirasi dengan
basis sosial yang lebih luas.5
Jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR,
maka kewenangan DPD yang sangat lemah seolah-olah memang
dikondisikan sedemikian rupa sehingga pengaturan terhadap kedua
lembaga cenderung diskriminatif. Apalagi wacana utamanya adalah
penguatan fungsi kelembagaan DPR.
Pengaruh DPR yang sangat dominan menjadikan pola pemisahan
kekuasaan lembaga pemerintahan tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Kondisi yang timpang tersebut menyebabkan tidak
berjalannya prinsip checks and balances antar lembaga negara. Prinsip
4 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Dalam Era Pemerintahan
Modern-Industrial, Rajawali PERS, Jakarta, 1995, hlm.1.
5Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
28
cheks and balances melingkupi ketiga pilar kekuasaan, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dimana selama Orde Baru boleh dikatakan
tidak pernah ada.6
2) Lembaga Perwakilan di Negara Lain
a. Lembaga Perwakilan di Amerika Serikat
Badan legislatifnya dinamakan Congress dan terdiri dari dua kamar
yaitu Senate dan House of Representative. Pembuat Undang-Undang
Dasar merasa bikameralisme sebagai salah satu dari sejumlah
mekanisme untuk menjaga terhadap bahayanya pemusatan kekuasaan.
Untuk Senate adalah untuk mengawasi House dan untuk itu harus
memiliki kekuasaan yang sama secara substansial.7
Banyak ahli yang mengatakan bahwa Senate Amerika Serikat
dalam parlemennya mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari
House of Representative. Hal tersebut dapat dilihat karena Senate
secara umum merupakan suatu badan legislatif, tetapi kadang-kadang
menjadi badan eksekutif atau badan yudikatif.8
Sementara cabang lain dari legislatif, yang biasa disebut dengan
House of Representative, tidak mempunyai bagian dalam administrasi
6Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca-Amandemen Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, 2007, h.65.
7 Sulaiman, King Faisal, Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2013, h.52-54.
8 Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
29
apapun dan hanya mempunyai kekuasaan yudikatif, seperti
memberhentikan pejabat-pejabat publik sebelum Senate.9
Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa badan
legislatif di negara Amerika Serikat tidak memiliki lembaga pengawas
yang dibentuk sendiri seperti halnya MKD yang merupakan lembaga
pengawas yang dibentuk sendiri oleh DPR. Lembaga legislatif di
Amerika Serikat (Senate dan House of Representative) menjalankan
“check and balances system” dalam menjalankan fungsinya,
walaupun dalam kenyataannya Senate lebih berperan dominan
daripada House of Representative.
b. Lembaga Perwakilan di Inggris
Struktur organisasi parlemen Inggris adalah bicameral yang terdiri
dari Majelis Rendah (House of Commons) dan Majelis Tinggi (House
of Lords). Majelis Rendah diangkat berdasarkan keturunan dan
Majelis Tinggi diangkat berdasarkan pemilihan yang demokratis.10 Fungsi House of Lords selain dalam proses legislatif, adalah
sebagai public debate atau pembahasan publik. Debate dalam lembaga
ini tidak terikat/tergantung dengan pemerintahan yang berkuasa, yang
biasanya anggota parlemen (House of Commons) lebih mendukung
partai pemenang dalam kamar tersebut. Debate dalam House of Lords
9 Sulaiman, King Faisal, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen
Indonesia, Op.Cit., h.59.
10 Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
30
berbeda dalam cara membahas dalam House of Commons sehingga
lebih memberikan pengaruh tersendiri bagi pemerintah.11
Jadi, berdasarkan pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa Parlemen
negara Inggris tidak memiliki lembaga pengawas yang dibentuk
sendiri, seperti halnya MKD yang dibentuk sendiri oleh DPR. Dalam
parlemen Inggris sangat terlihat perbedaan kekuasaan yang dimiliki
antara kamar satu dengan kamar lainnya (House of Commons dan
House of Lord). Majelis Tinggi (House of Lord) memiliki pengaruh
yang lebih besar terhadap pemerintah dibandingkan dengan Majelis
Rendah (House of Commons).
c. Lembaga Perwakilan di Filipina
Parlemen Filipina dinamakan Congress/Kongreso. Congress/
Kongreso Filipina terbagi dalam dua kamar, yang dinamakan Senate/
Senado (upper house) dan House of Representative/Kapulungan Ng
Mga Kinatawan (lower house).12
Dalam proses legislasi Senate Filipina mempunyai kedudukan
yang sama dengan House of Representative. Ini dapat terlihat dalam
Konstitusi Filipina, yang terdapat dalam Article VI, sec. 27 (1).
