• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT DARI TULANG SOTONG (Sepia sp.)- KITOSAN UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT DARI TULANG SOTONG (Sepia sp.)- KITOSAN UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT

HIDROKSIAPATIT DARI TULANG SOTONG (Sepia sp.)-KITOSAN

UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER

SKRIPSI

ISTIFARAH

PROGRAM STUDI S1 TEKNOBIOMEDIK DEPARTEMEN FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

SINTESIS DAN KARAKTERISASI KOMPOSIT

HIDROKSIAPATIT DARI TULANG SOTONG (Sepia sp.)-KITOSAN

UNTUK KANDIDAT APLIKASI BONE FILLER

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Bidang Teknobiomedik Pada Fakultas Sains Dan Teknologi

Universitas Airlangga

Oleh : ISTIFARAH NIM.080810023

Tanggal Lulus : 6 Agustus 2012

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Aminatun, M.Si

(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Sintesis dan Karakterisasi Komposit Hidroksiapatit dari Tulang Sotong (Sepia Sp.) – Kitosan Untuk

Kandidat Aplikasi Bone Filler

Penyusun : Istifarah

NIM : 080810023

Pembimbing I : Ir. Aminatun, M.Si.

Pembimbing II : Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes. Tanggal seminar : 6 Agustus 2012

(4)

PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI

Skripsi ini tidak dipublikasikan, namun tersedia di perpustakaan dalam

lingkungan Universitas Airlangga, diperkenankan untuk dipakai sebagai referensi

kepustakaan, tetapi pengutipan harus seijin penyusun dan harus menyebutkan

sumbernya sesuai dengan kebiasaan ilmiah.

(5)

Istifarah, 2012, Sintesis dan Karakterisasi Komposit Hidroksiapatit dari Tulang Sotong (Sepia Sp.)-Kitosan Untuk Kandidat Aplikasi Bone Filler, SKRIPSI, dibawah bimbingan Ir. Aminatun, M.Si dan Dr. Prihartini Widiyanti, drg, M.Kes. Program Studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hidroksiapatit (HA) dari tulang sotong (Sepia sp.) dan komposit HA-kitosan untuk aplikasi bone filler. Hidroksiapatit diperoleh dengan reaksi hidrotermal antara 1M aragonit (CaCO3)

dari lamellae tulang sotong dan 0,6M NH4H2PO4 dengan suhu 200oC dan variasi

durasi 12, 24 dan 36 jam. Kemudian dilakukan sintering dengan suhu 1000°C selama 1 jam. Sampel dengan kandungan HA tertinggi dijadikan matriks untuk mensintesis komposit, dengan kitosan sebagai serat/filler. Sintesis komposit HA-kitosan dilakukan dengan metode pencampuran sederhana dengan variasi HA-kitosan dari 20 hingga 35%. Uji XRD, kekuatan tekan, kekerasan dan MTT assay

dilakukan untuk menentukan sampel terbaik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh 100% CaCO3 dari tulang sotong dan berhasil diproses menjadi

100% HA amorf. Proses sintering mengakibatkan perubahan prosentase HA dengan derajat kristalinitas yang jauh lebih baik. Kandungan HA tertinggi diperoleh pada durasi hidrotermal 36 jam setelah disintering, yaitu 94%. Sampel terbaik diperoleh pada komposit dengan kitosan 20% yang mengindikasikan terjadinya penyatuan secara sempurna antara HA dan kitosan, dengan kekuatan tekan sebesar (5,241 ± 0,063) MPa dan kekerasan sebesar (8,800 ±0,200) VHN. Penambahan kitosan meningkatkan viabilitas sel dari 87,00% menjadi 97,11%. Komposit HA dari tulang sotong-kitosan berpotensi untuk aplikasi bone filler

pada tulang cancellous.

(6)

Istifarah, 2012, Synthesis and Characterization of Hydroxyapatite from Cuttlefish Bone (Sepia Sp.)-Chitosan Composite as Bone Filler Application

Candidate, Thesis, under guidance of Ir. Aminatun, M.Si and Dr. Prihartini Widiyanti, drg, M.Kes. Biomedical Engineering, Physics Department, Faculty of Science and Technology, Airlangga University.

ABSTRACT

This study aimed to find out the potential of hydroxyapatite (HA) that was synthesized from cuttlefish (Sepia sp.) bone as well as HA-chitosan composite for bone filler applications. Hydroxyapatite was obtained by hydrothermal reaction between 1M aragonite (CaCO3) from cuttlefish bone lamellae and 0.6 M

NH4H2PO4 at 200oC and variations in the duration of 12, 24 and 36 hours.

Followed by a sintering process with a temperature of 1000°C for 1 hour. Sample with the highest content of HA was used as the matrix to synthesize the composite with chitosan as the fiber/filler. Synthesis of HA-chitosan composite was conducted by a simple mixing method with variations of chitosan from 20 to 35%. XRD, compressive strength and hardness test as well as MTT assay were performed to determine the best sample of all. The results showed that 100% CaCO3 was obtained from cuttlefish bone and was successfully processed into 100% amorphous HA. Sintering process resulted in changes in the percentage of HA with much better degree of crystallinity. The highest HA content was obtained in the hydrothermal duration of 36 hours after sintering, of which was 94%. The best sample was obtained from the composite containing 20% chitosan which indicates perfect mixing between HA and chitosan, with a compressive strength of (5.241 ± 0.063) MPa and hardness of (8.800 ± 0.200) VHN. The addition of chitosan was found to increase the cell viability from 87.00% to 97.11%. HA-chitosan composite from cuttlefish bone has a potential for bone filler applications to cancellous bone.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia,

dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Sintesis dan Karakterisasi Komposit Hidroksiapatit dari Tulang Sotong (Sepia Sp.)-Kitosan Untuk Kandidat Aplikasi Bone Filler”. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik (S.T.)

bidang Teknobiomedik pada Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

Airlangga.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas segala

bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat

terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak yang membaca.

Surabaya, Agustus 2012 Penulis,

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tak lepas dari

bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Penulis menyampaikan terimakasih

kepada :

1. Kedua orang tua tercinta, Papa Moh. Munir dan Mama Yuniawati Candra;

adik-adik tercinta, Sayyidul Kurniadi, Azizah, Syafira Maulina, dan Chairin

Nashir; seluruh keluarga besarku; serta Ardian Mas Suhendra yang selalu

mendoakan, memberi kasih sayang, motivasi, semangat dan perhatian setiap

saat.

2. Ibu Ir. Aminatun, M.Si. dan Ibu Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes. selaku

dosen pembimbing I dan II yang senantiasa mencurahkan segenap ilmu,

waktu, dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan, masukan yang

sangat berharga.

3. Bapak Drs. Siswanto, M.Si., dan Ibu Ir. Puspa Erawati selaku dosen penguji I

dan II atas segala saran dan masukan untuk perbaikan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Retna Apsari, M.Si. selaku Ketua Program Studi S1 Teknobiomedik,

Bapak Adri Supardi, M.Sc. selaku dosen wali, serta dosen-dosen Program

Studi S1 Teknobiomedik yang telah memberikan dukungan dan semangat

(9)

5. Teman-teman Teknobiomedik 2008, khususnya biomaterial lovers, Windi Aprilyanti Putri, Aditya Iman Rizky, Miranda Zawazi Ichsan, Ary Andini,

Agnes Krisanti Widyaning, Gilang Daril Umami, Arindha Reni Pramesti,

Perwitasari Fitrah Lazzari Ramadhan, Nurul Istiqomah, Tri Wahyuni Bintarti,

Wida Dinar Tri Meylani yang selalu memberikan dukungan dan semangat

selama perkuliahan.

(10)
(11)

2.7 Analisis Sifat Mekanik ……….. 22

2.7.1 Kekuatan Tekan (Compressive Strength) ……… 22

2.7.2 Kekerasan (Vickers Hardness) ……… 23

3.3.3 Sintesis Hidroksiapatit dengan Metode Hidrotermal …….. 30

3.3.4 Sintesis Komposit HA-Kitosan ………..………. 31

3.4 Karakterisasi Sampel ……….. 33

3.4.1 Uji XRD ……….. 33

3.4.2 Uji Sifat Mekanik ……… 33

3.4.2.1 Uji Kekuatan Tekan (Compressive Strength) …….. 33

3.4.2.2 Uji Kekerasan (Vickers Hardness) ………..… 34

3.4.3 Uji Viabilitas Sel ………. 34

3.5Analisis Data ………. . 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 36

4.1 Uji X-Ray Diffraction (XRD) ……… . 36

4.1.1 Kandungan CaCO3 pada Tulang Sotong ……… 36

4.1.2 Hidroksiapatit dari Proses Hidrotermal ………..…… 37

4.1.3 Hidroksiapatit Setelah Disintering ………..…… 39

4.1.4 Komposit HA-Kitosan ……… 43

4.2 Uji Sifat Mekanik Komposit HA-Kitosan ……….. 44

(12)

