• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEADILAN SOSIAL

A. Tantangan 1 Minat Mahasiswa

Pendidikan hukum di Indonesia sedikit banyak berorientasi pada penguasaan pengetahuan hukum. Selain itu, beberapa fakultas hukum juga mengajarkan skill atau keterampilan hukum melalui berbagai mata kuliah, seperti praktik hukum yang diperkuat dengan lembaga konsultasi/bantuan hukum. Selain itu, mahasiswa juga diberikan pilihan dalam menentukan peminatan bidang hukum yang ingin ditekuni. Peminatan ini kemudian menjadi dasar mahasiswa untuk menentukan lingkup riset dalam menuliskan tugas akhir skripsi.

Pada umumnya, pendidikan tentang korupsi di fakultas hukum diajarkan pada peminatan hukum pidana tepatnya melalui mata kuliah tindak pidana korupsi. Pada subjek ini, mahasiswa diajarkan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, tujuan pembelajaran dari mata kuliah ini pada dasarnya menekankan pada pemahaman mahasiswa terhadap penerapan asas-asas hukum pidana pada tindak pidana korupsi. Sayangnya, mahasiswa tidak diperkenalkan dengan nilai- nilai dan semangat pemberantasan korupsi di dalam perkuliahan tersebut.

Pekerjaan rumah bagi kampus seharusnya tidak berhenti pada mengajarkan mahasiswa tentang hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Mahasiswa perlu melalui pendidikan tentang nilai-nilai kebenaran dan etika profesi. Pendidikan tinggi hukum harus dapat membantu mahasiswa untuk siap terjun menjalani praktik profesi hukum. Pemahaman yang dimiliki mahasiswa tentang hukum, apabila tidak diikuti dengan penanaman nilai-nilai integritas, sangat rentan untuk digunakan sebagai alat untuk melakukan korupsi. Saat ini, beberapa fakultas hukum memang sudah memiliki klinik hukum antikorupsi dalam sebaggai mata kuliah. Pendidikan hukum yang sebelumnya tidak ada dalam kurikulum, kini sudah terintegrasi sehingga mahasiswa sekaligus bisa mendapat pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai keadilan sosial yang kuat. Namun demikian, pengenalan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa

141

Novel, Ali, Gerakan Anti Korupsi dalam Koran Suara Karya, Senin 1 Maret 2004, lihat juga dalam http://www.antikorupsi.org/en/content/gerakan-antikorupsi.

106 bukan tanpa tantangan.

Pengaruh pemberitaan terhadap kasus-kasus korupsi belakangan ini semakin marak dilakukan oleh media. Harus diakui, kasus korupsi memang memiliki nilai tarik yang tinggi bagi peminat berita terutama ketika kasus tersebut melibatkan pejabat publik. Walaupun demikian, kenyataannya, korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat publik semata.

Di lingkungan akademis, korupsi sudah tidak bisa dibilang asing lagi. Tidak sedikit pelaku tindak pidana korupsi yang justru berasal dari kalangan terdidik. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, dari 600 tersangka korupsi, sebagian besar justru memiliki latar belakang pendidikan tinggi dimana sebanyak 200 tersangka memiliki titel sarjana Strata-2 dan 40 tersangka berpendidikan Strata-3.142 Tidak hanya pendidik, yang lebih mengkhawatirkan adalah korupsi justru dilakukan juga oleh kalangan pendidik. Setidaknya sudah ada 13 orang petinggi (rektor/wakil rektor) perguruan tinggi yang dijadikan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).143

Kondisi-kondisi di atas tentunya dapat berpengaruh terhadap minat mahasiswa untuk membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change yang bebas dari ancaman korupsi. Media tidak dapat menyuruh apa yang dipikirkan seseorang, akan tetapi pers dapat mempengaruhi masyarakat atau publik tentang apa yang seharusnya mereka pikirkan. Hal ini harus dapat diantisipasi sebelum menawarkan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa.

