• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia: Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016 Reposit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Identifikasi Individu Tak Beridentitas di Indonesia: Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016 Reposit"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

Pidato

Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Antropologi

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga

di Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 27 Agustus 2016

Oleh

Myrtati Dyah artaria

(2)

Printing by Airlangga University Press (AUP)

(3)

Kupersembahkan untuk, Ibuku, Ibuku, Ibuku, Prof. Dr. Habil. Jozef Glinka SVD

(4)
(5)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Yang terhormat,

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga,

Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga,

Para Guru Besar Universitas Airlangga,

Para Guru Besar Tamu dari Luar Universitas Airlangga,

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Para Dekan dan Wakil Dekan, Para Direktur, Pimpinan Lembaga, serta Pusat, di Lingkungan Universitas Airlangga,

Para sejawat, Dosen dan Segenap Sivitas Akademika Universitas Airlangga,

Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan.

Pa d a ke s emp at a n ya n g a m at memba h a g i a k a n i n i perkenankanlah saya mengucapkan “alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin”, puji syukur ke hadirat Allah Tuhan seru sekalian alam, karena berkat rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, kita semua dapat hadir di sini dalam keadaan sehat walafiat untuk menghadiri Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas Airlangga, dengan acara penerimaan jabatan saya sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi, di Universitas Airlangga.

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan pidato mimbar akademik yang terhormat ini, berjudul:

(6)

Hadirin yang saya muliakan,

Mengapa ada kata “di Indonesia” di dalam judul, karena ternyata di Indonesia mempunyai banyak kekhasan sehingga dalam identifikasi pun, tidak dapat disamakan begitu saja dengan negara-negara lain di dunia ini. Kekhasan lingkungan fisik maupun sosial budaya Indonesia ini membawa warna tersendiri.

Sebenarnya, apakah arti antropologi? Sewaktu studi, saya sering mendapat pertanyaan, studi apakah antropologi ini? Apakah studi perbintangan? Apakah studi tentang benda-benda kuno? Apakah studi tentang fosil? Rata-rata, tiga hal itu adalah persepsi awam di Indonesia, tentang apa antropologi.

Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia, studi komparasi budaya, masyarakat, dan variasi manusia (Miller, 2005). Anthropos berarti “manusia” (Osamu, 2006). Mempelajari manusia ini tentu dapat dalam berbagai aspek, baik aspek sosial-budaya, maupun aspek ragawi; yang satu sama lain saling berkaitan.

Antropologi ragawi adalah ilmu yang mempelajari fisik manusia, dalam keterkaitannya dengan lingkungannya, baik lingkungan biotik maupun abiotik (Khongsdier, 2007). Dalam keterkaitan ini, terdapat unsur adaptasi, dan unsur survival of the fittest (O’Brien & Holland, 1992). Adaptasi manusia pada zaman sekarang berbeda dengan zaman dahulu kala di mana ketergantungan manusia pada alam masih besar. Saat ini bahkan berbalik bahwa alam banyak dimanipulasi oleh manusia untuk keuntungan dan kenyamanan manusia. Oleh karena, itu sifat adaptif manusia pada lingkungannya sedikit berubah pada masyarakat yang semakin kompleks ini.

(7)

siapa orang tuanya, siapa nenek moyangnya, bagaimana sejarah mereka, bagaimana mereka dulu sampai di tanah yang sekarang mereka tempati. Dalam usaha untuk memahami manusia, di antara makhluk hidup lainnya, pemahaman itu tidaklah dapat sempurna kecuali seseorang berusaha memahami manusia itu dari dua tinjauan sudut pandang secara bersamaan, karena satu sama lain saling terkait; yaitu sisi biologis dan sisi sosial-budaya.

Manusia modern masuk ke dalam satu spesies yang memiliki variasi yang sangat besar dalam perilaku, ukuran, bentuk dan penampilan. Manusia modern adalah Homo sapiens, suatu nama yang diberikan oleh Carl Linnaeus (Koemer, 1996), untuk tujuan nomenklatur atau klasifikasi. Linnaeus menempatkan manusia ke dalam Ordo Primata bersama hewan lain yang memiliki banyak kesamaan misalnya kera.

Di awal perkembangannya, antropologi ragawi diwarnai oleh studi tentang ras dan evolusi (Stocking, 1968). Setelah itu, marak dikembangkan studi manusia yang mendasarkan pada antropometri atau pengukuran manusia (Stocking, 1974).

Tujuan segala ilmu pengetahuan adalah untuk menerapkan hasil proses investigasi untuk layanan terhadap manusia. Konsep ini diterapkan antropologi ragawi tidak hanya akhir-akhir ini saja, tapi telah sangat lama. Hasil penyelidikan antropologi ragawi praktis telah memberi manfaat di berbagai bidang.

Masih banyak peran antropologi ragawi yang lain. Secara umum, antropologi bermula dari pertanyaan “What does it mean to be human?” dan “How did we become human?”

(8)

Persentuhan dengan ilmu-ilmu forensik tak dapat dipungkiri sangat memberikan arti ketika antropologi memberikan pengertian mengenai bagaimana pengetahuan tentang variasi manusia dapat membantu dalam identifikasi individu yang menjadi korban dalam kejahatan ataupun mass disaster. Variasi ini dipelajari misalnya dalam antropometri, sosial-biologi, osteologi, antropologi dental, dan tentu saja dalam antropologi forensik.

Salah satu kontribusi penting bidang antropologi yang lain untuk antropologi forensik, yang ini adalah ilmu terapan; yaitu memberi informasi mengenai hal-hal baru yang telah diteliti yang dapat membantu identifikasi individu dari area gigi dan mulut. Identifikasi individu oleh antropolog ragawi, banyak menggunakan penelitian-penelitian dari Antropologi Dental dan Antropologi Forensik.

ANTROPOLOGI DENTAL

Penelitian pada area antropologi dental ini antara lain meliputi beberapa subbidang. Misalnya, meneliti kapan gigi tertentu tumbuh (Delgado et al., 1975; Wise et al., 2002), dan bagaimana urutan erupsi gigi (Adler, 1963). Di dalam literatur telah dijumpai patokan kapan gigi tertentu muncul, dan bagaimana urutannya. Namun demikian, telah kami temukan pada tahun 2011 bahwa ternyata dalam suatu studi di dua sekolah di Surabaya, erupsi gigi antara murid yang berbeda origin (yaitu Tionghoa dan Jawa) adalah berbeda (Nuringtyas dan Artaria, n.d.). Kemudian, satu lagi penelitian dilakukan pada tahun 2015 di komunitas Arab. Ternyata erupsi giginya lebih cepat dari dua kelompok etnis yang lain (Oktaviana dan Artaria, n.d.).

(9)

perempuan. Penelitian kami (Fidya dan Artaria, n.d) menemukan bahwa gigi-gigi tertentu mempunyai perbedaan ukuran yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Ukuran gigi sedikit berbeda dari dental traits, ada unsur lingkungan yang sedikit berpengaruh pada besar-kecilnya ukuran gigi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak laki-laki biasanya mempunyai ukuran gigi lebih besar dari pada anak perempuan dari suatu origin yang sama.

Satu lagi area penelitian di bidang antropologi dental adalah tentang kekhasan suatu populasi dalam menunjukkan ciri-ciri karakteristik gigi yang memang sangat kental dengan unsur genetisnya, (misalnya Baume & Crawford, 1980; Guatelli-Steinberg & Irish, 2005; Mayhall & Sanders, 1986). Gigi adalah salah satu bukti adaptasi makhluk hidup, khususnya manusia terhadap lingkungannya, melalui mekanisme penurunan karakteristik secara genetis (Osborne et al., 1958). Di antara semua bagian tubuh manusia, yang paling sulit berubah karena lingkungan adalah “dental traits”, karena mempunyai komponen genetik yang sangat kuat (Boraas et al., 1988; Irish & Guatelli-Steinberg, 2003; Kimura et al., 2009; Townsend et al., 2009). Bagian morfologi tubuh manusia yang lain, misalnya tulang, relatif lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan (Hill & Orth, 1998).

