• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY"

Copied!
395
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PROCEEDINGS

The 3

rd

ANNUAL INCLE CONFERENCE FOR

CLINICAL LEGAL EDUCATION

LEGAL CLINICS AND THE FULFILMENT OF

ACCESS TO SOCIAL JUSTICE FOR SOCIETY

Editor

I Lidwina Nurtjahyo

Oce Madril

Maskun

UNIVERSITAS HASANUDIN, SULAWESI, INDONESIA

(3)

PROCEEDINGS

The 3

rd

Annual INCLE Conference For Clinical Legal Education

Penyusun : Presidium INCLE

1.

I Lidwina Nurcahyo

2.

Oce Madril

3.

Fatwa Fadillah

4.

Widati Wulandari

5.

Rosmalinda

6.

Indah Febriani

7.

Maskun

8.

Yeni Rosliani

9.

I. B Surya Dharma

ISBN

:

978-602-51430-0-7

Reviewer

:

Arip Yogiawan

Editor

:

I Lidwina Nurtjahyo

Oce Madril

Maskun

Design/Sampul

:

Muhammad Riza Anugrah Anugerah Natsir

Tata Letak

:

Wildan Siregar

Diterbitkan oleh :

Indonesian Network For Clinic Legal Education

Kerja Sama dengan :

TAF & USAID

Alamat

: Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta 10320

Website

: www.incle.org

(4)

i

KATA SAMBUTAN

KONFERENSI PENDIDIKAN KLINIK HUKUM INCLE 3RD

"Klinik Hukum dan Pemenuhan Akses terhadap KeadilanSosial bagi Masyarakat"

Pendidikan hukum memiliki posisi strategis dalam pembenahan dan perbaikan situasi dan perkembangan hukum di Indonesia. Pengajaran Pendidikan Hukum Klinis atau Clinical Legal Education (CLE) merupakan perkembangan terkini dalam pendidikan hukum di Perguruan Tinggi di Indonesia yang diinisiasi oleh The Asia Foundation melalui program E2J yang dikembangankan pada Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Sriwijaya, dan Universitas Sumatera Utara, yang tentunya bermitra dengan beberapa Civil Society Organization (CSO). Pendidikan hukum klinis ditujukan untuk menciptakan seorang sarjana hukum yang mampu serta terampil dan memiliki paradigma keadilan sosial.

Konferensi ke-3 Indonesian Network Clinical for Legal Education (INCLE) merupakan penyelenggaraan Konferensi yang diselenggarakan INCLE bekerjasama dengan Fakultas Hukum yang menjadi Mitra INCLE., dimana Konferensi pertama di laksanakan di Univeristas Indonesia pada tahun 2015 dan konferensi kedua di Universitas Udayana pada tahun 2016. Kegiatan Konferensi yang dilaksanakan mulai dari Konferensi 1, 2, 3 selalu dirangkaikan dengan kegiatan Training of Trainers (TOT).

(5)

ii Konferensi inipun diharapkan akan menjadi sarana pertukaran gagasan dan pengalaman dalam pengembangan pendidikan hukum klinis termasuk didalamnya sinergitas kerja berbagai stakeholders seperti Mahkamah Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Komnas HAM, Komnas Perempuan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan pihak terkait lainnya

Akhirnya, terselenggaranya Konferensi INCLE ke-3 tentunya sangat ditentukan komitmen dan kerja keras serta dukungan dari berbagai pihak demi terselenggaranya Konferensi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada INCLE, USAID-TAF, dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah bahu membahu bagi terselenggaranya Konferensi ini. Jika dalam penyelenggaraan Konferensi ini terdapat beberapa kekurangan maka hal tersebut semata mata bentuk keterbatasan Panitia Pelaksana.

Makassar, 8 Mei 2017

Dekan

(6)

iii

Daftar Isi

Kata Sambutan i

Daftar Isi iii

I. Access To Justice For Marginalized Group Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum 1

Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H.

Identifikasi Pengembangan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Marginal

(Studi Kasus Makassar) 9

Padma D. Liman

Kedudukan Anak Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/Puu-VIII/2010 26

Darul Huda Mustaqim, S.H & Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M

Akses Keadilan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas Dan Tantangan Kedepan 32

Irvin Saut Tua Sihombing , Endah Sundari

Pemberian Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin Dalam

Implikasinya Dengan Pelaksanaan Teori Kesejahteraan Rakyat (Walfare State) 43

Lidwina Inge Nutjahyo

Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak dalam Upaya Mendorong Peningkatan Kesadaran Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan

dan Anak di Kampus 56

II. Access To Justice And Anti-Corruption Movement Abdul Fatah, SH, MH

Pemberantasan Korupsi Berbasis Organisasi Rakyat 69

Ahmad Fikri Hadin, S.H, LL.M & Darul Huda Mustaqiem, S.H

Kaderisasi Mahasiswa Anti Korupsi Yang Berkarakter

(Studi Pada Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan Di Perguruaan Tinggi) 84

Muhammad Rizaldi S.H. dan Sri Bayuningsih Praptadina S.H

Membangun Integritas Mahasiswa Melalui Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Relevansinya dengan Pemenuhan

Akses Terhadap Keadilan Sosial 95

Muh.Afif Mahfud, Yupitasari Saeful

Legal Protection For The People On Small Island Mastery 119

Based On Social Justice

Ulfa Apriani Hasan, Adzah Rawaeni, Monica Dewi Luqman, Evelyn Lay

Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Hak Komunal 135

Wanodyo Sulistyani, S.H.,M.H.,LL.M.

(7)

iv

Cok. Istri Diah Widyantari, Putu Ade Hariestha Martana, Kadek Agus Sudiarawan, Kadek Sarna, Nyoman Satyayudha Dananjaya

Optimalisasi Peran Kampus dalam Menjawab Isu-Isu Lingkungan di Provinsi Bali melalui Pengembangan Konsep Pembelajaran

Clinical Legal Education 163

III. Regional And International Relation To The Fulfillment Of Community Justice

Birkah Latif, Prof. SM. Noor, SH., MH., Prof. Juajir Sumardi, SH., MH., Prof. Irwansyah, SH., MH.

Ketidakadilan Global: Perjanjian Perdagangan Bebas

(analisa terhadap Eksistensi Masyarakat Ekonomi ASEAN) 177

IV. The Latest Clinical Law Governance

Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH, MH, LLM, Putu Aras Samsithawrati SH, LLM, I Made Budi Arsika SH, LLM., AA. Gede Duwira Hadi Santosa SH, MHum

Menyebarluaskan Social Justice Melalui Klinik Hukum Perancangan Kontrak Dengan Model Street Law: Efektifitasnya Di Fakultas Hukum

Universitas Udayana 186

Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan SH, MHum, LLM, Dr. I Wayan Wiryawan SH, MH, I Nyoman Darmadha SH, MH, Anak Agung Sri Indrawati,SH,MH, I Made Dedy Priyanto,SH,MKn

Meningkatkan Nilai-Nilai Pro Bono Melalui Klinik Hukum Perdata

DenganModel Street Law 202

Aflah, SH., M.Hum

Keadilan Sosial Bagi Penumpang Angkutan Udara Dalam Memperoleh

Ganti Rugi Atas KeterlambatanPenerbangan 212

V. Access Community For Social Justice Of Land And Economy Fauzia P. Bakti

Perjanjian Perkawinan Bagi Warga Negara Indonesia Pelaku Perkawinan Campuran (Suatu Telaah Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

No. 69/Puu-Xiii/2015) 225

Maria Kaban, SH., M.Hum.