4.2.2 Uji Kekerasan (Hardness) ……… 47

4.3 Uji MTT Assay……… 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 53

DAFTAR PUSTAKA ……….. 55

(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

2.1 Karakteristik Biomekanik Tulang Sehat (Ficai et al., 2011)...10

2.2 Kandungan Tulang Sotong ….….….….….….….….….….….... 12

2.3 Sifat Mekanik Polikristal Hidroksiapatit (Park et al., 2007) .….. 13

3.1 Variasi Komposisi Komposit ….….…….….…….….….….…... 32

4.1 Kandungan Sampel Setelah Disintering ….….…….….…….…. 42

4.2 Hasil Uji Sifat Mekanik ….….…….….…….….….….…….….. 45

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Halaman

2.1 Tulang kortikal dan trabekular….….….….….….….….….…. 9

2.2 Sotong (cuttlefish) ….….….….….….….….….….….….….…. 11

2.3 Tulang sotong ….….….….….….….….….….….….….….…... 11

2.4 Struktur kitosan (Zilberman, 2011) ….….….….….….….….… 17

2.5 Spektrum XRD kitosan (Dewi, 2009) …...….….….….….….... 17

2.6 Difraksi sinar-X ….….….….….….….….….….….….….….… 21

2.7 Skema uji compressive strength ….….….….….….….….…... 23

2.8 Skema uji vickers hardness ….….….….….….….….….….….. 24

3.1 Skema pelaksanaan penelitian ….….….….….….….….….…... 29

4.1 Spektrum XRD bubuk lamellae tulang sotong (Sepia sp.) ….… 37

4.10 Spektrum XRD komposit (Sampel F1) .…….…….…….……... 43

4.11 Grafik kekuatan tekan sampel ….…….…….…….…….……... 45

4.12 Grafik kekerasan sampel ….…….…….…….……….…….…... 47

4.13 Grafik viabilitas sel ….…….…….…….……….…….…….….. 49

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Lampiran Halaman

1 Hasil Uji XRD Kandungan Tulang Sotong (Sepia sp.) 2 Hasil Uji XRD Hidroksiapatit dari Proses Hidrotermal

3 Hasil Uji XRD Hidroksiapatit Setelah Disintering

4 Hasil Uji XRD Komposit F1

5 Kekuatan Tekan (Compressive Strength) 6 Kekerasan (Hardness)

(16)

Ku persembahkan

Tinta dan kertas ini untuk Papa dan Mama tercinta

Yang darahnya mengalir dalam tubuh ini

Untuk bisikan do’a dalam setiap sujudmu

Untuk hadirmu dalam setiap bangkit dan jatuhku

Tugas kita bukanlah untuk berhasil Tugas kita adalah untuk mencoba

Karena di dalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terganggunya kesehatan dan fungsi organ dapat mengakibatkan

penurunan kualitas hidup manusia. Penanganan kerusakan fungsi pada beberapa

organ dilakukan dengan implantasi biomaterial. Biomaterial yang paling banyak

digunakan adalah untuk keperluan substitusi tulang, yaitu sebesar 46% dari total

keseluruhan aplikasi di bidang medis (Dewi, 2009). Berdasarkan data di Asia,

Indonesia adalah negara dengan jumlah penderita patah tulang tertinggi.

Diantaranya, ada sebanyak 300 – 400 kasus operasi bedah tulang per bulan di RS.

Dr. Soetomo Surabaya (Gunawarman dkk, 2010). Setiap tahun kebutuhan

substitusi tulang terus bertambah. Hal tersebut disebabkan meningkatnya

kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang, penyakit bawaan dan non-bawaan

(Ficai et al., 2011).

Kerusakan tulang merupakan masalah kesehatan yang serius karena tulang

merupakan penyokong fungsi tubuh. Dengan demikian, penggunaan material yang

tepat untuk penanganan kerusakan tulang merupakan faktor keberhasilkan

implantasi tulang. Material substitusi tulang yang ideal harus non-toksik,

biokompatibel dengan semua jaringan di sekitarnya, osteokonduktif,

mempertahankan sifat mekanik (Yildirim, 2004).

(18)

(penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari manusia lain),

xenograft (penggantian tulang manusia dengan tulang yang berasal dari hewan). Setiap material tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan sebagai material

untuk memperbaiki tulang. Kelemahan autograft adalah sering menyebabkan komplikasi dalam penyembuhan luka, operasi tambahan, nyeri pada donor dan

pasokan tulang tidak memadai untuk mengisi gap. Sedangkan allograft dan

xenograft terkait dengan reaksi infeksi, inflamasi, dan penolakan. Teknik allograft

yang menggunakan tulang mayat, memiliki masalah dalam reaksi imunogenik dan

resiko penyakit menular (AIDS dan hepatitis). Xenograft juga membawa resiko penyakit menular antar spesies (Wahl dan Czernuszka, 2006 dan Venkatesan et al., 2010). Keterbatasan tersebut memicu perkembangan riset di bidang biomaterial, yaitu dengan melakukan berbagai modifikasi pembuatan biomaterial

sintetik. Dengan biomaterial sintetik diharapkan karakter bahan diketahui secara

pasti dan terkontrol.

Hidroksiapatit (HA) telah dipelajari selama bertahun-tahun dan digunakan

secara luas untuk pembuatan implan karena kesamaannya dengan fase mineral

tulang dan terbukti biokompatibel dengan tulang dan gigi manusia (Ivankovic,

2010 dan Earl, 2006). Hidroksiapatit dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)2 adalah

komponen anorganik utama dari jaringan keras tulang dan menyumbang 60-70%

dari fase mineral dalam tulang manusia. Hidroksiapatit mampu menjalani ikatan

osteogenesis dan relatif tidak larut in vivo. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa HA tidak menunjukkan toksisitas, respon peradangan, respon pirogenetik

(19)

dan tulang sangat baik, dan memiliki kemampuan menjalin ikatan langsung

dengan tulang host. Hidroksiapatit menunjukkan sifat bioaktif dan osteokonduktif yang sangat bermanfaat dalam proses mineralisasi tulang.

Hidroksiapatit yang disintesis dari bahan alam memiliki

osteokonduktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan dari bahan sintetik

(Saraswathy, dalam Dewi, 2008). Bahan alam yang dapat digunakan untuk

sintesis HA adalah tulang sotong. Tulang sotong (Sepia sp.) merupakan residu budidaya perikanan yang biasanya dimanfaatkan sebagai pakan burung dan

kura-kura sebagai asupan kalsium. Dengan harganya yang terjangkau, 85% kalsium

karbonat (CaCO3) yang terkandung dalam tulang sotong dapat dimanfaatkan

sebagai sumber kalsium dalam sintesis HA yang ekonomis dan dapat dijangkau

oleh masyarakat luas.

Scaffolds HA dari tulang sotong pertama kali disintesis pada tahun 2005 oleh Rocha et al. dengan metode hidrotermal pada suhu 200ºC. Hasil uji scaffolds

tersebut menunjukkan stabilitas termal yang tinggi. Selain itu, hasil uji in vitro

bioaktivitas pada SBF dan biokompatibilitas dengan osteoblas, menunjukkan

scaffolds HA dari tulang sotong cocok untuk aplikasi implan atau rekayasa jaringan.

Dalam pengaplikasiannya, biokeramik seperti HA dan trikalsium fosfat

(TKF) bersifat rapuh. Oleh karena itu, kalsium fosfat digunakan pada area dengan

tensile stress yang relatif rendah, seperti pengisi tulang dan gigi, atau pelapis pada perangkat implan (Wahl dan Czernuszka, 2006). Padahal, tulang yang sering

(20)

menopang berat tubuh ketika seseorang berdiri. Dengan demikian, kekuatan

mekanik juga turut memegang peran penting. Untuk menyempurnakan sifat

mekanik HA dapat dilakukan modifikasi dengan menambahkan polimer sebagai

serat/filler.

Kitosan adalah salah satu polimer alami yang berpotensi untuk digunakan

sebagai serat/filler dalam pembuatan komposit. Kitosan memiliki karakter bioresorbabel, biokompatibel, non-toksik, non-antigenik, biofungsional dan

osteokonduktif. Karakter osteokonduktif yang dimiliki kitosan dapat mempercepat

pertumbuhan osteoblas pada komposit HA-kitosan sehingga dapat mempercepat

pembentukan mineral tulang.

Pramanik et al. (2009) mensintesis nano-komposit HA-kitosan dengan cara pelarutan sederhana berdasarkan metode kimia. Variasi HA yang dilakukan

dari 10% hingga 60%. Hasil penelitian menunjukkan sifat mekanik komposit

meningkat secara signifikan seiring dengan pertambahan jumlah HA.

Nano-komposit yang dihasilkan juga bersifat sitokompatibel, osteokompatibel, dan

osteogenik, sehingga dapat digunakan untuk aplikasi bone tissue engineering. Namun, sekitar 70% penyusun tulang manusia merupakan senyawa kalsium

fosfat, sehingga pada penelitian ini akan dilakukan sintesis komposit HA dari

tulang sotong (Sepia sp.)-kitosan dengan variasi HA : kitosan = (80 : 20), (75 : 25), (70 : 30), (65 : 35). Komposit diharapkan memiliki sifat mekanik yang baik

untuk tujuan aplikasi bone filler. Selain itu, diharapkan penambahan kitosan dapat meningkatkan osteokonduktifitas HA, sehingga dapat mempercepat pembentukan

(21)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sifat mikro HA yang disintesis dari tulang sotong dan komposit

HA-kitosan?

