• Tidak ada hasil yang ditemukan

ACCESS TO JUSTICE FOR THE POOR: THE BADILAG EXPERIENCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ACCESS TO JUSTICE FOR THE POOR: THE BADILAG EXPERIENCE"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ACCESS TO JUSTICE FOR THE POOR:

THE BADILAG EXPERIENCE

Oleh:

WAHYU WIDIANA

Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama

Mahkamah Agung Republik Indonesia

IACA ASIA-PACIFIC CONFERENCE IN BOGOR

MARET 2011

(2)

ACCESS TO JUSTICE FOR THE POOR:

THE BADILAG EXPERIENCE

PENDAHULUAN

Wacana akses kepada keadilan (access to justice) kini tidak hanya menjadi sekedar wacana nasional tetapi telah menjadi isu yang begitu massive digaungkan untuk dapat diimplementasikan di Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa.

Indonesia memberikan perhatian serius terhadap pemenuhan akses terhadap keadilan terutama bagi masyarakat miskin, termarjinalkan dan kaum perempuan. Hal ini bisa dilacak dari langkah konkrit yang diambil oleh pemerintah dan lembaga negara. Ditandai dengan peluncuran Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan pada bulan Mei 2009 oleh pemerintah, sebagian besar kebijakan, anggaran dan agenda legislative Indonesia telah diselaraskan untuk kepentingan kelompok-kelompok yang kurang beruntung dalam memperoleh akses kepada keadilan.

Kemudian juga bisa dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia 2010-2014 yang termaktub dalam Peraturan Presiden No. 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. RPJM tersebut memasukkan target yang diberlakukan bagi tiap-tiap yurisdiksi peradilan perihal jumlah masyarakat miskin dan terpinggirkan yang harus diberi akses yang lebih baik terhadap pengadilan Indonesia melalui pembebasan biaya perkara, sidang keliling, penyediaan informasi hukum pada pos bantuan hukum yang berada di gedung pengadilan, dan melalui hibah bantuan untuk memperoleh kuasa hukum.

Selanjutnya, pada tanggal 21 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres No. 3 tahun 2010 tentang Program Pembangunan Berkeadilan, yang memberikan penekanan pada pentingnya ‘keadilan bagi semua’ dalam mencapai tujuan-tujuan penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang lebih luas, termasuk Tujuan Pembangunan Milenium. Salah satu program yang tercantum dalam Inpres tersebut bertujuan meningkatkan akses hukum untuk perkara-perkara hukum keluarga bagi perempuan miskin dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya.

Dalam Inpres No. 3/2010 tersebut Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dalam menjalankan program Justice for All, terutama dalam pelaksanaan sidang keliling dan fasilitas perkara prodeo.

Dan pada bulan Oktober 2010, Ketua Mahkamah Agung meluncurkan Cetak Biru (Blue

Print) Pembaruan Mahkamah Agung RI 2010-2035 dan salah satu komponen utama

pada peta jalan reformasi pengadilan Indonesia untuk sepuluh tahun mendatang ini ialah akses terhadap keadilan. Sebelumnya, pada bulan Agustus 2010, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran (SEMA No. 10/2010) tentang Pedoman Pemberian

(3)

Bantuan Hukum, yang salah satu isinya mengatur tentang fasilitas perkara prodeo, pelayanan sidang keliling dan pos bantuan hukum di pengadilan.

Upanya untuk mewujudkan access to justice ini dalam implementasinya meliputi tiga hal. Pertama, hak untuk memperoleh manfaat dan mengunakan institusi peradilan.

Kedua, adanya jaminan ketersediaan sarana pemenuhan hak bagi masyarakat miskin

untuk mencapai keadilan. Dan ketiga, adanya metode dan prosedur yang efektif untuk memperluas akses masyarakat terhadap keadilan.