Eksistensi dan Perkembangan Harta Bawaan dan Harta Bersama Dalam

Hukum Adat Karo di Kabupaten Karo 237

VI. Legal Reforms To Social Justice

Julandi J Juni, Ridwan A.Mantu, &Moh. Pradipta Duwila

Paradoks Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum : Peran Dan Fungsi Paralegal Dalam Penanganan Kasus Secara Litigasi

(8)

v

VII. Access To Justice And Natural Resources Bayu Vita Indah Yanti, Zahri Nasution

Tinjauan Terhadap Akses Keadilan Sosial Dan Akses Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan: Pembelajaran Dari Penerapan Sistem Lelang Terbuka

Dan Tertutup Perairan Lebak Lebung 257

Lasma Natalia

Akses Informasi Bagi Masyarakat Dalam Pemenuhan Hak Atas Lingkungan Yang Baik Dan Sehat "Studi Terhadap Kasus-Kasus Pendampingan

Lembaga Bantuan Hukum Bandung Wilayah Jawa Barat” 268

VIII. Access To Justice And Public Policy

Ni Luh Gede Astariyani, SH.,MH1, A.A Istri Ari Atu Dewi, SH.,MH, Made Nurmawati, SH.,MH, Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, SH,M.Kn.,LLM,

Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Melalui

Penyusunan Peraturan Daerah 384

IX. Access To Justice And The Criminal Law System Dr. Nur Azisa

Konsep Pemenuhan Hak Restitusi Bagi Korban Kejahatan 305

X. Clinic Management, Curriculum, And Methods.

Sri Wahyuni S., Sitti Syahrani Nasiru, Abdul Muhaimin Rahim Mulsin, Aldy Rinaldy Latif, Fitriani, Fenny Afriyanti

Membentuk Karakter Profesional, Handal, Dan Partisipatif Mahasiswa

Melalui Clinical Legal Education 321

Muhammad Zulfan Hakim

Sinergitas Pusat Konsultasi Dan Bantuan Hukum Universitas

Dan Fakultas Dalam Pembelajaran Klinik Hukum 333

Maria Ulfah, S.H., M.Hum.

Standar Pendidikan Hukum Klinis melalui Lembaga Bantuan Hukum Kampus 338

Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.

Pengaruh Kerjasama Institusi Bagi Keberlangsungan Street Law Dalam

Klinik Anti Korupsi Fh Unpad 353

Nella Sumika Putri

Model Koordinasi Antar Lembaga Dalam Pelaksanaan Model - Street

Law Clinic: Refleksi Terhadap Klinik Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpad 363

Dr. Ratih Lestarini, SH., MH, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH., M.Si

Klinik Hukum Sebagai Sarana Memperluas Akses Masyarakat terhadap

Keadilan 372

M. Irfan Alghifari

Upaya Mendorong Akses Terhadap Keadilan Melalui Sekolah Paralegal

(9)
(10)

1

I. ACCESS TO JUSTICE FOR MARGINALIZED GROUP

Perempuan Bekerja dalam Kevakuman Hukum

Dr. Agusmidah, SH, M.Hum

Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara midahagus@gmail.com

Abstrak— Perempuan bekerja dengan upah rendah, tanpa jaminan sosial, tanpa kontrak yang jelas, selamanya berstatus pekerja lajang, kesemuanya merupakan kondisi yang mudah ditemukan dalam hubungan kerja perempuan, baik di sektor formal maupun non formal di Indonesia. Tulisan ini mengidentifikasi masih banyaknya ketidakpastian hukum yang membuat maraknya buruh perempuan masuk dalam area marginal. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, data berasal dari literatur dan observasi yang dilakukan dalam kegiatan street law, dimana penulis melakukan komunikasi langsung dengan perempuan bekerja khususnya bekerja di sektor perkebunan (formal), dan sektor pekerja rumahan (non formal). Data sekunder diantaranya dari putusan pengadilan hubungan industrial (PHI). Penelitian ini menemukan bahwa regulasi setengah hati yang menyebabkan perempuan bekerja seolah dalam ruang hampa-tanpa perlindungan dan kepastian hukum.

Kata kunci : Kepastian Hukum, Perempuan, Undang-undang Ketenagakerjaan.

Pendahuluan

Perempuan bekerja di ruang publik semakin lumrah dan diterima sebagai hal yang biasa saat ini. Namun ini tidak diimbangi dengan kenyataan memperlakukan pekerja/buruh perempuan setara dengan laki-laki, meski secara biologis ada perbedaan yang memberi dampak signifikan atas perlakuan khusus bagi perempuan. Perlakuan khusus dimaksud antara lain cuti haid, melahirkan, keguguran kandungan, dan istirahat menyusui bayi yang semuanya ada diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.1

Perlakuan diskriminatif antara pekerja/buruh laki-laki dan perempuan juga dilarang dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, antara lain dalam hal besaran upah, jabatan dan jenis pekerjaan. Namun pada kenyataannya studi yang dilakukan dalam rangka street law ke perusahaan perkebunan serta dokumen gugatan ke PHI masih ada menyangkut pelaksanaan hak-hak tersebut. Kondisi inilah yang dimaksud dengan perempuan bekerja dalam ketidakpastian regulasi.

1

(11)

2 Masalah yang coba dipecahkan adalah apakah peraturan yang ada telah dijalankan sesuai dengan tujuan dibuatnya aturan tersebut yaitu memberikan perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan dari diskriminasi dan marginalisasi. Tujuan yang diharapkan adalah menemukan dan menganalisis peraturan atau regulasi sehingga dapat dicapai perlindungan hukum bagi perempuan bekerja pada masa yang akan datang. Manfaat dari penelitian ini adalah memperkaya literatur sekaligus menjadi masukan bagi stakeholders untuk mengawasi pelaksanaan regulasi sehingga pekerja/buruh perempuan tidak bekerja dalam kevakuman hukum.

Status lajang buruh perempuan perkebunan

Status buruh lajang bagi pekerja berdampak terhadap pendapatan. Pendapatan bagi buruh adalah akumulasi dari gaji pokok, tunjangan tetap dan atau tidak tetap. Status lajang jelas mempengaruhi penerimaan tunjangan tetap yang diterima buruh berstatus kepala keluarga yang menanggung isteri dan anak. Tunjangan tetap itu berupa beras, dan sembako lainnya, tunjangan isteri, dan tunjangan anak. Buruh Perempuan di PT Perkebunan Soc selamanya berstatus lajang, meski sebagian ada yang menjadi kepala keluarga dikarenakan suami telah meninggal dunia.

(12)

3 (untuk istri dan anak-anak) dan apabila buruh perempuan tersebut adalah orang tua tunggal dengan anak-anak. Surat Edaran ini masih kental ―diskriminasi ‖ nya, masih dalam pandangan bahwa perempuan dikatakan ―bukan pencari nafkah utama‖ sehingga upah dan perlindungan nya juga bukan yang utama. Keempat, Pasal 3PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, ditegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat PenjelasanPasal 3 PP 8/1981).

Peraturan pemerintah terbaru tentang Pengupahan tidak secara eksplisit mengatur larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dalam besaran upah untuk jenis pekerjaan yang sama. Kesempatan dan perlakuan yang sama disebut dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK).2 Pasal 5 dan Pasal 6 menyebut bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, juga berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Dua pasal di atas mengatur perihal larangan perlakuan diskriminasi yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik, termasuk penyandang cacat. Dilihat dari kekuatan pasal itu maka keduanya termasuk dalam norma memaksa, sebab disertai ancaman hukuman bagi yang melanggar, berupa sanksi administratif. Sanksi administratif disebut dalam Pasal 190 ayat (2) UUK, berupa: teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, atau pencabutan ijin.

Pekerja rumahan (home workers) tanpa status hubungan kerja

Pekerja rumahan atau pekerja berbasis rumah dalam produksi di industri disebut sebagai putting out system. Alasan mendasar pelaku usaha menerapkan bentuk subkontrak yaitu meminimalkan ongkos produksi. Cara mudah dan fleksibel untuk memenuhi permintaan yang fluktuatif dan sebagai sarana untuk menggantikan biaya

overhead ketimbang dengan menggunakan pekerja standar, inilah fleksibilitas tenaga kerja itu, mempekerjakan pekerja secara lepas (casualisation of labour), subkontrak dan atau alih daya. Tujuan utama tentu efisiensi, dengan sedapat mungkin bersaing dalam fluktuasi dan kecenderungan pasar.3

Masalah normative yang dihadapi pekerja rumahan adalah tidak terpenuhinya unsur hubungan kerja (formal) yang diatur dalam UUK. Hubungan kerja dirumuskan dalam

2

ILO memetakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam UU No. 13 Tahun 2003, dapat dilihat dalam http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf

3

(13)

4 Pasal 1 angka 15 UUK sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pekerja rumahan jelas memenuhi unsur adanya pekerjaan, dan pekerjaan yang dilakukan tersebut melahirkan hak dan kewajiban yaitu pembayaran upah, namun tidak memenuhi unsur perintah, dan tanpa diawali perjanjian kerja (tertulis).