(10)

percampuran antar populasi terhadap gigi-geligi, dan 5) untuk menentukan moda penurunan dari ciri-ciri tertentu.

Dengan demikian, telah lazim diketahui bahwa gigi seri yang mempunyai shovel shape, dengan tampilan keseluruhan gigi pada umumnya adalah besar dan kokoh, adalah kekhasan manusia Mongoloid (Taylor, 1969). Sebaliknya, gigi yang mengecil ukurannya seperti 4-cusp geraham bawah adalah kekhasan manusia Europoid modern (Bailey, 2006). Berdasarkan ciri giginya, Scott & Turner (2000) membuat pembagian populasi manusia menjadi 5 (lima) origin. Belakangan diketahui bahwa manusia yang mempunyai origin Mongoloid masih dapat dipisahkan menjadi dua golongan besar yaitu Sinodont dan Sundadont. Baru-baru ini Artaria (2014) menemukan bahwa dalam satu kota pun, manusia dengan origin yang berbeda (Jawa dan Arab), mempunyai perbedaan yang bermakna pada traits di bagian gerahamnya. Demikian pula kami menemukan bahwa gigi orang Jawa dan Flores mempunyai karakteristik yang berbeda (Artaria 2007, dan Artaria 2010).

Keberbedaan bermakna seperti disebutkan dapat terjadi tentu saja karena dental traits sangat kuat unsur genetisnya. Namun, hal ini mendapat pertanyaan dari beberapa saintis dari luar Indonesia, yang meragukan apakah benar di zaman sekarang yang banyak kawin campur antaretnis ini masih berguna untuk studi semacam ini. Ternyata, justru di sinilah kekhasan Indonesia.

(11)

terkadang menunjukkan ciri Mongoloid. Hal ini dapat dimengerti karena nama keluarga (surname) pada kebudayaan penduduk Australia keturunan Eropa dan Asia adalah berdasar garis keturunan ayah; sementara faktanya, gigi merupakan gabungan gen keturunan ayah dan ibu. Jika telah terjadi kawin campur, maka gigi dapat mengekspresikan dental traits dari garis ibu.

Sementara itu, di Indonesia pernikahan eksogami tidak sesering dilakukan seperti di Australia, sebaliknya banyak etnis yang masih lebih memilih perkawinan endogami; apalagi jika agama dari kedua etnis berbeda. Justru di sini menguntungkan untuk studi antropologi dental dalam membantu memecahkan kasus individu tak beridentitas di Indonesia. Di AS pun pernah diteliti bahwa penggunaan ukuran metris gigi dan dental traits secara bersama-sama, dapat membedakan dua kelompok sampel dengan baik, yaitu anak-anak keturunan European-American dengan keturunan African-American (Lease & Sciulli, 2005).

Identifikasi individu berdasarkan dental traits ini semakin akurat jika individu tersebut pernah mempunyai cetak gigi dan data tersimpan dalam database Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia. Oleh karena, tiap bagian gigi (gigi seri, taring, premolar, dan geraham), masing-masing mempunyai dental traits yang berbeda-beda, dan ekspresinya di tiap gigi dapat berbeda-beda pada tiap individu. Maka ciri khas yang dimiliki oleh seorang individu dalam satu set giginya, jika terekam dengan baik dalam cetakan gigi, akan menyerupai sidik jari dalam identifikasi individu. Hal ini menguntungkan, dan sangat berguna, mengingat gigi adalah bagian yang paling kuat, tahan lama, tidak mudah rusak; bahkan dalam peristiwa kebakaran yang mana jaringan lunak seperti sidik jadi kemungkinannya sudah hancur dan tidak dapat diperiksa lagi.

(12)

identitas korban. Karena, langkah awal dalam mencari pelaku adalah mengetahui terlebih dahulu siapa si korban. Jika korban tidak diketahui, maka pelaku pun tidak akan tertangkap. Jika Indonesia sudah mempunyai database gigi, maka ini akan sangat mempermudah aparat kepolisian dalam mengungkap identitas Mr. X atau Ms. X.

ANTROPOLOGI FORENSIK

Antropologi forensik adalah penerapan dari antropologi dan berbagai subarea, termasuk di bidang forensik arkeologi dan forensik tafonomi (Haglund & Sorg, 2001), dalam suatu tatanan hukum. Oleh karena antropolog mempunyai keahlian terkait dengan tulang-belulang manusia, maka antropolog mempunyai peran penting dalam mengidentifikasi tulang-tulang fragmentaris, membedakan dari tulang hewan, termasuk mengkonfirmasi atau menolak reasosiasi bagian-bagian tulang untuk dirilis pada keluarga. Dalam forensik, sering peran antropolog adalah membantu identifikasi individu yang tidak beridentitas, di mana individu itu telah mengalami kondisi kerusakan jaringan lunak tubuh sehingga tidak lagi dapat diidentifikasi secara visual.

IDENTIFIKASI INDIVIDU TIDAK BERIDENTITAS

(13)

sumbangan agar identifikasi ini menjadi semakin mudah dan akurat.

Berbagai kebutuhan identifikasi itu di antaranya: Identifikasi anak

1)

Identifikasi individu dewasa yang telah meninggal dan tidak 2)

didapati kartu identitas bersamanya

Identifikasi Anak

Identifikasi yang dilakukan pada anak (unaccompanied minor) terkadang dibutuhkan ketika seorang anak terpisah dari orang tuanya, dan belum dapat ditanya, atau dia tidak mengetahui secara lengkap nama dirinya, nama orang tuanya, maupun dari mana dia berasal. Hal seperti ini kerap terjadi di tempat keramaian, atau di tempat di mana terjadi bencana alam, sehingga keluarga tercerai-berai. Jika anak tersebut ditemukan oleh aparat, maka identifikasi dapat dilakukan dengan beberapa cara (Schmelling et al., 2006).

Pertama menggunakan patokan berdasar gigi yang telah tumbuh atau telah tanggal/lepas. Dalam literatur dijumpai patokan umur anak atau bayi berdasarkan hal ini, seperti telah dipaparkan di atas. Namun, telah kami temukan bahwa kecepatan dan urutan erupsi gigi antara satu etnik dengan yang lain ternyata berbeda (Nuringtyas dan Artaria, n.d.). Karenanya, di Indonesia diperlukan patokan yang lebih baik dari pada yang telah dipublikasi di berbagai literatur, yang merupakan patokan berdasar tumbuh kembang anak-anak di negeri barat.

(14)

origin dengan origin yang lain terdapat perbedaan dalam osifikasi (Garn & Bailey, 1978). Dengan demikian perlu dibuat database lebih lengkap di Indonesia untuk membantu identifikasi individu yang tak beridentitas, karena telah diketahui bahwa di Indonesia tinggal berbagai origin manusia, dan kebanyakan masih mempraktekkan endogami (Andriansyah, 2015, Kurdi, 2013, Nuryani, & Lestari, 2013, Parwesi, & Sudaryanto, 2012, Sarjan, 2013, Wardani, 2013).

Melakukan estimasi tinggi badan pada anak yang telah menjadi kerangka, telah pernah diulas oleh Ubelaker (1987), dan pernah diteliti oleh misalnya oleh Gilsandz et al. (1998). Rumus penghitungan tinggi badan hasil estimasi dari panjang tulang-tulang yang ditemukan, tentu berbeda dari satu ras dengan yang lain.

Identifikasi Individu Dewasa

Terkadang, individu yang hilang ingatan (karena gangguan jiwa ataupun karena benturan keras pada kepalanya), tidak akan mengetahui siapa dirinya, antropolog dapat membantu memberikan rentang (range) umur individu tersebut, dan mengidentifikasi ciri-ciri tubuh yang kemungkinan dapat mudah dikenali oleh keluarganya.

