• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA SAMMARIA SIMANJUNTAK Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

x ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis wacana resistensi perempuan Batak yang direpresentasikan oleh film Demi Ucok yang menentang adanya dominasi-dominasi sistem patrilineal dalam etnis Batak. Penelitian ini menggunakan analisis wacana (discourse analysis) berperspektif kritis yang meliputi teks,

discourse practice (pelibat teks) dan sociocultural practice sebagai bahan analisis. Pisau analisis tersebut digunakan peneliti untuk mengungkap bagaimana resistensi perempuan Batak tersebut diwacanakan sekaligus melihat dominasi-dominasi yang diwacanakan dalam film sehingga menyebabkan munculnya wacana resistensi tersebut.

Untuk dapat menjelaskan bagaimana wacana dominasi dan resistensi perempuan Batak diartikulasikan dalam film, peneliti mengaitkan dengan wacana-wacana lain yang saling berkorelasi dengan penelitian. Wacana kekuasaan (power), konsep mayoritas dan minoritas, stereotipe hingga mengaitkan dengan identitas etnis khususnya kaitannya dengan sikap etnosentrisme etnis Batak. Selain itu, dalam menganalisis peneliti memandang melalui kacamata feminisme untuk membongkar dominasi-dominasi yang diwacanakan dan kacamata postfeminisme dalam melihat bentuk resistensinya.

Penelitian ini menunjukkan bahwa teks kultural yang direproduksi film Demi Ucok ternyata memperlihatkan adanya bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan kaum perempuan. Tiap kaum perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang beragam seperti halnya yang dibicarakan dalam perspektif post-feminisme. Namun, ternyata resistensi perempuan tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki. Dalam hal ini, resistensi kaum perempuan tersebut justru menguatkan dominasi sistem patrilineal tersebut. Sehingga sebenarnya wacana resistensi perempuan Batak terhadap sistem patrilineal ini masih dilematis karena resistensi perempuan sebenarnya hanya mengukuhkan sistem patrilineal itu sendiri.

(2)

ABSTRACT

This research analyzes Batak’s female resistence discourse which is represented by movie “Demi Ucok” which is against domination of patrilineal system in Batak ethnic.This research uses critical perspective discourse analysis which includes discourse, discourse practice, and sociocultural practice as materials analysis.The researcher uses those methods to reveal the Batak's female resistence is discoursed and to see the dominations, which is discoursed in the movie, which is giving rise to the resistence discourse.

The researcher connects to the other discoures which corelates each other with the research to explain the domination discourse and resistence of Batak's women in the movie. Power discourse, majority and minority concept, stereotype, up to ethnic identities, specifically those connection with the Batak ethnic ethnocentrism attitude.Moreover, the researcher uses 2 methods of analyzation, feminism perspective to reveal the dominations and post-feminism perspective to know the resistence's form.

(3)

III-41

peneliti semakin diperjelas melalui arti tersebut, ditambah dengan adanya pelabelan harga yang diberikan pada kedua anjing peliharaan tersebut.

Manohara bernilai Rp 1.200.000 sedangkan Bobot bernilai jauh di bawah harga Manohara yaitu senilai Rp 40.000. Ditambah lagi, Bobot menggunakan baju persib (tim sepak bola Bandung) yang bernilai Rp 70.000. Baju persib tersebut memiliki harga yang lebih tinggi dibanding Bobot sendiri. Dapat diartikan Manohara memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan Bobot. Dalam dimensi tekstual, apabila dihubungkan dengan konteks perkawinan, pesan yang hendak disampaikan disini ialah perkawinan satu suku memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perkawinan beda suku.

Gambar 3. 10 Mak Gondut Dan Kedua Anjing Peliharaannya Dalam Nilai Harga

Masing-Masing

(4)

adanya prasangka dan diskriminasi yang terjadi pada kelompok mayoritas (dominan) dengan minoritas ialah etnosentrisme itu sendiri.

Produsen teks (Mak Gondut) merupakan perempuan Batak yang juga merupakan keturunan murni Batak. Dalam perkawinannya pun, ia berhasil menikah dengan laki-laki satu suku. Disini peneliti menginterpretasi bahwa Mak Gondut hendak memberikan pesan bahwa ia merupakan salah seorang perempuan yang mahal (memiliki nilai tinggi) karena melalui perkawinan satu suku dan memiliki keturunan murni Batak (Gloria). Perilaku ini sebenarnya ialah untuk mengokohkan sistem patrilineal itu sendiri bahwa kenyataanya kaum Batak memiliki keunggulan yang memandang bahwa kaum Batak seharusnya memilih untuk menikah dengan kaum Batak lainnya untuk memperoleh peningkatkan harkat (kenaikan harga kalau dalam perumpamaan tersebut) dibandingkan kaum lain sehingga masyarakat Batak seharusnya memiliki sikap etnosentrisme tersebut.

Scene tersebut seakan menjelaskan mengenai komentar-komentar dari orang-orang mengenai perkawinan (dalam scene sebelumnya) dimana nikah seharusnya pilihan dan ibadah sehingga adat seharusnya tidak membatasi seseorang memilih untuk menikah dengan kaum Batak atau tidak. Peneliti menginterpretasi bahwa scene Mak Gondut ini menutup dengan jawaban tegas mengenai pertanyaan pada scene sebelumnya “mengapa kawin dengan Batak?”. Hal ini karena Mak Gondut melihat

(5)

III-43

mengenai ras murni yang dianggap lebih mahal dibandingkan ras campuran.

Gambar 3. 11 Glo Bersama Dengan Tompul Di Rumah Niki

Scene ini ketika Tompul, laki-laki Batak yang dijodohkan dengan Gloria, bimbang untuk memilih mengikuti kata hatinya atau mengikuti permintaan orang tuanya yang menginginkan untuk menikah dengan perempuan Batak. Ia merasa berat hati untuk menikah dengan perempuan Batak karena Tompul sudah terlanjur mencintai seorang perempuan asal Padang. Hubungan mereka kandas karena orang tua Tompul tidak mengizinkannya. Tompul telah berjanji untuk menikah dengan perempuan Batak sebelum sesaat setelah ibunya meninggal. Namun kemudian Gloria berusaha menyadarkan Tompul untuk mengikuti kata hatinya, yaitu dengan mempertahankan hubungannya dengan perempua Padang tersebut. Tompul kemudian merenung. Tak lama kemudian, Glo mengatakan seperti dibawah ini:

“Udah, lagian kalo elo kawin sama gue elo harus bayar

sinamot 2 juta perkilo.

Ya kan? Kalau ama orang padang, elo yang dibayar.”

(6)

tersebut. Scene ini menunjukkan penekanan ekspresi dimana Glo seakan mengajari (menuntun) Tompul. Ekspresi Tompul yang tersenyum dan menundukkan sedikit kepalanya tanpa melihat ke arah Glo sementara Glo memfokuskan matanya melihat Tompul dengan seakan hendak menampilkan adanya posisi “pengajar” sedang bercengkraman dengan “yang didik”. “Pengajar” disini diartikan peneliti sebagai seseorang yang dianggap benar sedangkan “yang didik” dianggap tidak mengerti apa-apa dan sebaiknya mendengarkan “pengajar”. Secara implisit menjelaskan

bahwa pernyataan Glo merupakan kebenaran dimana perempuan Batak memiliki keistimewaan melalui sinamot yang lebih tinggi dibandingkan perempuan Padang. Sikap etnosentrisme ini sudah dimunculkan melalui non verbal yang ditunjukkan tersebut.

Sinamot adalah harga yang harus dibayar oleh pihak laki-laki kepada perempuan ketika hendak menikahi perempuan tersebut. Sinamot disini memiliki arti serupa dengan ‘mahar’. Melalui kutipan diatas, peneliti

(7)

III-45

kaum yang sama dengannya (sama-sama Batak) sehingga Gloria tidak sungkan atau takut menyinggung ketika mengucapkan kalimat tersebut.

(8)

Etnosentrisme membawa pengabdian individu ke titik ekstrim dimana individu tersebut tidak dapat mempercayai bahwa budaya lain yang terkait perilaku, norma-norma, cara berpikir, dan cara-cara menjadi sebagai baik atau layak bagi individu tersebut (Priandono, 2014, hal. 201). Sebagaimana kutipan dibawah ini:

“Jadi harimau itu sekarang sudah menjelajah jakarta

untuk menaklukan lebih banyak lagi Batak-Batak

cantik.”

(9)

III-47

Gambar 3. 12 Glo Bersama Opung Sedang Ngobrol

Opung merupakan salah seorang perempuan Batak yang pada akhirnya mengambil pilihan untuk menikah dan melahirkan serta mengasuh anak. Pilihan itu diambil opung dengan konsekuensi menguburkan impiannya menjadi seorang opera Batak.

“Lagi mencari Batak-Batak cantik. Nyari aku dong

pung? Bukan kau, mamak kau.”