Pada akhirnya, minat mahasiswa dipengaruhi juga atas persepsi mahasiswa terhadap citra penegakan hukum yang terjadi saat ini. Citra merupakan kesan mental yang ditimbulkan oleh apa yang diterima oleh khalayak umum. Citra tidak selalu sama dengan realitas yang ada. Oleh karenanya, penting bagi kampus untuk mendidik mahasiswa agar selalu tidak terjebak pada citra yang ditampilkan oleh media sejak awal mereka memulai pendidikan hukum. Dengan kata lain, kampus juga memiliki peran penting dalam membentuk citra positif penegak hukum terhadap mahasiswanya. Setidaknya, mahasiswa harus mampu menempatkan diri sebagai individu yang selektif dan selalu mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya (tabayyun). Kegagalan dalam melakukan hal tersebut dapat berujung pada semakin tingginya skeptisme mahasiswa terhadap penegakan hukum dan pada akhirnya apatisme terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi.

2. Akses Terhadap Informasi

Secara teori, korupsi akan semakin dapat terdeteksi apabila usaha untuk

142 Lihat Laode M Syarif dalam, ―Penyebab Intelektual Rentan Terjerumus Kasus

Korupsi‖, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/853646-inikah-penyebab-intelektual- rentan-terjerumus-kasus-korupsi, diakses pada 1 Mei 2017.

143Lihat Indonesia Corruption Watch, ―Korupsi

di Perguruan Tinggi‖,

http://www.antikorupsi.org/id/content/korupsi-di-perguruan-tinggi, diakses pada 1 Mei 2017.

107 memberantasnya diikuti dengan sistem informasi yang transparan pula.144 Peran negara untuk membuka akses terhadap informasi publik mendapat penegasan dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang mengenakan kewajiban kepada negara peserta konvensi untuk melakukan langkah-langkah guna memastikan pemenuhan hak atas informasi warganya.145 Keterbukaan informasi merupakan langkah awal bagi negara untuk mendorong akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan. Dengan menghormati, mempromosikan, dan melindungi hak atas informasi warganya, negara membuka ruang bagi publik untuk terlibat dalam mencegah dan memberantas korupsi.

Tidak bisa dipungkiri, akses terhadap informasi seakan sudah menjadi kebutuhan pokok setiap orang dalam hal pengembangan pribadi maupun kehidupan sosialnya. Dalam konteks hukum nasional, hak atas informasi publik sudah diatur di dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Idealnya, seluruh badan publik memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan informasi kepada publik secara komprehensif dan mudah diakses melalui sarana teknologi informasi. Akan tetapi, beberapa hal yang menjadi inti dari UU KIP masih belum sepenuhnya diimplementasikan oleh badan publik, khususnya yang berada dalam lingkup penegakan hukum.

Dengan disahkannya UU KIP, setiap badan publik memiliki kewajiban untuk secara proaktif menyediakan informasi publik yang masuk dalam kategori

―wajib disediakan dan diumumkan secara berkala‖ kepada masyarakat.146

Penyediaan informasi publik tersebut tidak hanya menekankan pada aspek kuantitas data tapi juga akses terhadap informasi, kualitas data, dan nilai kegunaannya. Sayangnya, hal tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh lembaga- lembaga peradilan yang menjadi ujung tombak dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

Pelaksanaan UU KIP umumnya masih sebatas pada tataran kebijakan saja. Beberapa lembaga penegak hukum sebetulnya sudah memiliki peraturan internal mengenai keterbukaan informasi. Beberapa ada yang sudah lebih dulu mengesahkan peraturan internalnya sebelum UU KIP disahkan pada tahun 2008.147 Peraturan internal tersebut pada umumnya sudah mengidentifikasi daftar informasi publik yang berada dalam lingkup tanggung jawab lembaganya. Namun, hal tersebut terkesan hanya menjadi jargon semata untuk membuat citra bersih dari korupsi ketimbang menjadi pegangan bagi pejabat/aparat penegak

144

Teori tersebut tidak selamanya berlaku di setiap kelompok masyarakat. Pada kelompok yang sangat koruptif, transparansi dapat menjadi celah untuk mempengaruhi pengambil kebijakan. Informasi yang dibuka secara luas kepada publik dapat disalahgunakan untuk membangun koneksi dan membangun aset yang dapat digunakan untuk memfasilitasi pemberian suap, gratifikasi, atau bentuk-bentuk insentif lainnya guna mempengaruhi pengambilan kebijakan

publik. Lihat, Mehmet Bac, ―Corruption, Connections, and Transparency:Does a Better Screen Imply a Better Scene?‖, https://link.springer.com/article/10.1023/A:1010349907813, page 87.

