5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alstonia
Alstonia merupakan salah satu genus tumbuhan dari famili Apocynaceae yang terdiri dari 40 spesies dengan pusat penyebaran di Asia dan Afrika. Tumbuhan ini mengandung alkaloid dengan kerangka monoterpen indol dan memperlihatkan aktivitas sebagai antikanker, antibakteri, antiinflamatori, dan antimalaria (Chai, XH, 2007; Salim, 2004).Alstoniamerupakan salah satu obat tradisional Indonesia (Heyne, 1987). Kulit batang Alstonia consricta digunakan masyarakat untuk penyembuhan sakit gigi, rematik dan gigitan ular sedangkan getahnya digunakan sebagai obat demam, sakit tenggorokan, dan batuk (Raji, et al., 2004).
2.2 Alstonia scholaris
Alstonia scholaris (L.) R.Br. merupakan tumbuhan endemik Indonesia dengan sinonim Echites scholarisL., Echites palaHam. atauTabernaemontana alternifolia
2.3 Fitokimia Alstonia
Tumbuhan Alstonia mengandung senyawa metabolit sekunder diantaranya flavonoid, alkaloid, steroid dan triterpenoid (Hirasawa, et al., 2009). Senyawa alkaloid tumbuhan ini dicirikan oleh adanya alkaloid indol. Senyawa golongan triterpenoid pada tumbuhan merupakan turunan oleanan, fridelin dan lupan sedangkan steroid merupakan turunan stigmastan. Senyawa flavonoid pada tumbuhan ini diantaranya jenis calkon, dihidrocalkon, flavanon, flavon dan flavonol (Hirasawa, et al., 2009).
2.4. Alkaloid Alstonia
Gambar-1. Hubungan kimiawi antara berbagai jenis alkaloid Alstonia berdasarkan reaksi biogenesis melalui kerangka korinantan
Kerangka korinantan
Senyawa alkaloid yang paling sederhana dari segi biogenesis, yaitu razimanin (1) yang ditemukan pada bunga Alstonia scholaris(Dutta, 1976).
Gambar 2.1 Kerangka dasar senyawa alkaloid monoterpen indol
Kerangka Ajmalicin
al.,1987), alstonin (3) ditemukan dalam tanaman A. scholaris dan A. bonnie
(Yamauchi, 1990; Elisabetsky, 2006) sedangkan senyawa yohimbin-17-O-asetat (4) pada A. angustifolia ( Ghedira, et al., 1988).
(2)
(3) (4)
Gambar 2.2 Kerangka ajmalicin Kerangka Kuran
Jenis alkaloid yang paling banyak ditemukan dari Alstonia adalah dari jenis kerangka kuran. Kerangka karbon kuran, secara biogenesis disarankan berasal dari migrasi ikatan C-3 pada kerangka korinantan dari C-2 ke C-7 diikuti oleh pembentukan antara C-2 dan C-16.
N H
N
H
H
MeOOC
OAc H N
N
O MeOOC
H
H H N H
N
O MeOOC
H
H CH3
Senyawa akumisin (5), dan beberapa beberapa alkaloid sejenis seperti akuamisin N-metiodida (6), dan akumisin N-oksid (7) yang berhasil dipisahkan dari akar A. scholaris(Boonchuay, 1976; Buckingham, 1994; Salim, 2004).
Senyawa turunan akumisin lainnya, seperti 18(19)-hidroksi-19,20-dihidroakuamisin atau disebut juga ekitamidin (8), N-demetilalstogustin (9), (19S), (20S)-ekitamidin-N-oksid (10), ekitamidin-N-oksid 19-O-β-D-glukopiranosa (11), dan lochneridin (12) telah berhasil diisolasi dari akar A. scholaris dan kulit batang A. glaucescens (Benerji, 1984; Salim, 2004). Selanjutnya, alkaloid jenis kuran yang teroksigenasi pada C-12, yakni scholarisin (13), N-metilscholarisin (14), 12-metoksiekitamidin atau disebut juga scholarin (15), dan scholarin N-oksid (16) telah dipisahkan pula dari daun A. scholaris (Benerji, 1981; 1984; Kam, 1997; Rahman, 1990).