2. Pada komposisi komposit berapakah diperoleh sifat mekanik terbaik untuk

tujuan aplikasi bone filler?

3. Bagaimana pengaruh penambahan kitosan terhadap viabilitas sel?

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, HA disintesis dari tulang sotong dengan metode

hidrotermal pada suhu 200ºC selama 12, 24, dan 36 jam. HA yang dihasilkan,

kemudian digunakan untuk sintesis komposit HA-kitosan dengan variasi HA :

kitosan = (80 : 20), (75 : 25), (70 : 30), (65 : 35). Sifat mikro HA dan komposit

HA-kitosan dapat diketahui dengan melakukan karakterisasi XRD. Untuk

mengetahui komposisi komposit terbaik, dilakukan uji kekuatan tekan dan

kekerasan. Sedangkan untuk mengetahui pengaruh penambahan kitosan terhadap

viabilitas sel dilakukan uji MTT assay.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sifat mikro HA yang disintesis dari tulang sotong dan komposit

HA-kitosan dari hasil uji XRD.

2. Mengetahui komposisi komposit HA-kitosan dengan sifat mekanik terbaik

untuk aplikasi bone filler.

(22)

1.5 Manfaat Penelitian

1. Memberikan dasar teori tentang sifat mikro, mekanik dan biologis dari

komposit HA-kitosan.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang

Tulang merupakan jaringan kuat pembentuk kerangka tubuh manusia.

Tulang memiliki empat fungsi utama yaitu fungsi mekanik, protektif, metabolik

dan hemopetik. Fungsi mekanik yaitu sebagai penyokong tubuh dan tempat

melekatnya jaringan otot untuk pergerakan. Fungsi protektif yaitu sebagai

pelindung berbagai alat vital dalam tubuh dan sumsum tulang. Fungsi metabolik

yaitu sebagai cadangan dan tempat metabolisme berbagai mineral yang penting

seperti kalsium dan fosfat. Fungsi hematopoietik yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses pembentukan dan perkembangan sel darah (Leeson et al., dalam Dewi, 2009). Dengan demikian, penggunaan material yang tepat

merupakan faktor keberhasilan implantasi tulang.

2.1.1 Komposisi Tulang

Tulang manusia tersusun dari komponen organik dan inorganik.

Komponen organik pada tulang sekitar 30% yang sebagian besarnya adalah

kolagen (protein). Bahan organik lain seperti polisakarida dan lemak terdapat

dalam jumlah yang kecil. Komponen anorganik yaitu mineral tulang yang

sebagian besar terdiri dari senyawa kalsium fosfat sekitar 70% (Prabakan, dalam

Zulti 2008). Kalsium fosfat yang utama dikenal sebagai hidroksiapatit (HA)

(24)

karbon ditemukan di antara mineral tulang. Karbonat juga terdapat pada tulang.

Kombinasi yang demikian memberikan fungsi mekanik yang dibutuhkan oleh

tulang untuk penyangga tubuh dan pendukung gerakan, karena HA yang tumbuh

berada di dekat setiap segmen serat kolagen yang terikat kuat untuk menjaga

kekuatan tulang (Guyton et al., dalam Prasetyanti, 2008).

2.1.2 Sel Tulang

Sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan

resorpsi tulang :

1. Osteoblas adalah sel yang menyintesis unsur organik tulang. Sel ini

bertanggung jawab untuk pembentukan tulang-tulang baru selama

pertumbuhan, perbaikan dan membentuk kembali tulang.

2. Osteosit adalah sel matang yang mengisi lakuna dalam matriks.

3. Osteoklas adalah sel yang bertanggung jawab untuk menghancurkan dan

membentuk kembali tulang.

2.1.3 Sifat Fisis dan Mekanik Tulang

Porositas dan kerapatan tulang bervariasi bergantung pada lokasi dalam

tubuh dan pembebanan di daerah tersebut. Kerapatan menentukan kekuatan dan

kekakuan tulang yang tumbuh berkembang untuk menahan beban yang ada

(Smallman, dalam Rismawati, 2008).

Berdasarkan porositasnya, tulang dapat diklasifikasikan menjadi tulang

(25)

tersebut memiliki komposisi yang sama. Jumlah tulang kortikal dan tulang

cancellous relatif bervariasi bergantung pada jenis tulang dan bagian yang berbeda dari tulang yang sama.

1. Tulang kortikal (kompak) adalah jaringan yang tersusun rapat dan terutama

ditemukan sebagai lapisan di atas jaringan tulang cancellous. Tulang kortikal terletak di bagian eksternal tulang panjang. Porositasnya bergantung pada

saluran mikroskopik (kanalikuli) yang mengandung pembuluh darah, yang

berhubungan dengan saluran havers.

2. Tulang cancellous disebut juga tulang bersepon, atau tulang trabekular. Struktur tulang cancellous menyerupai kisi yang terdiri dari batang tulang tipis atau trabekular yang menutupi ruang sumsum. Tulang cancellous

terletak di bagian internal tulang kortikal.

Pada dasarnya, keseluruhan tulang dan sebagian besar tubuh terdiri dari

bagian eksternal tulang kortikal sebesar 80% dari total kerangka dan bagian

internal tulang cancellous yang seperti spons, sebesar 20% dari total kerangka (Kofron, dalam Zilberman, 2011).

Gambar 2.1 Tulang kortikal dan trabekular

(26)

Tulang kortikal memiliki porositas ≤ 30%. Sebagai contoh, porositas

tulang kortikal pada femur orang dewasa dapat bervariasi, yaitu sekitar 5% untuk

usia 20 tahun ke atas, dan 30% pada usia 80 tahun. Sedangkan porositas tulang

cancellous dapat bervariasi dari 70% pada femoral neck dan sekitar 95% pada tulang belakang (Keaveny et al., 2004).

Umumnya, densitas rata-rata tulang kortikal sekitar 1,85 g/cm3, dan tidak

jauh berbeda di berbagai lokasi anatomi dan spesies. Sebaliknya, densitas rata-rata

tulang cancellous sangat bergantung pada lokasi anatomi. Sekitar 0,10 g/cm3

untuk tulang belakang, sekitar 0,30 g/cm3 untuk tibia, dan sekitar 0,60 g/cm3

untuk bagian yang menahan beban dari femur proksimal. Setelah kematangan

kerangka (sekitar usia 25 sampai 30 tahun), densitas tulang cancellous menurun mengikuti penuaan dengan tingkat sekitar 6% per dekade (Keaveny et al., 2004). Sedangkan tensile strength tulang kortikal sebesar 45-175 MPa, dan tulang

cancellous sebesar 7,4 MPa (Oktay, dalam Rismawati, 2008).

Kekerasan (vickers hardness) rata-rata tulang kortikal adalah 0,396 GPa atau 40,4kgf/mm2, sedangkan tulang cancellous adalah 0,345 GPa atau 35,2

kgf/mm2 (Pramanik et al., 2005).

Tabel 2.1 Karakteristik Biomekanik Tulang Sehat (Ficai et al., 2011) Tulang

kortikal cancellousTulang Modulus Young’s (Tensile) Modulus (GPa) 7-30 0.05-0.5

(27)

2.2 Kandungan Tulang Sotong

Sotong atau cuttlefish adalah binatang yang hidup di perairan dangkal, kurang dari 200 meter. Berikut klasifikasi ilmiah sotong menurut Linnaeus, 1758

(http://data.gbif.org/species/browse/taxon/109543829/).

Kingdom : Animalia

Phylum : Mollusca

Class : Cephalopoda Subclass : Coleoidea Order : Sepiida Family : Sepiidae Genus : Sepia Species : Sepia sp.

Gambar 2.2 Sotong (cuttlefish)

Gambar 2.3 Tulang sotong

Komponen utama dari tulang sotong adalah kalsium karbonat (CaCO3)

(28)

kemungkinan besar adalah karbohidrat. Isi nitrogen dari 8.300 mg/kg

Hidroksiapatit (HA) adalah komponen anorganik utama dari jaringan keras

tulang dan menyumbang 60-70% dari fase mineral dalam tulang manusia. Rumus

kimia HA adalah Ca10(PO4)6(OH)2 yang memiliki rasio Ca : P adalah 1,67.