Dalam konteks Indonesia, ada beberapa sarana/fasilitas yang disediakan oleh lembaga peradilan, dengan dana dari negara, untuk menjamin akses masyarakat miskin untuk memperoleh keadilan. Dua sarana yang paling populer yang sudah sejak lama diperkenalkan dan dijalankan oleh peradilan agama di Indonesia adalah fasilitas prodeo (pembebasan biaya perkara) dan pelaksanaan sidang keliling di tempat yang mudah dijangkau masyarakat yang tinggal di pelosok. Di samping itu, mulai tahun 2011 pos bantuan hukum mulai diberlakukan di pengadilan agama untuk membantu masyarakat yang tidak mampu.

Makalah berikut ini akan membahas lebih jauh mengenai peran Pengadilan Agama dalam meningkatkan access to justice bagi golongan tidak mampu dan yang tinggal di daerah terpencil, melalui upaya pembebasan biaya perkara (prodeo), pelaksanaan sidang keliling dan pos bantuan hukum.

PENGADILAN AGAMA DAN ACCESS TO JUSTICE

Potret nyata dari upaya Pengadilan Agama dalam meningkatkan akses terhadap keadilan dapat dilacak sejak tahun 2007 setelah dilakukannya survey skala nasional mengenai akses dan kesetaraan di Pengadilan Agama.

Survey yang diadakan atas kerjasama Mahkamah Agung dengan Family Court of Australia dan Indonesia Australia Legal Development Facilities (IALDF) ini bertujuan melihat tingkat kepuasan warga masyarakat yang benar-benar menggunakan Pengadilan Agama untuk menangani urusan hukum keluarga mereka. Studi ini juga berupaya mengetahui apakah ada kelompok-kelompok masyarakat, khususnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang tidak dapat atau tidak bersedia mengakses layanan Pengadilan Agama untuk mengurus perceraian mereka, dan bila memang ada, untuk kemudian mencari tahu penyebabnya.

Dari hasil penelitian itu terungkap beberapa temuan penting. Setidaknya ada 5 (lima) temuan utama dari penelitian yang kemudian dipublikasikan oleh Cate Sumner dalam buku ‘Providing Justice to the Justice Seekers: A Report on the Indonesian Religious

Courts Access and Equity Study’, sebagai berikut:

(4)

Agama (70 %) atas pelayanan yang diberikan. Mereka mengatakan akan kembali ke Pengadilan Agama jika nanti mempunyai masalah hukum yang sama.

2. Kelompok termiskin dari masyarakat Indonesia menghadapi kendala yang siginikan dalam membawa perkara hukum keluarga mereka ke pengadilan. 3. Akibatnya, terdapat siklus perkawinan dan perceraian illegal bagi Perempuan

Kepala Keluarga (kelompok yang disurvey) yang hidup di bawah garis kemiskinan.

4. Bagi masyarakat miskin, kendala utama dalam mengakses Pengadilan Agama adalah masalah keuangan yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi dari dan ke pengadilan.

5. kendala lainnya bagi masyarakat miskin dalam mengakses Pengadilan Agama adalah kurangnya kejelasan informasi bagi mereka yang belum melek aksara. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian ini juga selanjutnya mengusung sejumlah rekomendasi untuk reformasi Peradilan Agama kaitannya dengan peningkatan akses terhadap keadilan dan pelayanan publik. Rekomendasi tersebut adalah:

1. Peningkatan anggran prodeo

2. Penyediaan informasi yang jelas dan seragam mengenai prosedur berperkara secara prodeo.

3. Peningkatan pelaksanaan sidang keliling dan penaikan anggaran sidang keliling. 4. Penyediaan informasi yang lebih baik tentang proses berperkara.