Walaupun keduanya memiliki kedudukan yang sama , akan tetapi,
11 Sulaiman, King Faisal, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia,
Op.Cit., h. 60-61.
31
setiap kamar mempunyai kekuasaan yang ekslusif dari kamar
lainnya.13
Untuk Senate mempunyai kekuasaan yang ekslusif dalam
meratifikasi treaty, sedangkan untuk House of Representative
memulai dalam hal mengusulkan RUU yang berkaitan dengan
keuangan (bills on appropriation, revenue or tariff bills, bills
authorizing increase of public debt, bills of local application, and private bills).14
Dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa Parlemen Filipina tidak
mempunyai lembaga pengawas yang dibentuk sendiri seperti halnya
MKD yang merupakan lembaga pengawas yang dibentuk sendiri oleh
DPR. Terlihat bahwa Parlemen Filipina juga menggunakan “check and balances system” yang sama dengan Parlemen Amerika Serikat.
Perbedaannya adalah terkait peran antara kamar satu dengan kamar
lainnya, jika Parlemen Amerika terlihat bahwa Senate lebih dominan
daripada House, maka Parlemen Filipina tidak ada yang lebih
dominan antara Senate dan House.
B. Kinerja DPR Pada Saat Kehadiran BK
Kinerja DPR RI setelah hadirnya lembaga pengawas BK tetap
saja tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dan dapat
dikatakan masih buruk. Hasil tidak memuaskan ini disebabkan
13Purnomowati, Rini Dwi, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
Op.Cit., h.118.
32
gagalnya BK dalam mencegah dan memperbaiki citra anggota DPR
yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan.
Terungkapnya beberapa kasus tindak pidana korupsi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota
DPR menunjukkan bahwa kontrol internal di DPR tidak berfungsi
efektif. Belum lagi kasus-kasus pelanggaran nilai moral dan kode
etik lain seperti perselingkuhan, pelecehan seksual, jalan-jalan ke
luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional
dari pihak ketiga dalam menjalankan fungsinya, maupun dugaan
gratifikasi.
BK merupakan perisai untuk menghindari kekuasaan DPR dari
berbagai bentuk penyimpangan, tapi nyatanya BK tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal DPR.
Ketidakmampuan BK dalam menjaga citra anggota DPR dapat
disebabkan beberapa faktor, antara lain:15
1. Lemahnya Kerangka Yuridis BK
BK selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang
mengekang. Posisi BK ditetapkan sebagai pengawas internal
yang pasif karena tidak wewenang untuk menjalankan
kerja-kerja inisiatif. Dalam tata tertib DPR, Badan Kehormatan
baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu
adanya laporan pengaduan dari masyarakat atas dugaan
pelanggaran kode etik anggota DPR, dan jika ada perintah dari
15Efektivitas Badan Kehormatan DPR,
33
pimpinan DPR. Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki, BK
tidak dapat bertindak apapun meski pelanggaran kode etik itu
dilihat atau diketahui langsung oleh BK. Hal itu membuat
fungsi pencegahan tidak dapat dijalankan oleh BK.
2. Posisi BK tidak Independen
Keanggotaan BK yang dipilih dari anggota DPR sendiri
menyulitkan BK untuk menjalankan fungsi pengawasan secara
mandiri tanpa intervensi. Pasal 57 tata tertib DPR mengenai
pengangkatan anggota BK mengatur soal wewenang besar bagi
fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang
ditempatkan di BK. Minimnya independensi dan kondisi yang
rentan campur tangan fraksi membuat keputusan BK sering
tebang pilih.