Struktur HA adalah heksagonal. Dimensi parameter kisi HA pada tulang adalah

nilai a = b = 9,419 Å dan c = 6,880 Å dan sudut α = β = 90o dan γ =120o (Shi,

(29)

Tabel 2.3. Sifat Mekanik Polikristal Hidroksiapatit (Park et al., 2007)

Hidroksiapatit telah dipelajari selama bertahun-tahun dan digunakan

secara luas untuk pembuatan implan karena kesamaannya dengan fase mineral

tulang dan terbukti bersifat biokompatibel dengan tulang dan gigi manusia

(Ivankovic et al., 2010 dan Earl et al., 2006). Hidroksiapatit mampu menjalani ikatan osteogenesis dan relatif tidak larut in vivo. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa HA tidak menunjukkan toksisitas, respon peradangan,

respon pirogenetik. Selain itu, pembentukan jaringan fibrosa antara implan dan

tulang sangat baik, memiliki kemampuan menjalin ikatan langsung dengan tulang

host, serta bioaktif dan osteokonduktif (Hui et al., 2010). Sifat bioaktif dan osteokonduktif dapat merangsang sel tulang di sekitar material implan untuk

berinfiltrasi sehingga dapat mempercepat proses mineralisasi tulang baru (Hin,

dalam Dewi, 2009).

Sintesis HA telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Berbagai metode

dan prekursor sudah ditemukan untuk menghasilkan HA. Metode yang dapat

dilakukan yaitu metode hidrotermal, metode basah melalui presipitasi, dan metode

kering dengan perlakuan temperatur tinggi.

Earl et al. (2006) melakukan sintesis HA dari Ca(NO3)2.4H2O dan

(30)

memberikan perlakuan panas dan tekanan pada proses sintesis HA. Temperatur

yang digunakan yaitu 200°C dengan variasi waktu pada 24, 48, dan 72 jam. Hasil

eksperimen dianalisis dengan XRD. Spektrum XRD menunjukkan pada waktu

perlakuan 48 dan 72 jam terbentuk fase HA namun terdapat monetit (CaHPO4).

Fase tunggal HA terbentuk pada waktu perlakuan 24 jam.

Sumber prekursor untuk menghasilkan HA juga dapat diperoleh dari

bahan alam. Bahan alam yang mulai dikembangkan yaitu koral, kerang, cangkang

telur dan tulang sotong. Penggunaan bahan tersebut sebagai sumber kalsium.

Sebagian besar kandungan yang terdapat pada bahan tersebut adalah kalsium

karbonat (CaCO3). Penelitian in vivo menunjukkan HA dari bahan alam memiliki

osteokonduktif yang lebih baik dibandingkan dengan dari bahan sintetik

(Saraswathy, dalam Dewi, 2008).

Scaffolds HA dari tulang sotong pertama kali disintesis pada tahun 2005 oleh Rocha et al. CaCO3 dari tulang sotong (Sepia officinalis) dan (NH4)2HPO4

direaksikan dengan metode hidrotermal menggunakan autoklaf (teflon lined stainless steel) yang kemudian dimasukkan ke dalam furnace elektrik. Temperatur hidrotermal sebesar 200ºC (tingkat pemanasan dan pendinginan 5°C/menit)

dengan variasi waktu 1-24 jam. Hasil uji XRD menunjukkan scaffolds HA terbaik diperoleh pada waktu 24 jam, sedangkan pada waktu perlakuan 9 jam masih

ditemukan CaCO3. Scaffolds HA yang dihasilkan juga menunjukkan stabilitas

termal yang tinggi pada sintering hingga 1350°C. Selain itu, hasil uji in vitro

(31)

scaffolds HA dari tulang sotong cocok untuk aplikasi implan atau rekayasa jaringan.

Paljar et al. (2009) memisahkan terlebih dahulu bagian dorsal dan

lamellae tulang sotong (Sepia officinalis), kemudian diberi perlakuan panas pada 350°C selama 3 jam. Hasil karakterisasi XRD menunjukkan setelah perlakuan

panas, sebagian kandungan aragonit pada bagian dorsal berubah menjadi kalsit, sehingga untuk mensintesis HA digunakan tulang sotong bagian lamellae dan NH4H2PO4. Aragonit berubah cepat dan bertransformasi menjadi HA dengan

metode hidrotermal pada 200°C selama 24 jam.

Elisa et al. (2010) melakukan sintesis HA dari tulang sotong (Sepia officinalis) dengan transformasi hidrotermal pada 200oC dengan tekanan sekitar

15 atm selama 4 jam. Uji proliferasi sel dan diferensiasi osteogenic dengan sel osteoblas MC3T3-E1 menunjukkan kinerja yang baik.

Ivankovic et al. (2010) mensintesis HA dari tulang sotong (Sepia officinalis) dan NH4H2PO4 dengan transformasi hidrotermal dengan variasi suhu

antara 140–220oC dan variasi waktu antara 20 menit-48 jam dengan menggunakan

bejana tekan dan tertutup (teflon lined stainless steel) pada furnace elektrik. Spektrum difraksi sinar-X sampel setelah pelakuan hidrotermal 140°C, 160°C,

dan 180°C selama 20 menit menunjukkan bahwa terbentuk HA dengan

kekristalan yang buruk dan brushite (CaHPO4.2H2O). Sedangkan pada sampel

yang diberi perlakuan 200ºC brushite tidak terdeteksi. Selain itu, peneliti mengungkapkan bahwa pada sampel yang diberi perlakuan hidrotermal pada

(32)

(CaCO3), sedangkan sampel pada 200°C selama 24 jam keseluruhan aragonit

berubah menjadi HA. Di sisi lain, sampel dengan 220°C selama 24 jam

mengandung 97,9% berat HA dan 2,1% berat aragonit, sedangkan perlakuan

selama 48 jam, jumlah HA menurun karena terbentuk monetite (CaHPO4)

sebanyak 3,2% berat.

Dalam pengaplikasiannya, biokeramik seperti HA dan trikalsium fosfat

(TKF) bersifat rapuh. Oleh karena itu, kalsium fosfat digunakan pada area dengan

tensile stress yang relatif rendah, seperti pengisi tulang dan gigi, atau pelapis pada perangkat implan (Wahl dan Czernuszka, 2006). Padahal, tulang yang sering

mengalami patah di antaranya adalah tibia dan fibula (Ficai et al., 2011) yang menopang berat tubuh ketika seseorang berdiri. Dengan demikian, kekuatan

mekanik juga turut memegang peran penting. Untuk menyempurnakan sifat

mekanik HA dapat dilakukan modifikasi dengan menambahkan polimer sebagai

serat/filler.

2.4 Kitosan

Kitosan (C6H11NO4)n merupakan polimer alami yang berpotensi

digunakan sebagai serat/filler dalam pembuatan komposit. Kitosan banyak terdapat di alam dan dapat diperoleh dari eliminasi asetil kitin. Kitosan dapat

diekstrak dari kepiting atau udang.

Kitosan merupakan aminopolysaccharide dengan struktur mirip dengan selulosa (Kalinnikov, dalam Barinov, 2010). Kitosan memiliki karakter

(33)

dalam air, alkali dan pelarut organik, tetapi larut dalam larutan asam organik dan

dapat terdegradasi oleh enzim dalam tubuh (Dewi, 2008). Selain itu, kitosan

memiliki karakter biokompatibel, biodegradabel, dan osteokonduktif (Liu et al., 2006). Karakter osteokonduktif yang dimiliki kitosan dapat mempercepat

pertumbuhan osteoblas sehingga dapat mempercepat pembentukan mineral tulang.

Gambar 2.4 Struktur kitosan (Zilberman, 2011)

Hasil difraksi sinar-X dari kitosan yang dilakukan oleh Dewi (2009)

ditunjukkan pada Gambar 2.5. Puncak difraksi terjadi pada sudut 20o dengan nilai

lebar setengah puncak (FWHM) yang tinggi. Besarnya nilai FWHM menunjukkan

bahwa kristalinitas kitosan rendah.

(34)

Khan et al. (2000) membuat film kitosan dengan melarutkan kitosan (1,4%b/v) dalam larutan asam asetat (2%b/v). Derajat deasetilasi kitosan yang

digunakan yaitu (84,05±0,17)%. Hasil uji sifat mekanik sampel menunjukkan

tensile strength sebesar (67,11±1,27) N/mm2 dan elongasi sebesar (21,35±2,12)%.

2.5 Komposit Hidroksiapatit-Kitosan

Modifikasi untuk menyempurnakan sifat mekanik HA dapat dilakukan

dengan menambahkan kitosan untuk membentuk komposit. Penambahan kitosan

sebagai filler diharapkan dapat mengurangi sifat rapuh dari senyawa apatit sehingga menghasilkan komposit yang ulet, tahan terhadap tekanan,

biodegradabel, serta mempercepat pertumbuhan osteoblas dan pembentukan

mineral tulang.

Li et al. (2005) mensintesis komposit kitosan-nanoHA (n-HA) dengan metode co-presipitasi menggunakan Ca(OH)2, H3PO4 dan kitosan. Variasi

perbandingan berat kitosan yang dilakukan yaitu antara 20-80%. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa HA yang disintesis adalah kristal berkarbonat, berskala

nanometer dengan kristalinitas yang rendah dan tersebar merata dalam fase

kitosan dan tanpa ada pemisahan. Nilai kekuatan tekan maksimum yang diperoleh

dari sampel komposit dengan perbandingan berat kitosan : n-HA = 30 : 70, yaitu

sekitar 120 MPa, jauh berbeda dengan HA murni yaitu 6,5 MPa. Sampel tersebut

menunjukkan biodegradabilitas dan bioaktivitas yang tinggi ketika direndam

(35)

Lestari (2009) mensintesis komposit apatit-kitosan dengan metode in-situ

dan ex-situ. Perbedaan kedua metode ini terletak pada proses penambahan kitosan saat presipitasi sampel berlangsung. Pada metode in-situ proses pembentukan mineral apatit dilakukan dalam matriks kitosan. Sedangkan metode ex-situ, penambahan larutan kitosan dilakukan setelah proses presipitasi selesai dilakukan.