5. Peningkatan pelayanan publik (client service).

Mahkamah Agung kemudian memberikan respon cepat atas temuan dan rekomendasi penelitian diatas. Beberapa langkah strtaegis yang telah diambil adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan anggaran untuk fasilitas prodeo dan sidang keliling. Pada tahun 2007, anggaran untuk prodeo dan sidang keliling adalah sebesar Rp. 1 Milyar. Pada tahun 2008, negara secara signifikan meningkatkan anggaran untuk sektor ini menjadi sebesar Rp. 30 Milyar. Namun demikina, pada tahun 2009 dan 2010, anggaran tersebut menurun karena tingkat serapan yang rendah. Penurunan ini disebabkan karena belum adanya aturan yang jelas dalam sistem pertanggung jawaban keuangan negara berkaitan dengan fasilitas prodeo. Akan tetapi, sejak Agustus 2010 dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum, aturan mengenai sistem pertanggung jawaban keuangan negara tersebut sudah ada. Ketentuan mengenai prodeo, sidang keliling dan pos bantuan hukum diatur secara jelas dalam SEMA tersebut. Petunjuk Tenis/Pelaksanaan mengenai pencairan dan sistem pertanggung jawaban keuangan negara kemudian diatur oleh aturan yang mengikutinya, yang disusun oleh Direktorat masing-masing pengadilan.

(5)

2. Dengan meningkatnya anggaran untuk sidang keliling, secara otomatis pelaksanaan sidang kelilingpun meningkat. Jika pada fasilitas prodeo masyarakat miskin terbantu dalam membayar biaya perkara, maka dalam sidang keliling ini, masyarakat yang tinggal jauh dari kantor pengadilan atau di daerah pelosok sangat terbantu dalam menanggulangi kendala biaya dalam hal ongkos transportasi dari dan ke pengadilan.

Penelitian lanjutan dilakukan pada tahun 2009 yang melibatkan Peradilan Negeri sebagai lembaga peradilan yang disurvey. Masih mengambil tema yang sama, Studi

tentang Akses dan Kesetaraan pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama,

penelitian ini juga disponsori oleh Indonesia Australia Legal Development Facility (IALDF) yang berada di bawah AusAID.

Temuan-temuan pada penelitian kali ini menyuarakan hal yang sama dengan temuan sebelumnya yang dilakukan khusus di lingkungan Pengadilan Agama. Beberapa dari temuan itu misalnya, akses masyarakat miskin ke pengadilan di Indonesia dalam perkara hukum keluarga sangat rendah. 9 dari 10 perempuan kepala keluarga yang disurvey tidak mampu mengakses pengadilan untuk perkara cerai mereka. Hambatan yang dihadapi adalah masalah finansial yang berkaitan dengan biaya perkara dan ongkos transportasi ke dan dari pengadilan.

Temuan lainnya menyatakan bahwa masyarakat miskin yang tinggal di pelosok yang jauh dari pengadilan menghadapi kendala tingginya ongkos transportasi untuk mengakses pengadilan.

Tidak jauh berbeda dengan peneitian terdahulu, respon strategis untuk membantu membuka lebar akses masyarakat miskin ke pengadilan adalah dengan semakin meningkatkan pembebasan biaya perkara melalui fasilitas prodeo dan pelaksanaan sidang keliling bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah terpencil. Hanya saja, karena keterbatasan anggaran, pelaksanaan sidang keliling tidak bisa dilaksanakan setiap saat tetapi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia di setiap pengadilan. Yang terakhir adalah penelitian tentang Akses terhadap Keadilan: Pemberdayaan

Perempuan Kepala Keluarga di Indonesia. Dalam publikasi penelitian yang dilakukan

oleh PEKKA, sebuah NGO nasional yang concern terhadap pemberdayaan perempuan kepala keluarga, dan didanai oleh AusAID ini terungkap pula temuan yang sama, diantaranya:

1. Kelompok masyarakat Indonesia yang paling miskin menghadapi kendala yang signifikan dalam membawa perkara hukum keluarga mereka ke pengadilan. 2. 88 % perempuan kepala keluarga anggota PEKKA (yang disurvey) akan

berupaya dapat bercerai secara sah apabila mereka dibebaskan dari biaya perkara.

3. Tingginya biaya transportasi menjadi penghalang dalam mengakses pengadilan, khususnya bagi masyarakat miskin pedesaan yang tinggal jauh dari lokasi pengadilan.

(6)

4. 89 % perempuan PEKKA akan lebih termotivasi bercerai secara sah bila sidang keliling diselenggarakan di kota dekat tempat tinggal mereka.