―Unsur perintah menjadi sangat kabur sehingga menyamarkan hubungan kerja dalam kerja rumahan ini. Kekaburan tersebut memang suatu yang sengaja diciptakan. Lihatlah bahwa lapisan dalam rantai subkontrak sangatlah panjang dan kompleks, pekerja rumahan adalah ujung dari rantai itu. Perantara atau agen dalam sistem ini bukan seperti yang dikehendaki UUK, yang mensyaratkan harus berbadan hukum. Perantara atau agen bisa perorangan, baik memiliki hubungan kerja dengan perusahaan maupun tidak (bahkan di antaranya adalah preman). Berikutnya adalah unsur Perintah yang menjadi ciri khas dalam hubungan kerja majikan-buruh di mana menunjukkan adanya sub ordinasi, hubungan diperatas. Perintah diwujudkan dalam bentuk adanya instruksi kerja (peraturan perusahaan atau standart operasional prosedur) yang harus dipenuhi pekerja atau buruh, konsekwensi dari tidak dijalankannya perintah akan berdampak terhadap hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tanpa ada perintah, seseorang bekerja layaknya pekerja mandiri: bekerja kapan saja saat ia mau, tidak terikat jam kerja, lokasi kerja ditentukan sendiri, namun tidak memiliki akses langsung terhadap pasar, jadi untuk menyamakan pekerja rumahan dengan pekerja mandiri juga tidaklah mungkin.‖4

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Utara dalam rapat dengar pendapat5 dengan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara dan LSM Bitra serta akademisi (penulis) menyampaikan pandangan atas Rancangan peraturan daerah Perlindungan Pekerja Rumahan pada payung hukumnya. Dugaan penulis ranperda ini akan kandas, bukan karena substansi yang akan diatur tidak diperlukan, melainkan payung hukum tempat menggantungkan perda ini belum ada dalam UUK, apalagi di daerah lain juga belum ditemukan perda sejenis.

Riset yang dilakukan penulis memberi gambaran bahwa pekerja rumahan secara langsung berkontribusi terhadap jalannya produksi dan peningkatan produktifitas perusahaan. Seandainya pekerjaan mereka tidak dilakukan atau dilakukan dengan asal-asalan, maka perusahaan akan menaggung kerugian besar. Di Desa Sei Semayang pekerjaan yang dilakukan pekerja rumahan adalah menjahit dudukan baby walker sebuah produk yang dipasarkan secara luas bahkan diiklankan oleh seorang tokoh anak nasional.

Upah mereka tidak mencapai upah minimum jika drata-ratakan berdasar hasil kerja sebulannya. Upah tersebut sesungguhnya masuk biaya listrik, biaya perawatan mesin jahit,

4

Ibid.

5

(14)

5 membeli minyak pelumas mesin, tidak ada sewa tempat penyimpan barang yang ditumpuk di rumah pekerja, sehingga sesungguhnya upah tersebut sangatlah rendah.

PHK karena Hamil

Perselisihan PHK di PHI dalam perkara No. 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN-Tjk antara buruh perempuan yang telah bekerja lebih dari 9 tahun dengan status PKWT. PHK yang diterima buruh perempuan yang menjadi pihak Penggugat dalam perselisihan ini saat dalam keadaan ia hamil, dengan alasan PHK habis masa kontrak. Sebelumnya kontrak (PKWT) selalu diperpanjang. Penggugat menyatakan berhak mendapat pembayaran hak-hak pasca hubungan kerja berakhir berupa pesangon, uang penghargaan masa kerja, ganti kerugian, cuti tahunan, ongkos pulang ke tempat asal, JHT Jamsostek.

Putusan hakim PHI menyatakan gugatan Penggugat dikabulkan sebagian, berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak (cuti tahunan, perumahan, serta pengobatan dan perawatan). Atas putusan ini perusahaan sebagai tergugat mengajukan kasasi. Putusan kasasi menyatakan menolak permohonan kasasi dari pemohon.

Kasus jika ditelusuri lebih jauh tidak mengungkap tentang penyebab PHK yang dikarenakan buruh hamil. Justru yang diungkap oleh penggugat pun hanya mengenai persoalan hak purna kerja saja. Ini menunjukkan masih sangat rentannya kedudukan pekerja perempuan dalam hubungan kerja, bahkan di pengadilan sekalipun mereka tidak mempersoalkan tentang keperempuan-an yang telah dikebiri dan berujung PHK. Hakim juga dalam pertimbangan hukumnya tidak membahas tentang perlakuan diskriminatif itu, hanya fokus pada hak purna kerja. Meski hakim memutuskan bahwa pengusaha harus membayar hak-hak purna kerja, namun ada sisi kepastian hukum yang terabaikan, yaitu tidak boleh ada perlakuan diskriminatif yang disebabkan gender.6

Buruh Harian Lepas (BHL) tidak sesuai aturan

Kondisi yang banyak terjadi di perusahaan perkebunan. Perkara dalam Putusan No. 14/G/PHI/PN.Mdn memperlihatkan sebanyak 26 dari total 41 orang penggugat adalah perempuan yang melakukan pekerjaan terus menerus, setiap hari, mendapat upah tiap bulannya dari perusahaan (tergugat). Umumnya masa kerja mereka antara 7 tahun sampai 30 tahun dengan status BHL. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah menggaruk/ mencangkul piringan tanaman kelapa sawit, bagian penyemprot tanaman kelapa sawit, dan bagian pembibitan tanaman kelapa sawit.

Perselisihan yang diajukan ke PHI berawal dari peristiwa meningkatnya volume/ target kerja pekerjaan yang dianggap tidak patut atau wajar berupa: 1) bagian Penggarukan/ Mencangkul dari 66 piringan tanaman kelapa sawit setiap harinya menjadi 132 piringan

6

VG. Tinuk Istiarti, Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal (The Policy for Women Labors), Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia

(15)

6 setiap harinya. 2) bagian pembibitan dari 150 polibet menjadi 250 polibet setiap harinya. 3) bagian penyemprotan dari 2 hektar menjadi 3 hektar setiap harinya. Para pekerja (Penggugat) menyatakan bahwa target sulit tercapai, sehingga mereka tidak lagi bekerja seperti biasanya. Tindakan menaikkan volume kerja/ target secara sepihak dan di luar kemampuan para penggugat dianggap merupakan tindakan PHK sepihak.

Putusan Hakim menetapkan bahwa hubungan kerja antara para penggugat dengan tergugat (perusahaan) demi hukum berubah dari PKWT menjadi PKWTT, menyatakan hubungan kerja para tergugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi para penggugat mengundurkan diri, menghukum tergugat membayar uang penggantian hak para penggugat.

Bagi Penulis, amar putusan hakim yang menyatakan demi hukum status hubungan kerja berubah dari PKWT menjadi PKWTT memang tepat. Mengingat ada norma yang tidak dipatuhi oleh pengusaha dalam status hubungan kerja yang dipraktik kan di perusahaan perkebunan tersebut. Status BHL menurut Pasal 10 Peraturan Menteri (Permenakertrans No. 100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) harus memenuhi kondisi tertentu sebagai syarat BHL yaitu: pekerjaan itu berubah-ubah dalam hal volume kerja serta upah didasarkan pada kehadiran. Pekerjaan yang berubah-ubah tersebut dilakukan dalam waktu kurang dari 21 hari dalam sebulan, apabila pekerjaan dilakukan 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT (pekerja tetap).

Amar putusan berikutnya yang menetapkan bahwa hubungan kerja antara para penggugat dengan tergugat putus dengan kwalifikasi mengundurkan diri menjadi sangat tidak adil bagi para pekerja. Ketika status hubungan kerja mereka dikuatkan sebagai PKWTT pada saat itu juga di PHK dengan hanya menerima penggantian hak yang tentunya nilainya sangat kecil jika dibandingkan dengan kontribusi para pekerja selama 7 sampai 30 tahun di perusahaan tersebut. Majelis hakim juga tidak mempertimbangkan penyebab ketidakhadiran para penggugat yaitu beban kerja atau target kerja yang ditetapkan meningkat sangat tajam, sehingga meskipun para pekerja menggunakan tenaga bantuan (sanak keluarga) tetap tidak dapat memenuhi target yang ditetapkan perusahaan. Indikasi terjadinya eksploitasi pekerja/buruh oleh perusahaan tidak diperhatikan oleh majelis hakim.

Kevakuman dan ketidakpastian hukum

Judul sub bab ini tepat untuk menggambarkan bahwa dari beberapa peristiwa di atas terbukti pekerja/buruh perempuan berada dalam kevakuman hukum dan tentu saja bekerjanya hukum dalam keadaan ini tidak memenuhi prinsip kepastian hukum. Norma atau aturan sesungguhnya telah cukup dituangkan oleh negara dalam peraturan perundangan, utamanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, namun kenyataannya pelaksanaan atas ketentuan tersebut bergantung pada kemauan pengusaha.