Contohnya adalah dengan membandingkan kasus
anggota DPR Azzidin yang dilaporkan ke BK karena kasus
surat kop Partai Demokrat yang dikirimkan ke Konsul Haji Di
Jeddah, berkaitan dengan percaloan pemondokan haji
dankatering. Hanya dalam waktu 6 minggu putusan sudah
dibuat. Padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya
berupa kutipan di media masa.
Sementara dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung
Laksono terkait dengan safari Ramadhan yang dilakukannya,
34
membekukan kasus tersebut. BK menyatakan tidak ada
persoalan dalam kasus Agung karena buktinya tidak otentik,
padahal ada bukti rekaman dari 3 daerah pada saat Agung
bersafari.
3. Kaburnya Pengertian Kode Etik di Lingkungan DPR
Di DPR tidak ada definisi yang konkret dan operasional
atas apa yang disebut sebagai pelanggaran kode etik. Menurut
ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai
pelanggaran kode etik identik dengan pengertian hukum
mengenai pelanggaran pidana. Hal itu menyebabkan Badan
Kehormatan terkesan harus menunggu proses hukum bagi
anggota DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum
memutuskan sanksi.
Contohnya adalah kasus dugaan suap Bank Indonesia
yang melibatkan semua anggota Komisi IX DPR RI periode
1999–2004. BK tidak dapat menjatuhkan sanksi pada anggota
DPR yang terlibat sampai putusan pengadilan dijatuhkan pada
mereka.
Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang
melibatkan partai berkuasa, BK sulit untuk bersikap adil. Tapi
bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota
saja, BK dapat mengambil putusan yang besar, bahkan sampai
35
Ketidakaktifan BK seakan membiarkan anggota DPR
melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode
etik DPR. Hal ini menyebabkan kinerja BK menjadi tidak
efektif.
Jangankan mengawasi anggota DPR dari tindak korupsi,
mengawasi kehadiran anggota DPR dalam sidang saja tidak
bisa. Banyak sidang-sidang DPR yang tidak mencapai kuota 2/3
karena anggotanya banyak yang bolos sidang, atau sekedar
tanda tangan absen lalu entah menghilang ke mana. Ada juga
yang datang tapi kerjanya cuma main HP, baca koran, atau
tertidur saat sidang, sampai-sampai ditegur dan membuat marah
Presiden SBY.16
C. Pergeseran Kedudukan Antara BK dan MKD
Hadirnya BK sebagai alat kelengkapan DPR merupakan amanat UU
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk), yang diatur lebih spesifik
dalam pasal 98 ayat 2 huruf (g).
Kinerja BK sebagai alat kelengkapan DPR dapat dikatakan tidak
berhasil memperbaiki citra DPR yang dipandang buruk oleh masyarakat
akibat berbagai kasus yang melibatkan para anggotanya.
Seiring telah diubahnya UU Susduk menjadi Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
16 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Dalam Era Pemerintahan
36
42 Tahun 2014 (UU MD3 Saat ini), maka terjadi pula pergantian alat
kelengkapan DPR yang diamanatkan melalui substansi UU MD3 ini.
Pergantian alat kelengkapan DPR ini juga dilengkapi dengan
berbagai penambahan tugas dan wewenang yang akan diemban oleh alat
kelengkapan DPR yang baru, yaitu MKD. Hal inilah yang memicu
timbulnya pro dan kontra terkait dengan pergeseran kedudukan antara BK
dan MKD.
Selain karena kewenangannya yang dinilai terlalu berlebihan terkait
dengan pemberian izin terkait proses pemanggilan terhadap anggota DPR,
hal yang banyak menarik perhatian masyarakat adalah pertimbangan
dalam pembentukan MKD. Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan
didepan hukum (Equality Before The Law), syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah untuk melarikan diri dan untuk menghilangkan berbagai alat bukti.17
Keberadaan MKD juga mengalami perluasan dibandingkan BK. Jika BK hanya pada ranah kode etik, keberadaan MKD masuk hingga pada ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.