145

Lihat Artikel 13 UNCAC

146

Lihat Pasal 9 ayat (1) UU KIP

147

Pada tahun 2007 Mahkamah Agung sudah mengesahkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/VIII/2007 Tentang Keterbukaan Informasi Di Pengadilan.

108 hukum untuk menegakkan keterbukaan informasi di lembaganya.

Semangat untuk membuka akses informasi kepada publik yang ditunjukkan dalam peraturan internal umumnya tidak diikuti dengan praktik yang sama. Lihat saja bagaimana keterbukaan informasi dilaksanakan di pengadilan. Penelitian lapangan MaPPI pada tahun 2013 saat mengakses informasi menemukan bahwa petugas pengadilan memberi perlakuan yang berbeda-beda terhadap pemohon informasi.148 Pelayanan yang lebih memuaskan diberikan ketika pemohon informasi datang dari kelompok LSM. Pelayanan yang sebaliknya dirasakan oleh pemohon informasi masyarakat umum/awam. Petugas tidak segan untuk menolak permohonan informasi manakala pemohon tidak memiliki surat tugas resmi.

Lain halnya dengan pengadilan, keterbukaan informasi di kejaksaan memiliki masalahnya sendiri. MaPPI menemukan bahwa peran sebagai Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dijabat oleh Kepala Seksi Intelijen di masing-masing kejaksaan negeri.149 Hal ini tentunya mengundang kebingungan jika dikaitkan dengan tugas utama pejabat intelijen yang lebih banyak berurusan dengan hal-hal yang bersifat tertutup atau rahasia. PPID seharusnya merupakan pejabat yang melayani masyarakat untuk mendapat informasi. Tidak heran apabila peringkat keterbukaan informasi di kejaksaan kerap lebih rendah dibanding pengadilan, kepolisian, dan KPK.150

Nama Lembaga Skor 1 (self assessment)

Skor 2 (verifikasi) Total

Komisi Pemberantasan Korupsi 21 65 86 Mahkamah Agung 23 56 79 Kepolisian 21 55 76 Kejaksaan 22 36 58

Data diatas kembali menegaskan bahwa komitmen keterbukaan informasi di lembaga peradilan nampaknya masih sekedar janji belaka. Praktiknya, pola pikir petugas informasi di lapangan masih kental dengan gaya birokrat konservatif dan pro status quo. Hal ini akan terus menjadi polemik selama tidak ada

148Lihat Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Survey, ―Keterbukaan Informasi Di

Pengadilan‖, http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/MaPPI_laporan-akhir-

penelitian_unodc_290813-1.pdf, diakses pada 1 Mei 2017.

149Lihat, Masyarakat Pemantau Peradilan, ―

Kejaksaan RI dan Keterbukaan Informasi‖,

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/Kejaksaan-RI-dan-Keterbukaan- Informasi-Policy-Brief-MaPPI.pdf, diakses pada 2 Mei 2017.

150

Lihat, Komisi Informasi Pusat,―Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Penganugerahan

Keterbukaan Informasi Badan Publik Tahun 2014‖.

https://www.komisiinformasi.go.id/news/view/laporan-tahunan-kip-2014, diakses pada 2 Mei 2017

109 pembenahan internal yang dilakukan oleh setiap institusi penegak hukum. Dalam konteks pendidikan, pembenahan tersebut perlu diikuti dengan penyadaran publik tentang keterbukaan informasi. Dengan demikian pembenahan yang dimaksud tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan informasi tapi juga mendorong partisipasi aktif dari masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan. Publik juga perlu menyadari pentingnya mengawasi kinerja penegak hukum dalam mencegah dan memberantas korupsi.

3. Budaya Permisif

Kesadaran akan dampak negatif korupsi terhadap pembangunan ekonomi dan kehidupan berdemokrasi telah membuat studi terkait transparansi pemerintahan meningkat pesat. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Transparansi Internasional terkait korupsi di sektor publik, ditemukan bahwa korupsi bukan hanya perbuatan korup yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, akan tetapi juga merefleksikan adanya faktor budaya.151 Budaya yang dimaksud adalah sikap membenarkan atau mengganggap biasa oleh masyarakat awam terkait perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori korupsi yang dilakukan pejabat pemerintahan. Budaya membenarkan atau mengganggap biasa ini disebut juga sebagai sikap permisif.