Identifikasi individu dewasa dapat dibutuhkan ketika misalnya pada masa “senile” seseorang sudah tidak ingat lagi siapa diri mereka. Terkadang mereka pergi ke suatu tempat lalu lupa arah jalan untuk pulang. Hal seperti ini tentu membutuhkan identifikasi tentang umur, selain pemeriksaan ciri-ciri khas yang didapati pada tubuhnya, termasuk bekas luka dan mungkin juga bekas cedera pada tulang.

(15)

wajah pada usia 40-an, 50-an, 60-an dan 70-an tentu berbeda (Suo et al., 2010). Hasil penelitian tentang pola kerutan wajah ini lebih sering digunakan pada rekonstruksi wajah pada tengkorak, untuk memperkirakan bagaimana wajah si individu pada sat-saat akhir masa hidupnya.

Memperkirakan usia individu dewasa tidak beridentitas yang masih hidup juga dapat dilakukan dari mengamati keausan gigi (Walker et al., 1991), osifikasi tulang (Barchillon et al., 1996; Kobliansky et al., 1995; Djuric et al., 2007)--jika masih hidup dengan cara melakukan roentgen, dan melalui pengamatan pola kerut wajah (Glogau, 1996; Harris, 2004; Friedman, 2005).

Namun demikian, pola tersebut adalah berdasar penelitian di populasi Europoid. Sementara itu, telah umum diketahui awam, sehingga terdapat pernyataan bahwa “orang Indonesia itu pada umumnya terlihat awet muda jika dibanding dengan keturunan Europoid”. Namun demikian, awam juga sering berpendapat bahwa orang keturunan Eropa jika telah menua, dia akan terlihat “awet”, artinya tidak terjadi penuaan yang drastis sesudahnya, tidak seperti halnya orang Indonesia pada umumnya yang ketika mencapai usia 60-an terjadi percepatan penuaan dari pada tahun-tahun sebelumnya. Namun hal ini semata-mata berasal dari pengamatan secara umum. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai pola penuaan pada wajah, sehingga saat ini kami sedang melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pola penuaan pada wajah orang Indonesia (Fitriana & Artaria, n.d.).

Identifikasi Individu yang Telah Meninggal dan Tidak Didapati Kartu Identitas Bersamanya

(16)

Memperkirakan tinggi tubuh individu, ketika tubuh individu 1)

yang ditemukan terpisah atau terpotong, atau hanya beberapa tulang panjang saja yang ditemukan,

Memperkirakan origin dari individu, 2)

Memperkirakan jenis kelamin, 3)

Memperkirakan usia dari individu, 4)

Memperkirakan wajah individu ketika masih hidup, 5)

Memperkiraan Tinggi Tubuh Individu

Perkiraan tinggi tubuh individu dapat dilakukan dengan berbagai rumus, ketika sisa kerangka yang ditemukan tidak lengkap. Berbagai penelitian telah dilakukan, dan menemukan bahwa rumus dalam memperkirakan tinggi tubuh ketika hidup, berdasar bagian-bagian kerangka, tidaklah sama antarsatu origin dengan yang lain (Mora et al., 2001). Sebagai contoh, di Indonesia hidup banyak penduduk dari origin yang berbeda-beda, misalnya keturunan Arab, Tionghoa, Indo-eropa, dan berbagai “penduduk asli” dari berbagai etnik misalnya Jawa, Madura, Bali, Papua, Ambon, Manggarai, dan sebagainya. Mudah untuk melihat bahwa proporsi antara togok (body trunk), dan tungkai kaki tidaklah sama antara penduduk Indonesia yang keturunan Arab dengan Tionghoa, maupun dengan Papua, dan juga Jawa. Masing-masing mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya komponen genetik yang menyebabkan mereka mempunyai proporsi yang berbeda (Ruff, 2002). Oleh karenanya rumus rekonstruksi tinggi badan dari tulang panjang akan berbeda di antara empat individu yang berasal dari empat origin yang berbeda tadi.

(17)

Indian (Dempster et al., 1964; Bidmos, 2006, Tibbetts, 1981, Meadows, & Jantz, 1992, Sciulli, & Giesen, 1993).

Dengan demikian, perlu ditekankan di sini perlunya untuk menggunakan rumus yang tepat dalam merekonstruksi tinggi badan dari kerangka individu di Indonesia. Tentunya, perlu diidentifikasi terlebih dahulu, pada tengkorak dan kerangka yang ditemukan itu, tanda-tanda apakah dia dari origin yang satu, atau lainnya.

Dalam penelitian kami, juga ditemukan bahwa penghitungan tinggi badan berdasar rumus dari panjang jari tangan, yang paling akurat adalah menggunakan jari tengah, diikuti oleh jari telunjuk; dibandingkan jari yang lain. Lebih jauh lagi, rekonstruksi tinggi badan dari jari lebih akurat jika dilakukan pada ruas-ruas jari dibandingkan dengan mengukur keseluruhan panjang jari dari pangkal sampai ujung digit (Fatati & Artaria, n.d.).

Demikian juga kami temukan bahwa akurasi rekonstruksi tinggi badan berdasar tinggi kepala tidak terlalu besar. Korelasi hanya signifikan antara tinggi badan dengan tinggi wajah atas. Tinggi badan dan tinggi wajah genap tidak berkorelasi signifikan, kemungkinan karena unsur non-genetis cukup besar berpengaruh pada pertumbuhan wajah bagian bawah (Chorniawan & Artaria, n.d.). Artinya, kami simpulkan bahwa akurasi estimasi tinggi badan adalah lebih rendah jika menggunakan ukuran-ukuran wajah dan kepala, jika dibanding dengan estimasi berdasar tulang panjang.

Memperkirakan Origin dari Individu Tidak Beridentitas

(18)

jaringan lunak wajah, dan telah menjadi tengkorak? Jawabannya, adalah, “Ya, itu dapat dilakukan!”.

Berdasar pengamatan kami, salah satu ciri khas tengkorak Europoid adalah nasal opening yang sempit dan punggung hidung yang tinggi. Bagian nasospinale terlihat runcing dan panjang. Berbeda dengan Negroid yang mempunyai nasal opening yang lebih lebar dan punggung hidung tidak setinggi Europoid. Demikian pula pada Mongoloid, nasal opening tidak selebar Negroid, namun punggung hidung biasanya rendah.

Berdasar osteoskopi, kami simpulkan bahwa tengkorak Jawa mempunyai tonjol glabella yang berbeda dari tengkorak Papua. Kekhasan tengkorak Papua adalah pada robustisitas tonjol glabella ini, baik pada laki-laki maupun perempuan. Tentunya masih tetap dalam kapasitas seperti pada umumnya, maskulinitas tengkorak Papua laki-laki lebih besar dari tengkorak Papua perempuan. Ciri khas lain dari tengkorak Jawa adalah bentuk kepala brachycephal (melebar ke samping), berbeda dari tengkorak Papua yang cenderung memanjang ke belakang.

(19)

Memperkirakan origin dari suatu individu dapat pula dilakukan dari mengobservasi karakteristik gigi atau dental traits, seperti telah dijelaskan.

Memperkirakan Jenis Kelamin dari Individu Tidak Beridentitas

Jenis kelamin individu yang masih hidup yang mengalami gangguan ingatan adalah lebih mudah daripada memperkirakan jenis kelamin individu yang telah menjadi kerangka. Tetapi apakah hal yang terakhir ini memungkinkan? Tentu saja memungkinkan. Jenis kelamin dapat dilihat paling jelas pada tulang panggul. Namun, tidak jarang tulang panggul tidak ditemukan, karena berbentuk pipih dan mudah untuk dibawa binatang buas; berbeda dengan tulang tengkorak yang bulat dan besar.

Jenis kelamin dapat diketahui dari tengkorak, pada beberapa bagian yaitu pada tulang dahi, sudut rahang, tonjolan glabella, processus mastoideus, tonjolan occipitalis externa, bentuk tulang orbita, ketajaman tulang orbita, serta pada bagian menton atau dagu; pada umumnya tengkorak laki-laki lebih besar dan lebih kasar perlekatan ototnya.