Penerbitan UU MD3 juga tidak dilakukan dengan menerbitkan
naskah akademik. Padahal, naskah tersebut wajib diterbitkan baik oleh
17 Republika News, Ini Delapan Kejanggalan MD3,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3, dikunjungi Pada 16 Mei 2016, Pukul 11.44.
37
DPR maupun Pemerintah sebelum mereka menerbitkan satu UU baru. Hal
ini dinyatakan oleh Kuasa hukum DPD, Alexander Lay.
Lebih lanjut ia mengatakan dalam sidang permohonan uji materi UU
MD3 di MK bahwa DPR tidak dapat menjawab pertanyaan ini dan tidak
dapat menghadirkan bukti bahwa mereka memang memiliki naskah
akademik ketika membuat UU MD3.18
Dengan tidak adanya naskah akademik UU MD3, maka tidak ada
penjelasan lebih mendalam terkait pergeseran kedudukan alat kelengkapan
DPR yang sebelumnya adalah BK menjadi MKD.
D. Kinerja DPR Setelah Kehadiran MKD
Sejak terbentuknya MKD melalui hadirnya UU MD3, kinerja DPR
RI sama sekali tidak menunjukkan perubahan kearah yang lebih baik.
Masih banyak saja anggota DPR yang terjerat berbagai kasus hukum yang
dapat dikatakan tidak jauh berbeda dengan kasus hukum yang ada pada
saat kehadiran BK sebagai alat kelengkapan DPR.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kasus yang melibatkan anggota
DPR sejak terbentuknya MKD, yaitu sejak tahun 2014 diantaranya:
1. Kasus Korupsi
a. Adriansyah , Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
18 Rumah Pemilu, UU MD3 Tanpa Naskah Akademik dan Pelibatan DPD,
http://www.rumahpemilu.org/in/read/7321/UU-MD3-Tanpa-Naskah-Akademik-dan-Pelibatan-DPD, dikunjungi pada 16 Mei 2016, Pukul 12.58.
38
Ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bali,
Kamis 9 April 2015 malam. Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD) Surahman mengatakan, penangkapan kader PDIP asal
Kalimantan Tengah ini menjadi kasus dugaan korupsi pertama yang
menimpa anggota DPR periode 2014-2019. Surahman berharap
tindakan tegas KPK atas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang
dilakukan Adriansyah ini menjadi peringatan bagi seluruh anggota
DPR.
Menurut Surahman, hingga kini status keanggotaan dan
seluruh hak anggota Dewan masih melekat pada Ardiansyah. Hak
sebagai anggota dewan, lanjut Surahman, akan hilang hingga ada
vonis tetap terhadap Adriansyah.19
19Okezone, Adriansyah Jadi Kasus Korupsi Pertama DPR Periode 2014-2019,
http://news.okezone.com/read/2015/04/10/337/1132239/adriansyah-jadi-kasus-pertama-dpr-periode-2014-2019, 10 April 2015, dikunjungi pada 18 Mei 2016, Pukul 11.44.
39
b. Patrice Rio Capella, Fraksi Partai Nasdem
Selanjutnya, anggota Fraksi Nasdem Patrice Rio Capella yang
ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan menerima gratifikasi pada
proses penanganan kasus bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan
penyertaan modal sejumlah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di
Provinsi Sumatera Utara.
c. Dewie Yasin Limpo, Fraksi Partai Hanura
Tak lama kemudian, Anggota Fraksi Hanura Dewie Yasin Limpo
ditangkap tangan karena diduga menerima suap terkait proyek
pembangunan pembangkit listrik tenaga mikro hidro di Kabupaten Deiyai.
40
Ditangkap KPK karena diduga menerima suap terkait proyek di
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Aliran dana yang
diterima Damayanti untuk membangun proyek infrastruktur di Maluku itu
diduga mengalir kepada rekan-rekannya di Komisi V DPR.
Salah satunya adalah ke Budi yang sudah ditetapkan sebagai
tersangka setelah sebelumnya mencoba mengembalikan uang yang diduga
hasil dari suap yang diterimanya sebesar 305.000 dollar Singapura.