(10)

Gambar 3. 13 Gloria Heran Dengan Jawaban Opung Tentang Konsep Batak

Cantik

Lantas yang membedakan Gloria dengan Mak Gondut sebenarnya hanya kepada prinsip atau pola pikir. Gloria dengan mindset mengejar dan meraih mimpi sedangkan Mak Gondut yang memilih untuk menikah dan berperan sebagai ibu rumah tangga. Apabila dihubungkan, maka peneliti menginterpretasikan bahwa yang termasuk dalam Batak cantik ialah perempuan Batak yang menikah dan melahirkan anak. Maka, pesan peringatan tersebut dimaknai sebagai pesan agar perempuan Batak (yang memilih menikah dan melahirkan anak) dapat lebih waspada terhadap daya tarik laki-laki suku lain. Ini yang disebut peneliti dengan pengesklusifan suatu kaum, dalam hal ini kaum Batak itu sendiri. Perempuan lagi lagi menjadi objek untuk dapat menjelaskan ekslusivitas kelompok tertentu (pemisahan kelompok satu dengan lainnya). Dikatakan bahwa perempuan Batak seharusnya masuk dalam “Perempuan Batak Cantik” dan “Perempuan Batak Cantik” harus berhati-hati dengan kaum

(11)

III-49

3.2 Resistensi Perempuan Batak dalam Film Demi Ucok

Sistem patrilineal yang terus mengakar dan cenderung mendominasi sehingga mendiskreditkan perempuan mengakibatkan perempuan semakin kritis dan berhati-hati mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem patrilineal itu sendiri termasuk kehati-hatian memasuki institusi perkawinan. Ketidakadilan gender yang seringkali terjadi ketika perempuan memasuki tahap perkawinan ialah kekerasan. Telah cukup banyak kasus yang berkaitan dengan bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan dalam keluarga. Kekerasan berupa fisik maupun dominasi laki-laki dalam menentukan peran perempuan itu sendiri. Anggapan mengenai perempuan yang hanya memiliki peran dalam ranah domestik dan tidak memiliki kemampuan untuk memasuki ranah publik juga salah satunya. Pertentangan atau konflik seperti hal itu seringkali kemudian menimbulkan kekerasann fisik. Maka tak asing lagi bila mendengar istilah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam hal ini terjadi ketidakdilan gender dimana tidak adanya kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Hal ini cenderung dikarenakan:

(12)

Seperti halnya, seorang perempuan yang seharusnya pintar masak, karena itu adalah kodratnya. Asumsi itu tidaklah benar karena tidak ada unsur biologis yang berkaitan dengan hal masak-memasak dalam diri seorang perempuan, begitu pula dengan laki-laki. Maka, sewajarnya kegiatan memasak ini dapat dilakukan oleh kedua sepasang suami istri, mereka dapat saling bertukar peran sehingga relasi gender terjalin dengan baik.

Ketiadaan bertukar peran yang seharusnya dilakukan inilah yang seringkali membawa perempuan pada posisi inferior, dimana perempuan berada pada kondisi yang tersubordinasi oleh laki-laki. Kedudukan kepala keluarga biasanya diberikan kepada laki-laki. Kuasa tersebut menyebabkan laki-laki menjadi kaum superior dalam keluarga. Laki-laki dapat mengatur seisi keluarga, termasuk sosok yang menjadi pendampingnya (istri). Perempuan diletakan dalam posisi pendamping suami, dalam hal ini saja sudah nampak jelas bentuk subordinasi terhadap perempuan pada kedudukan perempuan dalam institusi keluarga.

(13)

III-51

muncul dalam cara-cara yang baku. Resistensi dapat terbuka, implisir, segera atau tertunda. Maka, peneliti tertarik untuk mengelompokkan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh kaum-kaum perempuan yang ada dalam film Demi Ucok, seperti dibawah ini:

3.2.1 Perempuan sebagai Pemimpi

Perempuan dapat melakukan resistensi dalam berbagai bentuk. Resistensi atau perlawanan yang dilakukan dapat melalui kekerasan, seperti balas memukul, mencakar, menampar, dsb. Namun juga ada perlawanan yang hanya sebatas melawan secara verbal dengan kata-kata kasar dan suara dengan intonasi tinggi. Tidak hanya itu, perlawanan juga dapat dilakukan dengan diam membisu ketika diperlakukan tidak berkenan, dalam hal ini perempuan hanya menerima saja (Irianto dkk, 2006, hal.59). Begitu juga halnya dengan wujud perlawanan dalam film Demi Ucok yang beragam. Sebagaimana komentar Sammaria mengenai resistensi yang dimunculkan dalam film:

Sammaria (sutradara): Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.

(14)

kehidupan, dimana resistensi juga menjadi bagian dari kehidupan yang dinamis tersebut.

Perempuan sebagai seorang pemimpi adalah konsep yang paling sering ditampilkan dalam film ini. Konsep ini beberapa kali ditampilkan dalam beberapa scene dengan tokoh dan sudut pandang yang berbeda pula. Seperti halnya scene dibawah ini:

“Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen

jadi artis.”

Gambar 3. 14 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Glo tentang Perempuan Pemimpi

“Dia pergi ke ibu kota mengejar mimpinya.”

Gambar 3. 15 Hal. 2 Cerita Perempuan Pemimpi

“Si pemimpi bertemu seorang Batak ganteng dan dijanjikan hidup happily ever after.”

(15)

III-53

“Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram

mimpi sendiri. Si pemimpi takut gagal.”

Gambar 3. 17 Hal. 4 Cerita Perempuan Pemimpi

“Dia memilih get married, forget her dream, and live boringly ever after.

Gambar 3. 18 Hal. 5 Cerita Perempuan Pemimpi

(16)

lembaga perkawinan, perempuan terinstitusionalisasi secara sosial sebagai pekerja rumah tangga.

Kalimat akhir yang mengatakan

get married, forget her dream, and live boringly ever after” secara eksplisit memperlihatkan kondisi serta

posisi setelah perempuan memiliki unit sistem baru, yaitu keluarga. Bagaimana perempuan sesungguhnya dalam keluarga berkaitan pula dengan peran yang dilakukan sebagai istri. Pengambilalihan kekuasaan yang seharusnya dimiliki keduanya, saat ini hanya dimiliki laki-laki yang mendapat kedudukan atau posisi baru selain jadi suami, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Pembagian peran tidak lagi rata dan adil seperti yang dibayangkan. Plato (dalam Suhelmi, 2007, hal.40) juga melihat bahwa lembaga perkawinan telah menciptakan ketidaksamaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak memiliki kekuatan, ia hanya makhluk inferior bagi suaminya. Pada akhirnya, perempuan “terpaksa”

meninggalkan atau melupakan mimpinya.

(17)

III-55

Batak ialah dengan mewujudkan mimpi tersebut. Dengan mengusung konsep perempuan sebagai pemimpi, sebenarnya terselip harapan untuk dapat meresisten atau melawan dominasi laki-laki dalam sistem patrilineal Batak dalam perkawinan. Salah satunya ialah mengambil peran (bekerja) dalam ranah publik. Konsep yang dimaksudkan ialah perempuan juga dapat bekerja layaknya laki-laki lakukan dan itu bukan hanya sekedar mimpi belaka. Perempuan tidak hanya bisa mengonsep mimpinya tetapi melaksanakan atau mewujudkan mimpinya. Sebagaimana diungkapkan oleh sutradara:

Sammaria (sutradara): film sebaiknya memberikan harapan.

Disini, kata “harapan“ yang sebenarnya hendak ditekankan oleh

Sammaria. Film sebagai medium dimana istilah “harapan” hendak diwacanakan sebagai salah satu bentuk resistensi perempuan dalam konsep perempuan pemimpi. Bahwa resistensi tidak berarti dalam bentuk kekerasan atau dengan bentuk anarkis, mimpi dapat menjadi bentuk resistensi baru yang dapat digunakan perempuan dalam mewacanakan harapan yang dimiliki oleh setiap manusia, terutama perempuan itu sendiri.

(18)

yang dijalankan ialah mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga seperti merawat anak, memasak, dsb. Perempuan yang bekerja sebagai seorang artis (penghibur) kerap kali dikaitkan dengan isu-isu sensualitas/erotisme (Munti, 2005, hal. 118). Perempuan sebagai artis dimaknai konotasi, seperti misalnya mengumbar dan mempertunjukkan auratnya.

Masih berkaitan dengan pembahasan sebelumnya, terdapat kalimat dalam kisah perempuan pemimpi itu yang mengatakan seperti ini:

“Seseram-seramnya ibu kota, lebih seram mimpi sendiri.

Si pemimpi takut gagal.”

Mimpi disimbolkan dalam bentuk yang menyeramkan, bahkan lebih menyeramkan dari ibukota. Mimpi memiliki pengertian yang berbeda-beda. Novel karya Lan (2006) mengisahkan kehidupan manusia yang penuh dengan uang, seks, sekaligus cinta dan kebersamaan melihat mimpi sebagai tanda dimana kehidupan itu ada, Maka seperti inilah kutipan dalam novel tersebut:

Aku butuh mimpi. Aku butuh hidup. Aku butuh asa. Ku butuh cinta. Aku butuh mimpi yang hidup tentang asaan cinta. Karena mimpi, hidup itu ada (Lan, 2006, hal.271).