Hasil karakterisasi XRD pada sampel in-situ dan ex-situ memperlihatkan puncak HA, Apatit Karbonat tipe A (AKA), Apatit Karbonat tipe B (AKB), Okta Kalsium

Fosfat (OKF) dan kitosan. Hal tersebut menandakan bahwa komposit

apatit-kitosan berhasil terbentuk. Hasil XRD juga menunjukkan penurunan derajat

kristanilitas pada sampel komposit apatit-kitosan dibandingkan dengan sampel

apatit yang dikarenakan kitosan bersifat lebih amorf dibandingkan apatit. Namun,

derajat kristanilitas sampel ex-situ lebih besar dibandingkan in-situ. Hal tersebut dikarenakan proses pembentukan apatit tidak dihalangi oleh kitosan.

Pramanik et al. (2009) mensintesis nano-komposit HA-kitosan fosfat dengan cara pelarutan sederhana berdasarkan metode kimia. Variasi HA yang

dilakukan dari 10% hingga 60%. Hasil penelitian menunjukkan sifat mekanik

komposit meningkat secara signifikan seiring dengan pertambahan jumlah HA.

Uji sitotoksisitas dengan sel fibroblast mencit L929 menegaskan bahwa

nanokomposit bersifat sitokompatibel. Penelitian dengan kultur sel osteoblas

primer mencit membuktikan nanokomposit bersifat osteokompatibel dan

osteogenik. Penggunaan kitosan fosfat meningkatkan homogenitas distribusi

(36)

Dewi (2009) mensintesis komposit kalsium fosfat-kitosan dengan

menggunakan metode sonikasi. Pembuatan komposit dilakukan variasi

perbandingan kalsium fosfat (HA dan campuran HA-Apatit Karbonat(AK))

dengan kitosan yaitu (80 : 20)% dan (70 : 30)%. Kalsium fosfat yang digunakan

juga dilakukan variasi perbandingan HA dan campuran HA-AK yaitu (80 : 20)%

dan (70 : 30)%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penggunaan kitosan 30%

mengindikasikan adanya kitosan yang tidak berinteraksi dengan kristal apatit,

sehingga komposit yang optimal diperoleh dengan komposisi HA (64%),

campuran HA-AK (16%) dan kitosan (20%).

Ketika komposit HA-kitosan digunakan sebagai scaffold dan diimplankan ke tubuh, maka kitosan akan terdegradasi membentuk pori dan memberi ruang

untuk pertumbuhan tulang baru dan kemudian digantikan dengan tulang baru.

Selain itu, kitosan juga bersifat hidrofilik, sehingga dapat memfasilitasi adesi,

proliferasi dan diferensiasi sel. Dengan demikian, penggunaan komposit

HA-kitosan untuk substitusi tulang dapat mengaktifkan regenerasi dan remodelling

tulang (Li et al., 2005).

2.6 X-Ray Diffraction (XRD)

Metode XRD berdasarkan sifat difraksi sinar-X, yaitu hamburan cahaya

dengan panjang gelombang λ saat melewati kisi kristal dengan sudut datang θ dan

jarak antar bidang kristal sebesar d (Gambar 2.6). Data yang diperoleh dari metode karakterisasi XRD adalah sudut hamburan (sudut Bragg) dan intensitas.

(37)

sehingga mempengaruhi spektrum difraksi, sedangkan intensitas cahaya difraksi

bergantung dari berapa banyak kisi kristal yang memiliki orientasi yang sama.

Metode XRD dapat digunakan untuk menentukan sistem kristal, parameter kisi,

derajat kristalinitas dan fase yang terdapat dalam suatu sampel.

Puncak spektrum difraksi sinar-X berhubungan dengan jarak antar bidang.

Terlihat pada Gambar 2.6 jalannya sinar-X yang melalui kisi kristal. Syarat

terjadinya difraksi harus memenuhi hukum Bragg yang ditunjukkan pada

Persamaan (2.1).

2𝑑𝑠𝑖𝑛𝜃= 𝑛𝜆 (2.1)

dengan d, θ, dan λ berturut-turut adalah jarak antar bidang kristal, panjang gelombang dan sudut datang cahaya. Jika atom tersusun periodik dalam kristal,

gelombang terdifraksi akan terdiri dari interferensi maksimum tajam (peak).

Gambar 2.6 Difraksi sinar-X

XRD dapat memberi informasi secara umum baik secara kuantitatif

maupun secara kualitatif tentang komposisi fasa (misal dalam campuran). Hal

(38)

intensitas puncak, dan distribusi intensitas sebagai fungsi dari sudut difraksi. Tiga

informasi tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi fasa yang terdapat

dalam suatu bahan. Setiap bahan memiliki spektrum difraksi yang khas seperti

sidik jari manusia. Spektrum difraksi sinar-X berbagai bahan telah dikumpulkan

dalam data ICDD (International Centre of Diffraction Data). Salah satu analisis komposisi fasa dalam suatu bahan adalah dengan membandingkan spektrum XRD

terukur dengan data tersebut.

Untuk menentukan prosentase komposisi senyawa dalam suatu sampel

digunakan persamaan sebagai berikut.

% 𝑆𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 = 𝛴𝐼 (𝑆𝑒𝑛𝑦𝑎𝑤𝑎 )

𝐼 (𝐾𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢 ℎ𝑎𝑛) × 100% (2.2)

dengan ΣI (Senyawa) adalah jumlah intensitas yang puncak difraksinya sesuai

dengan data ICDD senyawa tertentu dan I (Keseluruhan) adalah jumlah intensitas

dari semua puncak difraksi suatu sampel.

2.7 Analisis Sifat Mekanik

Beberapa parameter material yang dibutuhkan agar dapat digunakan

sebagai bahan implan antara lain sifat mekanik yang meliputi kekuatan tekan

(compressive strength) dan kekerasan (hardness).

2.7.1 Kekuatan Tekan (Compressive Strength)

Kekuatan tekan (compressive strength) merupakan gaya maksimum yang diberikan untuk merusak atau mematahkan bahan. Salah satu cara untuk

(39)

dengan memberi beban tekanan secara diametral pada sampel yang berbentuk

silinder atau disk. Skema diametral compression test ditunjukkan oleh Gambar 2.7. Besarnya kekuatan tekan dapat dihitung dengan Persamaan (2.3).

𝜎 = 2𝑃

𝜋𝑡𝑑 (2.3)

Dengan  = Kekuatan tekan (Pa)

P = Beban untuk mematahkan/memecah sampel (N)

t = Tebal sampel (m)

d = Diameter sampel (m)

Gambar 2.7 Skema uji compressive strength

2.7.2 Kekerasan (Vickers Hardness)

Kekerasan (hardness) merupakan ukuran ketahanan bahan terhadap deformasi tekan atau penetrasi yang bersifat tetap (permanen). Prinsip pengukuran

Vickers Hardness adalah aplikasi dari pembebanan dengan penekanan pada permukaan sampel menggunakan intan berbentuk piramid dengan posisi sudut

kemiringan 136. Skema pengukuran kekerasan (Vickers Hardness Test)

ditunjukkan oleh Gambar 2.8. Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan pada

(40)

paramid 1), D2 (panjang diagonal paramid 2), P (Beban) dan VHN (Vickers Hardness Numbers) dengan menggunakan Persamaan (2.4).

VHN = 1,854 𝑃

𝑑2 (2.4)

Keterangan :

VHN = bilangan kekerasan vickers

P = beban atau gaya (kgf)

d = panjang diagonal (mm)

Gambar 2.8 Skema uji vickers hardness

2.8 MTT Assay

Kultur sel adalah suatu proses dimana sel prokariotik, eukariotik atau sel

tanaman yang dikembangkan dalam kondisi yang terkontrol. Sel kultur merujuk

kepada sebuah kultur yang berasal dari sel yang dipisahkan dari jaringan asal, dari

kultur primer atau dari cell line atau cell strain dengan cara enzimatik, mekanikal atau penguraian kimia (Aprilia, 2008).

Secara teori, sel apapun dapat dikultur, namun tidak semua sel mampu

bertahan di dalam lingkungan buatan yang dikenal sebagai media kultur. Media

(41)

kultur sangat bervariasi dalam kandungan konsentrasi glukosa, faktor

pertumbuhan, pH dan komponen nutrisi lainnya. Selain itu untuk menjaga

pertumbuhan sel juga diperlukan temperatur dan pencampuran gas yang tepat

(Aprilia, 2008).