2. Kasus Kekerasan
Di luar masalah korupsi yang ditangani KPK, ada pula berbagai kasus
hukum terkait dugaan kekerasan yang dilakukan anggota DPR.
a. Mustafa Assegaf
Anggota Komisi VII Mustafa Assegaff melakukan
pemukulan terhadap Wakil Ketua Komisi VII DPR Mulyadi.
Pemukulan itu terjadi di sela-sela rapat Komisi VII DPR dan
Menteri ESDM.
Mustafa kesal karena Mulyadi tak mengizinkannya bicara
lama dalam rapat. Mahkamah Kehormatan Dewan sudah
memvonis Mustafa melakukan pelanggaran kode etik berat dan
memberikan sanksi skorsing selama tiga bulan dari DPR.
41
Anggota Fraksi PDI-P Masinton Pasaribu juga sempat dilaporkan
ke MKD dan kepolisan atas tuduhan penganiayaan stafnya, Dita
Aditia. Namun, belum jelas kebenaran kasus ini, Dita sudah mencabut
laporannya baik di MKD maupun kepolisian.
LBH Apik yang semula menjadi kuasa hukum Dita, mengatakan,
kliennya mendapat tekanan dari Masinton untuk mencabut laporan
tersebut.
c. Ivan Haz
Selanjutnya, Anggota Fraksi PPP Ivan Haz yang dituduh
menganiaya pembantu rumah tangganya. Kasus Ivan ini juga
diproses baik oleh kepolisian dan mahkamah kehormatan dewan.
Di kepolisian, putera mantan Wakil Presiden Hamzah Haz ini
sudah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan.
Adapun MKD sudah membentuk panel yang artinya jika
42
pemecatan. Selain masalah kekerasan, Ivan juga sempat terjaring
operasi narkoba di Kompleks Kostrad, Tanah Kusir, Jakarta.
Namun, berdasarkan tes urin, Ivan negatif.
3. Kasus permufakatan jahat
Kasus lainnya, Kejaksaan Agung tengah memproses dugaan
permufakatan jahat yang menyeret nama Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto. Dalam kasus ini, Novanto bersama pengusaha minyak Riza Chalid diduga meminta sejumlah saham kepada Presiden Direktur PT
Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.
Permintaan saham itu dilakukan dengan mencatut nama Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sebelum Kejagung, MKD juga
sudah menangani kasus ini. Seluruh hakim MKD menyatakan Novanto
melanggar kode etik dan membuatnya mundur dari posisi Ketua DPR RI.
Selain berbagai permasalahan diatas, Setya Novanto juga masih
banyak terlibat dalam kasus hukum lainnya. Rekam jejak Setya Novanto
44 4. Kasus kesusilaan
Pada Senin 26 Oktober 2015, Arzetti Bilbina Huzaimi Setiwan
tertangkap sedang berada di kamar Hotel Arjuna di Lawang, Kabupaten
Malang, Jawa Timur bersama Dandim Sidoarjo Jawa Timur Letkol Kav
Rizeki. Keduanya lalu diamankan di Markas Denpom Divif 2 Malang.
Arzetti Bilbina dan Dandim Sidoarjo telah membantah dirinya melakukan
tindakan terlarang. Bahkan, Arzetti mengaku tidak pernah berduaan di dalam
kamar, karena hanya membicarakan bantuan untuk Panti Asuhan di Sidoarjo.
Dengan masih tingginya jumlah kasus hukum yang melibatkan banyak
anggota DPR, maka kinerja DPR pada saat kehadiran MKD juga belum dapat
dikatakan lebih baik. Jadi, pergantian alat kelengkapan DPR yang pada
awalnya BK menjadi MKD tidak membawa dampak positif bagi kinerja
maupun citra DPR dimata masyarakat.
E. Perbandingan DPR Dengan Lembaga Profesi Lainnya
Dalam masyarakat beredar pandangan bahwa kriteria bagi suatu profesi
adalah apakah bidang yang ditekuninya itu sebagai pekerjaan untuk hidupnya.
45
ditentukan oleh masyarakat umum.20 Hal ini terjadi karena biasanya sebutan “profesi” selalu dikaitkan dengan pekerjaan atau jabatan yang dipegang oleh seseorang, akan tetapi tidak semua pekerjaan atau jabatan dapat disebut
sebagai profesi. Termasuk DPR yang jika kita tilik lebih mendalam bukanlah
merupakan suatu profesi.