(5) (6)
(7) (8)
(9) (10)
(11) (12)
(13) (14)
(15) (16)
Kerangka Akuamilan
Jenis alkaloid akuamilan yang ditemukan dari daun dan kulit batang A. scholaris
antara lain striktamin (17), pikrinin (18), pikralinal (19), dan N-metilbutnamin (20). Senyawa alkaloid jenis akuamilan 17-20 mempunyai kerangka karbon yang berasal dari kerangka korinantan melalui pembentukan ikatan C-16 dan C-17.
(17) (18)
(19) (20)
Gambar 2.4 Kerangka akuamilin Kerangka Aspidodasikarpin
Alkaloid jenis aspidodasikarpin merupakan pemutusan ikatan N-4 dan C-5 dari kerangka akuamilan. Abe et.al (1989) berhasil memisahkan jenis alkaloid aspidodasikarpin dari daun batang A. scholaris yang berasal dari Taiwan antara lain alskomin (21), dan isoalskomin (22).
N
N CO2CH3
H
N H
N CO2CH3
H
O
N
N CO2CH3
OHC
N H
N+ CO2CH3
HOH2C
O
(21) (22) Gambar 2.5 Kerangka aspidodasikarpin
Kerangka Ajmallin
Alkaloid jenis ajmallin merupakan pembentukan ikatan antara oksigen pada C-17 dan atom karbon pada C-2 dari kerangka akuamilan. Senyawa akuamiginon (23), dan pseudoakuamiginon (24) telah berhasil dipisahkan dari kulit batang A. scholaris
(Banerji, 1977; Morita, 1977; Salim, 2004).
(23) (24)
Gambar 2.6 Kerangka ajmalin Kerangka Ekitamin
Dari jaringan tumbuhan A. scholaris telah ditemukan pula alkaloid jenis ekitamin, yang berasal dari pemutusan ikatan antara C-3 dan C-4 dari kerangka akuamilan dan
pembentukan ikatan antara C-2 dan C-4. Senyawa-senyawa dari jenis ekitamin, antara lain N-demetilekitamin (25), ekitamin (26), asam ekitaminat (27), dan 17-O-asetilekitamin (28). Senyawa N-demetilekitamin (25), dan ekitamin (26) merupakan komponen utama alkaloid A. scholaris (Boonchuay, 1976; Salim, 2004; Yamauchi, 1999).
(25) (26)
(27) (28)
Gambar 2.7 Kerangka ekitamin Kerangka Narelin
Selanjutnya, telah dilaporkan beberapa alkaloid jenis narelin dari kulit batang A. scholaris yang berasal dari Indonesia, yakni narelin (29), dan narelin metil eter (30).
Alkaloid kerangka narelin merupakan kerangka aspidodasikarpin dengan tambahan ikatan antara C-21 dan C-6 (Kam, 1997; Salim, 2004).
(29) (30)
Gambar 2.8 Kerangka narelin Kerangka Stemadenin
Dari daun A. scholaris telah ditemukan beberapa alkaloid jenis stemadenin. Alkaloid jenis stemadenin berasal dari pemutusan ikatan antara C-2 dan C-3 kerangka korinantan, diikuti pembentukan ikatan antara C-16 dan C-2 menghasilkan kerangka stemadin, dan selanjutnya pemutusan oksidatif ikatan C-5 dan C-6 kerangka stemadin dan penyingkiran atom karbon C-5. Senyawa-senyawa turunan stemadenin antara lain 19-20-Z-valesamin (31), 19-20-E-valesamin (32), valesamin N-oksid (33), asam angustilobin B (34),dan alstonamin (35) (Rahman, 1987; Yamauchi, 1990).
(31) (32)
Gambar 2.9 Kerangka stemadenin
(33)
(34) (35)
Gambar 2.9 Kerangka stemadenin (Lanjutan) Kerangka Secoangustibilosin
Kerangka secoangustibolisin merupakan jenis kerangka valesamin dengan pemutusan pada atom karbon C-5 dan C-7. Senyawa-senyawa turunan secoangustibilosin ditemukan pada jaringan tumbuhan A. scholaris, dan A. spatulata
antara lain 6,7-seco-angustilobin B (36), 6,7-seco-19,20-epoksiangustilobin B (37), 6,7-seco-6-nor-angustilobin B atau losbanin (38), dan alstolobin A (39) (Tan, 2010; Yamauchi, 1990).