(20)

rahang bertipe maskulin. Oleh karena itu, kami menyarankan agar melakukan identifikasi origin terlebih dahulu sebelum melakukan identifikasi jenis kelamin, karena derajat maskulinitas dan femininitas antar origin yang berbeda.

Kami mengamati bahwa pada tengkorak-tengkorak Jawa, sering tonjolan glabella tidak konsisten menunjukkan maskulinitas yang kuat pada laki-laki, sehingga perlu dicari apa sejatinya yang paling berbeda secara signifikan antara kedua jenis kelamin. Kami menemukan bahwa dari beberapa ukuran yang kami lakukan, yang paling berbeda secara signifikan secara lebih konsisten adalah ukuran lebar maksimal arcus zygomaticus dan jarak enm-enm (Setianingsih dan Artaria, 2011). Temuan-temuan seperti ini tentu berguna dalam membantu mengidentifikasi individu (tengkorak) tidak beridentitas.

Memperkirakan Usia dari Individu Tidak Beridentitas

Memperkirakan usia pada individu dewasa yang telah menjadi kerangka dapat dilakukan melalui pengamatan pada keausan gigi serta pertautan antara tulang-tulang tengkorak; sama seperti pada individu yang masih hidup. Beda antara individu yang masih muda dan individu yang berumur 20 tahun ke atas adalah pemeriksaan tulang yang sudah mengalami osifikasi, di mana pada individu yang masih muda diperiksa apakah masing-masing tulang di area pergelangan tangan dan jari sudah utuh.

(21)

Post-puberty (tingkatan persambungan epiphyseal the radius and ulna).

Pada individu usia 15 sampai 35 dapat diamati penutupan sutura palatal (Persson & Thilander, 1977). Kemudian yang berusia 20 tahun ke atas yang diamati adalah persambungan pada tulang clavicula, yaitu mulai 21 tahun) (Quirmbach et al., 2005). Setelah itu, diamati persambungan antara tulang-tulang pipih pelindung otak; yaitu tulang-tulang tengkorak, yang menutup antara umur 20 sampai 95 tahun (Kokich, 1976).

(22)

di Jawa Timur lebih disukai sate yang telah empuk dan matang. Maka kekenyalan daging pun berbeda berdasar cara memasaknya. Bumbu berbeda yang digunakan tentu kekasaran jenis makanan yang diterima oleh gigi juga berbeda.

Dari sisi bahan makanan pokok, di AS lebih disukai kentang yang diiris panjang dan digoreng. Teksturnya cenderung lembut dan empuk. Sementara itu, di Jawa Timur, beras lebih disukai untuk ditanak menjadi nasi. Bahkan, di beberapa masyarakat Jawa Timur lebih disukai beras yang dicampuri dengan jagung, sehingga lebih mengenyangkan. Dengan demikian, kekasaran jenis makanan pokok antara orang Jawa Timur dan AS adalah berbeda, dan akan berpengaruh pada keausan gigi-geliginya.

Cara menyiapkan bahan makanan pun dapat berpengaruh pada pecepatan keausan gigi (Molnar, 1971). Pada sementara masyarakat di dunia, ada yang masih menggunakan peralatan dari batu untuk memproses makanan. Misalnya, dalam menumbuk padi, menghaluskan bahan makanan dari jagung, melembutkan bumbu masak, dsb. Hal ini menyebabkan sebagian dari batu tersebut tergerus dan tercampur dengan makanan, dan dapat mempercepat keausan gigi, jika dibanding dengan masyarakat yang tidak menggunakan peralatan berbahan dari batu.

(23)

misalnya, berbeda dengan di Jawa Tengah, dan berbeda pula dengan di Papua. Dengan demikian, perlu dibuat patokan-patokan baru untuk asesmen usia dari keausan gigi, di berbagai wilayah Indonesia berdasar pada kebiasaan makan yang berbeda-beda.

Memperkirakan Wajah Individu Tidak Beridentitas

(24)

di Indonesia untuk dapat melakukan rekonstruksi wajah dari tengkorak dengan lebih sempurna.

Dalam penelitian kami terhadap tiga etnis di Indonesia, telah kami temukan bahwa terdapat perbedaan bentuk jaringan lunak wajah pada bentuk mata, bentuk epicantus mata, bentuk hidung, ketebalan cuping hidung, dan ketebalan bibir integumental. Ke tiga etnis yang diteliti adalah yang mewakili tiga subras yang kami sebut dalam penelitian Glinka, Artaria dan Koesbardiati (2010). Dengan demikian, apabila menjumpai individu dari tiga etnis yang diteliti, rekonstruksi bentuk mata, hidung dan mulut disesuaikan dengan hasil temuan kami tersebut (Artaria, 2011).

1.A. 1.B.

(25)

RINGKASAN DAN HARAPAN

Berdasar paparan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa dari sisi identifikasi individu tidak beridentitas, Indonesia ini khas. Jika di negara-negara lain, percampuran antarsuku bangsa dan antaragama adalah lazim dan sering dilakukan, di Indonesia kecenderungannya berbeda. Pasangan eksogami memang semakin banyak terjadi, tetapi pasangan endogami lebih banyak lagi. Hal ini diperkuat oleh peraturan di Indonesia di era Presiden Soeharto, yang masih berlaku sampai sekarang, agar pasangan yang menikah mempunyai agama yang sama. Hal ini sangat mendukung perkawinan endogami lebih sering dilakukan daripada eksogami. Ini berdampak pada percampuran gen antar gene pool yang berbeda tidak sebebas di negara lain. Akibatnya, identifikasi masih dapat mengandalkan pada ciri-ciri morfologis yang diturunkan secara genetis dan dijumpai secara khas pada kelompok origin tertentu; seperti ciri khas tebal (tipis)-nya cuping hidung, kemenonjolan area glabella pada populasi Indonesia barat, perbedaan kedalaman cekungan anterior fovea antara Jawa dan Arab, besar-kecilnya skor shovel-shape pada gigi seri, dan sebagainya. Harapan kami, penelitian di area antropologi ragawi semakin dikembangkan di Indonesia.

(26)

Harapan kami yang lain adalah, agar Indonesia dapat memberlakukan penyimpanan database cetak gigi dan X-ray gigi setiap pasien yang melakukan kunjungan ke dokter gigi, agar dapat membantu bilamana suatu saat dibutuhkan untuk identifikasi individu.

Dari uraian tulisan ini dapat pula kami simpulkan bahwa untuk mempelajari dan kemudian mengerti dengan lebih baik tentang manusia yang sangat beragam ini, dibutuhkan tinjauan dari banyak sisi. Tidak hanya dari sisi sosial-budaya, tetapi juga dari sisi biologis. Dengan begitu, maka ilmu tentang manusia tersebut menjadi semakin berguna untuk dapat diterapkan. Hadirin yang saya muliakan,

Demikianlah pidato pengukuhan kami, dengan harapan dapat terwujudnya antropologi ragawi yang lebih dikenal masyarakat. Dengan demikian, antropolog ragawi lebih berguna untuk masyarakat, sebagai bagian dari kehidupan manusia yang kompleks, tidak hanya menjadi bagian dari alam semesta, tetapi juga sebagai Homo sapiens—yaitu makhluk yang berakal dan beradab.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang mulia,

(27)

Pertama, saya sampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yaitu Prof. Dr. Moh. Nasir, dan Sekretaris Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah menyetujui pengangkatan saya sebagai Guru Besar dalam Bidang Antropologi.

Kepada yang terhormat Rektor Universitas Airlangga, Prof. Dr. Moh. Nasih, S.E., M.T., Ak., para Wakil Rektor Prof. dr.

Djoko Santoso, Ph.D., K-GH., FINASIM, Dr. Muhammad

Madyan, SE., M.Si., M.Fin., Prof. Ir. Moch. Amin Alamsjah, M.Si., Ph.D, Dr. Junaedi Khotib, S.Si., M.Kes., Ph.D., Apt., Mantan Rektor Prof. Dr. H. Fasich, Apt., para mantan Wakil Rektor, Prof. Dr. H. Achmad Syahrani, Apt., M.S, dan Prof.

dr. Soetjipto., M.S., Ph.D, yang telah banyak membantu,

mengusulkan, serta menyetujui untuk mengangkat saya sebagai Guru Besar dan menerima saya di lingkungan Universitas Airlangga.