(19)

III-57

dapat memahami mimpi, berarti mampu memahami diri sendiri (Dee dkk, 2005, hal.1). Mimpi memiliki berbagai tafsir dan cenderung memiliki makna pribadi berdasarkan pengalaman, keyakinan agama, tradisi budaya setempat dan kehidupan masyarakat kini. Dominasi laki-laki dalam sistem patrilinealnya yang diwujudkan dalam sosok Mak Gondut dengan ambisinya mengawinkan Glo dengan laki-laki Batak disadari oleh Glo sebagai kenyataan yang tak terelakkan. Sehingga muncul konsep kisah perempuan pemimpi yang disampaikan Glo sebagai bentuk resistensinya atas kenyataan tersebut.

Masih dalam konteks mimpi, ketika seseorang dalam keadaan penuh kita memandang segala permasalahan dari sudut pandang praktis dan harafiah, namun pada saat tidur dan bermimpi, masalah yang sama akan dilihat secara intuitif dan simbolis (Dee dkk, 2005, hal.2). Hal inilah yang dimaksud dengan “melihat” kehidupan dari dalam diri. Glo “melihat”

kehidupan dari dalam dirinya bahwa perempuan bukanlah mahluk yang tanpa pilihan. Perempuan memiliki berbagai pilihan untuk “melihat”

kehidupannya. Bagi Glo, kehidupannya ialah menjadi sutradara profesional. Perempuan memiliki kesempatan memiliki kehidupan bekerja dalam ranah publik, tidak melulu dalam ranah domestik seperti stereotipe-stereotipe yang ada. Sekali lagi, Glo memaknai konsep mimpi seperti kutipan perbincangan dibawah ini:

“Masa sih dia ga gay? Kata emak gue sih dia mau ama

(20)

Kutipan dialog tersebut ketika Glo sedang berbincang dengan Niki mengenai Tampubolon, laki-laki yang dijodohkan-jodohkan oleh Mak Gondut kepada Glo. Semalam sebelumnya, Glo mengalami perdebatan yang panjang dengan Mak Gondut tentang laki-laki yang seringkali dijodohkan Mak Gondut. Karena kesal, Glo kemudian kabur dari rumah. Ia kemudian menginap dirumah Niki. Dalam perbincangannya, Glo sempat menyelipkan perkataan “Ga cari aman kayak dia, kawin”.

Dibalik mimpi tersimpan makna simbolis yang mana mengandung pesan agar kita tidak “melarikan diri” dari kenyataan (Dee dkk, 2005,

hal.9). Perempuan yang memutuskan untuk berhenti berimpi (memilih opsi kawin) ialah perempuan yang memilih bermain aman atau dapat disebut “melarikan diri”. Kenyataannya bahwa meraih mimpi memerlukan

(21)

III-59

keamanan keuangan sama seperti mereka mendambakan cinta dan persahabatan (Then, 2008, hal.68). Sehingga perkawinan seakan memberikan alternatif pilihan untuk melarikan diri dengan cara aman dari persaingan yang begitu ketat melawan dominasi laki-laki yang besar dalam ranah publik.

Konsep perempuan pemimpi juga disampaikan oleh tokoh lain, Mak Gondut, dalam menunjukan makna secara implisit mengenai perempuan serta mimpi-mimpinya. Kutipan kisah tersebut ialah seperti dibawah ini:

“Once upon a time di kampung Angrum hiduplah seorang pemimpi yang pengen

jadi artis.”

Gambar 3.19 Halaman Pertama (Hal.1) Cerita Mak Gondut

“Dia pergi ke ibu kota mengejar mimpinya.”

(22)

“Untung mamanya selalu mendoakan anaknya yang sok tau ini.”

Gambar 3. 21 Hal. 3 Cerita Mak Gondut

“Si pemimpi menikah sementara adik -adiknya sibuk mengejar karir”

Gambar 3. 22 Hal. 4 Cerita Mak Gondut

“Akhirnya si adik-adik berhenti nya juga bekerja. Sementara di pemimpi hidup happily ever after.”

Gambar 3. 23 Hal. 5 Cerita Mak Gondut

(23)

III-61

bahagia setelah menikah, adik-adiknya pun akhirnya berhenti bermimpi seperti yang ia lakukan dulu. Menurut kisah tersebut, pekerjaan diinterpretasi peneliti sebagai pembuang waktu, karena pekerjaan tidak memberikan atau tidak mengarahkan pada titik kebahagiaan. Disamping itu, keluarga (khususnya orang tua) memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan perilaku anaknya.

Institusi perkawinan membuka kesempatan pada perempuan untuk mencapai kebahagiaan. Makna bahagia disini disandingkan dengan kata-kata “ever after” dimana berarti kebahagiaan yang didapat tidak

sementara, melainkan berkelanjutan. Perempuan tidak seharusnya bersusah payah mencapai mimpinya. Perempuan tidak seharusnya bekerja dalam ranah publik. Menilik tahun 1950-an, perkawinan merupakan satu-satunya tujuan untuk mencapai standar hidup yang layak (Then, 2008, hal. 68). Mimpi yang sesungguhnya diinginkan perempuan ialah kebahagiaan yang berkelanjutan, yaitu ketika ia berhasil memasuki institusi perkawinan itu sendiri. Institusi perkawinan memberikan perlindungan pada setiap hak-hak perempuan (Burhanudin, 2002, hal.168). Relasi perkawinan memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi kedua belah pihak dalam mencapai kebahagiaan. Institusi perkawinan menciptakan keluarga dimana keluarga merupakan unit terkecil masyarakat.

(24)

apabila kejadian atau peristiwa yang menimpa dirinya (yang masih dalam lingkup keluarga) diketahui orang lain. Rasa malu ini muncul karena ada anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan yang mengalami hal tersebut dari laki-laki sebagian besar disebabkan karena kecerobohan atau perbuatan perempuan sendiri yang tidak berkenan di hati laki-laki. Pembiaran (lumping it) terjadi karena bermacam-macam alasan. Perempuan yang merasa bahwa hal tersebut juga bagian dari kesalahan yang dilakukannya, ketergantungan yang besar terhadap laki-laki, dsb. Keenganan atau pembiaran tersebut akan terus menjadi silence violence

(Irianto dkk, 2006, hal, 69).

Itu sebabnya, perlu pertimbangan yang disandarkan pada akal sehat dan pikiran rasional mengenai untung ruginya mengingat ada kendala dan hambatan dalam praktiknya memasuki institusi perkawinan itu sendiri (Munti, 2005, hal.173). Untuk itu, bahkan ada kiat-kiat yang harus disiapkan sebelum memutuskan membentuk suatu sistem baru yang disebut dengan keluarga. Misalnya, selain aspek emosional, ada kesepakatan mengenai jangka waktu hidup bersama, kepemilikan atas barang dan perlunya mengkomunikasikan segala sesuatu, termasuk masalah kehadiran anak.

(25)

III-63

Gambaran sosok Glo dalam hal ini memperlihatkan betapa individu-individu di era globalisasi ini semakin refleksif dan semakin terlepas dari cengkeraman tradisi.

“Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi!”

Berkali-kali kalimat seperti kutipan diatas diucapkan oleh Glo. Kata sia-sia dipertegas oleh Glo ketika ia sedang berdebat dengan Mak Gondut. Sia sia ditujukan kepada perempuan yang kemudian mengambil keputusan untuk menikah dan meninggalkan keinginannya untuk mengejar mimpinya. Dengan tegasnya Glo memperlihatkan bahwa perempuan dapat melepas cengkraman tradisi etnis Batak yang begitu kuat dengan sistem patrilinealnya dengan mempertahankan konsep perempuan sebagai pemimpi. Mimpi menjadi bentuk resistensi itu sendiri, ketika Glo berusaha dengan keras dan begitu ambisius untuk mengejar mimpi tersebut.

“Yang dipersatukan Tuhan bisa dipisahkan pengadilan negeri, kenapa kita harus kawin?”

Kutipan ini menjadi penanda bahwa ternyata ada pula proses seleksi terhadap nilai-nilai baru yang diwacanakan. Dimana dalam hal ini, Glo melihat pengadilan negeri mengambil bagian atau peran pada institusi perkawinan. Menurut Munti (2005, hal. 174) dalam proses tersebut terdapat dua bentuk sikap yang ditunjukkan. Pertama, merumuskan cara hidup baru dengan mengambil bagian tertentu dari budaya global, sambil tetap mempertahankan tradisi meski dengan substansi yang terus dikritisi.

“Mi, harusnya tuh semua orang tu kayak inang uda.

Keliling dunia dulu, nyobain semuanya dulu, baru

(26)

Sikap yang ditampilkan melalui kutipan diatas ini misalnya, ditunjukkan oleh beberapa perempuan yang menikmati kehidupan mereka sebagai lajang, meski mereka tetap mempertahankan idealisasi perkawinan. Ada konsep atau rumusan cara hidup yang berbeda yang menjadi pemandu dalam menjalankan kehidupan, disamping tidak ada elakan mengenai konsep perkawinan tersebut dalam etnis Batak. Kutipan tersebut merupakan perkataan Glo yang secara eksplisit mengiyakan perilaku Tante Nora (namboru Glo).