(36) (37)
(38) (39) Gambar 2.10 Kerangka secoangustibilosin (Lanjutan) Kerangka Kordilofolan
Senyawa alkaloid jenis kerangka kordilofolan yang ditemukan dari daun dan kulit batang A. scholaris yaitu 19-hidroksitubotaiwin atau lagunamin (40), (20S)-19,20-dihidrokondilokarpin atau tubotaiwin (41), dan tubotaiwin N-oksid (42) sedangkan senyawa alstolusin B (43), dan alstolusin E (44) berhasil dipisahkan pada daun dan kulit batang A. spatulata(Rahman, 1986; Tan, 2010; Yamauchi, 1990).
(40) (41)
(42)
(43) (44) Gambar 2.11 Kerangka kordilofolan (Lanjutan)
Kerangkamakrolin
Alkaloid jenis kerangka makrolin secara biogenesis merupakan pemutusan ikatan C-20 dan C-21 dari kerangka korinantan, dan diikuti pembentukan ikatan antara C-5 dan C-20 serta siklisasi antara hidroksi pada C-17 dan C-19.( Kam, et.al. 2003) telah berhasil memisahkan senyawa alkaloid kerangka makrolin dari daun A. macrophylla, yakni senyawa 6-oksoalstopillin (45), dan 6-oksoalstopillal (46).
Modifikasi kimia kerangka makrolin melalui pemutusan ikatan C-2 dan C-3, diikuti pembentukan ikatan C-3 dan C-7 menghasilkan kerangka baru seperti pada senyawa 16-hidroksialstonisin (47), dan 16-hidroksialstonal (48) yang berhasil dipisahkan dari daun daun A. macrophylla(Kam,et al., 2003).
(45) (46)
(47) (48) Gambar 2.12 Kerangka makrolin (Lanjutan) Kerangka alsmaporasin
Dua senyawa baru dari kerangka alsmaporasin yang mengandung kromofor 1, 2 oksasinan dan isosasolidin, yakni alsmaporasin A (49) dan B (50) telah ditemukan pada daun A. pneumatophora(Cai,et al., 2007).
(49): R=OH (50): R=H
Gambar 2.13 Kerangka alsmaporazin Kerangka korinante
Dua isomer senyawa 19,20-Z-alstoskolarin (51), dan 19,20 E-alstokolarin (52) telah ditemukan di dalam daun A.scholaris (Banerji dan Shidanta 1981). Kerangka alkaloid korinante merupakan pengembangan dari kerangka kuran.
(51) (52) Gambar 2.14 Kerangka korinante
Bis Monoterpen Indol
Dua dimer alkaloid monoterpen indol. yang berasal dari ekstrak daun A. scholaris, yakni villastonin (53), dan makrokarpamin (54). Penemuan ini memberikan makna bahwa kemampuan tingkat oksidasi dari alkaloid monoterpen (sekologanin) indol tumbuhan Alstoniamemberikan makna pada pengembangan kerangka senyawa alkaloid (Frederich, et al, 2007).
(53) (54)
Gambar 2.15 Bis monoterpen indol N
H
CO2CH3
N
OHC
N
H N
H3C
OHC CO2CH3
N
N
H
CH3
H H3CO2C
H N CH3
NCH3
H
O H
2.5. Bioaktivitas Alkaloid AlstoniaSebagai Antimalaria
Malaria merupakan salah penyakit endemik tropis yang disebabkan gigitan nyamuk Plasmodium. Akhir-akhir ini, penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk ini mengalami mutasi dan resisten terhadap klorokuinin. Di samping itu juga, produksi alkaloid sinkona dalam negeri banyak mengalami penurunan. Salah satu alternatif yang dikembangkan adalah eksplorasi senyawa bioaktif baru salah satu diantaranya sebagai antimalaria.