Profesi merupakan suatu konsep yang lebih spesifik dibandingkan
dengan pekerjaan. Dengan kata lain, pekerjaan memiliki konotasi yang lebih
luas dari suatu profesi. Suatu profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua
pekerjaan adalah profesi.21
Profesi adalah pekerjaan yang dilandasi dengan persiapan atau
pendidikan khusus yang formil dan landasan kerja yang ideal serta didukung
oleh cita-cita etis masyarakat. Sehingga pemegang profesi dituntut
mengutamakan profesinya secara bertanggung jawab.22
Lebih lanjut profesi mengandung arti bahwa suatu pekerjaan atau jabatan
yang disebut sebagai profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang,
akan tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan
yang dikembangan khusus untuk itu.23 Dapat dikatakan bahwa sebuah profesi menuntut keahlian yang dimiliki para pemangkunya.
20Munir Fuady, Profesi Mulia : Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
Notaris, Kurator dan Pengurus, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h.3.
21Sidharta, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Penerbit
Replika Aditama, Bandung, 2006, h.110.
22Ibid, h.23.
23Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Penerbit Kanwa
46
Oxford Dictionary merumuskan bahwa:
“Profession is: type of job that needs special knowledge, as medicine or law.”
Pengertian diatas memberikan pemahaman bahwa profesi sebagai
suatu pekerjaan atau keahlian yang memerlukan pendidikan dan pelatihan
yang mahir (requiring advanced education and training), mempunyai
pengetahuan khusus, termasuk kemampuan intelektual, misalnya dokter,
hukum, tekhnik, dan pengajar.24
Menurut Brandeis, untuk dapat disebutkan sebagai profesi, maka pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukungan berupa:
1. Ciri-ciri pengetahuan (Intellectual Character); 2. Diabdikan untuk kepentingan orang lain;
3. Keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial; 4. Didukung oleh adanya organisasi (association) profesi dan organisasi
profesi tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik serta pula bertanggung jawab dalam memajukan profesi yang bersangkutan; dan
5. Ditentukan adanya standar kulifikasi profesi.
Memperluas makna profesi, Myer dalam buku karya Kartono Muhammad mengatakan bahwa selain memerlukan pendidikan khusus,
profesi juga mempunyai manfaat positif bagi masyarakat, mempunyai sikap
yang didasari sifat “Alturistic”, yaitu mengutamakan kepentingan orang lain
(masyarakat) diatas kepentingan pribadi. Dan yang tak kalah penting adalah
kemandirian.25
24Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Op.Cit., h.24.
47
Salah satu ciri profesi yang paling menonjol adalah adanya unsur
pendukung yang menopang keberadaannya, yaitu suatu organisasi yang
dikelola secara profesional. Organisasi profesi merupakan self-regulatory
body yang berkewajiban menetapkan norma-norma yang melayani
kepentingan masyarakat pengguna jasa dari profesi tersebut.26Keberadaan organisasi profesi dipandang penting dalam rangka melahirkan kode etik.
Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada suatu profesi
yang disusun secara sistematis.27
Misalnya dalam profesi Notaris, ada dua lembaga yang berwenang
untuk melakukan pengawasan terhadap notaris, yaitu Majelis Pengawas
Notaris yang dibentuk oleh Menteri dan Dewan Kehormatan yang
merupakan salah satu alat kelengkapan dalam organisasi notaris, dalam hal
ini tentunya Ikatan Notaris Indonesia (INI). Kedua lembaga tersebut
berwenang untuk mengawasi notaris sampai dengan menjatuhkan sanksi
bagi notaris yang dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan yang berlaku.28
Organisasi profesi merupakan self-regulatory body yang
berkewajiban menetapkan norma-norma yang melayani kepentingan
masyarakat pengguna jasa dari profesi tersebut. Jadi, keberadaan
organisasi profesi ini dipandang penting dalam rangka melahirkan kode
26 Kuat Puji Prayitno, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Op.Cit.,, h.108.
27Ibid, h.10.