Namboru memiliki pilihan untuk menikmati kehidupannya, dengan meraih mimpinya terlebih dahulu melalui keliling dunia.

Gambar 3. 24 Tante Nora (Namboru Glo)

(27)

III-65

“Siapa bilang harus, nikah itu pilihan tau.”

Baginya nikah merupakan pilihan. Perempuan tidak harus mencapai titik memiliki pasangan, memasuki perkawinan dan memiliki keturunan. Kalimat ini diucapkan olehnya ketika Glo bertanya tentang konsep perkawinan. Namboru tidak beda jauh dengan Glo, kaum perempuan yang tidak menyukai kekangan atas batas-batas yang dimiliki perempuan. Perkawinan berpotensi besar untuk mengekang kebebasan perempuan. Perkawinan melahirkan bentuk-bentuk dominasi melalui sistem patrilineal yang dipegang teguh etnis Batak sehingga yang menjadi korban hanya perempuan. Seperti halnya pendapat yang dikemukakan Munti (2005, hal.174) mengenai perempuan lajang kosmopolit:

Sebagai lajang kosmopolit, mereka mengidentikkan diri mereka dengan nilai-nilai yang membentuk hasrat terhadap kehidupan lajang, yakni gambaran (prototip) tentang perempuan yang cerdas dan berkualitas, memiliki wawasan luas, bebas dan mandiri, sukses juga aktif, memiliki karir yang cemerlang dibidangnya, serta memiliki komunikasi dan relasi yang luas dengan banyak orang. Di atas semua itu, kehidupan lajang dikaitkan dengan hasrat menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa beban, sekaligus memiliki kemampuan dalam mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagai individu yang bebas dan percaya diri (Munti, 2005, hal. 174).

(28)

laki-laki. Bahkan pekerjaan tidak lagi dipandang oleh perempuan sebagai usaha sampingan dari pekerjaan utama di rumah yang mensyaratkan kepatuhan menaat aturan-aturan, yang berada dalam kendali laki-laki (Al-Sa’dawi, 2000, hal.52).

Bentuk resistensi Glo ini didorong pula pada kepercayaannya terhadap idolanya. Mengutip perkataan Qasrina Umi, seorang sutradara inspiratif yang diidolakannya, mengenai kehidupan:

“Kata Qasrina Umi live by your passion, and the whole world will conspire to help you

Bahwa kehidupan seharusnya dijalani dengan apa yang diinginkan oleh manusia itu sendiri, khususnya perempuan. Kata “passion’ disini dapat berarti keinginan besar yang seringkali disebut juga dengan nafsu. Perempuan memiliki kemampuan untuk mencapai mimpi-mimpinya. Perempuan memilki nafsu yang sebenarnya mampu mencapai mimpi-mimpi tersebut.

“Elo itu cuman mau menyenangkan orang tua elu, emak

elu. Kalau kita menyenangkan orang lain terus, kapan kita happy? Kita harus menyenangkan diri kita. Live by your passion.”

(29)

III-67

hal ini Mak Gondut) terhadap peran perempuan di dalam perkawinan yang diidealisasikan.

Sammaria (sutradara): Saya percaya kita tidak bisa mengubah orang lain. Yang bisa diubah hanya diri sendiri. Jadi jikalau memang ada nilai-nilai suatu kelompok tidak sesuai dengan hati nurani kitaa, sebaiknya kita yang mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini.

Pada kutipan pernyataan sutradara sekaligus penulis skenario film Demi Ucok ini nampak jelas adanya pengakuan mengenai perbedaan ideologi-ideologi antara kaum tidak dapat terelakkan, dimana ideologi tersebut menjadi dasar pendiri kaum tersebut sehingga sulit untuk mengubah bahkan menghilangkan ideologi tersebut. Yang dapat dilakukan ialah mengubah diri sendiri. Kalimat “mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini” merupakan salah satu bentuk resistensi atau

perlawanan yang seharusnya dilakuakan perempuan menghadapi dominasi sistem patrilineal. Solusi terbaik yang ditawarkan oleh produsen teks ini ialah perempuan Batak memiliki kesempatan untuk meristensi atau melawan dengan mencari kelompok lain yang sesuai dengann nilai yang diyakini, dimana hal ini mengungkapkan adanya nilai yang tidak sesuai dalam konsep perkawinan etnis Batak yang diakui oleh sutradara.

Itulah mengapa dalam film, secara jelas dan cenderung berulang (meski tidak dengan kalimat yang benar-benar sama) kalimat seperti dibawah ini:

“Gue ga mau jadi emak gue”

(30)

dan dirasakan oleh perempuan Batak terhadap sisten patrilineal yang disodorkan oleh etnis Batak. Perempuan Batak seakan terbatas atau terkungkung dalam sistem patrilineal itu sendiri.

Meski tak sepenuhnya terbebas, Glo menyikap perkawinan secara berbeda. Misalnya, terhadap status perkawinan sebagai satu-satunya tujuan yang dikejar, Glo tidak memenuhi tuntutan orang tuanya apabila tidak bersesuaian dengan keinginannya. Bagi Glo, perkawinan bukanlah keinginannya walaupun seringkali hal tersebut malah menjadi dambaan sebagian besar perempuan. Maka kutipan diatas merupakan bentuk resistensi langsung yang dilakukan oleh Glo terhadap tekanan dan dominasi sistem patrilineal yang telah mendarah daging di dalam Mak Gondut.

(31)

III-69

Di antara orang tua dan anak terjadi penumpangan yang tak kentara-sepenuhnya di luar kesadaran dan niat orang tua- di mana anak belajar menyimak kebutuhan emosional orang tuanya, sering terjadi tanpa pembicaraan. Bukannya orang tua yang bersikap penuh empati dan bela rasa, malah anak yang mengambil peran itu dan diharapkan berempati terhadap perasaan, masalah, dan tekanan orang tua... berbagai perasaan, kebutuhan, dan hasrat anak jadi terkubur.

Inilah mengapa muncul kutipan dialog dalam scene seperti dibawah ini:

“Tiap hari nonton aja kau, ga kerjanya kau?” “Ini kan kerja mi.”

“Sambil kau jual lah Doketr Clear itu, kan lumayan

dapat lima juta sebulan. Atau ikut mami lah ke partai, nanti kau dapat demo satu juta sebulan kalau kau masuk

DPR.”

“Hidup dicela-cela, mati masuk neraka.”

“Mami masuk neraka? Glo, ada yang mau kubilang

sama kau glo. Kata dokter, umur mama ini tinggal

sebulan lagi.”

“Dokter mana? Dokter Clear bukan. Kawin lah kau Glo. “Ya cariin lah.”

“Hah? Mau model apa ama kau.”

“Apa aja, asal emaknya ga ada. Satu aja susah apalagi dua.”

Kutipan percakapan ini terjadi ketika Glo resmi berhenti dari pekerjaannya menjadi dosen. Semenjak keluar dari tempat kerjaanya, aktivitas Glo setiap hari hanya menonton film di kamarnya. Mak Gondut akhirnya memuali percakapan tersebut dengan menawarkan untuk ikut bekerja dengannya menjadi MLM atau politisi. Mak Dalam percakapan tersebut Mak Gondut juga tak lupa mengingatkan Glo untuk kawin dengan mengancam mengenai umurnya yang tak lama lagi. Jawaban Glo hanya “ya cariin lah”, semacam sebuah isyarat atas kelelahan Glo dan keputusaan

(32)

ketika Mak Gondut hendak menanyakan ciri laki-laki yang diidamkan oleh Glo :

“Apa aja, asal emaknya ga ada. Satu aja susah apalagi dua.”

Kalimat tersebut seakan memperjelas peran Glo (sebagai kaum minoritas) yang tengah menghadapi Mak Gondut yang mana merupakan kaum mayoritas. Kelompok yang “menguasai” akan menghegemoni kelompok ‘subordinat” dengan menggunakan kekuasaannya (Lembaga Untuk

Transformasi Sosial Indonesia, 2005, hal.122).

Gambar 3. 25 Mak Gondut Tampak Bahagia Melihat Glo Bersedia Kawin

Bukannya Mak Gondut yang bersikap penuh empati dan bela rasa, tetapi Glo yang mengambil peran itu dan diharapkan berempati terhadap perasaan, masalah, dan tekanan sehingga berbagai perasaan, kebutuhan, dan hasrat jadi terkubur. Resistensi Glo pun kembali diperlihatkan lagi dalam kutipan dialog dibawah ini:

“Kalau elo kangen, samperin dong.”

“Gue cuma ngecek doang, doi uda mati atau belum.” “Hush.”

“Kan lumayan uangnya, bisa dipakai buat gue bikin film.”

“Ingat surga dibawah telapak kaki ibu.”

“Hah, jangan lupa elo ingation gue ama obat jamur kalo

gitu sebelum gue mati.”

“Entar kalo uda ga ada baru nyari-nyari.”

