• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Keadilan Sosial dan Kesenjangan Sosial

KEADILAN SOSIAL

A. Konsep Keadilan Sosial dan Kesenjangan Sosial

Pembahasan mengenai konsep keadilan sosial tidak ditujukan untuk mendapatkan satu definisi yang ketat mengenai apa itu keadilan sosial dan kesenjangan sosial. Pembahasan ini lebih menekankan pada penjabaran secara runtut perkembangan pemahaman tentang keadilan di masyarakat. Kita sering kali

menggunakan terminologi ―keadilan‖ tanpa memahami keadilan seperti apa yang

dimaksud. Hal ini juga yang sering kali membuat masyarakat dibutakan dengan realitas praktik korupsi yang mengatasnamakan keadilan sosial. Oleh karenanya, dalam pendidikan antikorupsi, mahasiswa tidak hanya diharapkan paham mengenai implementasi hukum dalam mencegah dan memberantas korupsi tapi juga bagaimana negara memposisikan kebijakan yang dibuatnya untuk mendorong pemenuhan akses terhadap keadilan sosial. Pada akhirnya, pandangan politis tetap akan menentukan model sistem mana yang dikatakan adil bagi masyarakat. Namun demikian, mahasiswa juga harus dapat membedakan konsep- konsep yang hadir di masyarakat lalu menggunakannya untuk memperluas akses terhadap keadilan ke masyarakat dan tidak terjebak pada konsepsi keadilan yang inkonsisten hasil dari retorika semata.

Studi normatif dan filosofis terhadap tema keadilan sosial terus berkembang sepanjang waktu. Setidaknya, pendekatan historis dapat digunakan untuk memahami konsep dasar mengenai keadilan sosial. Ide mengenai keadilan sosial dapat ditemukan dalam pendapat dari beberapa sarjana yang mencoba menentukan apa yang dimaksud dengan pendistribusian yang adil. Tentunya tidak mungkin membahas semua pandangan sarjana yang menulis tentang keadilan sosial. Oleh karena itu, penulis membatasinya dengan mengkonsentrasikan pembahasan pada konsep keadilan sosial kontemporer yang lahir dari pandangan sarjana-sarjana eropa-amerika di abad 19 dan 20.

Pendapat pertama mengenai keadilan sosial mengedepankan kesejahteraan kelompok mayoritas dalam masyarakat (the greatest amount of good for the greatest number) sebagai dasar melakukan distribusi. Kelompok ini dikenal dengan utilitiarian dengan tokoh utamanya yaitu John Stuart Mill. Pada prinsipnya, kelompok utilitarian menghendaki agar pengambilan kebijakan mengenai pendistribusian didasarkan pada asumsi bahwa semua manusia merupakan mahluk yang rasional dan memiliki hasrat untuk memaksimalkan kepuasan untuk memperoleh kesejahteraan. Sebagai hasilnya, pandangan ini memiliki dampak yang negatif terhadap kelompok minoritas, yang sangat rentan

101 diabaikan kepentingannya demi memberikan kepuasan maksimal kepada masyarakat.

Pada tahun 1971, John Rawls membuat konsepsi mengenai keadilan sosial

yang dituliskan dalam buku ―A Theory of Justice‖. Rawls mencoba memberikan

alternatif atas teori keadilan yang dikemukakan oleh kelompok utilitarian yang mendominasi pemikiran politik di negara-negara anglo saxon untuk waktu yang cukup lama. Teori keadilan utilitarian dipandang memiliki kelemahan dalam menjelaskan mengenai penghormatan atas hak individu sebagai syarat utama negara demokrasi.

Jika mengacu pada teori yang dikemukakan oleh JJ Rousseau, suatu negara terbentuk atas dasar kesepakatan warganya dalam suatu kontrak sosial yang bertujuan untuk menentukan seberapa luas kebebasan warga dan kebebasan negara. Setiap warga bersepakat untuk menundukkan diri di bawah satu kekuasaan bersama yang tertinggi. Rawls mengkritik teori utilitarian dengan

memberikan suatu perumpaan posisi awal yang dikenal dengan ―the veil of ignorance‖ atau bilik ketidaktahuan. Dalam posisi awal ini, seseorang tidak

mengetahui akan seperti apa kehidupannya dikemudian hari. Apakah terlahir sebagai pria/wanita, kaya/miskin, kulit putih/kulit berwarna, dan seterusnya. Dengan demikian, posisi ini memungkinkan orang untuk menghilangkan bias, memiliki pandangan yang imparsial, dan dengan demikian memiliki kebebasan individual. Oleh karenanya, seseorang akan menentukan bahwa sistem yang adil adalah sistem yang adil untuk semua orang dan bukan hanya untuk adil bagi sebagian orang.

Rawls selanjutnya membuat argumentasi mengenai sistem pendistibusian yang adil berdasarkan dua prinsip utama yaitu equal liberty principle (prinsip kebebasan) dan difference principle (prinsip diferensiasi). Prinsip pertama menegaskan bahwa dalam pendistribusian yang adil negara harus menjamin hak dasar warganya untuk memiliki kebebasan individu terutama dalam hal berkumpul, berserikat, dan mengemukakan pendapat. Dalam kondisi ini, Rawls menggambarkan bahwa tidak ada hambatan bagi warga negara untuk berekspresi, menganut keyakinan, berpartisipasi dalam politik (memilih dan dipilih), dan seterusnya. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menjalani hidup menuju kesejahteraan yang dinginkan oleh masyarakat (egaliter).