Alstonia merupakan salah satu tanaman Indonesia, baru-baru ini dikembangkan sebagai obat antiplasmodial. Salah satu senyawa aktif tumbuhan ini adalah senyawa alkaloid. Keaktifan senyawa alkaloid tersebut memperlihatkan keaktifan yang kuat sebagai antimalaria. Senyawa villastonin (53), dan makrokarpamin (54) memiliki nilai IC50 sebesar 0,270 μM dan 0,360 μM yang lebih kuat dibandingkan dengan
kuinin( IC50 0,413 μM) (Frederich, et al., 2007). Senyawa Nb-demethylalstogustine
memiliki aktivitas antimalaria sebesar 6,75 μg/ml, Senyawa
19-O-methylmacralstonine juga memperlihatkan aktifitas yang kuat terhadap plasmodial (Liu, 2002). Senyawa alstipillanin A-D masing-masing IC50 adalah 6,85 μg/ml; 0,34
μg/ml; 6,20 μg/ml, dan 2,75μg/ml. Senyawa dikategorikan tidak aktif jika nilai IC50
2.6 Ekstraksi Alkaloid Alstonia
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan substansi dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Alkaloid merupakan senyawa metabolit sekunder yang bersifat basa dan mengunakan pelarut polar untuk mengekstraksi dalam jaringan tumbuhan, antara lain metanol, etanol, asam asetat dan amonia. Metode ekstraksi senyawa alkaloid dari tumbuhan Alstoniaterlampir pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Metode ekstraksi senyawa alkaloid pada tumbuhan Alstonia
Jenis tanaman Ekstraksi Pustaka
A. Macrophylla
(leaf extract)
Ekstraksi dengan etanol pada suhu kamar, diasamkan dengan asam klorida, dan dibasakan dengan amonia kemudian dipartisi dengan EtOAc
Kam, 2003
A. Scholaris
(Bark and leaves extract)
Ekstraksi dengan etanol pada suhu kamar, diasamkan dengan asam klorida, dan dibasakan dengan NaOH kemudian dipartisi dengan CHCl3
Salim, 2004
Ekstraksi dengan metanol pada suhu kamar, diasamkan dengan asam klorida, dan dibasakan dengan NaOH kemudian dipartisi dengan EtOAc
Patrick, 2005
A. Yunnanensis
(plants extract)
Ekstraksi dengan metanol pada suhu kamar, diasamkan dengan asam klorida, dan dibasakan dengan NH4OH kemudian dipartisi dengan EtOAc
A. spatulata
(Bark extract)
Ekstraksi dengan etanol pada suhu kamar, diasamkan dengan asam klorida, dan dibasakan dengan NH4OH kemudian dipartisi dengan CHCl3.
Taan, 2010
A. angustifolia
(Bark and leaves extract)
Ekstraksi dengan metanol pada suhu kamar, diasamkan dengan H2SO4, dan
dibasakan dengan NH4OH kemudian
dipartisi dengan CHCl3
Ghedira, 1988
A. actinophylla
(leaves extract)
Ekstraksi dengan CH2Cl2yang diikuti
dengan MeOH pada suhu kamar, lalu dilakukan metode asam-basa, kemudian dipartisi dengan kombinasi CH2Cl2 dan Air
Carroll, 2004
A. villosa
(leaves extract)
Ekstraksi dengan metanol pada suhu kamar, lalu dilakukan metode asam-basa, kemudian dipartisi dengan CHCl3
Abe, 1998
2.7 Analisis Spektroskopi1H dan 13C-NMR, IR, dan UV-Vis Alkaloid Indol
Spektroskopi 1H dan 13C-NMR merupakan alat spektroskopi yang paling memegang peranan penting dalam penentuan struktur molekul senyawa organik. (Harbone, 1987).
Senyawa akuamiginon (Gambar 2.16) merupakan salah satu contoh senyawa alkaloid indol dengan kerangka ajmallin yang berhasil diisolasi dari kulit batang A. scholaris, spektrum 1H -NMR dalam pelarut CDCl3 memperlihatkan empat sinyal
proton aromatik dari alkaloid indolpada δH7,39 (1H, dd, J = 7,6 Hz, H-9), 6.79 (1H,
Sedangkan untuk kerangka ajmalinnya sendiri yaitu kerangka monoterpen, dimana pada senyawa akuamiginon terdapat dua gugus metil, empat gugus metilen, tujuh gugus metin dan delapan karbon kuartener.