Viabilitas adalah kemampuan untuk hidup setelah lahir. Berbagai macam

assay telah dikembangkan untuk mempelajari viabilitas dan proliferasi dalam populasi sel. Assay yang modern yang paling tepat adalah assay dengan format

microplate (96-well plates). Parameter yang paling penting dalam assay microplate ini adalah aktivitas metabolik. Kerusakan selular pasti akan menghasilkan hilangnya kemampuan sel untuk mengatur dan menyediakan energi

untuk fungsi metabolik dan perkembangan sel. Berdasarkan alasan tersebut maka

assay aktivitas metabolik dikembangkan. Salah satu metode dari assay aktivitas metabolik adalah dengan menggunakan substrat colorimetric MTT (Harsas, 2008).

MTT (3-(4, 5-dimethylthiazol-2-yl) 2, 5-diphenyl tetrazolium bromide)

assay adalah tes laboratorium dan assay colorimetric standard (sebuah assay yang mengukur perubahan warna) untuk mengukur pertumbuhan selular. Tes ini juga

digunakan untuk menentukan sitotoksisitas dari agen medikal dan material toksik

lainnya. Assay ini pertama kali diperkenalkan oleh Mosmann pada tahun 1983 dan didasarkan oleh enzim dehidrogenase mitokondrial sel viable (hidup) yang mengubah cincin tetrazolium MTT kuning dan membentuk kristal formazan biru

gelap yang tidak dapat menembus membran sel, sehingga akan terakumulasi di

(42)

dengan tingkat pembentukan formazan. Perubahan warna yang terjadi dapat

dihitung dengan menggunakan assay colorimetric sederhana, dibaca dengan menggunakan microplate reader. Hasil pembacaan microplate reader yang berupa nilai absorbansi (OD) dinyatakan dalam persentase terhadap kelompok

kontrol sebagai viabilitas cell line dengan menggunakan persamaan dari In vitro Technologies sebagai berikut (Harsas, 2008) :

𝑉𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠𝑆𝑒𝑙

(% 𝑑𝑎𝑟𝑖𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙)=

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑙𝑎𝑘𝑢𝑎𝑛

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑎𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 (2.5)

Jika persentase viabilitas sel masih di atas 60%, maka material yang dipaparkan

pada sel tersebut dikatakan tidak toksik, kerana OD dari perlakuan masih

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan pada tahun 2012. Pembuatan

sampel hidroksiapatit (HA) dan komposit HA-kitosan dilakukan di Laboratorium

Fisika Material FSAINTEK UNAIR dan Laboratorium Studi Energi dan

Rekayasa ITS. Uji XRD dilakukan di Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FTI

ITS. Kompaksi sampel dilakukan di Laboratorium Farmasi UNAIR. Uji kekuatan

tekan dilakukan di Laboratorium Dasar Bersama (LDB) UNAIR. Uji kekerasan

dilakukan di Laboratorium Fisika Zat Padat FMIPA ITS. Uji MTT Assay

dilakukan di Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) Surabaya.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam pembuatan sampel pada penelitian ini yaitu

tulang sotong (Sepia sp.), amonium dihidrogen fosfat (NH4H2PO4), aquades,

kitosan (Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan IPB), asam asetat

(CH3COOH) 3%, Orthophosphoric acid (H3PO4) 85%, metanol P.A.

Bahan yang digunakan untuk MTT assay yaitu media Eagle’s, fibroblast cell line Baby Hamster Kidney-21 (BHK-21), Fetal Bofine Serum (FBS),

(44)

fungizone, larutan MTT (3-(4,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide), Dimethyl Sufoxide (DMSO).

3.2.2 Alat Penelitian

Alat yang digunakan untuk pembuatan sampel pada penelitian ini yaitu

High Energy Milling HEM-E3D, cawan porselen, neraca analitik, hot plate,

magnetic stirrer, beaker glass, gelas ukur, pipette, reaktor (bejana tekan tertutup terbuat dari stainless steel), oven elektrik, pH meter, centrifuge, furnace, mortar.

Alat yang digunakan untuk karakterisasi sampel yaitu difraktometer

sinar-X PANalytical X'Pert PRO untuk uji XRD, Autograph untuk uji kekuatan tekan,

Microvickers Hardness untuk uji kekerasan. Sedangkan alat yang digunakan untuk MTT Assay yaitu laminar flow, botol kultur roux, mikropipet, 96-microwell plate, inkubator, Elisa reader.

3.3 Prosedur Penelitian

Tahap pelaksanaan penelitian ini yaitu ekstraksi CaCO3 dari tulang sotong,

persiapan bahan, sintesis hidroksiapatit, sintesis komposit hidroksiapatit-kitosan,

(45)

Gambar 3.1 Skema pelaksanaan penelitian

3.3.1 Ekstraksi CaCO3 dari Tulang Sotong (Sepia sp.)

Untuk mendapatkan CaCO3, bagian lamela tulang sotong (Sepia sp.)

dijadikan bubuk dengan HEM-E3D, kemudian dipanaskan pada suhu 350°C Karakterisasi XRD

Persiapan Bahan

(CaCO3 1M dan NH4H2PO4 0,6M)

Sintesis HA dengan Variasi Durasi Hidrotermal

Karakterisasi XRD

Sintering, 1000 °C, 1 jam

Karakterisasi XRD

Sintesis Komposit HA-Kitosan dengan Variasi Komposisi

Karakterisasi :

- Uji kekuatan tekan - XRD

- Uji kekerasan - MTT Assay

Analisis Data Ya

Tidak

(46)

selama 3 jam untuk menghilangkan komponen organik. Kemudian dilakukan

karakterisasi XRD untuk memastikan kandungan CaCO3.

3.3.2 Persiapan Bahan

CaCO3 (Mr = 100) 1M diperoleh dengan menambahkan 100 gram CaCO3

ke dalam 1 liter aquades. Sedangkan larutan NH4H2PO4 (Mr = 115) 0,6 M dibuat

dengan melarutkan 69 gram ke dalam 1 liter aquades.

3.3.3 Sintesis Hidroksiapatit dengan Metode Hidrotermal

Senyawa hidroksiapatit (HA) diperoleh dengan mereaksikan prekursor

kalsium (Ca) dan prekursor fosfat (P) dengan Ca : P = 10 : 6. Prekursor Ca

diperoleh dari CaCO3 dari tulang sotong 1M, sedangkan prekursor P diperoleh

dari senyawa NH4H2PO4 0,6 M. Reaksi yang akan terjadi adalah sebagai berikut.

10 CaCO3 + 6 NH4H2PO4 + 2H2O  Ca10(PO4)6(OH)2 + 3 (NH4)2CO3 + 7 H2CO3

Berikut tahapan sintesis dengan metode hidrotermal.

1. CaCO3 1M dan larutan NH4H2PO4 0,6M dicampur dengan magnetic stirrer

selama 30 menit.

2. Campuran larutan dipindahkan ke reaktor.

3. Reaktor dimasukkan ke dalam oven elektrik untuk dipanaskan hingga suhu

200oC dengan variasi durasi, yaitu 12 jam, 24 jam, dan 36 jam, dengan nama

sampel berurutan yaitu sampel A, B, dan C.

(47)

5. Sampel dicuci dengan aquades menggunakan magnetic stirrer. Pencucian dilakukan berulang kali hingga hasil reaksi terpisah dengan aquades,

ditunjukkan oleh pH yang kembali menjadi 7. Hal tersebut dilakukan untuk

menghilangkan hasil sampingan yang bersifat asam.

6. Pencucian yang terakhir dilakukan dengan metanol untuk membatasi

aglomerasi partikel HA selama pengeringan.

7. Sampel dikeringkan dalam oven elektrik pada suhu 50oC selama 4 jam.

8. Sampel A, B, dan C dikarakterisasi XRD untuk memastikan terbentuknya HA

pada masing-masing sampel.

9. Sintering sampel dengan suhu 1000 °C selama 1 jam untuk menghilangkan

pengotor dan meningkatkan kristalinitas sampel. Nama sampel A, B, dan C

yang telah disintering berurutan adalah D, E, dan F.

10. Sampel D, E, dan F dikarakterisasi XRD untuk mengetahui kandungan

masing-masing sampel.

3.3.4 Sintesis Komposit HA-Kitosan

Hasil uji XRD terhadap sampel D, E, dan F menunjukkan sampel F

merupakan sampel terbaik dari tahap sebelumnya. Sehingga, sampel F yang

digunakan untuk mensintesis komposit HA-kitosan.

Preparasi terhadap kitosan dilakukan sebelum dilakukan sintesis komposit

(48)

1. Kitosan sebanyak 2 gram dicampurkan dengan 100 ml asam asetat 3% dan

6 gram asam fosfat 85%, kemudian dipanaskan dengan suhu 70°C selama

1 jam dengan pengadukan konstan.

2. Larutan didinginkan, kemudian diendapkan dalam metanol berlebih untuk

menghilangkan asam asetat dan asam fosfat yang tidak bereaksi. Gel yang

diperoleh, dilarutkan dalam aquades, kemudian dalam metanol berlebih.