28 Informasi Hukum dan IPTEK, “Ikatan Notaris Indonesia dalam Kaitannya dengan
Majelis Pengawas dan Kode Etik Notaris” 19 Oktober 2009, http://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=159609803913&id=144559728756.
48
etik profesi. Kode etik adalah prinsip-prinsip moral yang melekat pada
suatu profesi.29
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa Profesi tidak dapat dipegang
oleh sembarangan orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui
pendidikan dan pelatihan yang dikembangan khusus untuk itu. Dalam hal
ini, DPR tidak memenuhi unsur tersebut, karena keanggotaan DPR dipilih
oleh masyarakat melalui sistem Pemilihan umum (Pemilu), bukan melalui
suatu pendidikan dan pelatihan seperti halnya yang dilakukan oleh
organisasi profesi lainnya seperti Notaris yang harus melalui proses
pendidikan dan pelatihan terlebih dahulu.
Berdasarkan pemaparan diatas, jika kita bandingkan antara DPR dan
lembaga profesi lainnya, seperti halnya organisasi Notaris akan memiliki
banyak unsur yang tidak dimiliki oleh DPR sehuingga berbeda dengan
lembaga profesi lainnya. Selain itu, jika dilihat dari segi unsur pendukung,
ada beberapa unsur pendukung yang tidak terpenuhi oleh DPR, sehingga
DPR sangat berbeda dengan lembaga profesi lainnya.
II.
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Yang Dimiliki Oleh MKD Sangat Berlebihan
Seperti telah dikemukakan diatas, kewenangan MKD sebagai alat
kelengkapan DPR yang juga berfungsi sebagai lembaga pengawas memang
29 Munir Fuady, Profesi Mulia : Etika Profesi Hukum Bagi Hakim, Jaksa, Advokat,
49
sangat berlebihan jika dibandingkan dengan alat kelengkapan DPR
sebelumnya, yaitu BK.
Hal ini terlihat jelas dengan hadirnya Pasal 245 (3) UU MD3 yang
menyatakan bahwa:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.”
Ketentuan pasal diatas merupakan kewenangan yang tidak dimiliki oleh BK
sebagai alat kelengkapan DPR sebelumnya yang memiliki fungsi yang sama
dengan MKD. Jika ditilik secara lebih mendalam, Mahkamah Konstitusi (MK)
me-nyatakan bahwa izin tertulis dari MKD tidak tepat, MKD sebagai salah satu
alat kelengkapan DPR merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan
langsung apapun pada sistem peradilan pidana dan berpotensi menimbulkan
gangguan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap kinerja dari aparat
penegak hukum. Karena, seharusnya aparat penegak hukum dalam melaksanakan
proses peradilan, mulai dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan tidak
boleh mendapatkan hambatan apapun.
Selain karena kewenangannya yang dinilai terlalu berlebihan terkait dengan
pemberian izin terkait proses pemanggilan terhadap anggota DPR, hal yang
banyak menarik perhatian masyarakat adalah pertimbangan dalam pembentukan
MKD. Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan didepan hukum (Equality
50
tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah untuk melarikan diri
dan untuk menghilangkan berbagai alat bukti.30
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengisian anggota MKD dari dan oleh
anggota DPR pun dinilai menimbulkan konflik kepentingan.31 Untuk dijadikan sebagai sebuah lembaga pengawas, sudah seharusnya susunan keanggotaan MKD
berasal dari kalangan profesional di luar DPR. Hal ini dimaksudkan agar dalam
menjalankan tugasnya secara independen tanpa ada intervensi dari pihak lainnya,
termasuk dari pihak DPR itu sendiri.
Jika susunan keanggotaan MKD diisi dari anggota DPR itu sendiri, maka
akan timbul rasa ketidakpercayaan dari berbagai pihak terhadap eksistensi dan
independensi MKD dalam melaksanakan tugasnya terkait salah satu fungsinya
yaitu melakukan fungsi pengawasan terhadap anggota DPR.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewenangan MKD terkait dengan Pasal 245
(3) UU MD3 sangat berlebihan sebagai alat kelengkapan yang juga berfungsi
sebagai lembaga pengawas bagi DPR. Keputusan MK untuk mencabut ketentuan
pasal ini sangat tepat agar tidak ada praktek tebang pilih dalam penegakan hukum
di Indonesia.