(16)

7 seringnya buruh permisi atau cuti karena alasan sakit haid.7 Perusahaan juga tidak memberikan upah saat cuti hamil, melahirkan, haid.8 Keadaan ini menurut pengakuan responden telah diketahui pihak terkait (dinas tenaga kerja) setempat, namun tidak ada tindakan/aksi secara tegas terhadap pihak yang melanggar.9

Perempuan dalam bekerja telah dikelilingi oleh sejumlah norma yang mengatur agar fungsi reproduksi kaum perempuan terjaga tanpa merugikan kepentingannya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun hasil temuan di atas menunjukkan bahwa perempuan berada tetap dalam ruang hampa hukum (kevakuman hukum) yang jelas menyingkirkan prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu tujuan hukum.

Rechtssicherkeit/security/rechtszekerheid atau kepastian hukum ada sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan, dan mengatur publik. Kepastian hukum lebih pada ‗law being

written down‟. Hukum seyogyanya panglima dan memiliki kekuatan penuh untuk mengatur agar tercapai tujuan hidup bersama yang tertib dan sejahtera. Jika melihat pada fungsi ini maka sejak terjadinya berbagai peristiwa yang menunjukkan gap antara aturan tertulis dengan peristiwa yang dialami pekerja/buruh perempuan maka kepastian hukum dapat dipertanyakan keberadaannya.10

kesimpulan

Norma yang mengatur perlindungan dan larangan diskriminasi bagi perempuan di tempat kerja telah dimuat dalam UUK No. 13 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaannya akan bergantung pada dimuat atau diatur tidaknya di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama, sehingga manakala perusahaan menerapkan cuti haid dengan menetapkan sejumlah ketentuan yang dirasa buruh justru menyulitkan untuk dilaksanakan atau tidak bermanfaat untuk istirahat di rumah, kepastian hukum bagi perlindungan buruh perempuan dapat dikatakan belum ada.

Pengakuan terhadap keberadaan buruh non formal seperti pekerja rumahan sudah sangat mendesak, sebab sistem produksi dengan menciptakan rantai yang panjang menjadi trend di kalangan pengusaha untuk meminimalisir resiko kerugian dengan menggunakan pola hubungan kerja formal.

Putusan hakim dapat membantu pekerja/buruh mendapat kepastian hukum, namun dari beberapa kasus yang dijadikan objek penelitian kepastian hukum berkaitan dengan status hubungan kerja tidak diikuti dengan hak pemulihan status tersebut, melainkan dinyatakan hubungan kerja putus. Lagi-lagi pekerja/buruh mengalami ketidakpastian hukum.

7

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Kajian Perlidungan Terhadap Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di Sumatera Utara, Draft Laporan Akhir, 2016, hlm. 68

8

Ibid, hlm. 69.

9

Ibid hlm. 70.

10

(17)

8 Daftar Pustaka

Agusmidah. Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan dalam Jangkauan Undang-undang Ketenagakerjaan. Medan: Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Dies Natalis USU 64, 2016.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara. Kajian Perlidungan Terhadap

Hak-hak Buruh Perempuan dan Anak di Sumatera Utara. Draf Laporan Akhir

Penelitian, Medan, 2016.

ILO.http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/--asia/---ro-bangkok/--ilo jakarta/documents/presentation/wcms_203337.pdf

Putusan Nomor 14/G/2011/PHI.Mdn

Putusan Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.Tjk

Tinuk Istiarti, VG. Penerapan Hak Cuti Melahirkan Bagi Pekerja Perempuan di Sektor Formal (The Policy for Women Labors). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 11 No. 2 / Oktober, 2012.

(18)

9

IDENTIFIKASI PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM BAGI MASYARAKAT MARGINAL

(Studi kasus Makassar)

Dr. Maskun, S.H.,LL.M., Naswar, S.H.,M.H., Achmad, S.H.,M.H.

Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Email: maskunmaskun31l@gmail.com

Abstrak---- Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum. Hal ini dipertegas dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan hak-hak warga negara termasuk didalamnya masyarakat marginal yang berhubungan dengan hukum harus dipenuhi. Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara tersebut, Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat, utamanya masyarakat tidak mampu, ketika berhadapan dengan masalah hukum. Melalui Undang-undang ini masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) merupakan lembaga yang mempunyai peran utama sebagai penyelenggara dan pemberi bantuan hukum di Indonesia. LBH sebagaimana disebutkan bukan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara, akan tetapi LBH biasanya dibentuk sendiri oleh para advokat ataupun melalui instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga pendidikan. Negara dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum. Negara hanya memberi fasilitasi kepada lembaga-lembaga bantuan hukum untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi terhadap LBH bagi masyarakat marginal, khususnya di Kota Makassar. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalisasikan peran LBH dalam memberikan bantuan hukum bagi masyarakat marginal.

(19)

10

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia melindungi hak-hak warga negaranya dalam bidang hukum. Hal ini dipertegas pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5). Oleh karenanya perlindungan hak-hak warga negara yang berhubungan dengan hukum harus dipenuhi di negara Indonesia.

Indonesia merupakan negara Hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia harus menunjukkan ciri negara hukum. Menurut Friedrich Julius Stahl, ada 4 unsur/ciri negara hukum yang salah satunya yaitu perlindungan hak-hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasan untuk menjamin hak-hak itu, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta peradilan administrasi dalam perselisihan.11 Oleh karenanya, sebagai negara hukum Indonesia harus mewujudkan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk dalam bidang hukum.

Untuk mengawal perlindungan terhadap hak-hak warga negara di bidang hukum tersebut, Indonesia membentuk sebuah instrumen perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak masyarakat, utamanya masyarakat yang tidak mampu ketika berhadapan dengan masalah hukum. Melalui Undang-undang ini masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum dijamin bisa mendapatkan bantuan hukum oleh pemberi bantuan hukum.

Bantuan hukum dapat dilakukan agar masyarakat yang tidak mampu tetap bisa mendapatkan pendampingan hukum baik di dalam pengadilan atau litigasi maupun dalam upaya-upaya litigasi di pengadilan. Bantuan hukum dimasukkan sebagai salah satu program peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama di bidang sosial, politik dan hukum.12 Masyarakat sebagai pencari keadilan dapat menggunakan jasa pemberi bantuan hukum untuk membantu menangani permasalahan hukumnya. Pemberi bantuan hukum di Indonesia dilakukan oleh para advokat atau Lembaga-lembaga Bantuan Hukum (LBH).

Lembaga Bantuan Hukum merupakan lembaga yang mempunyai peran utama sebagai penyelenggara bantuan hukum di Indonesia. Lembaga bantuan hukum bukan merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara. Lembaga bantuan hukum biasanya dibentuk sendiri oleh para advokat ataupun melalui instrumen badan hukum seperti Yayasan ataupun lembaga pendidikan. Negara dalam hal ini tidak berperan langsung sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum. Negara hanya memberi fasilitas kepada lembaga-lembaga bantuan hukum untuk menjalankan bantuan hukum kepada masyarakat. Pemerintah melakukan berbagai macam upaya dalam rangka menjamin berjalannya bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum misalnya dengan pendanaan, pengembangan bahkan sampai akreditasi terhadap LBH.

Setelah adanya UU Bantuan Hukum, pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia dapat berjalan lebih baik. Masyarakat dapat mendapatkan bantuan hukum melalui LBH secara gratis tanpa perlu memikirkan ataupun mengeluarkan biaya. LBH pun sangat terbantu dengan

11

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 3.

(20)

11 adanya UU tersebut karena kini LBH mendapat dana dalam menjalankan program bantuan hukum. Saat ini pun tak hanya terjadi peningkatan kualitas LBH tetapi juga kuantitas LBH, terutama di kota-kota besar yang mempunyai banyak permasalahan hukum, misalnya saja di Makassar.