(33)

III-71

Perbedaan ideologi antara Mak Gondut dan Glo menyebabkan Glo akhirnya meninggalkan rumah dan tinggal di rumah Niki. Pada suatu saat, Niki memergoki Glo memantau Mak Gondut yang tengah berolahraga dirumahnya, kebetulan rumah Niki dan Glo tidak begitu jauh. Tindakan Glo untuk meninggalkan rumah sebagai perlawanan Glo melihat Mak Gondut yang kian menekan untuk kawin dengan laki-laki Batak. Bagi Glo, perkawinan tidak lagi menjadi target utama pembuktian keberhasilan perempuan, sebagaimana disosialisasikan selama ini, bahwa “perempuan belum dikatakan sempurna dan berhasil jika belum menikah” (menjadi

ibu) (Munti, 2005, hal. 175). Glo akan kawin bila merasa telah menemukan jodoh atau orang yang tepat. Di sini, kebutuhan bukan terletak pada status perkawinan itu sendiri melainkan pada kehadiran pasangan hidup, soulmate.

(34)

berani mengambil resiko keluar dari kungkungan tradisi, yang menempatkan keperawanan sebagai sesuatu yang berharga dan penting untuk dipertahankan hingga “dipersembahkan” khusus bagi suaminya

kelak. Entah karena keperawanan identik dengan kesucian dan menyangkut harga diri seorang perempuan, sehingga memotivasi mereka untuk mempertahankannya.

Pada penghujung film, konsep perempuan sebagai pemimpi juga ditampilkan melalui film kedua Glo sendiri, dimana tokoh utamanya diperankan sendiri oleh Mak Gondut. Berikut kutipan cerita yang disampaikan oleh Glo mengenai film keduanya:

“Seorang wanna be bermimpi jadi artis. Kemudian ketemu cowok, lalu menikah dan melupakan mimpinya. Uda tua, masih gelisah. Akhirnya nyari-nyari kesibukan. Arisan diberbagai tempat, rapat di tiga partai, pagelaran wayang. tapi ga ada yang peduli. Akibat ga mengejar

mimpi dimasa muda.”

Resistensi Glo melalui konsep perempuan pemimpi diwujudkan dalam bentuk film keduanya. Film diciptakan sebagai subjek, mengkonstruk realitas yang ada, kemudian diproyeksikannya kedalam layar. Sedangkan realitas hanyalah objek. Seturut pendapat Karl Heider mengenai film bahwa “film hanya refleksi pasif dari budaya (bukan pembentuk budaya)”(Heider, 1991). Film kedua Glo merupakan hasil konstruksi

(35)

III-73

Nugroho, G 20005) mendefinisikan film sebagai teks kultural yang menawarkan suatu nilai alternatif di antara dominasi tersebut. film merupakan teks-struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna khusus (Gamble, S 2010).

Namun, seperti halnya kutipan percakapan dibawah ini:

“Jadi sekarang ceritanya ganti lagi nih.”

“Ini beda skrip, buat produser yang lain. Gue disuruh

bikin skrip yang Indonesia banget.” “Indonesia banget kok, bencong sih.”

“Film Indonesia itu harus ada banci, hantu ama susu. Udah deh bikin aja, biar dia seneng.”

Kutipan percakapan ini saat Glo sedang menyelesaikan naskah film untuk diberikan kepada kliennya. Film telah menjadi lahan industri strategis bagi para pembuat film. Sebagaimana dikutip oleh Said mengenai produksi film bahwa:

“Pembuatan film kita pada umumnya tidak mempunyai

kesadaran lingkungan, geografis, maupun sosial, sehingga mereka tidak pernah membuat film tentang lingkungannya yang Indonesia, karena itu film mereka bukan film Indonesia. Film-film mereka cuma rekaan dangkal dari impian dan obsesi mereka yang ditopang

oleh semangat dagang yang berlebihan” (dikutip dalam Said 1991b: 193).

Film telah menjadi ‘bisnis pertunjukan’ (Denis McQuail, 2011, hal.35) dimana value atau pesan inti seringkali menjadi terabaikan karena mendahulukan profit film. bahwa Film-film saat ini “masih digerogoti penyakit deintelektualisasi” (Darmawan, 2007). Film hanya berfokus pada

(36)

keuntungan yang besar. Esensi film dinomorduakan. Ada suatu perubahan dari pembuat film (film-maker) yang bermula menawarkan gagasan atau ide lalu berubah karena berorientasi pada keuntungan saja. Sehingga ide cerita hendak disampaikan seringkali terabaikan.

Dikatakan

3.2.2 Negosiasi Peran Perempuan dalam Ranah Domestik dan Publik Melihat film secara keseluruhan serta memaknai resistensi lebih dalam, sosok Mak Gondut hadir sebagai kaum perempuan yang menguatkan dominasi laki-laki melalui perkawinan, dimana Glo, anaknya sendiri, sebagai objek yang terdominasi. Kesetiaannya pada suaminya menghegemoni Mak Gondut untuk melanggengkan sistem patrilineal. Namun peneliti melihat bahwa tidak semua bentuk perilaku Mak Gondut merupakan hasil kepatuhannya atas dominasi laki laki tersebut. Dalam kepatuhan tersebut resistensi sebenarnya telah hadir secara implisit untuk menunjukkan bentuk penolakan secara terselubung terhadap dominasi sistem patrilineal yang berlaku.

(37)

III-75

dilakukan terhadap dominasi kaum laki-laki, yakni suaminya sendiri, mendorong Mak Gondut untuk melakukan resistensi (dalam hal ini pembalasan) melalui bentuk-bentuk dominasi yang dilakukannya pada kaum minoritas (kaum dibawahnya), dalam hal ini Glo (anaknya sendiri). Hal ini bisa dilihat dalam kutipan dibawah ini:

“Mi, harusnya tuh semua orang tu kayak inang uda.

Keliling dunia dulu, nyobain semuanya dulu, baru

terakhir nentuin pilihan.”

“Tapi kawin dulu lah kau, baru kau kejar mimpi

-mimpimu.”

“Ah mami habis kawin juga ga bikin film kok.”

“Kalau mami mau, bisa mami bikin. Bikinlah kau dulu.

Kucarikan pun nanti kau 1 M tapi kawin dulu lah kau.”

“Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi.”

“Egois kali kau itu, hidup itu untuk sesama baru berarti, heh!”

(38)

“Tapi kawin dulu lah kau, baru kau kejar

mimpi-mimpimu.”

“Ah mami habis kawin juga ga bikin film kok.”

“Kalau mami mau, bisa mami bikin. Bikinlah kau dulu. Kucarikan pun nanti kau 1 M tapi kawin dulu lah kau.”

Peneliti menginterpretasi bahwa ada sebuah bentuk pembelaan dari Mak Gondut mengenai keputusannya untuk memilih kawin dan tidak mengejar cita-citanya membuat film atau menjadi artis terkenal. Walau begitu, ekspresi Mak Gondut dalam bentuk visual pada film tidak dapat menipu dimana ada bentuk penyesalan yang tersembunyi dalam pembelaannya. Ekspresi Mak Gondut berubah, dari yang melotot dengan intonasi kuat, sampai kepala menunduk seakan “malu” dengan intonasi yang mulai

mengecil ketika Glo mulai membahas mimpi Mak Gondut yang tak kunjung direalisasikannya.

(39)

III-77

Gambar 3. 27 Mak Gondut Saat Menjawab Glo Mengenai Mimpinya Yang Tak Kunjung

Tercapai

Yang menarik, pada percakapan tersebut pengambilan gambar dibuat close up, sehingga ekspresi atau mimik wajah Mak Gondut dapat terlihat sangat jelas. Pengambilan gambar seperti ini biasanya digunakan untuk memperlihatkan ekspresi dari tokoh atau benda yang hendak dilihat secara lebih jelas dan fokus. Hal ini dilakukan bukan tanpa maksud, peneliti melihat ada bentuk kesengajaan untuk dapat melihat detail ekspresi tokoh-tokoh yang sedang berbicara dalam scene tersebut, khususnya ekspresi penyesalan Mak Gondut meski dalam verbal Mak Gondut seakan melakukan pembelaan diri. Sebenarnya poinnya tidak hanya itu, tetapi juga pada percakapan setelahnya:

“Ga mau. Glo ga mau hidup Glo sia-sia, Glo mau kejar mimpi.”

“Egois kali kau itu, hidup itu untuk sesama baru berarti, heh!”

(40)

Gambar 3. 28 Mak Gondut Melotot Dan Mengigit Bibirnya Seperti Dongkol (Kesal)

Dengan Perkataan Glo

Mendengar jawaban Glo yang tak sesuai keinginan, Mak Gondut kemudian menjawab dengan kembali menaikkan kepala (setelag sebelumnya menunduk) sebagai bentuk kekesalannya. Disinilah bentuk resistensi sekaligus dominasi yang dilakukan Mak Gondut baik sebagai kaum minoritas (dari keputusannya memilih kawin) dan kaum mayoritas (ambisinya mengawinkan anaknya).