Spektroskopi IR pada senyawa akuamiginon (Gambar 2.16) berfungsi sebagai data pendukung, dimana fungsi IR sendiri hanya untuk menentukan gugus fungsi senyawa organik. Spektroskopi IR pada senyawa akuamiginon menunjukkan adanya gugus NH yang menyerap pada 3250 cm-1 dan adanya gugus keton pada bilangan gelombang 1711 cm-1.
Spektroskopi UV-Vis pada senyawa akuamiginon (Gambar 2.16) hanya memberikan informasi mengenai ikatan rangkap dan aromatik suatu senyawa. Dengan pelarut metanol, senyawa akuamiginon memberikan λmax pada 221, 232,
dan 286 nm.
Gambar 2.16 Senyawa Akuamiginon N
H
N CH3
O
CH3
O
COO-2.8 Tinjauan tentang Malaria
2.8.1 Penyakit Malaria
Malaria disebabkan oleh infeksi protozoa bersel tunggal yang disebut
Plasmodium, yaitu Plasmodium vivax, P. malariae, P. ovale, dan P.falciparum.
Plasmodium falciparum merupakan penyebab malaria yang paling berbahaya dan dapat menimbulkan disfungsi otak , gangguan pernafasan berat dan gagal ginjal akut. Selain itu, juga dapat meningkatkan kematian (Schlesingeret al., 1988).
2.8.2 Plasmodium falciparum
Plasmodium falciparum di permukaan sel darah merah, dapat mengekspor berbagai jenis protein. Protein tersebut dapat mempengaruhi sistem imun melalui mekanisme variasi antigen. Selain itu, sel darah merah yang terinfeksi tersebut melekat (chytoadhesion) pada reseptor sel-sel endhothelial tubuh sehingga terhindar dalam mekanisme clearancepada sistem host. Hal inilah yang menjadi sifat virulens
P. falciparum terutama dalam kaitannya dengan gejala klinis seperti disfungsi otak dan gagal ginjal akut (Harijanto,dkk., 2010).
Gambar 2.17P.falciparum
Klassifikasi Plasmodium falciparumadalah sebagai berikut ;
Kingdom : Protista
Filum : Apicomplexa
Kelas : Aconoidasida
Ordo : Haemosporida
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : P. falciparum
2.8.3 Morfologi Plasmodium falciparum
P. falciparummempunyai 4 bentuk, yaitu :
1. Bentuk cincin, mempunyai diameter kurang lebih 1 µm, tipis, mempunyai nucleus yang berbentuk batang atau terbagi menjadi 2 butiran.
Gambar 2.18. Bentuk cincin Plasmodium falciparum
(Laboratorium diagnosis of malaria, USA)
Gambar 2.19 .Bentuk trofozoit Plasmodium falciparum
(Laboratorium diagnosis of malaria, USA)
3. Bentuk skizon, ukuran ± 30 µm pada hari ke-4 setelah infeksi dan skizon mempunyai titik kasar yang tampak jelas (titik maurer) tersebar pada 2/3 bagian eritrosit.
Gambar 2.20. Bentuk skizon Plasmodium falciparum
(Laboratorium diagnosis of malaria, USA)
Gambar 2.21. Bentuk gametosit Plasmodium falciparum
(Laboratorium diagnosis of malaria, USA)
2.8.4 Siklus Hidup Plasmodium falciparum
Dalam daur hidupnya, Plasmodium mempunyai dua vektor untuk siklus hidup, yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam vektor vertebrata yang dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk, kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-ertitrositer atau stadium pra-eritroser). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Harijanto, dkk., 2010).
setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan, eritrosit akan hancur, merozoit, pigmen, dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES (Retikulo Endotelial Sistem), Plasmodium yang dapat menghindar akan masuk kembali ke dalam eitrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni, yaitu membentuk mikro dan makrogametosit (stadium seksual). Siklus itu disebut masa tunas intrinsik (Harijanto, dkk., 2010).
Gambar 2.21. Daur hidup Plasmodium falciparum