Program bantuan hukum di kota makassar dilaksanakan oleh berbagai LBH dan juga advokat-advokat yang menangani perkara prodeo. Tercatat bahwa jumlah LBH yang berada di makassar yang sudah terakreditasi oleh pemerintah (dalam hal ini oleh Kementerian Hukum dan HAM) sebanyak sebelah LBH. LBH tersebut termasuk pula LBH kampus yang bernaung dalam Lembaga Pendidikan. Jumlah ini sebenarnya tergolong banyak, karena di daerah lain di Sulawesi Selatan sangat sulit ditemukan adanya lembaga bantuan hukum. Meskipun demikian, pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH yang telah terakreditasi tersebut juga belum dapat dikatakan efektif dan maksimal. Salah satu LBH yang terakreditasi namun masih belum mampu menjalankan program bantuan hukum secara maksimal adalah Unit Kegiatan dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Sejak Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum (UKBH) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (FHUH) dibentuk pada tahun 2013, hanya terdapat lebih kurang 13 (tiga belas) kasus yang telah ditangani melalui proses peradilan. Angka ini terhitung sedikit jika dibandingkan dengan kasus yang dialami oleh warga kurang mampu yang terjadi di lapangan sekitar wilayah hukum UKBH FHUH, dimana UKBH FHUH dapat melakukan pendampingan. Sementara banyak permasalahan hukum yang terjadi di sekitar UKBH FHUH yang masih belum tersentuh oleh bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.

Selama ini, pelaksanaan bantuan hukum memang sangat jarang mendapatkan perhatian dikarenakan pelaksanaan bantuan hukum selama ini bukanlah hal yang banyak diketahui masyarakat. Bahkan kajian akademik tentang bantuan hukum pun masih jarang ditemukan. Padahal hal tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka optimalisasi dan pengembangan LBH dalam melakukan bantuan hukum serta dalam rangka kurangnya kajian-kajian tentang LBH terutama di Makassar membuat identifikasi terhadap pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum tidak dapat diketahui secara jelas.

Pelaksanaan bantuan hukum harusnya berjalan efektif dan diperhatikan agar masyarakat dapat mengakses bantuan hukum dan mencari keadilan ketika mempunyai permasalahan hukum. Identifikasi dalam pengembangan bantuan hukum juga seharusnya dilakukan dalam guna mewujudkan pelaksanaan bantuan hukum yang efektif oleh LBH. Oleh karenanya dibutuhkan adanya kajian lebih lanjut dalam rangka identifikasi pelaksanaan dan pengembangan program bantuan hukum di Kota Makassar.

B. PERMASALAHAN/RUANG LINGKUP

1. Pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH kurang maksimal.

2. Kurangnya informasi bagi warga negara kurang mampu mengenai proses hukum. 3. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan warga kurang mampu mengenai pendampingan

hukum di dalam maupun di luar pengadilan yang menjadi hak mereka.

4. Kurangnya informasi mengenai LBH yang belum sampai secara merata kepada warga kurang mampu.

(21)

12 C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

1. Adapun tujuan dari penelitian ini, adalah :

a. Untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan dan pengembangan bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum di Makassar.

b. Untuk mengetahui dan memberikan solusi terkait kendala-kendala pelaksanaan bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum di Makassar.

2. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan baik dalam segi kegunaan teoritis maupun keguanaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan teoritis, diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan bantuan hukum pada umumnya, sebagai bahan referensi yang bersifat akademis serta kepustakaan, dan sebagai bahan kajian dalam merealisasikan teori hukum dalam pengembangan bantuan hukum bagi warga kurang mampu.

b. Kegunaan praktis, diharap penelitian ini mampu memberikan upaya perbaikan dalam sistem bantuan hukum dan mendapatkan gambaran pelaksanaan bantuan hukum beserta kendala yang dihadapi dalam penerapan bantuan hukum dilapangan.

D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Sosiologis. Dimaksudkan sebagai pendekatan sosiologi hukum, yaitu sasaran studinya adalah hukum sebagai variabel akibat atau apa yang disebut studi hukum dan masyarakat. Dalam hal, sasaran studinya ditujukan pada hukum sebagai variabel penyebab dimana penerapan hukum sebagai penyebab yang menimbulkan dampak pada berbagai kehidupan sosial masyarakat. Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari sebagai suatu variable penyebab yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial dengan bantuan ilmu-ilmu sosial.

(22)

13

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN BANTUAN HUKUM DI MAKASSAR Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Abdul Azis sebagai Direktur LBH Makassar pada 17 November 2015, Muhammad Ilyas Billah dari LKaBH UMI pada tanggal 7 November 2015 dan Ahmad Selaku Ketua UKBH FHUH pada tanggal 13 November 2015, maka didapatkan data terkait jumlah pelaksanaan dan pengembangan program bantuan hukum sebagai berikut:

 LBH Makassar telah banyak melakukan program bantuan hukum baik litigasi maupun non litigasi. Pelaksanaan pada tahun 2015 terjadi peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Data pelaksanaan bantuan hukum ini dapat diakses lebih lengkap melalui website LBH Makassar. LBH Makassar terakreditasi B.

 LBH Makassar mempunyai 14 Advokat, dan 7 Advokat kerjasama serta 12 paralegal.

 LBH Makassar biasanya menggunakan media dalam memperkenalkan akses bagi para pencari keadilan. Termasuk website resmi yang dimiliki oleh LBH Makassar.

 LKaBH UMI telah melaksanakan program bantuan hukum litigasi pada tahun 2015 sebanyak 7 kasus. Jumlah ini diperkirakan meningkat pada tahun sebelumnya karena ada kemungkinan tambahan kasus di akhir tahun. Target awal pada tahun 2015 sebenarnya berjumlah 25 perkara. Pada tahun 2014 LKaBH UMI juga menyelesaikan perkara litigasi sebanyak 7. Target awal pada tahun 2014 adalah 13 perkara. Target ini dalam rangka peningkatan akreditas lembaga. Jumlah advokat yang ada pada LKaBH UMI adalah sejumlah 7 orang dengan beberapa paralegal. Sebelumnya LKaBH UMI hanya mempunyai 3 advokat.

 LKaBH UMI juga melaksanakan program-program non litigasi seperti penyuluhan hukum yang dilakukan sebanyak 3 kali. LKaBH juga membuka konsultasi hukum.

 UKBH FHUH belum pernah melakukan bantuan hukum di bidang litigasi pada tahun 2015. Namun demikian, diperkirakan ada 3 kasus yang akan bermuara kepada litigasi. UKBH FHUH mengoptimalkan kinerjanya pada upaya non litigasi. Upaya non litigasi yang dilaksanakan pada tahun 2015 ini adalah: Penyuluhan hukum sebanyak 3 kali; penelitian; pendampingan 2 kasus, serta drafting dokumen hukum. UKBH FHUH hanya memiliki satu advokat pendamping, serta beberapa paralegal, dan dosen yang diberdayakan berjumlah lebih dari 10 orang.

B. KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM DI MAKASSAR

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Muhammad Ilyas Billah dari LKaBH UMI pada tanggal 7 November 2015 dan Ahmad Selaku Ketua UKBH FHUH pada tanggal 13 November 2015, serta Abdul Azis maka didapatkan data terkait kendala-kendala pelaksanaan bantuan hukum adalah sebagai berikut.

 LBH Makassar mengemukakan beberapa kendala baik eksternal maupun internal, yaitu :

a. Eksternal :

(23)

14

 Kesulitan rekruitmen calon-calon pemberi bantuan hukum pada waktu-waktu tertentu;

 Sistem BPHN yang belum sempurna, terutama dalam hal pemenuhan syarat-syarat;

 Surat keterangan miskin yang terkadang sulit didapatkan oleh masyarakat;

 Sistem online dari BPHN yang belum sempurna; dan

 Jenis Pendanaan yang ―pukul rata‖. b. Iinternal :

 Kendala dana yang tidak sepenuhnya bisa ditanggulangi; dan

 Lambannya pencairan dana dari Kemenkumham yang menunggu hingga 2 minggu sampai 1 bulan.

 Pada LKaBH UMI ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan bantuan hukum yaitu pembiayaan yang harus menunggu putusan berkekuatan hukum tetap serta prosesnya yang lama, kurangnya pengetahuan masyarkat terhadap LKaBH UMI, serta tenaga-tenaga litigasi dianggap masih perlu ditingkatkan

 Pada UKBH FHUH terdapat beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan bantuan hukum yaitu masalah finansial yang masih mengandalkan biaya swamandiri, tidak adanya advokat, paralegal yang mempunyai kesibukan lain; serta kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap UKBH FHUH.

C. PELAKSANAAN DAN PENGEMBANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi hak-hak warganya di bidang hukum. Negara juga menjamin kesamaan hak dan kedudukan warga negaranya di hadapan hukum. Negara berkewajiban untuk dapat mewujudkan terselenggaranya peradilan yang adil dengan menjamin terciptanya suatu keadaan dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan (justice for all).13

Selain itu negara harus memastikan perlindungan dan pemenuhan tersebut dapat dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakatnya. Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia untuk setiap orang dan merupakan salah satu unsur untuk memperoleh keadilan (acces to justice) bagi semua orang (justice for all).14

Oleh karenanya berbagai upaya terus dilakukan oleh negara dalam hal ini pemerintah demi menjaga hak asasi manusia di bidang hukum itu, salah satunya adalah dengan menjamin terwujudnya bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu.

Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.15Bantuan hukum di Indonesia diberikan oleh ―Pemberi Bantuan Hukum‖ yaitu lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum. Bantuan hukum juga merupakan kewajiban bagi Advokat dalam hal ini sebagaimana telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang

13Frans Hendra Winarta,

Pro Bono Publico: Hak Konstitusional Fakir Miskin untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Jakarta: Gramedia, 2009, hal. 2.

14

Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Republik Institute, 2013, hal. 129.

15

(24)

15 Advokat. Pasal 22 ayat (1) menyatakan Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Selama ini yang terjadi adalah adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk adanya kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee yang menyimpang dari konsep pro bono publico.16 Oleh karenanya, saat ini pengembangan bantuan hukum lebih banyak dilakukan LBH baik yang di bawah naungan yayasan maupun lembaga pendidikan.

Sejarah bantuan hukum sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda. Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah hukumnya.17 Namun pada saat itu belum dikenal yang namanya LBH. Sedangkan peristiwa penting dalam pembentukan LBH di Indonesia yaitu pembentukan LBH di Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran. Biro Konsultasi Hukum UI dibentuk pada 2 Mei 1963 yang kemudian dirubah menjadi Lembaga Konsultasi Hukum, dan berubah lagi pada tahun 1974 menjadi Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH).18 Pada tahun 1967, Mochtar Kusumaatmadja mendirikan Biro Bantuan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran Bandung. Kemudian dilanjutkan dengan pendirian LBH di tahun 1971 yang dipelopori oleh Adnan Buyung Nasution dan terjadi perubahan di bawah suatu yayasan (YLBHI) pada tahun 1980.

Di Makassar sendiri salah satu LBH yang pertama kali berdiri yaitu LBH Makassar dibentuk sejak tahun 1983. LBH Makassar (awalnya LBH Ujung Pandang) didirikan pada tanggal 23 September 1983 oleh para Advokat dan Advokat PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian bergabung dengan YAYASAN LEMBAGA BANTUAN HUKUM INDONESIA (YLBHI) yang berkantor pusat di Jl. Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat. Hingga saat ini tercatat, LBH yang terakreditasi di Makassar berjumlah 11 (sebelas) LBH. LBH menjadi tokoh utama dalam penyelenggaraan bantuan hukum di kota Makassar.

Dalam menjalankan perannya sebagai pemberi bantuan hukum, LBH tidak bertindak sebagai bagian dari negara (pemerintah) langsung. Adapun peran negara hanyalah memfasilitasi penyelenggaraan bantuan hukum oleh lembaga-lembaga bantuan hukum. Sehingga pemerintah tidak melakukan intervensi dalam penyelenggaraan bantuan hukum oleh LBH.

Dalam penyelenggaraan bantuan hukum, dilakukan program-program litigasi dan non litigasi yang berhubungan dengan bantuan hukum. Pasal 9 Huruf c UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukum berhak untuk menyelenggarakan penyuluhan hukum, konsultasi hukum, dan program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum. Dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan bahwa yang dimaksud dengan "program kegiatan lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan Bantuan Hukum" adalah program: investigasi kasus, pendokumentasian

16

Andi Sofyan, Op.CIt.,hal. 128.

17

Iwan Wahyu Pujiarto, Pelaksanaan Pemberi Bantuan Hukum Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum (Skripsi), Medan: Universitas Sumatera Utara, 2015, hal. 30.

18

(25)

16 hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini pulalah yang menjadi program-program kerja dari LBH termasuk kedua LBH kampus di atas.

Pendampingan di dalam pengadilan biasanya merupakan salah satu program utama yang ada pada setiap LBH. Pendampingan di pengadilan merupakan hal yang sangat penting dilakukan bagi para pencari keadilan. Pasal 56 ayat (1) KUHAP dijelaskan ―Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka‖. Pada ayat (2) diterangkan Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma. Jadi dalam perkara pidana pendampingan di pengadilan oleh advokat merupakan hal yang sangat penting.

Dalam perkara perdata dikenal adanya asas tidak ada keharusan mewakilkan. HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan saja. Akan tetapi para pihak dapat dibantu dan diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR, 147 Rbg).19 Saat ini yang berhak untuk mewakilkan para pihak dalam perkara perdata di persidangan tidak lain adalah advokat. Meskipun tidak terdapat kewajiban mewakilkan, namun dalam perkara perdata, pendampingan di pengadilan juga tidak kalah penting. Pendampingan di pengadilan sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama dalam perkara yang rumit, apalagi melibatkan banyak pihak, sehingga jasa bantuan hukum menjadi sangat penting bagi pencari keadilan.

Pelaksanaan bantuan hukum dalam perkara litigasi oleh LBH di Makassar cenderung berjalan dengan baik. Peneliti menyatakan hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh penulis terhadap 4 (empat) LBH yang terakreditasi di kota makassar yaitu, LBH Makassar, Lembaga Kajian Advokasi dan Bantuan Hukum Universitas Muslim Indonesia (LKaBH UMI), Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UKBH FHUH), serta LBH APIK Makassar. Pelaksanaan bantuan hukum telah dilakukan dalam jumlah dan kualitas yang cukup baik.

LBH APIK Makassar merupakan salah satu LBH yang cukup banyak menjalankan program bantuan hukum. LBH APIK Makassar memusatkan pemberian bantuan hukumnya pada perlindungan perempuan dan anak. Dari data statistik penanganan kasus bulanan pada tahun 201420, penanganan kasus oleh LBH APIK cukup banyak yaitu rata-rata berkisar pada 20 kasus setiap bulan. Bahkan pada Bulan september, kasus yang ditangani mencapai angka 67 kasus. Hal ini menunjukkan pemberian bantuan hukum oleh LBH APIK secara umum berjalan cukup baik.

LBH Makassar juga melaksanakan program bantuan hukum dengan pencapaian yang baik. Sebagai salah satu LBH tertua di Makassar, LBH Makassar termasuk yang paling banyak dalam melakukan program bantuan Hukum, terutama di bidang litigasi. Hal ini dapat dilihat dari grafik di bawah ini:

19

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 19.

20

(26)

17 Grafik ini menunjukkan penerimaan permohonan bantuan hukum di LBH Makassar pada tahun 2015 hingga bulan oktober. Terlihat disini bahwa proses penanganan jumlah permohonan bantuan hukum rata-rata berkisar pada angka dua puluhan. Jika melihat data ini maka jika dibandingkan pada tahun 2014, sebenarnya terjadi sedikit peningkatan dalam hal peningkatan jumlah permohonan bantuan hukum. Berikut adalah grafik permohonan bantuan juga grafik jumlah penanganan perkara litigasi yang dilaksanakan oleh LBH Makassar

Pada tahun 2014 kasus litigasi yang ditangani oleh LBH Makassar didominas i oleh

perkara pidana. Sementara pada tahun 2015, kasus litigasi yang ditangani oleh LBH Makassar terlihat jumlah perkara pidana dan perdata cukup berimbang, dengan jumlah perkara perdata sedikit lebih banyak. Dari grafik tersebut juga dapat dilihat program pelaksanaan bantuan hukum litigasi telah berjalan cukup baik dan terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya.

Selain bidang litigasi, memang LBH juga berhak melakukan penanganan lain yang sifatnya non litigasi. Program-program tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yaitu, penyuluhan hukum, konsultasi hukum, investigasi kasus, pendokumentasian hukum, penelitian hukum, mediasi, negosiasi, dan pemberdayaan masyarakat. Penanganan yang sifatnya non litigasi memang mulai banyak dilakukan di era hukum modern ini mengingat peradilan yang dirasa mulai kurang efektif. Salah satu upaya non litigasi berkaitan dengan bantuan hukum yang saat ini dilakukan adalah mediasi dan negosiasi. Mediasi merupakan bentuk penyelesaian sengketa alternatif melalui sistem kompromi di antara para pihak, sedang pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator hanya sebagai penolong dan fasilitato.21Mediasi dilaksanakan dalam perkara perdata agar perkara dapat diselesaikan tanpa melalui pengadilan. Bahkan saat ini, dalam menangani perkara perdata, diwajibkan terlebih dahulu dilaksanakan mediasi oleh hakim mediator, baik di Pengadilan

21

(27)

18 Negeri maupun Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

LBH Makassar juga melakukan program-program non litigasi terutama mediasi dan konsultasi. Meskipun demikian, jumlah pelaksanaan upaya non litigasi ini tidak sebanyak upaya litigasi.Berikut tabel pelaksanaan upaya non litigasi pada tahun 2014 dan 2015.