(41)

III-79

mimpi melalui bentuk ancamannya pada Glo dengan syarat tidak akan membiayai Glo dalam proses produksi filmnya apabila tidak melakukan hal yang sama dengan yang ia lakukan, yaitu kawin. Pembalasan ini menjadi bentuk resistensi itu sendiri yang ditunjukan pada segmentasi yang berbeda, bukan pada pelaku yang memicu Mak Gondut meresistensi tetapi pada objek lain yang menjadi kaum tertindas. Menariknya, kaum perempuan lagi yang menjadi kaum minoritas turunan atas dominasi awal dimana lagi-lagi kaum laki-laki yang menjadi biang keladi.

Resistensi Mak Gondut tidak dilampiskan dan bahkan tidak berdampak pada kaum yang mendominasi. Ia menunjukkan pada kaum lain dimana ia memiliki kuasa pada ranah domestiknya yang dapat mengontrol bahkan menindas kaum dibawahnya. Pelampiasan ini ditunjukkan juga dalam scene ini:

“Pake kartu kredit mami aja Glo. Kan ada kau pegang

kartu tambahan. Que-que”

Ini merupakan salah satu perkataan Mak Gondut yang cukup menunjukkan kuasa perempuan (ibu) atas kaum tertentu (dalam hal ini Glo, anaknya). Kuasa yang sebelumnya tidak dimiliki oleh istri, kemudian dilimpahkan pada istri semenjak kepergiaan suami. Resistensi yang dilakukan dengan perilaku “meniru” kekuasaan yang dahulu sempat mendominasinya.

Pelampisan tidak berhenti begitu saja, adanya pengulangan bentuk pelampiasan seperti halnya kutipan dialog dibawah ini:

(42)

“Tinggal pun masih sama mami. Makan sama mami.

Kartu kredit masih tambahan, Que-que.”

Kutipan tersebut lagi-lagi saat Mak Gondut dan Glo sedang berdebat panjang mengenai konsep perkawinan, dimana Mak Gondut begitu keras memaksa Glo untuk menikah sementara Glo pun keras menolak kemauan ibunya tersebut. Pemaksaan Mak Gondut mengawinkan Glo dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk resistensi yang dilampiaskan oleh Mak Gondut pada kaum diluar yang mendominasinya. Seperti halnya kisah yang diceritakan Mak Gondut yang merupakan cerminan kisahnya dulu sewaktu muda.

Once upon a time dikampung Angrum, hiduplah seorang pemimpi yang pengen jadi artis. Dia pergi ke Ibu kota mengejar mimpinya. Untung mamanya selalu mendoakan anaknya yang sok tau ini. Akhinya, si pemimpi menikah sementara adik-adiknya sibuk mengejar karir. Akhirnya si adik-adik berhentinya juga bekerja. Sementara di pemimpi hidup happily ever after.

(43)

III-81

menginginkannya kawin dan memperoleh anak. Resistensi ini pun dilakukan dengan dorongan sifat ambisius Mak Gondut yang semata-mata agar dapat melanggengkan tujuannya mengawinkan Glo. Seperti halnya kutipan dibawah ini:

“Bereng jo. Anon dikuhara ni lesbi.tambal maon rupa mulih (Lihatlah! Nanti disangka orang dia lesbi. Tambah susah kujodohkan).”

“Tutup aja kartu kreditnya, Nanti balik sendiri dia

kerumah.”

(44)

bentuk perlawanan perempuan dalam keluarga (terhadap suami) yaitu misalnya penolakan untuk memasak, berhubungan seksual, meninggalkan pekerjaan rumah tangga dan pertanian (kegiatan produksi lainnya), dan menyebarkan gosip tentang pasangan mereka. Dalam film ini, Mak Gondut melakukan bentuk perlawanan dengan membuat anaknya melakukan hal yang sama dengan apa yang ia lakukan.

(45)

III-83

Gambar 3. 29 Segelintir aktivitas Mak Gondut

Gambar 3. 30 Mak Gondut Sebagai Pelaku Sosial

Gambar 3. 31 Kegiatan Mak Gondut Sebagai Politisi

(46)

kekangan stereotipe dimana perempuan seharusnya berperan hanya dalam ranah domestik.

Sebagaimana yang dikatakan oleh James Scott mengenai apa yang disebutnya sebagai ‘everyday forms’ of women’s resistance (bentuk perlawanan sehari-hari) berdasarkan kajiannya di kalangan para petani. Bahwa penolakan yang dilakukan para petani dalam menghadapi ambiguitas dan kontradiksi dalam hukum negara sehingga menyebabkan tidak efektifnya perubahan hukum negara menciptakan kesetaran antara perempuan dan laki-laki. Menjadi penyebab perempuan pada akhirnya melakukan penolakan dengan caranya sendiri.

“Such forms of resistance required little or no-coordination or planning; they can be classed as a type of self-help; and they avoid any direct questioning of the authority or the norms of dominant/elite groups (Scott dalam Irianto, 2003, hal.2)

Scott memaparkan bahwa penolakan perempuan petani berupa penyimpangan kolektif yang seketika dan berciri “senjata biasa” dari

kelompok-kelompok yang relatif tidak berdaya, dengan cara seperti keterlambatan, pembakaran dengan sengaja, sabotase, pencopetan, gosip dan sebagainya. Bahwa tidak perlu meromantisir “senjata kaum lemah”,

(47)

III-85

(48)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Wacana resistensi perempuan Batak dalam film bertemakan etnis Batak memang masih dilematis. Hal ini karena budaya patriarki yang masih dominan secara jelas nampak dalam film tersebut. Film digunakan sebagai instrumen untuk mengambarkan atau menampilkan dominasi atas kedudukan perempuan yang masih tersubrodinasi oleh kaum laki-laki walau kenyataanya perempuan telah menjadi tokoh sentral maupun sebagian besar peran didomminasi oleh kaum perempuan dalam film. Hal ini dilihat melalui dominasi dalam sistem patrilineal dimana adanya struktur yang menyebabkan kondisi dominasi kaum laki-laki tersebut semakin kuat. Bahkan kuasa author atau produsen teks (sutradara) yang juga merupakan bagian dari kaum perempuan itu sendiri pun tidak mampu meruntuhkan tekanan dominasi sistem tersebut untuk mengukuhkan resistensi kaum perempuan itu sendiri. Adanya suatu penguasaan wacana laki-laki yang menghegemoni kaum perempuan ini kenyataannya menyebabkan munculnya kaum perempuan yang justru melanggengkan sistem tersebut.

(49)

IV-2

pelanggengan sistem patrilineal. Selain itu, struktur dalam sistem tersebut juga melahirkan konsep mayoritas dan minoritas dimana laki-laki mendapat kesempatan menjadi kaum mayoritas sementara perempuan mendapatkan bagian sisa (minoritas). Perempuan yang turut melanggengkan sistem patrilineal masuk dalam kelompok mayoritas karena berperan sebagai perantara dalam pembentukan wacana dominasi kaum laki-laki. Stereotipe juga menandai dominasi kaum laki-laki Batak dimana dalam stereotipe tersebut perempuan dikategorikan atau dikelompokkan kedalam kaum perempuan Batak ideal (yang pantas) dan sebaliknya. Dikatakan sebagai perempuan Batak ideal ketika perempuan tersebut berhasil memasuki institusi perkawinan dan memiliki keturunan. Stereotipe ini juga menyebabkan sikap etnosentrisme muncul, seperti munculnya pembedaan antara kaum perempuan Batak dengan identitas perempuan lainnya dan perbedaan laki-laki Batak dengan identitas laki-laki lainnya. Hal-hal seperti inilah yang kemudian memunculkan wacana mengenai resistensi yang dilakukan oleh perempuan sebagai pihak yang paling sering (cenderung) terdominasi.

(50)

memaknai konsep mimpi dimana sistem patrineal diasumsikan sebagai penghambat mewujudkan konsep mimpi tersebut. Selain itu resistensi juga dilakukan dengan mendiamkan dominasi tersebut diawal dan kemudian membentuk strategi baru untuk mewujudkan bentuk resistensinya, seperti: mendobrak stereotipe mengenai istri yang hanya bekerja di ranah domestik.

Perbedaan ini membenarkan kaum postfeminisme yang melihat perempuan dalam narasi-narasi kecil dimana dominasi kaum perempuan tersebut tergantung pada cara pandang perempuan memandang apakah perilaku-perilaku yang diterimanya tersebut dianggap sebagai bentuk dominasi atau malah sebaliknya. Perbedaan tersebut diartikulasikan oleh produsen teks (sutradara) dalam film sebagai bagian dari pengalamannya sebagai perempuan yang resisten terhadap dominasi struktur tersebut. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa memang resistensi-resistensi yang ditampilkan masih tidak dapat lepas dari dominasi-dominasi kaum laki-laki pada sistem patrilineal konsep perkawinan. Hal ini karena kenyataanya tiap perempuan memiliki keberagaman usia, gender role (peran gender) serta pengalaman yang berbeda antar satu sama lain yang memungkin adanya keberagaman perlakuaan atau respon terhadap dominasi tersebut.

2. Saran

(51)

IV-4

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Sa’dawi, N 2000, Perempuan, agama dan moralitas: antara nalar feminis & islam revivalis, Gelora Aksara Pratama.

Barker, C 2013, Cultural studies: teori dan praktik, Kreasi Wacana, Yogyakarta Burhanudin, J 2002, Ulama perempuan indonesia, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Chandler, D 1994, Semiotics for Beginner. Paradigms and Syntagms.