Bagi kaum miskin yang tinggal di pedesaan, besarnya biaya transportasi merupakan bagian signifikan dari keseluruhan biaya untuk membawa perkara ke pengadilan. Biaya transportasi dapat mencapai 70% atau lebih dari total biaya membawa perkara ke pengadilan. Menghadirkan pengadilan lebih dekat kepada para pihak dapat secara signifikan mengurangi biaya membawa perkara ke pengadilan dan meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin yang hidup di pedesaan dan daerah terpencil.

Berdasarkan hasil-hasil temuan tersebut, jelaslah bahwa pembebasan biaya perkara dan sidang keliling memainkan peranan vital dalam membuka dan meningkatkan akses kepada keadilan bagi masyarakat miskin dan yang tinggal di daerah terpencil. Semakin tinggi anggaran prodeo untuk masyarakat miskin, maka akan semakin banyak masyarakat miskin yang terbantu dalam menyelesaikan perkaranya. Begitu juga dalam sidang keliling, semakin banyak frekuensi sidang keliling yang dilaksanakan seiring dengan meningkatnya anggaran, maka akan semakin banyak orang miskin (terutama yang tinggal di pelosok) yang mendapatkan akses terhadap keadilan.

ACCESS TO JUSTICE: FASILITAS PRODEO, SIDANG KELILING DAN POS BANTUAN HUKUM

Akses kepada keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu dan yang tinggal di pelosok telah secara eksplisit diatur dalam undang-undang. Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 56 (2) jo. pasal 60B (2) UU No. 50/2009 tentang Peradilan Agama menyatakan: “Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.”

Kemudian pasal 60C (1) UU No. 50/2009 jo. pasal 57 (1) UU No. 48/2009 menyebutkan: “Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.”

Dalam rangka merespon tuntuntan undang-undang dan upaya meningkatkan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan serta yang tinggal di tempat terpencil, Ketua Mahkamah Agung pada bulan Agustus 2010 menerbitkan Surat Edaran Mahkama Agung (SEMA) No. 10/2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum. SEMA ini mengatur 3 (tiga) hal pokok dalam pemberian bantuan hukum, yakni (1) pelaksanaan sidang keliling, (2) pembebasan biaya perkara (prodeo), dan (3) pos bantuan hukum di pengadilan.

Kenyataannya, sebelum lahirnya undang-undang dan SEMA seperti tersebut diatas, Mahkamah Agung dan Ditjen Badilag (Badan Peradilan Agama) sudah melakukan respon cepat atas temuan-temuan beberapa hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya.

(7)

Berikut dipaparkan pengalaman Badilag (Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI) dalam upaya meningkatkan akses kepada keadilan bagi masyarakat miskin melalui fasilitas perkara prodeo, sidang keliling dan pos bantuan hukum.

Pembebasan Biaya Perkara (Prodeo)

Peraturan perundang-undangan menyatakan dengan tegas bahwa pembayaran biaya perkara merupakan syarat imperatif (imperative requirement) atau syarat yang memaksa atas pendaftaran perkara dalam buku registrasi. Konsekuensinya, apabila penggugat belum membayar lunas biaya perkara, maka gugatan penggugat tidak bisa diproses lebih lanjut oleh pengadilan.

Namun demikian, undang-undang juga mengatur tentang pemberian izin berperkara tanpa biaya (free of charge) bagi mereka yang tidak mampu. Hal itu seperti diatur pada pasal 237 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) yang kemudian dikukuhkan dengan lahirnya UU No. 48/2009 jo. UU No. 50/2009.

Alasan dasar memberikan izin berperkara secara prodeo adalah karena alasan kemanusiaan (humanity), keadilan umum (general justice) dan pemberian hak dan kesempatan (opportunity) bagi orang miskin untuk mempertahankan hak dan kepentingannya di pengadilan secara cuma-cuma.

Apapun alasannya, karena sekarang undang-undang (No. 48/20 jo. No. 50/2009) secara tegas menyatakan bahwa negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu, maka negara berkewajiban memenuhi amanat undang-undang tersebut. Adapun implementasinya – salah satunya – bisa diwujudkan dengan pemberian anggaran ke pengadilan untuk pembebasan biaya perkara bagi masyarakat miskin.