3. Gel yang terbentuk dikumpulkan dan dikeringkan dengan suhu 70oC.

Sintesis komposit HA-kitosan dilakukan dengan metode pencampuran

sederhana. Kitosan dilarutkan dalam 10 ml aquades bersuhu 70oC, kemudian

ditambahkan bubuk HA secara perlahan. Massa kitosan dan HA disesuaikan

dengan komposisi pada Tabel 3.1. Campuran tersebut diaduk dengan magnetic stirrer selama 1 jam. Setelah semua bahan tercampur sempurna, bubur didiamkan selama semalam untuk gelembung udara. Bubur yang dihasilkan dari proses

tersebut kemudian dikeringkan dengan suhu 70oC selama lebih dari semalam.

Komposit yang dihasilkan kemudian dihaluskan dengan cara digerus dengan

mortar.

Tabel 3.1 Variasi Komposisi Komposit

Sampel % HA Massa (g) % Kitosan Massa (g)

F 100 2,5 0 0

F1 80 2 20 0,5

F2 75 1,875 25 0,625

F3 70 1,75 30 0,75

(49)

3.4 Karakterisasi Sampel 3.4.1 Uji XRD

Untuk melakukan uji XRD sampel diletakkan pada tempat berbentuk

balok, setelah itu sampel diletakkan pada alat uji. Hasil uji XRD tersaji dalam

bentuk grafik spektrum dan tabel. Pola difraksi berupa spektrum hasil uji XRD

memberikan informasi mengenai sudut terjadinya difraksi pada atom bahan (2)

pada sumbu horizontal dan besar intensitas yang dihasilkan pada sumbu vertikal.

3.4.2 Uji Sifat Mekanik

Sebelum dilakukan uji sifat mekanik, seluruh sampel ditimbang dengan

massa yang sama, yaitu 0,6 gram, kemudian dicetak menjadi pellet dengan cara dikompaksi dengan beban 2 ton. Cetakan yang digunakan berdiameter 13 mm.

Penambahan aseton dilakukan untuk mengatasi kesulitan dalam pencetakan

sampel menjadi pellet. Sampel yang telah dicetak kemudian dipanaskan dengan suhu 40°C menggunakan hotplate selama 1 jam.

3.4.2.1 Uji Kekuatan Tekan (Compressive Strength)

Pengukuran kekuatan tekan sampel dilakukan menggunakan Autograph. Sampel yang permukaannya telah dihaluskan, ditempatkan pada bagian penekan

mesin uji tekan, kemudian mesin dinyalakan dan mengatur kecepatan serta

(50)

otomatis gaya maksimal yang dapat ditahan oleh sampel ditampilkan oleh mesin

uji tekan. Kekuatan tekan dapat dihitung dengan persamaan (2.3).

3.4.2.2 Uji Kekerasan (Vickers Hardness)

Pengukuran tingkat kekerasan dilakukan dengan penekanan pada

permukaan sampel yang telah dengan menggunakan intan berbentuk piramid

dengan sudut kemiringan 136º. Akibat penetrasi pada permukaan sampel dengan

waktu penetrasi (t) yang telah ditentukan akan diperoleh berkas diagonal. Secara

otomatis nilai kekerasan vickers ditampilkan oleh mesin uji microvickers hardness.

3.4.3 Uji Viabilitas Sel

Uji viabilitas sel dilakukan dengan pengujian MTT assay. Tahapan yang dilaksanakan sebagai berikut.

1. Persiapan kultur sel fibroblas dilakukan dalam laminar flow. Kultur sel BHK-21 dalam bentuk monolayer dengan media Eagle’s dan FBS 5% ditanam

dalam botol kultur roux kemudian diinkubasi pada suhu 37° C selama 48 jam. 2. Kultur sel lalu dicuci dengan PBS sebanyak 5 kali yang bertujuan untuk

membuang sisa serum yang tersisa. Kemudian ditambahkan tripsin versene

untuk melepaskan sel dari dinding botol dan memisahkan ikatan antar sel

agar tidak menggerombol.

3. Sel dengan kepadatan 2 x 105 dimasukkan dalam 100 µL media (media

(51)

dipindahkan ke dalam 96-microwell plate sesuai dengan jumlah sampel dan

control.

4. Masing-masing sampel disterilisasi dengan sinar UV selama lebih dari

semalam, kemudian 0,05 gram sampel dilarutkan dalam 1 ml etanol. Larutan

sampel kemudian dalam 96-microwell plate sebanyak 50 µL. Lalu diinkubasi 24 jam pada suhu 37° C.

5. Pereaksi MTT 5 mg/mL yang telah dilarutkan dalam PBS ditambahkan ke

media sebanyak 10 µL untuk setiap well kemudian diinkubasi selama 4 jam dalam suhu 37° C.

6. Pelarut DMSO ditambahkan ke setiap well sebanyak 50 µL lalu disentrifuse 30 rpm selama 5 menit.

7. Nilai densitas optik (OD) formazan dihitung dengan Elisa reader pada panjang gelombang 630 nm. Penghitungan persentase viabilitas sel dapat

dihitung sesuai dengan Persamaan 2.5.

3.5 Analisis Data

Pengujian XRD dilakukan untuk menganalisis sifat mikro HA dan

komposit HA-kitosan. Data pengukuran yang diperoleh dari pengujian kekuatan

tekan (compressive strength) dan kekerasan (vickers hardness), akan dilakukan analisis keterkaitan antara sifat mekanik dengan variasi komposisi kitosan dalam

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dilakukan sintesis komposit hidroksiapatit

(HA)-kitosan, dimana HA disintesis dengan memanfaatkan kandungan aragonit

(CaCO3) pada tulang sotong (Sepia sp.). Hidoksiapatit yang diperoleh kemudian

digunakan sebagai matriks untuk membuat komposit, dengan kitosan sebagai

serat/filler. Variasi komposisi HA : kitosan yang dilakukan adalah 80 : 20, 75 : 25, 70 : 30, dan 65 : 35. Karakterisasi terhadap komposit meliputi sifat mikro dengan

uji X-Ray Diffraction (XRD), sifat mekanik meliputi kekuatan tekan dan kekerasan, serta MTT Assay.

4.1 Uji X-Ray Diffraction (XRD)

4.1.1 Kandungan CaCO3 pada Tulang Sotong

Hasil uji XRD terhadap bubuk lamellae tulang sotong yang telah diberi perlakuan panas 350°C selama 3 jam menunjukkan kandungan 100% kalsium

karbonat (aragonit, CaCO3) (Gambar 4.1). Spektrum XRD sampel menunjukkan

kesesuaian dengan ICDD 01-71-4891. Hal tersebut seiring dengan hasil penelitian

Paljar et al. (2009) yang menunjukkan bahwa perlakuan panas pada bagian dorsal

tulang sotong dapat mengubah kandungan aragonit menjadi kalsit. Namun, tidak

demikian halnya untuk bagian lamellae. Aragonit lebih mudah bertransformasi menjadi HA dibandingkan kalsit, sehingga pada penelitian ini digunakan aragonit

(53)

Gambar 4.1 Spektrum XRD bubuk lamellae tulang sotong (Sepia sp.)

4.1.2 Hidroksiapatit dari Proses Hidrotermal

Hasil uji XRD terhadap sampel A, B, dan C dengan durasi hidrotermal

berturut-turut 12, 24, dan 36 jam menunjukkan bahwa kandungan dari ketiga

sampel tersebut adalah 100% hidroksiapatit [HA, Ca10(PO4)6(OH)2]. Spektrum

XRD ketiga sampel tersebut bersesuaian dengan ICDD 01-72-1243. Puncak

tertinggi sampel A pada 2Ɵ = 31,72° dengan intensitas 110 (Gambar 4.2), sampel

B pada 2Ɵ = 31,69° dengan intensitas 104 (Gambar 4.3), dan sampel C pada

(54)

Gambar 4.2 Spektrum XRD sampel A

Gambar 4.3 Spektrum XRD sampel B

(55)

Rendahnya intensitas difraksi puncak tertinggi pada sampel A, B dan C

menunjukkan bahwa kristalinitas HA yang dihasilkan masih rendah (amorf). Selain itu, dimungkinkan sampel A, B dan C masih mengandung pengotor. Hal

tersebut didukung oleh warna bubuk dari ketiga sampel yang kecoklatan (Gambar

4.5). Diperkirakan pengotor merupakan ion karbonat (CO32-). Ion karbonat dapat

hilang pada pemanasan dengan suhu di atas 600°C (Septiarini, 2009). Dengan

demikian, perlu ditambahkan proses sintering untuk menghilangkan pengotor dan

meningkatkan kristalinitas HA yang telah diperoleh dari proses hidrotermal.

Gambar 4.5 Hidroksiapatit sebelum sintering

4.1.3 Hidroksiapatit Setelah Disintering

Sampel A, B, dan C yang telah disintering dengan suhu 1000 °C selama

1 jam berturut-turut disebut sebagai sampel D, E, dan F. Hasil uji XRD

menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut mengandung hidroksiapatit [HA,

Ca10(PO4)6(OH)2] dan trikalsium fosfat [TKF, Ca3(PO4)2] sesuai dengan ICDD

berturut-turut 01-72-1243 dan 01-073-4869. Selain itu, terdapat pula puncak yang

(56)

Puncak tertinggi sampel D pada 2Ɵ = 31,7152° dengan intensitas 1658,43

(Gambar 4.6), sampel E pada 2Ɵ = 31,7470° dengan intensitas 1472,35 (Gambar

4.7), dan sampel F pada 2Ɵ = 31,77576° dengan intensitas 1938,59 (Gambar 4.8).