Dee, N 2005, Memahami mimpi, LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, Yogyakarta. Dhakidae, D 2003, Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde baru,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

El Fadi, K M A 2001, Atas nama Tuhan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Eriyanto, 2001, Analisis wacana, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta. Fahmi, A B 2010, Menit untuk anakku, Elex Media Komputindo, Jakarta. Fan Lan, 2006, Perempuan kembang jepun, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fiske, J 1987, Teknology culture: popular pleasure and politics, Routledge,New

York.

Handayani,C S, Novianto, A, 2004, Kuasa wanita jawa, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta.

Haryatmoko, J 2010, Dominasi penuh muslihat: akar kekerasan dan diskriminasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Irianto, S 2003, Perempuan di antara berbagai pilihan hukum: studi mengenai strategi perempuan Batak Toba untuk mendapatkan akses kepada harta waris melalui proses penyelesaian sengketa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Irianto, S. 2006, Perempuan dan hukum: menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

(53)

Kaplan, E (ed.) 2000, Feminism & film, Oxford University Press, Great Britain. Kriyantono, R 2006, Teknik praktis riset komunikasi: disertai contoh praktis riset

media, public relations, advertising, komunikasi organisasi, komunikasi pemasaran,Kencana, Jakarta.

Kuntjara, E, 2003, Gender, bahasa, dan kekuasaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta. Lembaga Untuk Transformasi Sosial Indonesia, 2005, Wacana, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta.

Liliweri, A 2005, Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta.

McLuhan, M 1967, Understanding media-the extension of man, Random House, New York.

McQuail, D 2011, Teori komunikasi masa McQuail 1 ed 6, Penerbit Salemba Humanika, Jakarta.

Munawar, B Rachman, 1996, Rekonstruksi fiqh perempuan dalam peradaban masyarakat modern, Ababil, Yogyakarta.

Munti, R B 2005, Demokrasi keintiman: seksualitas di era global, LkiS Pelangi Aksara, Yogyakarta

Murniati, A N P 2004, Getar gender [perempuan indonesia dalam perspektif agama, budaya dan keluarga], IndonesiaTera, Magelang.

Mustafid, F (ed.) 2004, Masyarakat dan hukum adat Batak toba, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta.

Nanda, S Warms, R 2013, Cultural Anthropology.

Nurudin, 2007, Pengantar komunikasi massa, Rajawali Pers, Jakarta.

Simanjuntak, B A 2006, Struktur sosial dan sistem politik Batak toba hingga 1945:suatu pendekatan antropologi budaya dan politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Sadli, S 2010, Berbeda tetapi setara: pemikiran tentang kajian perempuan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

(54)

Suhelmi, A 2007, Pemikiran politik barat: kajian sejarah perkembangan pemikiran negara, masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukri, SS 2001, Perempun seksualitas dalam tradisi jawa, Gama Media,

Yogyakarta.

Sunarto, 2009, Televisi, kekerasan, dan perempuan, Penerbut Buku Kompas, Jakarta.

Supriatno, 2009, Merentang sejarah, memaknai kemandirian menjadi gereja bagi sesama, BPK Gunung Mulia.

Susanto, B 2008, Membaca postkolonialitas (di) indonesia, Kanisius, Yogyakarta.

Sutardi, T 2007, Antroplogi mengungkap keragaman budaya untuk kelas xii sekolah menengah atas/madrasah aliyah program bahasa, Grafindo Pratama, Bandung.

Then, D 2008, Kisah-kisah perempuan yang bertahan dalam perkawinan, BPK Gunung Mulia, Jakarta

Tinambunan, D Toruan, R, 2010, Orang Batak kasar?:membangun citra & karakter: gunakan 7 falsafah Batak merestorasi jati diri, hubungan seks, sosial, budaya, demokrasi, bisnis, dan melibas dosa, korupsi & mafia karya Robby Ertanto studi analisis semiotik, Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dianingtyas, EA 2010, ‘Representasi perempuan jawa dalam film r.a.kartini’, Skripsi, Universitas Diponegoro.

Gamble, S 2010, ‘Feminisme dan film’, Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme, Vol. 1, 117-130.

Janji joni 2005, videorecording, Kalyana Shira Films, Jakarta.

(55)

Prayogo, WA 2009, ‘Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia Tahun 1966-1980’, Skripsi, Universitas Indonesia.

Siburian, R 2008, ‘Kearifan Ekologi dalam Budaya Batak sebagai Upaya Mencegah Bencana Alam’, Masyarakat Indonesia : Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Vol.34, Hal.63-86.

Website

Efendi, Y 2010, Marga: keluarga dan keekrabatan dalam pengetahuan orang Batak toba, sumatera utara. Diakses pada 2 Mei 2012 dari

melayuonline.co/ind/culture/dig/2598/marga-keluarga-dan-kekerabatan-dalam-pengetahuan-orang-Batak-toba-sumatera-utara

Film Indonesia, 2012, Sinopsis Di Timur Matahari. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-d015-12-622431_di-timur-matahari#.VHoBHdKsWSo

Film Indonesia, 2004, Sinopsis Gie. Diakses 29 November 2014 dari

http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-g003-04-997552_gie#.VHoG9NKsWSo

Film Indonesia, 2012, Sinopsis Merantau. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m008-09-952589_merantau Film Indonesia, 2013, Sinopsis Mursala. Diakses 29 November 2014 dari

http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-m007-13-321287_mursala#.VHoH6dKsWSo

Film Indonesia, 2010, Sinopsis Rokkap. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-r013-10-208721_rokkap-rongkap#.VHoIE9KsWSo

Film Indonesia, 1973, Sinopsis Bulan di Atas Kuburan. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-b018-73-839339_bulan-di-atas-kuburan#.VHoI7tKsWSo

Film Indonesia, 1984, Sinopsis Secangkir Kopi Pahit. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-s018-84-157965_secangkir-kopi-pahit#.VHoI3NKsWSo

Film Indonesia, 1986, Sinopsis Naga Bonar. Diakses 29 November 2014 dari

(56)

Film Indonesia, 1963, Sinopsis A Sing Sing So. Diakses 29 November 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-a011-63-062041_a-sing-sing-so#.VHoJd9KsWSo

Mahasiswa Batak, Daftar Film Bertemakan Batak. Diakses 28 November 2014 dari http://www.mahasiswaBatak.com/2013/08/daftar-film-bertemakan-Batak-bagian-1.html

Gerakan Indonesia Baru, 2009. Diakses 18 Mei 2014 dari

http://gerakanindonesiabaru.blogspot.com/2009/02/diskriminasi-terhadap-etnis-tionghoa.html

Kebudayaan Indonesia.Diakses pada 2 Mei 2014 dari

kebudayaanindonesia.net/id/culture/942/sistem-kekerabatan-suku-Batak

Silaban, C 2007, Peranan perempuan dalam adat dan budaya Batak

diseminarkan. Diakses 28 April 2014 dari

http://www.silaban.net/2007/10/10/peranan-perempuan-dalam-adat-dan-budaya-Batak-diseminarkan/

Salim, E Y dkk, 2012, Potret indonesia-tionghoa: ambiguitas di tengah era kebebasan. Diakses pada 17 Mei 2014 dari

http://www.indonesiamedia.com/2012/12/22/potret-indonesia-tionghoa-ambiguitas-di-tengah-era-kebebasan/

Silaban, C 2007, Ende siboru tombaga i. Diakses 28 April 2014 dari http://www.silaban.net/2007/10/04/ende-siboru-tombaga-i/ Sidabutar, Y 2012, Legenda sigale-gale.Diakses 29 April 2014 dari

http://sidabutar.info/2012/04/26/legenda-sigale-gale/

(57)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Transkrip Wawancara via Email (4 November 2014)

Narasumber : Sammaria Simanjuntak (Sutradara Film Demi Ucok)

1.Apa sebenarnya ide dasar (tema) dari film Demi Ucok? Kasih Ibu

2.Apa yang mendasari pembuatan film Demi Ucok? Adakah permasalahan khusus yang menjadi alasan untuk memproduksi film tsb, misal pengalaman pribadi?

Saya resign dari pekerjaan saya sebagai arsitek karena yakin kunci sukses hidup adalah ‘live by your passion’. Saya belajar film dari membaca blog seorang sutradara Malaysia bernama Yasmin Ahmad. Suatu hari dia bertanya dalam blognya, apa kunci sukses hidup? Ternyata jawaban dia sangat sederhana yaitu, ‘Be nice to your parent’. Saat itu saya sulit sekali akur dengan mama saya yang pola pikirnya sangat berbeda dengan saya.

3.Mengapa membuat film yang membahas etnis? Mengapa condong memperlihatkan etnis?

(58)

4.Mengapa menggunakan etnis Batak? Mengapa tidak etnis lain? Apakah karena film Batak tidak begitu banyak beredar atau adakah alasan lain?

Karena saya orang Batak

5.Mengapa yang ditampilkan dalam film hanya ada suku Batak, cina, dan padang?