Sebelum diberlakukannya sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI, juga bahkan sebelum dilakukannya survey tentang akses dan kesetaraan

(access and equity survey) di Pengadilan Agama pada tahun 2007, anggaran pengadilan

untuk perkara prodeo tidaklah besar. Konsekuensinya, tidak banyak masyarakat miskin yang terbantu dalam menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama. Belum ada perhatian khusus baik dari negara maupun dari pihak pengadilan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin melalui fasilitas berperkara secara prodeo ini.

Akan tetapi paska dirilisnya hasil penelitian akses dan kesetaraan di pengadilan agama yang dilakukan pada tahun 2007, terjadi peningkatan signifikan dalam pelayanan berperkara secara prodeo. Hal itu terjadi karena adanya respon cepat dari Mahkamah Agung dalam menyikapi hasil penelitian.

Pada tahun 2007, pengadilan agama mendapatkan anggaran untuk perkara prodeo dan sidang keliling sebesar Rp. 1 milyar. Dengan dilatar belakangi hasil penelitian diatas, pada tahun 2008 anggaran pada sektor tersebut pada pengadilan agama meningkat drastis menjadi Rp. 30 milyar walaupun kemudian pada tahun-tahun

(8)

berikutnya (2009 dan 2010) anggaran untuk prodeo dan sidang keliling ini mengalami penurunan karena tingkat serapan anggaran yang rendah.

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya serapan untuk anggaran prodeo dan sidang keliling. Faktor yang paling dominan adalah karena belum adanya aturan hukum yang jelas mengenai prosedur penggunaan dan pertanggung jawaban keuangan negara atas anggaran tersebut.

Bersamaan dengan peningkatan anggaran, dibangun juga sebuah sistem pelaporan untuk memudahkan pemantauan dan pertanggung jawaban dari dana tersebut diatas. Sistem tersebut dinamakam SMS Gateway. Sistem ini mengontrol jumlah anggaran yang digunakan untuk perkara prodeo dan sidang keliling termasuk jumlah perkara yang ditangani.

Data Perkara Prodeo dan Target 2011

Berdasarkan data pada SMS Database, dari waktu ke waktu, terdapat peningkatan jumlah masyarakat miskin yang mengakses program pembebasan biaya perkara yang ditawarkan Pengadilan Agama. Peningkatan siginifikan ini terjadi paska survey nasional akses dan kesetaraan pada pengadilan agama yang diikuti dengan kebijakan peningkatan anggaran. Pada tahun 2010 perkara prodeo yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama berjumlah 4.906 perkara.

Pada tahun 2011, Badilag mendapatkan anggaran untuk perkara prodeo sebesar Rp.3.465.900.000,-. dan Badilag telah menetapkan target untuk menyelesaikan perkara prodeo sebanyak 11.553 perkara. Target ini juga sesuai dengan yang termaktub dalam Inpres No. 3/2010 tanggal 21 April 2010, dimana Dirjen Badilag ikut terlibat aktif dalam penyusunan Inpres tersebut khususnya yang berkaitan dengan perkara prodeo dan sidang keliling.

Badilag yakin target tersbut bisa dicapai mengingat aturan hukum yang mengatur tentang tata cara penggunaan dan pertanggung jawaban keuangan negara yang berkaitan dengan anggaran perkara prodeo sudah diatur secara rinci dalam SEMA No. 10/2010 beserta petunjuk teknis yang mengikutinya.

Disamping itu, SEMA No. 10/2010 lebih memperlonggar persyaratan bagi masyarakat miskin dalam mengajukan perkara prodeo. Jika dalam undang-undang ditetapkan (hanya) Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kelurahan yang dapat dijadikan syarat mengajukan perkara prodeo, maka dalam SEMA tersebut semua keterangan resmi dari pihak yang berwenang tentang ketidakmampuan dapat dijadikan syarat untuk berperkara secara cuma-cuma.