Grafi k menunjuk

kan bantuan hukum dalam bidang non litigasi tidak sebanyak penanganan kasus litigasi. Namun hal ini bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, mengingat upaya perdamaian mungkin saja dilakukan oleh para pencari keadilan tanpa pendampingan dari LBH. Dari grafik juga terlihat terjadi peningkatan penanganan kasus non litigasi pada tahun 2015, terutama dalam hal mediasi dan negosiasi.

Berdasarkan data-data tersebut, dapat dilihat bahwa pelaksanaan bantuan hukum di Makassar oleh LBH Makassar sudah berjalan dengan cukup baik. Pelaksanaan bantuan hukum tersebut telah mencapai jumlah yang cukup baik dan menunjukkan peningkatan pada tahun ini. Hal ini sedikit berbeda dengan pelaksanaan bantuan hukum oleh LBH kampus di Makassar dalam hal ini adalah LKaBH UMI dan UKBH FHUH.

Penyelenggaraan bantuan hukum oleh Lembaga Bantuan Hukum Kampus merupakan salah satu hal yang banyak dilakukan di universitas-universitas yang menyelenggarakan pendidikan bidang hukum. Universitas maupun di tingkat fakultas berupaya menyelenggarakan program bantuan hukum tidak hanya demi kepentingan pendidikan hukum semata, tetapi juga sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai tuntutan universitas dalam mewujudkan tri dharma perguruan tinggi.

Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim Indonesia merupakan dua kampus di kota makassar yang juga menjalankan program bantuan hukum kepada masyarakat. Universitas Muslim Indonesia melakukan program bantuan hukum melalui wadah yang bernama Lembaga Kajian Advokasi dan Bantuan Hukum Universitas Muslim Indonesia (LKaBH UMI). Sedangkan Universitas Hasanuddin menjalankan program bantuan hukum melalui wadah bernama Unit Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UKBH FHUH). UKBH FHUH merupakan salah satu unit kerja Laboratorium Hukum Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin yang bernaung di bawah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.22

22

(28)

19 Dalam melaksanakan program pendampingan di pengadilan, LKaBH UMI telah cukup banyak melakukannya. LKaBH UMI hingga bulan Oktober tahun 2015 telah menangani sebanyak 7 (tujuh) perkara pendampingan di pengadilan (litigasi) dan sudah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Pada tahun 2014, LKaBH UMI juga melaksanakan bantuan hukum di bidang litigasi sejumlah 7 (tujuh) perkara. Sehingga tahun ini diperkirakan LKaBH UMI memiliki peningkatan jumlah perkara, karena diperkirakan masih ada perkara litigasi yang akan ditangani oleh LKaBH UMI di akhir tahun 2015 ini. Namun demikian jumlah tersebut sebenarnya masih belum mencapai target. Tahun 2014 sebenarnya LKaBH UMI ditargetkan menangani 13 perkara, sedangkan tahun 2015 ditargetkan 15 perkara. Target ini ingin dicapai dalam rangka peningkatan akreditasi LKaBH UMIyang saat ini terakreditasi C di Kemenkumham untuk ditingkatkan menjadi B.23

Di UKBH FHUH, penanganan perkara litigasi pada tahun 2015 ini belum mencapai hasil yang memuaskan. Pada tahun ini, UKBH FHUH belum pernah menangani perkara dalam bidang litigasi. Meskipun demikian, diperkirakan ada beberapa perkara yang akan bermuara di pengadilan yang mungkin akan ditangani oleh UKBH FHUH berjumlah sekitar 2 (dua) perkara.

Perbedaan jumlah penanganan litigasi ini dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat terhadap LBH kampus tersebut serta sumber daya manusia yang diberdayakan pada LBH kampus masing-masing. Secara umum, masyarakat mengetahui kedua LBH tersebut hanya dari mulut ke mulut. Artinya, keberadaan kedua LBH tersebut masih banyak belum diketahui oleh masyarakat. Sedangkan dari segi sumber daya manusia, ini berimplikasi terhadap kemampuan dalam menangani perkara.

Dalam hal penanganan perkara litigasi, LBH harus memiliki advokat karena pendampingan di pengadilan hanya dapat dilakukan oleh advokat. LKaBH UMI memiliki advokat sebanyak 7 (tujuh) orang sehingga dapat melakukan penanganan di pengadilan. Selain itu jumlah advokat ini dianggap masih berimbang dengan jumlah perkara yang masuk. Selain itu, LKaBH UMI juga memiliki beberapa paralegal yang merupakan mahasiswa Fakultas hukum yang diberdayakan di LKaBH tersebut. Sedangkan UKBH FHUH belum mempunyai advokat tetap. UKBH FHUH hanya melakukan kerjasama dengan advokat yang sifatnya kasuistis, artinya kerjasama dilakukan berdasarkan kasus, belum merupakan kerjasama yang tetap. Inilah yang menjadi kendala bagi UKBH FHUH dalam melaksanakan bantuan hukum litigasi. UKBH FHUH hanya mempunyai sumber daya manusia yang berasal dari dosen-dosen dan mahasiswa yang diberdayakan sebagai paralegal. Sehingga UKBH FHUH saat ini memfokuskan programnya di bidang non litigasi.24

Pada pelaksanaan bantuan hukum bidang non litigasi, kedua LBH Kampus tersebut sebenarnya memasukkan pula ke dalam program bantuan hukumnya. Namun pada pelaksanaannya pada tahun 2015 ini, belum ada perkara yang diselesaikan dengan mediasi secara khusus. LKaBH UMI memang selama ini lebih berfokus pada program litigasi sehingga tidak banyak penanganan kasus non litigasi seperti mediasi ini. Pada UKBH FHUH sendiri, mediasi menjadi program utama mengingat sumber daya manusia yang kebanyakan paralegal

23

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Ilyas Bilah, Sekretaris LKaBH UMI, pada tanggal 7 November 2015 di Fakultas Hukum UMI.

24

(29)

20 dan dosen yang mempunyai sertifikat mediator. Tetapi kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap UKBH FHUH menjadi salah satu pengaruh belum adanya perkara mediasi yang ditangani di LBH kampus ini. Hal ini dapat dimaklumi mengingat UKBH FHUH memang sedang menjalani tahap pengembangan dan pembenahan. Meskipun demikian, banyak pula program lain yang dilakukan oleh kedua LBH kampus ini, selain yang dipaparkan di atas.

Pada UKBH FHUH memang program bidang non litigasi menjadi fokus utama dalam kinerjanya. Pada tahun 2015, UKBH FHUH menerima konsultasi Hukum sebanyak kurang lebih 8 kasus. Dua kasus diantaranya diperkirakan akan bermuara di pengadilan. Selain itu UKBH FHUH telah melakukan 3 (tiga) kali penyuluhan hukum. Kemudian, UKBH FHUH juga sedang melakukan penelitan hukum yang ditargetkan akan berjumlah 3 (tiga) penelitan. Serta UKBH FHUH juga telah melakukan drafting dokumen hukum dan juga merencanakan program investigasi kasus dalam rangka bahan pembelajaran bagi mahasiswa. Hal inilah menunjukkan peningkatan program kerja dibandingkan tahun 2014.25

LKaBH UMI tidak banyak melakukan program kerja yang sifatnya non litigasi. LKaBH UMI hanya menjalankan konsultasi hukum serta melakukan penyuluhan hukum sebanyak 3 (tiga) kali pada tahun 2014 ini. Namun LKaBH UMI melaksanakan salah satu program penting dalam pengembangan advokat yaitu Pelatihan Kerja Profesi Advokat (PKPA) Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia). PKPA ini dilaksanakan bekerjasama dengan Peradi dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) cabang Makassar. Hingga saat ini PKPA LKaBH UMI, yang dilaksanakan sejak tahun 2012, telah mencapai angkatan VIII (delapan). UKBH FHUH sendiri sebenarnya pernah juga melakukan PKPA sekitar dua kali. Akan tetapi sejak tahun 2013 PKPA tersebut tidak lagi terlaksana.