B. DPR Bukanlah sebuah Lembaga Profesi
Berdasarkan penjelasan mengenai unsur-unsur lembaga profesi yang
telah dijabarkan sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa DPR bukanlah
30 Republika News“Ini Delapan Kejanggalan MD3”,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/07/13/n8nfx7-ini-delapan-kejanggalan-uu-md3, dikunjungi Pada 16 Mei 2016, Pukul 11.44.
51
sebuah lembaga profesi. Hal ini terlihat jelas dengan tidak terpenuhinya semua
unsur kumulatif yang dimiliki oleh lembaga profesi lainnya.
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa suatu Profesi tidak dapat dipegang
oleh sembarangan orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui
pendidikan dan pelatihan yang dikembangan khusus untuk itu. Dalam hal ini,
DPR tidak memenuhi unsur tersebut, karena keanggotaan DPR dipilih oleh
masyarakat melalui sistem Pemilihan umum (Pemilu), bukan melalui suatu
pendidikan dan pelatihan seperti halnya yang dilakukan oleh organisasi profesi
lainnya.
Selain unsur diatas yang tidak terpenuhi, ada unsur lainnya juga yang
tidak dipenuhi oleh DPR untuk dapat dikatakan sebagai suatu profesi. Untuk
mengetahui unsur yang tidak terpenuhi oleh DPR, kita dapat melihatnya dalam
tabel dibawah ini.
NO UNSUR PENDUKUNG DPR LEMBAGA PROFESI 1
Landasan
Intelektual
(Intellectual
Character)
TIDAK YA 2Alturistic
YA YA 3Berorientasi pada
keuntungan
finansial
TIDAK TIDAK4
Organisasi Profesi
TIDAK YA52
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa DPR hanya memiliki 2 unsur
yang sama dengan lembaga profesi lainnya, yaitu unsur Alturistic (diabdikan
untuk kepentingan orang banyak) dan tidak berorientasi pada keuntungan
finansial. Sementara 3 unsur lainnya tidak terpenuhi oleh DPR.
Jadi, dapat disimpulkan dari tabel perbandingan DPR dengan Lembaga
Profesi diatas bahwa DPR bukanlah merupakan suatu lembaga profesi
dikarenakan tidak memenuhi semua unsur yang harus dimiliki oleh lembaga
profesi pada umumnya.
C. Kehadiran MKD Sebagai Lembaga Pengawas Tidak Diperlukan Oleh DPR
Dengan mengacu pada kinerja dari DPR yang tidak menunjukkan perubahan
kearah yang makin baik, maka kinerja badan pendukung seperti alat kelengkapan
yang dibentuk oleh DPR pun harus disoroti secara lebih kritis dan lebih mendalam
lagi.
Setelah alat kelengkapan DPR yang dibentuk melalui UU Susduk yaitu BK
tidak dapat membawa dampak positif terhadap kinerja DPR karena dinilai sangat
pasif, sehingga tidak dapat melakukan fungsi pencegahan terhadap anggota DPR
maka hal yang sama juga terjadi pada alat kelengkapan DPR yang baru dibentuk
nya, yaitu MKD.
MKD memiliki tujuan awal pembentukan untuk menjaga serta menegakkan
keluhuran martabat anggota DPR. Namun, bahkan MKD yang juga diperlengkapi
53
dengan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana yang harus mendapatkan persetujuan dan izin
tertulis dari MKD, nyatanya juga tidak dapat membuat kinerja DPR jauh lebih
baik dari sebelumnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya kasus hukum yang
melibatkan anggota DPR. MKD yang berfungsi selaku lembaga pengawas tidak
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, sehingga kinerja DPR semakin
bertambah buruk. Citra negatif anggota DPR dimata masyarakat pun semakin
tidak dapat hilang.
Jadi, berdasarkan alasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja DPR
sebelum dan setelah hadirnya alat kelengkapan yang baru yaitu MKD tidak
menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, yaitu pada saat kehadiran alat