Penilaian terhadap korupsi di masing-masing budaya sangatlah beragam. Banyak kalangan masyarakat yang masih mengganggap korupsi sebagai suatu hal yang lumrah dilakukan oleh pejabat pemerintah. Sikap permisif terhadap korupsi ini berimplikasi kuat dan negatif terhadap kepercayaan publik. Sikap permisif menjadi tantangan tersendiri dalam pemberantasan korupsi. Cábelková berpendapat bahwa tingkat korupsi yang sebenarnya dipengaruhi oleh persepsi tentang korupsi dan fasilitas saat mengambil keputusan terkait perbuatan korup152. Dengan kata lain, tingkat persepsi korupsi yang tinggi memunculkan sisi

penawaran dari ―pasar suap‖. Maksudnya adalah bahwa persepsi terjadinya

tindakan ilegal yakni korupsi dapat dipengaruhi dengan cara berikut153:

1. Ketika orang merasa bahwa tingkat korupsi tinggi kemungkinannya;

2. Masyarakat berpikir bahwa tindakan suap menyuap memang dibutuhkan;

3. Pejabat pemerintah tidak mengganggap bahwa suap menyuap merupakan tindakan yang salah.

Dalam jajak pendapat Litbang Kompas tentang Permisif Terhadap Perilaku Korupsi154 menyatakan walaupun publik sepakat bahwa tindakan-tindakan

151

Alejandro, Moreno, Corruption and Democracy : A Cultural Assesment, Journal Comparative Sociology, Vo. 1, issue 3-4, (Leiden : Koninklijke Brill NV, 2002), hlm. 496.

152

I,Cábelková,Perceptions of corruption in Ukraine: are they correct?‖ CERGE-EI working paper 176, 2001.

153

Natalia, Melgar dan Maximo Rossi, Permissiveness Toward Illegal Actions in Urugay : Has This Attitude Changed in Time?, Journal Economic Research International Vol. 2012.

154

110 permisif mengarah pada perilaku tidak baik, hampir dua pertiga responden mengakui bahwa hal itu sudah menjadi kebiasaan dan berlaku umum di tengah masyarakat. Sikap permisif masyarakat terhadap perilaku yang mengarah pada korupsi terbilang memprihatinkan. Hal ini tercermin dalam hasil survei perilaku anti korupsi tahun 2014 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik155.

Lebih jauh, sikap permisif tersebut juga mempengaruhi minat mahasiswa untuk ikut serta dalam pendidikan anti korupsi. Anggapan yang berkembang jika perilaku korupsi atau yang mengarah kesana sudah menjadi kebiasaan dan berlaku umum di masyarakat membuat mahasiswa enggan untuk ikut serta dalam pendidikan anti korupsi. Namun demikian keengganan tersebut dapat di antisipasi dengan adanya kampanye anti korupsi dengan mengoptimalkan berbagai media misalnya; musik, film, media sosial, menulis, video dan mendorong untuk bergabung di berbagai komunitas yang melakukan gerakan anti korupsi156. Melalui kampanye anti korupsi tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran mahasiswa tentang peran mereka dalam melawan korupsi.

B. Kesempatan

1. Perintah Undang-Undang

Salah satu aspek penting dalam upaya pemberantasan korupsi ialah adanya partisipasi publik untuk meningkatkan kepedulian terkait tumbuhnya korupsi dan dampak negatif yang disebabkan karenanya. Partisipasi publik terkait pemberantasan korupsi diatur diantaranya dalam United Nation Convention Against Corruption (selanjutnya disebut UNCAC)157 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Bentuk partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi salah satunya melalui program pendidikan baik di jenjang sekolah maupun perguruan tinggi158. Perguruan tinggi sebagai pusat pembelajaran memiliki peran strategis dalam mendorong percepatan pemberantasan korupsi. Perguruan tinggi harus menggali, merumuskan dan mengembangkan nilai dan rinsip anti korupsi dan integritas159. Selain itu, perguruan tinggi dalam kapasitas dan kompetensinya, berfungsi melahirkan ide dan gagasan yang asli dan utuh mengenai nilai prinsip integritas tersebut serta melakukan inovasi dalam pengembangan strategi dan program pemberantasan korupsi.