Gelar ini tidak akan pernah saya terima jika tidak atas dorongan beberapa rekan dosen, senior, dan pegawai, oleh karenanya saya sangat berterima kasih pada Bu Siswinarti, S.H. di UP, Pak Drs. Sumanto, M.M. selaku mantan kepala bagian SDM, Mbak Fitri Nurhayati, A.Md. selaku pegawai UP, serta Pak Suko dan Bu Supit Agus Wahyuni, SH., M.Si.

di Direktorat SDM, Ibu Sri Endah Kinasih, S.Sos., M.Si. selaku Kadep Antropologi tahun lalu, dan tentu saja Drs. Koko Srimulyo, M.Si. semasa menjabat sebagai Dir Sumberdaya, yang telah banyak membantu memfasilitasi pengurusan pengusulan Guru Besar ini.

(28)

M.S.,sangat berarti karena tak henti memberi semangat dalam diri saya untuk mengusahakan tercapainya tujuan ini. Demikian pula yang memberikan saran pada saya untuk mengajukan usulan, yaitu Prof. Dr. drh. Chairul Anwar, M.S., dan Prof. Dr. Drs. Laurensius Dyson, M.A.; saya ucapkan banyak terima kasih; tak lupa juga untuk teman berbagi kisah: Dra. Onny Yoelyana,

Dra. Riza Julandari, dan Theresia Monica Danis Rahayu,

S.IP. Demikian pula bantuan doa dari Dra. Feirizza, Romo Dr.

Ignatius Loyola Madya Utama S.J., dan Pater Stanislaw

Pikor SVD; sangat kami syukuri. Namun demikian, yang pasti adalah, keinginan mengajukan usulan guru besar ini tidak akan muncul jika bukan karena untuk mempersembahkan bagi ibunda

drg. Hj. Soeti Halimah, Prof. Dr. Habil. Josef GlinkaSVD, dan almarhum Prof. H. dr. Sentot Moestadjab Soeatmadji. Oleh karenanya, saya sangat bersyukur bahwa saya mempunyai beliau bertiga dalam hidup saya.

Ucapan terima kasih yang tulus serta penghargaan setinggi-tingginya saya sampaikan pada mantan dekan fisip, Drs. I. Basis Susilo, M.A. serta para mantan wakil dekan FISIP, Prof. Dr. Drs. Mustain, M.Si., Ibu Dr. Dra. Dwi Windyastuti Budi H, M.A., Drs. Djoko Adi Prasetyo M.Si., Bpk Karnaji, S.Sos., M. Si., dan Drs. Vinsensio M. Arifin Dugis, M.A., Ph.D.; serta Ketua Badan Pertimbangan Fakultas beserta anggotanya, yang telah menyetujui pengusulan ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dekan dan para Wakil Dekan FISIP, yaitu Dr. Drs. Falih Suaedi, M.Si, Prof. Dr. Drs. Budi Prasetyo, M.Si, Dr. Dra. Tuti Budi Rahayu, M.Si, yang telah selama tujuh bulan terakhir memberi dorongan dan bantuan atas persiapan pengukuhan ini.

(29)

adik-adik saya, yaitu Yudha Firman Ariefullah, B.A., M.B.A., yang banyak membantu dalam pengurusan berkas di Jakarta, dan adik bungsu saya Amalia Fadilla Rachma, S. Psi. yang hadir dalam kesempatan ini, serta suami saya, Dr. Benny B. Nasution, Dipl. Eng., M. Eng., yang selama ini tidak hanya mendukung tapi juga selalu mendorong pengurusan berkas saya, dan tentu saja terima kasih untuk anak saya Omar Adelian Nasution

yang selalu dapat mengerti dengan kegiatan bundanya, dan yang telah menjadi teman yang menyenangkan dalam keseharian saya. Ucapan terima kasih juga saya ucapkan untuk Primiary Devita, S. Ant., Mardiah Nuringtyas, S. Ant., Theresia Anggraeni, S. Ant., yang telah membantu dalam penyusunan file berkas pengusulan, dan juga Larasati Haq, S.Ant. dan M. Syahril, S. Ant. yang telah membantu di saat-saat terakhir pengumpulan berkas.

Teman-teman sejawat di FISIP, dan saudara-saudara saya di Departemen Antropologi; terima kasih atas dukungan dan kerja sama dalam 26 tahun terakhir. Ucapan terima kasih yang tulus khusus saya persembahkan untuk Bapak Drs. Budi Setiawan, MA dan Drs. Djoko Adi P., M.Si., yang telah banyak memberi saran dan nasehat selama saya menjadi mahasiswa dan kemudian bekerja di Departemen Antropologi.

Ucapan terima kasih juga saya tujukan pada para mantan mahasiswa serta mahasiswa saya yang masih aktif; karena tanpa mereka, saya tidak akan punya semangat untuk terus belajar hal-hal baru.

Tak lupa, ucapan terima kasih pada orang-orang yang selama masa pengabdian saya di UNAIR, telah membuat saya terpacu untuk berusaha melakukan pekerjaan dengan baik, dan menjadi lebih baik.

Saya ucapkan terima kasih tidak terhingga pada seluruh

(30)

Suara Universitas Airlangga, Komunitas Mata Hati, dan

Band Fussion Jazz, serta semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu per satu, yang telah membantu terlaksananya upacara ini dengan baik.

Akhir kata, kepada seluruh hadirin yang saya hormati, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas perhatian dan kesabaran dalam mendengarkan pidato pengukuhan ini, mohon maaf apabila ada hal yang kurang berkenan. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amin YRA.

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adler, P. (1963). Effect of some environmental factors on sequence of permanent tooth eruption. Journal of Dental Research, 42(2), 605-616.

Andriansyah, D. (2015). Perkawinan Endogami di Kalangan Kelompok Etnik Punjabi Penganut Agama Sikh di Kota Medan (Doctoral dissertation, UNIMED).

Angel, J. L. (1963) Physical anthropology and medicine. Journal of the National Medical Association Vol 55(2):107-116.

Artaria, M.D. (2007a) ”Dental Traits of Sample from Manggarai (Flores)”. International Seminar on Southeast Asian Paleoanthropology, Yogyakarta, 23-25 Juli 2007.

Artaria, M.D. (2014) “The prevalence of anterior fovea and Carabelli traits in Deuteromalayid Javanese”. Australasian Society of Human Biologists. International Conference Proceeding. Adelaide, December 2014.

Artaria, M.D. (2011) “Differences in Anthropometric Measurements at the Skull and Face of Austromelanesoid and Mongoloid: A Preliminary Study”. Proceeding International Conference. APICA international Conference, Surabaya, 22-23 July 2011.

Artaria, M.D. (2007b) Dental trait variation and age determination based on dental wear: A preliminary study of Javanese. Dental Anthropology 20, 41-43.

Artaria, M.D. (2010) The dental traits of Indonesian Javanese. Dental Anthropology 23 (3), 74-78.

Artaria, M.D. (2011) “Reconstruction of Face from the Skull”. Proceeding International Conference. APICA international Conference, Surabaya, 22-23 July 2011.

(32)

Bidmos, M. (2006). Adult stature reconstruction from the calcaneus of South Africans of European descent. Journal of Clinical Forensic Medicine, 13(5), 247-252.

Boraas, J.C., Messer, L.B., & Till, M.J. (1988). A genetic contribution to dental caries, occlusion, and morphology as demonstrated by twins reared apart. Journal of Dental Research, 67(9), 1150-1155.

Chorniawan A. & Artaria, M.D. (n.d) “Estimating Height from Head Measurements.” Unpublished paper.