Sidang Keliling Sebelum Sistem Satu Atap

Secara historis, Peradilan Agama sudah sejak lama mempraktekkan sidang keliling untuk mendekatkan pengadilan kepada para penggunanya yang tinggal di daerah

(9)

pelosok dan terpencil yang juga sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Pelaksanaan sidang keliling tersebut bahkan sudah menjadi tradisi di lingkungan Peradilan Agama bahkan sebelum diperkenalkannya sistem satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI pada tahun 2004, walaupun tidak diketahui pasti mulai kapan sidang keliling dilaksanakan.

Pada waktu itu negara kurang memberikan perhatian bagi peningkatan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan terutama yang tinggal di pelosok. Tidak ada anggaran khusus yang disediakan untuk pelaksanaan sidang keliling dan prodeo. Akan tetapi tradisi sidang keliling tersebut tetap dilaksanakan secara suka rela oleh pengadilan agama.

Paling tidak ada dua alasan utama mengapa sidang keliling di pengadilan agama demikian mentradisi dan sudah menjadi semacam keniscayaan:

Pertama; Peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa di setiap

kabupaten/kota perlu ada sebuah pengadilan agama/mahkamah syar’iyah. Saat ini Indonesia terdiri dari 443 kabupaten/kota yang tersebar di 34 provinsi. Sementara itu sampai saat ini ‘hanya’ terdapat 343 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah seluruh Indonesia, yang berarti masih kekurangan 100 pengadilan agama. Untuk mengatasi kendala akses ke pengadilan bagi masyarakat di suatu kabupaten yang belum ada pengadilan agama-nya maka dilaksanakanlah sidang keliling.

Kedua; Adanya semacam keyakinan/komitmen kelembagaan pengadilan agama untuk

mewujudkan gagasan keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pengadilan agama adalah pengadilan yang dibentuk salah satunya khusus untuk menyelesaikan sengketa hukum keluarga bagi masyarakat Muslim. Terlebih jumlah masyarakat miskin masih begitu besar di samping juga ketika pembinaan administrasi dan keuangan masih berada di bawah Departemen Agama, pengadilan agama memperoleh anggaran untuk melakukan sosialisasi hukum, meski jumlahnya tidak bisa dikatakan besar.

Sidang Keliling Paska Sistem Satu Atap

Sistem satu atap (one-roof system) melahirkan hal-hal baru dalam hal peningkatan akses keadilan bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan. Ketua Mahkamah Agung menaruh perhatian yang sangat besar dalam program peningkatan access to justice ini. Terlebih lagi setelah terkuaknya beberapa temuan-temuan penting dalam survey skala nasional terhadap Akses dan Kesetaraan pada pengadilan agama dan pegadilan negeri. Temuan-temuan dalam Studi Akses dan Kesetaraan yang telah dijabarkan diatas memberikan daya dorong bagi reformasi untuk meningkatkan keterbukaan peradilan dan, selanjutnya, akses ke pengadilan bagi masyarakat miskin. Upaya-upaya ini didanai oleh Mahkamah Agung dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Ditjen Badilag MA RI. Seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, Mahkamah Agung memberikan

(10)

respon strategis terhadap hasil survey berupa peningkatan anggaran untuk fasilitas prodeo dan sidang keliling. Peningkatan jumlah anggaran ini merupakan prasyarat yang memang diperlukan untuk dapat meningkatkan akses ke Pengadilan Agama bagi perempuan, masyarakat miskin, dan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Biaya perkara pengadilan yang dibayarkan oleh klien di Pengadilan Agama kebanyakan digunakan untuk biaya pemanggilan para pihak dan para saksi untuk hadir di persidangan, serta untuk biaya-biaya proses pengadilan lainnya. Oleh karenanya dibutuhkan adanya anggaran tambahan untuk menutup biaya perkara yang dibebaskan bagi masyarakat miskin, serta untuk menutup biaya transportasi dan biaya-biaya lainnya untuk membawa hakim dan pegawai pengadilan ke daerah-daerah terpencil untuk menyidangkan perkara melalui sidang keliling.

Data Sidang Keliling dan Target 2011

Pengadilan Agama terus menerus melakukan upaya-upaya signifikan untuk meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin dan kelompok masyarakat terpinggirkan, dan khususnya bagi perempuan serta mereka yang tinggal di pelosok.