Niki campuran Batak Sunda. Settingnya sendiri Bandung. Tidak dimaksudkan untuk hanya ada karkater ini. Kebetulan saja.

6.Mengapa judulnya Demi Ucok? Mengapa tidak Demi Butet (perempuan)?

Draft 1 film Demi Ucok ini awalnya tentang Gloria yang mencari jodoh (Ucok). Seiring berjalannya waktu, skenarionya berubah jadi lebih berfokus pada hubungan Glo dan mamanya. Tapi judulnya tidak ikut berubah

7.Mengapa perempuan tokoh utamanya? Mengapa bukan laki-laki? Karena saya perempuan. Namanya juga film curhat.

8.Mengapa tokoh lawannya perempuan (Glo) adalah perempuan (Mak Gondut)?

(59)

9.Mengapa tidak ada tokoh laki-laki (Bapak Glo)? (diceritakan bahwa bapak Glo sudah meninggal)

Semakin sedikit karakter, semakin mudah dan murah untuk produksi. Lagipula, stake Glo akan lebih tinggi jika ayahnya sudah tidak ada. Sehingga tidak ada safety net kalau dia dan mamanya bermasalah.

10.Mengapa ada tokoh perempuan (Mak Gondut) yang kuat dengan sifat etnosentrisnya (bangga pada suku Batak)? Apa yang hendak disampaikan?

Karena memang banyak tokoh seperti itu.

11.Mengapa bukan laki-laki (Bapak Glo) yang kuat dengan sifat etnosentrinya?

Mungkin banyak juga karakter laki-laki yang kuat etnosentrisnya. Hanya tidak diceritakan dalam film ini.

12.Apa maksud yang hendak disampaikan dari pernyataan Mak Gondut tentang perempuan Batak yang harus menikah dengan orang Batak, punya anak Batak, dan punya menantu Batak? (disampaikan diawal film)

(60)

13.Apakah Glo tidak mau menikah dengan laki-laki Batak ataukah Glo hanya tidak mau menikah dulu sebelum meraih mimpi? Apakah setelah meraih mimpi Glo akan menikah?

Di film ini, itu menjadi tidak penting lagi buat saya. Yang hendak diceritakan adalah perbedaan cara pikir ibu dan anak, dan bagaimana cara mereka menjembatani perbedaan itu.

14.Sebenarnya Glo mau atau tidak kah menikah dengan laki-laki Batak?

Sudah tidak penting lagi untuk film ini.

15.Siapa BK Marpaung? Punya hubungan apa dengan Glo dan Mak Gondut sampai- sampai mau memberikan uang 1M?

BK Marpaung mewakili mafia-mafia Batak kaya raya yang sekarang banyak di penjara tapi tetap menjalankan bisnis dengan tenang. 1 M buat mereka bukan uang besar.

Hubungannya saudara. Saudaranya tidak dijelaskan sedekat apa, karena bagi orang Batak tidak ada saudara jauh. Semua saudara.

16.Sebenarnya apa pekerjaan utama Mak Gondut? (Dari sekian banyak kerja yang dilakukan Mak Gondut)

(61)

17.Pekerjaan Acun sebelum jadi penyanyi apa? (peneliti tidak dapat mendengar dengan jelas ketika menonton film tersebut)

Pekerja kantoran di sebuah multinational company yang menjual sabun.

18.Dikatakan dalam film bahwa Niki berasal dari keluarga campuran Batak. Marga apa menikah dengan suku apa? (belum dijelaskan secara jelas didalam film tersebut)

(62)

Transkrip Wawancara via Email (17 November 2014)

Narasumber : Sammaria Simanjuntak (Sutradara Film Demi Ucok)

1. Apakah dominasi patrilineal dalam budaya Batak masih ada hingga saat ini? Mengapa?

Masih ada. Mungkin karena banyak wanita Batak belum bisa independen dalam berbagai hal, sehingga dominasi sulit dihilangkan.

2. Bagaimana tanggapannya melihat fenomena bahwa masih ada perempuan Batak yang diharuskan menikah dengan laki-laki Batak oleh orang tua sendiri?

Saya percaya setiap manusia bertanggung jawab terhadap kehidupan dan kebahagiannnya masing-masing, sehingga setiap bentuk pemaksaan sebenarnya melanggar hak asasi manusia.

3. Bagaimana tanggapannya mengenai perempuan yang menikah dan menjadi ibu rumah tangga? Apa dapat disebut bentuk diskriminasi terhadap perempuan?

Tidak selama itu adalah pilihannya sendiri.

(63)

5. Bagaimana perilaku perempuan seharusnya dalam menanggapi dominasi-dominasi yang hingga saat ini masih diberlakukan, salah satunya oleh kaum Batak?

Saya percaya kita tidak bisa mengubah orang lain. Yang bisa diubah hanya diri sendiri. Jadi jikalau memang ada nilai-nilai suatu kelompok tidak sesuai dengan hati nurani kitaa, sebaiknya kita yang mencari kelompok lain yang sesuai dengan nilai yang kita yakini.

6. Bagaimana tanggapannya mengenai perempuan yang menolak menikah ?

Semua manusia berhak menentukan jalan kehidupan dan kebahagiaannya masing-masing.

7. Sebagai perempuan, apakah patriarki masih harus dilanggengkan atau dilenyapkan? Mengapa?

Sebagai manusia yang kebetulan perempuan, saya yakin kita harus menemukan kebahagiaan pribadi dan tidak berusaha melawan nilai yang dianut orang lain, termasuk patriarki.

(64)

Sedih karena film Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sebenarnya tidak hanya film. Hampir semua produk Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

9. Bagaimana tanggapannya mengenai film-film yang masih menyudutkan atau mendiskrimasikan perempuan?

Sebaiknya ditonton setelah semua film bagus di dunia ini sudah kita tonton. Karena film bagus banyak sekali, saya tidak pernah ingin membuang waktu menonton film-film yang menyudutkan perempuan hanya karena dia perempuan.

10.Sudah banyak pula film yang memunculkan bentuk perlawanan perempuan, bagaimana tanggapannya?

Saya selalu suka semua film perlawanan karena membuat dunia menjadi lebih dinamis.

11.Lalu, bagaimana seharusnya peran film sebagai salah satu media massa?

Film sebaiknya memberikan harapan.

12.Satu pertanyaan terakhir, sebenarnya film Demi Ucok ini bercerita tentang perjuangan perempuan Batak kah atau bukan?

(65)
(66)
(67)

RESISTENSI PEREMPUAN BATAK TERHADAP DOMINASI SISTEM PATRILINEAL BUDAYA BATAK PADA FILM DEMI UCOK KARYA

SAMMARIA SIMANJUNTAK Oleh : Riste Isabella (071115023) - A

risteisabellap@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini berfokus pada wacana resistensi perempuan Batak yang direpresentasikan oleh film Demi Ucok ditengah dominasi kaum laki-laki yang mengukuhkan sistem patrilineal budaya Batak. Penelitian ini menggunakan analisis wacana berperspektif kritis milik Fairclough yang meliputi teks, discourse practice (pelibat teks) dan sociocultural practic. Peneliti mengaitkan penelitian dengan wacana-wacana seperti: kekuasaan (power), konsep mayoritas dan minoritas, stereotipe hingga identitas etnis termasuk sikap etnosentrisme etnis Batak. Peneliti menggunakan kacamata feminisme untuk membongkar dominasi-dominasi, dan kacamata postfeminisme untuk menganalisis resistensinya. Berdasarkan analisis, peneliti menemukan bahwa teks kultural yang direproduksi ternyata memperlihatkan adanya bentuk-bentuk resistensi yang mana tiap kaum perempuan memiliki bentuk-bentuk resistensi yang berbeda-beda. Namun, resistensi tersebut tidak dapat lepas dari peran laki-laki dimana resistensi tersebut justru menguatkan dominasi sistem patrilineal tersebut.

Kata kunci: Perempuan Batak, Film, Dominasi dan Resistensi, Analisis Wacana, Etnis Batak.

PENDAHULUAN

Gambar

Gambar 3. 10 Mak Gondut Dan Kedua
Gambar 3. 11 Glo Bersama Dengan Tompul
Gambar 3. 12 Glo Bersama Opung Sedang
Gambar 3. 13 Gloria Heran Dengan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : Hasil olahan data kuesioner Tahun 2017 Data di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan program wajib belajar 9 tahun di Pulau Barrang Lompo tidak terlaksana dengan

Melihat potensi bahayanya mengkonsumsi sate setengah matang ditinjau dari aspek suhu, aspek tingkat cemaran mikroba, aspek toxoplasmosis maka perlu dilakukan pembinaan

cepat untuk penetrasi sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Trauma basa akan memberikan iritasi

Proses pengeringan terjadi dalam ruang pengering dengan mengalirkan udara bertemperatur tinggi yang keluar dari kolektor kepermukaan material yang akan dikeringkan (kulit

Significant judgement is made in determining the provision for corporate income tax. There are certain transactions and calculations that ultimately tax determination

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, karena dengan metode ini peneliti bisa melihat suatu fenomena secara mendalam dan

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah serta inayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menulis

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dari hasil analisis diperoleh diameter lubang penjatah yang digunakan adalah berukuran