Delgado, H., Habicht, J.P., Yarbrough, C., Lechtig, A., Martorell, R., Malina, R. M., & Klein, R. E. (1975). Nutritional status and the timing of deciduous tooth eruption. The American Journal of Clinical Nutrition, 28(3), 216-224.

Dempster, W.T., Sherr, L.A., & Priest, J.G. (1964). Conversion scales for estimating humeral and femoral lengths and the lengths of functional segments in the limbs of American Caucasoid males. Human Biology, 36(3), 246-262.

Donachie, M.A., & Walls, A.W.G. (1995). Assessment of tooth wear in an ageing population. Journal of Dentistry, 23(3), 157-164.

Fatati, A.& Artaria, M.D. ( n.d) “The Reliability of body height estimation from measurement of unsegmented fingers in Mongoloid Javanese of Indonesia”. Unpublished paper. Fidya dan Artaria, M.D. (n.d.) “Variation of Dental Crown

Dimension between Javanese Males and Females”. Unpublished paper.

Fitriana, R. & Artaria, M.D. (n.d.) “Pattern of Aging on the Face of Peasants in Indonesia.” On going research.

Friedman, O. (2005). Changes associated with the aging face. Facial Plastic Surgery Clinics of North America, 13(3), 371-380. Garn, S.M., & Bailey, S.M. (1978). Genetics of maturational processes.

(33)

Geertz, C. (1973) The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Gilsanz, V., Skaggs, D.L., Kovanlikaya, A., Sayre, J., Loro, M.L., Kaufman, F., & Korenman, S. G. (1998). Differential Effect of Race on the Axial and Appendicular Skeletons of Children 1. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 83(5), 1420-1427.

Gilsanz, V., & Ratib, O. (2005). Hand Bone Age: A Digital Atlas of Skeletal Maturity. Springer Science & Business Media. Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (2010) The three human

morphotypes in Indonesia. Indonesian Journal of Social Sciences 2 (2), 70-76.

Glogau, R. G. (1996, September). “Aesthetic and Anatomic Analysis of the Aging Skin”. In Seminars in Cutaneous Medicine and Surgery (Vol. 15, No. 3, pp. 134-138). No longer published by Elsevier.

Guatelli-Steinberg, D., & Irish, J.D. (2005). Brief communication: early hominin variability in f irst molar dental trait frequencies. American Journal of Physical Anthropology, 128(2), 477-484.

Haglund, W.D., & Reay, D.T. (1991). Use of facial approximation techniques in identification of Green River serial murder victims. The American Journal of Forensic Medicine and Pathology, 12(2), 132-142.

Haglund, W.D., & Sorg, M.H. (Eds.). (2001). Advances in Forensic Taphonomy: Method, Theory, and Archaeological Perspectives. CRC Press.

Harris, M. (1997) Culture, People, Nature: An Introduction to General Anthropology (7th Edition). Boston: Allyn & Bacon. Harris, M.O. (2004). The ag ing face in patients of color:

(34)

Hill, P.A., & Orth, M. (1998). Bone remodelling. Journal of Orthodontics,25(2), 101-107.

Irish, J.D., & Guatelli-Steinberg, D. (2003). Ancient teeth and modern human origins: an expanded comparison of African Plio-Pleistocene and recent world dental samples. Journal of Human Evolution, 45(2), 113-144.

Jurmain, R., et al. (2013). Introduction to Physical Anthropology. Belmont, CA: Cengage Learning.

Khongsdier, R. (2007). Bio-cultural Approach: The essence of anthropological study in the 21st Century. Anthropology today: Trends, Scope and Applications. American Anthropologist. Special Volume, (3), 39-50.

Kimura, R., Yamaguchi, T., Takeda, M., Kondo, O., Toma, T., Haneji, K., ... & Osawa, M. (2009). A common variation in EDAR is a genetic determinant of shovel-shaped incisors. The American Journal of Human Genetics, 85(4), 528-535. Kobyliansky, E., Livshits, G., & Pavlovsky, O. (1995). Population

biology of human aging: methods of assessment and sex variation. Human Biology, 87-109.

Koerner, L. (1996). 9 Carl Linnaeus in his time and place. Cultures of Natural History, 145.

Koentjaraningrat (2002) Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Kokich, V. G. (1976). Age changes in the human frontozygomatic s ut u r e f r om 2 0 t o 9 5 ye a r s. A mer ic a n jou r n a l of orthodontics, 69(4), 411-430.

Kurdi, F.A.Z.M.S. (2013). Motivasi perkawinan endogami pada Komunitas A lawiy yin di Martapura Kabupaten Banjar. Muadalah, 1(2).

(35)

metrics and morphology. American Journal of Physical Anthropology, 126(1), 56-60.

Lewis, H. S. (1998). “The Misrepresentation of Anthropology and Its consequences”. American Anthropologist 100 (3): 716–731. Marks, J. (1995) Human Biodiversity: Genes, Race, and History.

New York: Aldine de Gruyter.

Mayhall, J. T., & Saunders, S. R. (1986). Dimensional and discrete dental trait asymmetry relationships. American Journal of Physical Anthropology,69(3), 403-411.

Meadows, L., & Jantz, R.L. (1992). Estimation of stature from metacarpal lengths. Journal of Forensic Science, 37(1), 147-154.

Miller, B.D. (2005). Cultural anthropology. Boston, MA: Pearson. Molnar, S. (1971). Human tooth wear, tooth function and cultural

variability. American Journal of Physical Anthropology, 34(2), 175-189.

Mora, S., Boechat, M.I., Pietka, E., Huang, H.K., & Gilsanz, V. (2001). Skeletal age determinations in children of European and African descent: applicability of the Greulich and Pyle standards. Pediatric Research, 50(5), 624-628.

Nuringtyas, M. dan Artaria, M.D. (n.d.) “Difference Timing of Tooth Eruption between Javanese and Chinese Children Age 7 years”. Unpublished paper.

Nuryani, D., & Lestari, P. (2013). Latar belakang dan dampak perkawinan endogami di Desa Sidigde Kabupaten Jepara. Unnes Civic Education Journal, 1(2).

Oktaviana, I.R. dan Artaria, M.D. (n.d.) “Difference Timing of Tooth Eruption between Javanese, Chinese, and Arab Children Age 7 years”. Unpublished paper.

(36)

Osborne, R.H., Horowitz, S.L., & De George, F.V. (1958). Genetic variation in tooth dimensions: a twin study of the permanent anterior teeth. American Journal of Human Genetics, 10(3), 350.

Parwesi, N.K.Y., & Agus Sudaryanto, S. H. (2012). “Perkawinan Endogami di Kalangan Masyarakat Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem Bali”. (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Persson, M., & Thilander, B. (1977). Palatal suture closure in man from 15 to 35 years of age. American Journal of Orthodontics, 72(1), 42-52.

Quirmbach, F., Ramsthaler, F., & Verhoff, M.A. (2009). Evaluation of the ossification of the medial clavicular epiphysis with a digital ultrasonic system to determine the age threshold of 21 years. International Journal of Legal Medicine, 123(3), 241-245.

Richardson, E.R. (1980). Racial differences in dimensional traits of the human face. The Angle Orthodontist, 50(4), 301-311. Ruff, C. (2002). Variation in human body size and shape. Annual

Review of Anthropology, 211-232.

Sarjan, A. (2013). Nikah lintas agama dan riddah di Indonesia. An-Nisa,6(2).

Schmeling, A., Reisinger, W., Geserick, G., & Olze, A. (2006). Age estimation of unaccompanied minors: Part I. General considerations. Forensic Science International, 159, S61-S64.

Sciulli, P.W., & Giesen, M.J. (1993). An update on stature estimation in prehistoric Native Americans of Ohio. American Journal of Physical Anthropology, 92(3), 395-399.

(37)

Setianingsih, H dan Artaria, M (2011) “The Differences between Male and Female Skulls in Several A nthropometric Measurements”. Proceeding International Conference APICA 2011. Surabaya, 22-23 July 2011.

Setianingsih, H. & Artaria, M.D. (2011) “The Differences between Male and Female Javanese Skulls in Several Anthropometric Measurements”. Proceeding International Conference APICA 2011. Surabaya, 22-23 July 2011.