Terdapat peningkatan empat kali lipat jumlah klien Pengadilan Agama dari daerah pedesaan dan daerah terpencil yang perkaranya disidang melalui sidang keliling. Melalui program sidang keliling di daerah-daerah terpencil serta program pembebasan biaya perkara, Pengadilan Agama juga telah membantu mengatasi masalah pencatatan kelahiran. Di tahun 2010, lebih dari 13.000 perkara isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama. Dalam perkara seperti ini, pengadilan memberikan dokumen pada pemohon yang dapat dijadikan bukti sahnya perkawinan mereka. Dokumen ini nantinya dapat digunakan di catatan sipil untuk memperoleh dokumen identitas penting lainnya, termasuk, misalnya, akta kelahiran yang mencantumkan nama kedua orang tua anak. Satu hal yang menarik adalah bahwa umumnya dari perkara yang disidangkan melalui sidang keliling adalah juga perkara prodeo dimana para pihak dibebaskan dari biaya perkara.

Berikut ini perbandingan jumlah perkara yang ditangani pada sidang keliling dalam rentang waktu 2007 – 2010:

(11)

TAHUN JUMLAH PERKARA PADA SIDANG KELILING

2007 3.359 2008 6.574 2009 7.584 2010 13.011

Sidang keliling tersebut dilaksanakan oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iyah seluruh Indonesia dengan lokasi sidang keliling yang berjumlah 179 lokasi.

Pada tahun 2011, mendapatkan anggaran untuk sidang keliling sebesar Rp. 4.188.500.000,- dan Ditjen Badilag memiliki target untuk membantu masyarakat miskin dan terpinggirkan sesuai dengan budget yang diberikan adalah sebesar 9.023

perkara yang diselesaikan melalui sidang keliling.

Kegiatan lapangan yang baru-baru ini dilakukan bersama LSM PEKKA menemukan bahwa pada 20 kabupaten/kota dari keseluruhan 440 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, dari perempuan kepala keluarga yang disurvei terdapat rata-rata 2.000 perkara isbat nikah yang perlu mereka ajukan ke Pengadilan Agama agar mereka dapat memperoleh akta kelahiran bagi anak-anaknya. Akan tetapi, untuk dapat melakukannya, mereka perlu mendapatkan dukungan dari Pengadilan Agama dalam bentuk pembebasan biaya perkara pengadilan. Perkara-perkara tersebut juga perlu disidangkan di sidang keliling yang diselenggarakan dekat dengan lokasi desa tempat tinggal mereka yang umumnya terpencil.

Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama

Pos Bantuan Hukum (Posbakum) merupakan pranata baru di Peradilan Agama. Keberadaannya merupakan implementasi dari amanat pasal 60C (1) UU No. 50/2009 yang mewajibkan pembentukan pos bantuan hukum pada setiap pengadilan agama untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

Pos Bantuan Hukum merupakan salah satu dari tiga serangkai bantuan hukum seperti yang telah diatur dalam SEMA No. 10/2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum.

Jika fasilitas prodeo diperuntukkan bagi masyarakat miskin dalam pembebasan biaya perkara dan sidang keliling dikhususkan bagi masyarakat miskin yang tinggal di daerah terpencil, maka Posbakum dibentuk untuk membantu masyarakat miskin (terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang cacat) yang tidak mampu membayar jasa advokat.

Adapun jenis jasa hukum yang diberikan pada Posbakum di pengadilan agama adalah pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan. Sedangkan pemberi jasa bantuan hukum yang bertugas di Posbakum adalah pihak luar pengadilan (advokat, sarjana hukum dan sarjana syari’ah) yang berasal dari organisasi

(12)

bantuan hukum dari unsur asosiasi profesi advokat, perguruan tinggi dan LSM.

Khusus untuk perkara jinayah di mahkamah syar’iyah, seperti halnya di pengadilan negeri, dimungkinkan juga penyediaan advokat pendamping secara cuma-cuma untuk membela penerima jasa bantuan hukum di persidangan.