Lebih dalam, Rawls memandang prinsip kebebasan saja tidak cukup untuk menjamin bahwa sudah ada sistem pendistribusian yang adil. Pada kenyataannya, dalam suatu negara pasti ada kelompok-kelompok tertentu yang memiliki keunggulan dari kelompok lainnya. Oleh karena itu, negara memiliki peran penting untuk memastikan bahwa sistem yang ada dapat menjangkau semua kelompok, tidak hanya memberikan manfaat kepada kelompok tersebut, tetapi juga kelompok-kelompok lainnya yang berada di kelas bawah dari suatu kelompok masyarakat. Dalam hal ini, Rawls melengkapi teorinya dengan prinsip diferensiasi yang sekaligus menjadi solusi atas kritik terhadap teori utilitarian yang hanya mengedepankan kepentingan kelompok mayoritas.

102 Pendistribusian yang adil berdasarkan prinsip diferensiasi Rawls menghendaki agar kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat harus diatur sedemikian rupa sehingga pendistribusian tidaklah harus sama terhadap setiap kelompok. Masyarakat dapat saja memberikan penghargaan lebih terhadap kelompok tertentu, sepanjang insentif tersebut dapat memberikan manfaat terbesar kepada masyarakat yang hidup dalam kelompok yang kurang beruntung. Rawls kemudian mendefinisikan ketidakadilan secara singkat sebagai pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat yang dilakukan secara tidak merata dan tidak untuk kebermanfaatan semua kelompok.

“Injustice, then is simply inequalities that are not to the benefit of all”131

Sanggahan tersebut dikemukakan oleh kelompok yang menilai bahwa pendistribusian yang adil seharusnya dilakukan berdasarkan sistem merit. Dalam sistem merit, seseorang yang bekerja lebih keras dibanding lainnya, berhak untuk mendapatkan insentif lebih karena usahanya tersebut. Akan tetapi, memberikan insentif lebih kepada seseorang yang melakukan usaha lebih besar dibanding lainnya ternyata menimbulkan perdebatan mengenai penghargaan terhadap proses atau hasil. Jika seorang karyawan mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya dalam waktu satu hari, maka tentunya dia akan mengharapkan insentif lebih dari karyawan lainnya yang hanya sanggup menyelesaikan tugas yang sama dalam waktu dua hari atau lebih. Karyawan pertama tetap mengharapkan insentif lebih walaupun karyawan kedua mengeluarkan usaha yang lebih besar dari dirinya. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan dalam menilai kinerja seseorang jika ditinjau dari usaha orang tersebut. Oleh karenanya, pendapat lain menyebutkan bahwa sistem merit tidak menekankan pada usaha yang dilakukan sesesorang, melainkan kontribusinya pada kebutuhan masyarakat.

Pandangan Rawls mengenai keadilan sosial juga mendapatkan sanggahan dari beberapa sarjana lainnya. Sanggahan tersebut terutama datang dari kelompok libertarian yang mempertanyakan mengenai kebebasan seseorang dalam menentukan pilihan. Robert Nozick mempertanyakan prinsip diferensiasi yang dikemukakan Rawls karena menurutnya, seseorang yang bebas seharusnya tidak dikenakan paksaan dalam melakukan pendistribusian kekayaannya. Nozick menekankan pentingnya penghargaan terhadap hak milik individu atas properti. Seseorang tidak dapat dikenakan tindakan koersif terhadap properti miliknya apabila kepemilikan tersebut diperoleh secara sah.132

Sebagai contoh, Rawls menghendaki agar, dalam kehidupan masyarakat, negara memberlakukan sistem pajak yang bertujuan untuk membatasi ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat dapat dihindari dengan kontribusi dari kelompok-kelompok yang memiliki keuntungan lebih dibanding kelompok

131

Rawls, John, A Theory of Justice, rev. Edition, Cambridge, MA: The Belknap Press of Harvard University Press, page. 54.

132Lihat Stanford University, ―Nozick Political‖,

https://plato.stanford.edu/entries/nozick- political/, diakses pada 30 April 2017.

103 lainnya. Sedangkan, Nozick menentang konsep tersebut dan mengatakan bahwa sistem pajak hanya dapat dikatakan adil apabila dilakukan secara sukarela oleh

warganya. Negara hanya dapat bertindak sebagai ―Nightwatchman‖ yang bertugas untuk melindungi hak individu atas properti atau atas perjanjian yang sah dari individu lain.

Terlepas dari sanggahan-sanggahan tersebut, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas dari faktor-faktor alamiah yang tidak dapat mereka kontrol. Faktor-faktor tersebut pada kenyataannya dapat berpengaruh terhadap usaha dan kontribusi seseorang terhadap masyarakat. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa setiap manusia memiliki posisi yang sama di mata hukum. Seseorang yang terlahir di kelompok masyarakat yang kaya tidak membuatnya menjadi lebih berhak atas akses terhadap keadilan sosial dan begitu juga sebaliknya di kelompok masyarakat yang miskin. Sistem yang adil tidak mempermasalahkan perbedaan- perbedaan yang hadir secara alamiah dan tidak dapat dikontrol oleh manusia. Sistem yang adil berbicara mengenai bagaimana mengeliminasi hambatan dan membuka kesempatan seluas-luasnya agar masyarakat dapat mengakses keadilan sosial.