Hasil uji XRD menunjukkan peningkatan intensitas yang sangat drastis

dibandingkan sampel sebelum disintering yang berkisar dari 104 – 115 saja.

Selain itu, sintering menyebabkan perubahan warna dari yang semula kecoklatan

menjadi putih (Gambar 4.9). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengotor dalam

sampel telah hilang.

(57)

Gambar 4.7 Spektrum XRD sampel E

(58)

Gambar 4.9 Sampel setelah disintering

Berdasarkan analisis kuantitatif dengan metode rietveld terhadap hasil uji XRD, diperoleh kandungan masing-masing sampel.

Tabel 4.1 Kandungan Sampel Setelah Disintering

Nama Sampel HA (%) TKF (%)

D 94 6

E 89 11

F 94 6

Terbentuknya senyawa TKF pada sampel diakibatkan hilangnya OH

akibat perlakuan temperatur tinggi. Namun, kehadiran TKF dalam sampel

sebenarnya bukanlah hal yang fatal. Hal tersebut dikarenakan TKF juga

digunakan sebagai material implan tulang. Trikalsium fosfat (TKF) memiliki sifat

biodegradabel, bioaktif dan memiliki kelarutan yang tinggi (Dewi, 2009).

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa sampel D dan F yang kandungan

HA tertinggi dengan jumah yang sama, yaitu 94%. Namun, dengan

mempertimbangkan adanya 2 puncak yang tidak terindentifikasi sebagai HA atau

TKF pada spektrum XRD sampel D, yaitu pada posisi 2Ɵ 38,4365 dan 44,6553,

maka untuk tahapan penelitian selanjutnya sampel F yang digunakan sebagai

(59)

4.1.4 Komposit HA-Kitosan

Telah dilakukan sintesis komposit antara sampel F dengan kandungan HA

94% sebagai matriks dan kitosan sebagai serat/filler. Berdasarkan hasil uji sifat mekanik yang akan dibahas pada sub bab selanjutnya, dipilih sampel F1 sebagai

sampel komposit yang terbaik.

Gambar 4.10 Spektrum XRD komposit (sampel F1)

Hasil uji XRD terhadap sampel F1 ditunjukkan oleh Gambar 4.10. Apabila

dibandingkan dengan hasil uji XRD sampel F, dapat diketahui bahwa terjadi

penurunan intensitas dan pergeseran posisi puncak pada komposit. Di antaranya

pada puncak difraksi bidang (002), (211), dan (300). Pada bidang (002) terjadi

penurunan intensitas dari 737,25 menjadi 702,44 dan pergeseran posisi puncak

(60)

1938,59 menjadi 1830,03 dan pergeseran posisi puncak dari 31,7576 menjadi

31,7554. Pada bidang (300) terjadi penurunan intensitas dari 1248,14 menjadi

1082,17 dan pergeseran posisi puncak dari 32,8924 menjadi 32,8873. Penurunan

intensitas dan pergeseran puncak mengindikasikan terjadinya ikatan antara

matriksdan filler, yaitu HA dan kitosan dari proses pembentukan komposit. Analisis kuantitatif terhadap hasil uji XRD menunjukkan bahwa sampel

F1 mengandung 95% HA dan 5% brushite [CaHPO4(H2O)2]. Hal tersebut seiring

dengan penelitian Sari (2012) yang menyatakan terbentuknya CaHPO4 pada

komposit kemungkinan diakibatkan ketidakstabilan stoikiometri pada HA

sehingga rasio molar Ca/P > 1,67 yang membentuk CaO. Dimana, kandungan

CaO diatas 55 % akan membentuk CaHPO4. Ketidakstabilan stoikiometri tersebut

juga dimungkinkan karena sampel F yang digunakan untuk mensintesis komposit

F1 mengandung TKF sebesar 6%. Selain itu, afinitas yang tinggi akibat

penambahan asam fosfat pada kitosan juga dapat menyebabkan ketidakstabilan

stoikiometri, karena ion fosfat pada kitosan dapat bertukar dengan ion fosfat pada

HA (Pramanik et al., 2009).

4.2 Uji Sifat Mekanik Komposit HA-Kitosan

Pada penelitian ini sifat mekanik yang diuji adalah kekuatan tekan

(61)

Tabel 4.2 Hasil Uji Sifat Mekanik

4.2.1.Uji Kekuatan Tekan (Compresive Strength)

Uji kekuatan tekan (compresive strength) dilakukan untuk mengetahui tingkat kekuatan sampel terhadap tekanan dari pembebanan dari luar hingga

sampel rusak atau patah. Pengujian dilakukan dengan menggunakan alat

autograph. Data hasil uji kekuatan tekan dihitung dengan Persamaan (2.3). Dari perhitungan yang disajikan di Lampiran 5, diperoleh nilai kekuatan tekan dari

masing-masing sampel yang ditampilkan pada Gambar 4.11.

(62)

Hasil uji kekuatan tekan menunjukkan penambahan kitosan sebagai filler

dalam komposit HA-kitosan meningkatkan kekuatan tekan HA. Hal tersebut

menegaskan bahwa elastisitas kitosan mampu memperbaiki sifat HA yang rapuh

(brittle). Kekuatan tekan tertinggi diperoleh pada sampel F1, dengan perbandingan HA : kitosan sebesar 80 : 20, yaitu (5,241 ± 0,063) MPa.

Hasil uji kuat tekan menunjukkan pertambahan jumlah kitosan justru

mengakibatkan penurunan kekuatan tekan pada sampel F2, F3, dan F4. Hal tersebut

bisa saja terjadi karena sifat mekanik dipengaruhi banyak faktor. Di antaranya

adalah bentuk partikel, ukuran partikel, serta distribusi ukuran partikel (Cai et al., 2009). Mengingat sampel komposit F1-F4 digerus secara manual sebelum dicetak,

sehingga besar kemungkinan bentuk dan ukuran partikel tidak sama antara sampel

yang satu dengan yang lainnya. Distribusi ukuran partikel komposit pun

kemungkinan besar tidak homogen.

Kekuatan tekan juga dipengaruhi oleh interaksi antarmuka antara matriks

dan filler, yaitu HA dan kitosan (Cai et al., 2009). Penurunan kekuatan tekan akibat peningkatan jumlah kitosan, kemungkinan diakibatkan adanya kitosan yang

tidak berinteraksi dengan HA. Hal tersebut seiring dengan penelitian Dewi (2009)

dimana komposit kalsium fosfat-kitosan terbaik diperoleh pada komposisi 80 : 20,

dan komposisi 70 : 30 mengindikasikan adanya kitosan yang tidak berinteraksi

dengan kristal apatit.

Berdasarkan analisis hasil uji kekuatan, sampel F1 dengan perbandingan

HA : kitosan sebesar 80 : 20 dipilih sebagai sampel terbaik. Kekuatan tekan

Gambar

Grafik kekuatan tekan sampel ….…….…….…….…….……... 45
Gambar 2.1 Tulang kortikal dan trabekular (http://www.abdn.ac.uk/orthopaedics/graphics/femur_newlabs.gif)
Tabel 2.1  Karakteristik Biomekanik Tulang Sehat (Ficai et al., 2011)
Gambar 2.2 Sotong (cuttlefish)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan komposisi bahan-bahan yang dibutuhkan dalam sintesis nanokomposit hidroksiapatit/kitosan (n-HA/CS) adalah dengan melihat perbandingan variasi massa (w/w)%

teridentifikasinya gugus fungsi N-H, amida I dan amida II yang merupakan karakteristik dari kitosan mampu bertumpukan dengan gugus fungsi OH milik

Bahan yang dapat digunakan sebagai kitosan harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu mempunyai kemampuan untuk mendukung pertumbuhan sel, mempunyai sifat mekanik

Material bone filler seperti komposit kolagen – hidroksiapatit umumnya digunakan pada tulang yang tidak terlalu panjang dan luas

Hasil penelitian yang dibahas pada bab ini meliputi sintesis kolagen dari tendon sapi (Bos sondaicus), pembuatan larutan kolagen, rendemen kolagen, karakterisasi

Tia Rahayu Wijayanti, 2016, Efek Variasi Komposisi Kondroitin Sulfat Terhadap Karakteristik Komposit Scaffold Kitosan-Kondroitin Sulfat/Hidroksiapatit Sebagai Kandidat

Telah dibuat suatu komposit HA/PVA/PVP/khitosan dengan teknik radiasi yang diharapkan dapat digunakan pada kasus penggantian tulang (bone replacement) yang tidak memerlukan

Adanya interaksi yang ditandai dengan pergeseran bilangan gelombang pada hasil FTIR menunjukkan bahwa, komposit Ha/Coll/Chi telah berikatan dengan baik..