Pendidikan anti korupsi adalah program pendidikan tentang korupsi bertujuan untuk membangun dan meningkatkan kepedulian warganegara terhadap bahaya dan akibat dari tindakan korupsi. Target utama pendidikan anti korupsi

http://print.kompas.com/baca/2015/04/07/Permisif-terhadap-Perilaku-Korupsi

155

Ibid.,

156

Lihat, Indonesia Corruption Watch,

http://www.antikorupsi.org/en/content/mahasiswa-bsi-belajar-antikorupsi, diakses pada 3 Mei 2017.

157

Pasal 13 UNCAC tentang Partisipasi Publik

158

Pasal 13 huruf (C) UNCAC

159

http://www.antaranews.com/berita/407456/empat-peran-perguruan-tinggi-berantas- korupsi

111 adalah memperkenalkan fenomena korupsi yang mencakup kriteria, penyebab dan akibatnya, meningkatkan sikap tidak toleran terhadap tindakan korupsi, menunjukan berbagai kemungkinan usaha untuk melawan korupsi serta berkontribusi terhadap standar yang ditetapkan sebelumnya seperti mewujudkan nilai-nilai dan kapasitas untuk menentang korupsi dikalangan generasi muda.160

Terkait upaya pemberantasan korupsi melalui pendidikan anti korupsi, secara khusus Presiden Republik Indonesia telah menginstruksikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan KPK yang dinyatakan melalui Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Dalam rangka persiapan pembelajaran pendidikan anti korupsi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan KPK telah melaksanakan kegiatan Training of Trainers (TOT) Pendidikan Anti Korupsi tahun 2012 bagi 1007 dosen di 526 perguruan tinggi di seluruh Indonesia161. Sebelumnya, pendidikan anti korupsi di Indonesia banyak melibatkan kelompok masyarakat sipil dan organisasi internasional dalam meningkatkan kesadaran terkait pemberantasan korupsi. Selain itu langkah- langkah lain dalam pendidikan anti korupsi juga ditempuh melalui penyebaran informasi melalui buku-buku, brosur, media masa dan media sosial. Hal tersebut diharapkan mampu memberikan dukungan terhadap pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.162

Pendidikan anti korupsi dengan melibatkan kalangan civitas akademik juga telah diterapkan di berbagai negara diantaranya Korea, Kamboja, Malaysia, Vanuatu, Kazakhstan, Pakistan, Kepulauan Fiji dan Filipina.163 Di negara-negara tersebut pendidikan anti korupsi dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, sejak bangku dasar hingga perguruan tinggi. Penyusunan materi pendidikan anti korupsi ini melibatkan tenaga pengajar dan kementerian pendidikan di negara masing- masing.164 Selain negara-negara tersebut, Hongkong adalah salah satu negara yang telah menunjukkan hasil yang signifikan terkait pelaksanaan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah. Jika pada tahun 1974 Hongkong adalah negara yang sangat korup, maka saat ini Hongkong merupakan salah satu negara di Asia dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang sangat tinggi yakni 8,3 dan menjadi negara terbersih ke 15 dari 158 negara di dunia165. Keberhasilan ini merupakan efek simultan dari upaya pemberantasan korupsi dari segala sisi termasuk pendidikan anti korupsi yang dilaksanakan sekolah secara formal.166

160

Maria, Montessori, Pendidikan Antikorupsi Sebagai Pendidikan Karakter di Sekolah,

hlm. 294, diakses dari http://noviandy.com/wp-content/uploads/2016/03/PAK-sbg-Pendidikan.pdf.

161

Diikuti dari pengantar buku ajar pendidikan anti korupsi, kementerian pendidikan dan kebudayaan

162

Anti Corruption Initiative for Asia and The Pacific,

https://www.oecd.org/site/adboecdanti-corruptioninitiative/policyanalysis/35144038.pdf, hlm. 56 163 Loc.cit.,hlm. 55 164 Ibid., 165

Krisna, Harahap, Pemberantasan Korupsi Pada Masa Reformasi, Jurnal of Historical Studies X, Juni 2009.

166

112 Menyikapi fenomena korupsi yang telah merambah ke berbagai sektor menjadikan pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi yang melibatkan mahasiswa menjadi hal yang penting untuk dilakukan untuk meningkatkan integritas dan pengetahuan terkait strategi anti korupsi. Hal ini mengingat mahasiswa adalah calon pemimpin masa depan di berbagai sektor meliputi pemerintahan, swasta, non government organisation (NGO), organisasi internasional, dan sebagainya.