Stocking, G.W. (1968). Race, Culture, and Evolution: Essays in the History of Anthropology. University of Chicago Press. Stocking, G.W. (1974). The Shaping of American Anthropology

1883-1911. A Franz Boas Reader.

Suparlan, P., ed. (1993) Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali.

Suo, J., Zhu, S.C., Shan, S., & Chen, X. (2010). A compositional and dynamic model for face aging. IEEE Transactions on Pattern Analysis and Machine Intelligence, 32(3), 385-401.

Taylor, R.M.S. (1969). Variation in form of human teeth: I. An anthropologic and forensic study of maxillary incisors. Journal of Dental Research, 48(1), 5-16.

Tibbetts, G.L. (1981). Estimation of stature from the vertebral column in American Blacks. Journal of Forensic Science, 26(4), 715-723.

Townsend, G., Hughes, T., Luciano, M., Bockmann, M., & Brook, A. (2009). Genetic and environmental influences on human dental variation: a critical evaluation of studies involving twins. Archives of Oral Biology, 54, S45-S51.

(38)

Walker, P.L., Dean, G., & Shapiro, P. (1991). Estimating age from tooth wear in archaeological populations. Advances in Dental Anthropology, 169, 187.

Wardani, N.P.Y. (2013) Pelaksanaan perkawinan endogami pada masyarakat Bali Aga di Desa Adat Tenganan pegringsingan Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Jurnal Jurusan Pendidikan PKn, 1(4).

Washburn, S.L. (1951) “The new physical anthropolog y”, Transactions of the New York Academy of Sciences, Series II, 13:298–304.

Washburn, S.L. (1953) “The strategy of physical anthropology”, In A. L. Kroeber ed., Anthropology Today. Chicago: University of Chicago Press. Pp.714-726.

(39)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Prof. Myrtati D. Artaria. Dra., MA., Ph.D. Telephone/Fax kantor : (031)5011744 / (031)5012442

E-mail : myrtati@gmail.com,

myrtati.artaria@fisip.unair.ac.id Unit Kerja dan Alamat : Departemen Antropologi, FISIP,

Universitas Airlangga,

Jalan Airlangga 4-6, Surabaya 60286, Indonesia

Mata kuliah

Antropologi Dental, Sosial-Biologi, Antropometri, Teknik Penulisan Ilmiah, Primatologi, Osteologi, Antropologi Forensik, Penulisan Proposal A ntropolog i, A ntropolog i Kesehatan, Antropologi Ragawi, Antropologi Budaya

Riwayat Pendidikan

SDN IV Kawedanan Kepanjen, Kabupaten Malang, lulus tahun 1979

SMPN 6 Kodya Malang, lulus tahun 1982

SMA PPSP IKIP Malang Pengetahuan Alam dan Matematika, lulus tahun 1984

Sandwich High School, Illinois, USA, Peminatan Biologi, lulus tahun 1985

S1 di Universitas Airlangga, Surabaya, dalam Bidang Antropologi, lulus tahun 1990

S2 di Arizona State University, Arizona, USA, dalam Bidang Antropologi Ragawi, lulus tahun 1996

(40)

Riwayat Pelatihan

1996 : “Basic Forensic Facial Reconstruction from the Skull”. Di: Scottsdale Artist School, 3720 N. Marshal Way, Scottsdale, AZ 85252 USA.

1999 : “Advance Forensic Facial Reconstruction from the Skull”. Di: New York Institute of Photography, NY, USA.

2007–2015: “Training in Managerial and Editorial of Scientific Journal”. Di: (berbagai tempat).

Riwayat Jabatan:

2010 : Ketua Tim Pengembangan Jurnal UNAIR

Sept. 2015 – Nov 2015: Ketua Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi UNAIR

Nov. 2015–sekarang: Wakil Dekan 3 FISIP UNAIR

Publikasi Jurnal, Buku dan Book Chapter

Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (1992) Die beziehung zwischen hassenlippe und gaumenspalte und endogamie. Zeitschrift f. Morphologie u. Anthropo logie (ZMA).

Artaria, M.D. (1992) Morfologi tubuh orang Indonesia. Anthropica. Universitas Airlangga.

Glinka, J., Artaria, M. D., Koesbardiati, T. (1996) Zur beziehung zwischen lippen- und gaumenspalte und verwandtenehen. Homo-Journalof Comparative Human Biology Vol. 46/3. Artaria, M.D. (1997) Dentisi ditinjau dari perspektif antropologi.

Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. (Mei)

Artaria M, Henneberg M, (2000) Why did they lie? Socioeconomic bias in reporting menarcheal age. Annals of Human Biology 27(6):561-569

(41)

Artaria, M. & Henneberg, M. (2002) Response to the Letter to the Editor “Why did they lie? Socio-economic bias in reporting the age of menarche”. Annals of Human Biology 29(2): 221. Artaria, M.D. (2007) Short communication: Dental trait variation

and age determination based on dental wear: A Preliminary Study of Javanese. Dental Anthropology Vol. 20:42-44. Artaria, M.D. and Henneberg, M. (2007) Schoolchildren who do

not reach WHO reference despite good socioeconomic status: A mixed-longitudinal study of body height and weight of Javanese and Cape-Coloured Schoolchildren. Schweizerischen Gesellschaft für Anthropologie (SGA).

Artaria, M.D. (2007) “Jenis kelamin manusia ditinjau dari perspektif biologis”. Bunga Rampai Wacana Masalah Gender, Multikulturalisme, dan Anak. Editor: Y. Ernawan. Surabaya: FISIP UNAIR

Artaria, M.D. & Henneberg, M. (2008) The existence of a peak in adolescent’s height increments. Folia Medica Indonesiana, July- Sept 2008(3).

Glinka, J., Artaria, M.D., Koesbardiati, T. (2008) Metode Pengukuran Manusia. Surabaya: Airlangga University Press.

Artaria, M. (2008) Comparative study of cephalometric traits in various ethnic groups in Indonesia. Biomorfologi. January 2008 (1).

Artaria, M.D. (2008) “Jangan memusuhiku...!” Fungsi lemak (makanan berlemak dan jaringan lemak) untuk tubuh manusia. Dalam Manusia Makhluk Sosial Biologis. Glinka, J., Artaria, M., Hendrawati, L., Koesbardiati, T. Surabaya: Airlangga University Press.

(42)

Artaria, M.D. (2008) “Pertumbuhan tulang”. Dalam Manusia Makhluk Sosial Biologis. Glinka, J., Artaria, M., Hendrawati, L., Koesbardiati, T. Surabaya: Airlangga University Press. A r t a r i a , M . D. (2 0 0 8) “ Velo s it a s t i n g g i b a d a n den g a n

mempertimbangkan tahun penelitian dan lokasi”. Dalam Manusia Makhluk Sosial Biologis. Glinka, J., Artaria, M., Hendrawati, L., Koesbardiati, T. Surabaya: Airlangga University Press.

Artaria, M.D. (2009) Peran faktor sosial-ekonomi dan gizi pada tumbuh kembang anak. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Edisi Januari-Maret Vol. 22(1)

Artaria, M. D. (2009) Perbedaan antara laki-laki dan perempuan: Penelitian antropometris pada anak umur 6-19 tahun. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol. 22(4)

Artaria, M.D. (2009) Antropologi Dental. Yogyakarta: Graha Ilmu

Artaria, M.D. (2009) Growth of Adolescence: Cross-sectional, Mixed-Longitudinal and Longitudinal Studies. Saarbrücken (Germany): LAP.

Artaria, M. D. (2010) Dental traits of Javanese. Dental Anthropology Vol 23:74-78.

Artaria, M.D. (2010) Socioeconomic and genetic factors influencing the strength, weight, length, and width measurements of children. Folia Medica Indonesiana vol 46 no 3, juli-sept 2010 Artaria, M.D. (2010) The three human morphotypes in Indonesia.