Pada tahun 2011, Peradilan Agama memperoleh anggaran untuk Posbakum sebesar Rp. 4.182.500.000,-. Anggaran tersebut dialokasikan untuk 46 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah seluruh Indonesia sebagai proyek percontohan (pilot

project) Posbakum yang mulai aktif berjalan sejak awal Maret 2011.

Dengan anggaran tersebut, 46 pengadilan agama/mahkamah syar’iyah ditargetkan dapat memberikan 11.553 jumlah layanan kepada orang-orang yang tidak mampu. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang, tentunya seiring dengan ditingkatkannya anggaran untuk Posbakum, semakin banyak jumlah pengadilan agama/mahkamah syar’iyah di Indonesia yang mendirikan Posbakum sehingga semakin banyak jumlah masyarakat miskin yang terbantu dalam mengakses pengadilan.

PENUTUP

Prodeo, sidang keliling (dan juga Pos Bantuan Hukum) seperti telah dijelaskan di atas, memainkan peran signifikan dalam meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat miskin atau mereka yang tinggal di daerah terpencil. Sejatinya anggaran untuk ketiga jenis bantuan hukum tersebut disesuaikan dengan tingkat kebutuhan

(demand) masyarakat. Akan tetapi mengingat keterbatasan anggaran negara, maka

paling tidak ada dua hal yang dapat dijalankan agar akses terhadap keadilan bagi masyarkat miskin dapat tetap terlaksana melalui prodeo, sidang keliling dan Posbakum:

Pertama, pengadilan harus bekerja sama dengan LSM, pemerintah dan lembaga terkait

demi tercapainya optimalisasi fasilitas perkara prodeo, sidang keliling dan Posbakum sehingga akses masyarakat miskin terhadap pengadilan semakin terbuka lebar. Kedua, memberikan pengetahuan dan meningkatkan kesadaran kepada seluruh warga masyarakat bahwa pengadilan mempunyai keterbatasan anggaran dalam memberikan fasilitas perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan pembentukan Pos Bantuan Hukum.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Cate Sumner, Access to justice: empowering female heads of household in Indonesia, PEKKA dan AusAID, 2010

———. Providing justice to the justice seeker: a report on the Indonesian Religious

Courts Access and Equity Study – 2007: summary of research findings, Jakarta:

Mahkamah Agung and AusAID (IALDF), 2008

———. Providing justice to the justice seeker: a report on the Indonesian Religious Courts

Access and Equity Study – 2007-2009: summary of research findings, Jakarta:

Mahkamah Agung dan AusAID (IALDF), 2010

Cate Sumner, Tim Lindsey, Courting Reform: Indonesia’s Islamic Courts and Justice for the Poor, New South Wales Australia: Lowy Institute for International Policy, 2010 Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama, Direktorate Jenderal Badan Peradilan

Agama Mahkamah Agung RI.

M. Yahya Harahap, SH., Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan di Puskesmas Kaubun sudah baik dilihat dari 4 indikator yaitu keresponsifan, Keamanan/keyakinan,

Pada Tabel 4 pada hubungan pengalaman dengan komitmen afektif terdapat nilai CR sebesar 1,337 dan berada dibawah nilai kritis yaitu ±1,96, dengan tingkat signifikansi

Hasil penelitian yang diperoleh mengenai pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan

Sehingga dapat disimpulkan dari hasil penelitian pada usaha Toko Krisna Karya sebaiknya menggunakan strategi SO yakni dengan memanfaatkan peluang serta kekuatan dari semua

Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan informasi tentang pengaruh suplementasi zinc pada perbaikan klinis penderita

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA.. SEMARANG

Hal ini sesuai dengan pendapat (Puti & Jumadi, 2015) yang menyatakan agar peserta dapat dengan mudah menggunakan bahan ajar tersebut, maka kesesuaian

No Peneliti Judul Variabel Hasil Penelitian 1 Indra Pahala, Tresno Eka Jaya, Grace Ombun Meilisa (2012) Pengaruh Perbedaan Laba Akuntansi dan Laba Fiskal serta ROA terhadap