Uraian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan program bantuan hukum oleh LKaBH UMI dan UKBH FHUH belum berjalan secara maksimal. Jumlah kasus yang ditangani kedua LBH kampus tersebut belum sebanding dengan yang ditangani oleh LBH Makassar. Namun ini adalah hal yang wajar mengingat jumlah sumber daya manusia terutama Advokat yang belum berimbang. LBH Makassar memiliki jumlah advokat sebanyat 14 orang dan kerjasama dengan advokat-advokat lain.26 Padahal banyaknya sumber daya manusia yang dapat diberdayakan oleh LBH kampus seperti mahasiswa dan dosen harusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dari LBH kampus. Meskipun demikian, ada hal positif yang sama-sama dicapai oleh semua LBH tersebut yaitu terjadi peningkatan dalam hal kualitas maupun kuantitas bantuan hukum pada tahun 2015.

D. KENDALA-KENDALA DALAM PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM OLEH LEMBAGA-LEMBAGA BANTUAN HUKUM DI MAKASSAR

Pelaksanaan bantuan hukum selama ini telah mengalami perkembangan dan perbaikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi masih saja terjadi masalah dalam pelaksanaan program bantuan hukum. Meskipun pelaksanaan bantuan hukum di makassar sudah cukup baik, namun kendala-kendala masih banyak dihadapi oleh pemberi bantuan hukum.

25

Berdasarkan Wawancara dengan Bapak Ahmad, Ketua UKBH FHUH, pada tanggal 13 November 2015 di Fakultas Hukum UNHAS.

26

(30)

21 Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa LBH yaitu LBH Makassar, LKaBH UMI dan UKBH FHUH, bahwa meskipun terjadi peningkatan kinerja dalam pemberian bantuan hukum pada masyarakat miskin, masih banyak kendala yang harus dibenahi dalam rangka peningkatan dan pengembangan bantuan hukum tersebut. Kendala-kendala ini berpengaruh kepada efektifitas pelaksanaan hukum di bidang bantuan hukum. Berdasarkan wawancara yang sempat dilakukan dengan pihak dari LBH Makassar, LKaBH UMI dan UKBH FHUH, Peneliti merangkum kendala-kendala tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut:

1. Masyarakat

Kendala yang datang dari masyarakat adalah kurangnya ketidaktahuan masyarakat tentang bantuan hukum, proses bantuan hukum serta lembaga bantuan hukum itu sendiri. Selama ini, bantuan hukum masih merupakan hal yang asing di tengah masyarakat, apalagi terkait dengan keberadaan LBH. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan pihak dari LBH Makassar, LKaBH UMI dan UKBH FHUH, bahwa semua LBH tersebut mengakui masyarakat kebanyakan mengetahui perihal keberadaan LBH tersebut melalui mulut ke mulut. Kebanyakan informasi dari masyarakat diketahui hanya dari advokat, paralegal, pegawai LBH, alumni, mahasiswa dan jaringan-jaringan terkait. Artinya masyarakat masih kurang pengetahuan tentang akses adanya bantuan hukum, terlebih terhadap adanya LBH.

Memang selama ini belum banyak LBH di Makassar yang mempunyai media dalam mensosialisasikan LBH tersebut. Namun LBH Makassar mengakui bahwa media, baik cetak maupun elektronik, menjadi salah satu tempat masyarakat mendapatkan informasi tentang bantuan hukum. LBH Makassar dan LBH APIK memang mempunyai website dan media sosial tersendiri guna sarana sosialisasi kepada masyarakat.

Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal itu semua biasanya dinamakan kompetensi hukum yang tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat:

1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau terganggu;

2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya;

3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor keuangan, psikologis, sosial, maupun politik;

4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya;

5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam interaksi dengan berbagai unsur kalangan hukum formal.27

Masyarakat terkadang juga sulit mengakses bantuan hukum karena persyaratan administrasi, dalam hal ini surat keterangan tidak mampu. Semua LBH yang diwawancara mengakui bahwa masyarakat terkadang kesulitan mendapat bantuan hukum karena tidak

27

(31)

22 memiliki surat keterangan tidak mampu. Surat keterangan tidak mampu adalah persyaratan yang wajib ada untuk mendapatkan bantuan hukum.

Masalah persyaratan administrasi ini bisa disebabkan oleh dua faktor, pertama dari masyarakat itu sendiri, dan kedua adalah aparat pemerintah. Masyarakat bisa tidak mendapatkan surat keterangan tidak mampu karena tidak tertibnya administrasi kependudukan yang ia miliki sehingga pemerintah tidak bisa menerbitkan surat tersebut. Selain itu terkadang, ada aparat pemerintah daerah yang mempersulit masyarakat dalam membuat surat tersebut, misalnya dengan meminta sejumlah uang dan memperlambat proses penerbitan sehingga menghambat masyarakat dalam proses menerima bantuan hukum.

Oleh karenanya yang perlu dibenahi adalah peningkatan pengetahuan masyarakat terhadap bantuan hukum. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan sosialisasi, khususnya oleh pemerintah yang berkewajiban menjamin bantuan hukum kepada masyarakat. Selain itu proses dalam pembuatan surat keterangan tidak mampu atau miskin jangan sampai mempersulit masyarakat.

2. Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh LBH dalam pengembangan dan pelaksanaan bantuan hukum. Hasil wawancara menunjukkan bahwa LBH mengakui sumber daya manusia terkadang menjadi salah satu faktor penghambat pelaksanaan bantuan hukum. Keberadaan sumber daya manusia tentu akan sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas pelaksanaan bantuan hukum.

Pada LBH Makassar, diakui bahwa terkadang kesulitan dalam hal perekrutan sumber daya manusia. Saat ini tercatat ada 14 advokat, 7 advokat kerjasama, dan 12 paralegal yang bekerja di LBH Makassar. Meskipun begitu, sumber daya manusia tersebut masih dirasa cukup sehingga tidak ada kesulitan yang berarti dalam menyalurkan bantuan hukum. Hal ini agak sedikit berbeda dengan yang terjadi di LBH kampus, terkhusus di UKBH FHUH.

Saat ini, UKBH FHUH masih sangat kekurangan sumber daya manusia terutama advokat. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak ada penanganan litigasi yang dilakukan oleh UKBH FHUH. Selain itu paralegal yang juga punya kesibukan lain juga mengurangi efektivitas pelaksanaan program non litigasi. LKaBH UMI pun diakui masih membutuhkan tenaga dalam hal perkara litigasi.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi LBH untuk memperhatikan kuantitas serta kualitas sumber daya manusia guna mewujudkan pemberian bantuan hukum yang efektif.

3. Anggaran

Anggaran merupakan salah satu masalah terpenting dalam menjalankan bantuan hukum. Semua LBH mengakui bahwa permasalahan anggaran menjadi kendala utama dalam menjalankan bantuan hukum. Meskipun saat ini biaya bantuan hukum diberikan oleh negara, namun pada pelaksanaannya masuh banyak kekurangan yang terjadi. Anggaran merupakan salah satu sarana prasarana bantuan hukum, yang menurut Soerjono Soekanto bahwa sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum.28

28

Gambar

grafik permohonan bantuan juga grafik jumlah penanganan perkara litigasi yang
Gambar 1. Pengetahuan tentang Perda 17/2013
gambar didapat dari http://www.beritaoposisi.com/2016/09/melawan-
Tabel 1. Kategori Keterlambatan Penerbangan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang diperoleh mengenai pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan

Penju Penjualan alan prod produk uk koper koperasi asi secara tunai tidak dicatat di buku harian ini dan karena penjualan secara kredit tidak akan secara tunai tidak dicatat di

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 0 Penghasilan Komprehensif lain tahun berjalan - net pajak penghasilan terkait 114,486 TOTAL LABA

hasil dari proses belajar mengajar pembelajaran IPA khususnya pada konsep sumber energi gerak yang sudah dilakukan dengan menggunakan pendekatan saintifik untuk

Pada kasus rangkaian dimana bentuk gelombang keluaran sama dengan gelombang masukan Tphl adalah waktu yang diukur dari level tegangan ini ketika falling input Wavefrom hingga

Berdasar hasil penelitian tentang Penerapan Metode Proyek Untuk Meningkatkan Ketrampilan Sosial Anak Dalam Bekerjasama Pada Anak Kelompok B2 Di TK Kreatif Zaid

Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara

Kecenderungan wanita mengalami mistimed pregnancy lebih tinggi terjadi pada wanita yang berusia <20 tahun, memiliki lebih dari 3 orang anak, menggunakan kontrasepsi, belum