Indonesian Journal of Social Sciences, Vol 2(2): 70-76. Feirizza and Artaria, M. D. (2010) Exogamy and increased MMR

in Banyuwangi. Jurnal Ilmu Sosial Vol 11(1):11-18.

(43)

Artaria, M.D. (2011) “Literature and folklore”. Encyclopedia of Asian American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor: Katherine Nadeau dan Jonathan. ABC Clio (USA).

Artaria, M.D. (2011) “Names and name giving”. Encyclopedia of Asian American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor: Katherine Nadeau dan Jonathan. ABC Clio (USA).

Artaria, M.D. (2011) “Proverbs and maxims”. Encyclopedia of Asian American: Folklore and Folklife. Vol 2. Editor: Katherine Nadeau dan Jonathan. ABC Cleo (USA).

Artaria, M.D. (2012) Primatologi untuk Antropologi. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga bekerja sama dengan Revka Petromedia.

Artaria, Myrtati D. (2013) Pengaruh faktor keturunan terhadap proporsi tubuh anak. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Vol 26(1).

Artaria, Myrtati D. (2013) Tumbuh-kembang anak laki-laki usia pra-puber rentan terhadap pengaruh lingkungan. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik vol 26(3)

Artaria, M.D. (2014) Ukuran Antropometris di Usia 18-21 pada DeuteroMalayid dan Mongoloid. Biokultur Vol 3(2).

Artaria, M.D. (2015) Teknik Penulisan Ilmiah. Surabaya: FISIP UNAIR bekerja sama dengan Revka Petramedia.

Artaria, M.D. (2016) “Membangkitkan kembali yang telah mati”. Dalam Buku Kematian: Perspektif Antropologi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, Airlangga University Press.

Artaria, M.D. (2016) “Pop Music in Indonesia”, SECTION 1: Popular Music, Encyclopedia of Popular Culture in Asia and Oceania. ABC Cleo (USA)

(44)

Artaria, M.D. (2016) “Teeth filing in Surabayan Javanese and Balinese: A change in tradition”. PART III: SOUTHEAST ASIA, AUSTRALIA, AND OCEANIA: Different Lands and Possibilities. In: A World View of BioCulturally Modified Teeth: Past and Present. University Press of Florida (USA)

Konferensi & Proceeding

Artaria, M.D. (2009) “Tinggi dan berat badan anak di SDN Pucang V” (POSTER). Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia 2009.

Artaria, M.D. (2009) “Differences between males and females: anthropometric study of children”. Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia 7-8 Agustus 2009. Artaria, M.D. (2010) “Preventing the spread of HIV/AIDS using

cultural approach” International Seminar: New Strategies for “the control and prevention of zoonotic dieases” 22-23 june 2010. In Surabaya. PROCEEDING ISBN: 978-602-8967-00-6.

Artaria, M.D. (2010) “Global mobility: Possible consequences in the spreading of infectious diseases”. International 5th CRISU CUPT Conference, Chiang Mai University, Thailand, 7-9 Juli 2010.

Artaria, M.D. (2010) “Ukuran Mesio Distal Gigi Jawa (Dental measurements of Javanese)”. Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia Jakarta, 27-28 November 2010

(45)

Setianingsih, H and Artaria, M. (2011) “The Differences between Male and Female Javanese Skulls in Several Anthropometric Measurements”. Proceeding of Anatomy International Conference, A PICA and Kong res Nasiona l Ta hunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, July 2011.

Ariningsih, F.N., Nuringtyas, M., Paramita, P.D.A., Artaria, M.D. (2011) “Adapting 3D Method into 2D Method in Facial Reconstruction from the Skull”. Anatomy International Conference, Poster. APICA and Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, July 2011.

Artaria, M.D. (2011) “Reconstruction of Face from the Skull”. Proceeding of Anatomy International Conference, APICA and Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, July 2011. Proceeding ISBN: 978-602-99668-00 Artaria, MD., Henneberg, M., Ariningsih, F.N., Paramita, P.D.A.,

Firmansyah, F., Marjono, W. (2012) “The Occurrence of Premola r R otation a mongst Surabaya n Samples: A Preliminar y Study “. Proceeding of A nthropolog y International Conference. “Celebrating Anthropology”. June 2012.

Artaria, M.D., Rahmawati, Y., & Setianingsih, H. (2012) “Body Mass Index (BMI), Berat Badan, Tinggi Badan, dan Fat Skinfold Perempuan ≥ 60 tahun di Panti dan Perkumpulan Lanjut Usia di Surabaya”. Proceeding Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Denpasar, Oktober 2012.

Artaria, M.D. (2013) “Sustaining Academic Publication: Lessons Learned from Submitted Manuscripts to Indonesia n Journals”. Surabaya May 2, 2013. ASAIHL International Conference.

(46)

Meeting: Integrating Science, Technolog y and Culture. International Conference. Batu, 21 Feb. 2014.

Artaria, M.D. (2014) “Teeth Filing in Surabayan Javanese and Balinese: A change in tradition”. American Association of Physical Anthropologists Annual Conference. April 2014. Calgary, Canada.

Artaria, M.D. (2014) “The Prevalence of Anterior Fovea in Deuteromalayid Javanese”. Conference of Australasian Society of Human Biology. Adelaide, Australia. December 2014.

Artaria, M.D. (2016) “Metode , Teknik, dan Aplikasi dalam Antropologi Dental”. Proceeding Kongres Nasional Tahunan Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia, Surabaya, Agustus 2016.

Koran

Artaria, M. D. (1993) Kondisi Masyarakat tentukan Kejahatan, Koran Memorandum.

Artaria, M. D. (2008) Mengidentifikasi Mr./Mrs. X. Harian Radar Surabaya, September 2008.

Artaria, M. D. (2015) Mengidentifikasi korban melalui tengkorak. Harian Jawa Pos, 14 January 2015.

Beasiswa

1984–1985 AFS (American Field Service) Scholarship 1993–1996 Fulbright Scholarship

1998–2003 AUSAID Scholarship

Riwayat Penghargaan

(47)

2009 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se FISIP. Dari: FISIP Universitas Airlangga

2009 : Kartini Award “Perempuan ber IPTEK dan berkeahlian unik”. Dari: Surabaya Plaza Hotel dan Pusat Studi Wanita

2009 : Juara 1 Web-Blog dosen se-Unair. Dari: Universitas Airlangga

2009 : Satya Lencana Karya Satya 10 tahun. Dari: Presiden RI 2010 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se FISIP. Dari: FISIP

Universitas Airlangga

2010 : Dosen Berprestasi peringkat ke I se UNA IR. Dari: Universitas Airlangga

Gambar

Gambar 1. Contoh rekonstruksi wajah dari tengkorak tidak beridentitas. Gambar 1A: rekonstruksi 3D (patung wajah dan kepala); di bagian dalam adalah tengkorak individu tersebut, yang diberi lapisan jaringan kulit wajah dari bahan khusus (“clay”)

Referensi

Dokumen terkait

Atap Konstruksi atap bangunan pada projek ini menggunakan sistem struktur kayu untuk seluruh bangunan yang ingin menonjolkan ciri khas Chinese Architecture, struktur space

Alhamdulillahirobbill’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan

In short, there are many ways to be successful, but this study tries to prove that using ice breaking can help the teacher promote active learning, because ideally, the

15 Modul merupakan salah satu bahan ajar yang akan membantu guru dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik tidak harus mengandalkan guru sepenuhnya akan

Tujuan Penelitian ini adalah (1) Mengetahui hasil belajar siswa pada mata pelajaran biologi dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Talking Chips di kelas XI IPA

(RAD), untuk desain prototype menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0 dengan adanya sistem yang baru ini maka diharapkan dapat membantu. dalam proses pencatatan neraca

Unit 1 (listening : understanding the simple instruction and responding.. the simple instruction. Speaking : telling the simple information and simple conversation. Reading :

Di Sumatra Selatan, tepatnya di kota Palembang, terdapat banyak perusahaan yang menjual produk oli masih menggunakan sales sebagai perantara penyebaran