Pendidikan anti korupsi di kalangan mahasiswa harus dijadikan sebagai strategi jangka panjang dalam upaya pemberantasan korupsi. Menyentuh ranah pendidikan dan berbicara aktif secara langsung kepada mahasiswa terkait korupsi dapat dijadikan sebagai salah satu kunci yang penting untuk mengkampanyekan

sikap anti korupsi, dan berpotensi untuk mengubah ―budaya‖ dan ―kebiasaan‖

yang sudah ada. Melalui penyelenggaraan pendidikan anti korupsi, mahasiswa sebagai agent of change (agen perubahan) diharapkan mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mengkritisi kebijakan-kebijakan yang koruptif dan mampu menjadi watch dog lembaga-lembaga penegak hukum.167

2. Dukungan Pemerintah

Semakin masifnya praktik korupsi saat ini mendorong adanya komitmen dari pemerintah dan seluruh pihak yang terlibat untuk berkolaborasi menangani hal tersebut. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu upaya pencegahan yang dielaborasikan melalui pendidikan anti korupsi dan internalisasi sikap anti korupsi terhadap sektor publik dan privat168. World Bank menyatakan bahwa keberhasilan gerakan anti korupsi didukung oleh koalisi yang solid antara politisi, pejabat pemerintah, swasta, masyarakat, komunitas dan koalisi masyarakat sipil169

Pendidikan anti korupsi dapat berhasil dengan adanya dukungan serta keterlibatan pemerintah di dalamnya. Sayangnya di Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada pasal atau ketentuan khusus mengenai pencegahan korupsi. Namun demikian pada level pencegahan korupsi, Presiden telah mengeluarkan instruksi presiden terkait aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi170. Dukungan pemerintah diantaranya dilakukan melalui elaborasi dengan kalangan akademik dalam menyusun kurikulum anti korupsi terkait pelaksanaan pendidikan anti korupsi.

Experience of Hongkong ICAC, 2002, diakses dari

http://www.unafei.or.jp/english/pdf/PDF_rms/no69/16_P196-201.pdf

167

Pendidikan Anti Korupsi dalam Perguruan Tinggi, (Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2011), lihat dalam Aryo P, Wibowo dan Nanang T Puspito, Peranan Mahasiswa Dalam Gerakan Anti Korupsi, hlm. 145.

168

National Strategy of Corruption Prevention and Eradication,

https://www.unodc.org/documents/indonesia/publication/2012/Attachment_to_Perpres_55- 2012_National_Strategy_Corruption_Prevention_and_Eradication_translation_by_UNODC.pdf.

169

http://www.worldbank.org/en/topic/governance/brief/anti-corruption

170

Lihat Instruksi Presiden RI Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012

113 Selain penyusunan kurikulum anti korupsi, pemerintah juga berperan dalam pemberian akses informasi publik kepada masyarakat.171 Informasi publik tersebut diantaranya terkait putusan, peraturan perundang-undangan tindak pidana korupsi yang dapat diakses melalui situs resmi Mahkamah Agung yang beralamat di https://www.mahkamahagung.go.id/ . Keterbukaan informasi publik di lingkungan pengadilan pada umumnya telah bergerak ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya.172 Situs tersebut mengumumkan informasi-informasi publik sesuai fungsi mereka seperti info perkembangan perkara, informasi putusan, jaringan dokumentasi dan informasi hukum serta organisasi internal Mahkamah Agung. Kehadiran situs ini telah membuka akses masyarakat untuk mendapatkan informasi perkembangan perkara dan salinan putusan173 salah satunya adalah yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

Adanya akses informasi publik berupa putusan dan informasi perkembangan perkara tindak pidana korupsi merupakan salah satu peluang yang baik bagi mahasiswa dalam pelaksanaan pendidikan anti korupsi. Mahasiswa dapat melakukan studi putusan terkait pengimplementasian undang-undang,

konsistensi vonis, disparitas pemidanaan, dan ―tren‖ korupsi dalam tiap perkara

korupsi.

3. Aksi Kolaborasi Dengan Masyarakat Sipil

Aksi kolaborasi atau collective action pada dasarnya merupakan proses kooperatif antara banyak pihak untuk bersama-sama melawan korupsi. Secara konsep, aksi kolaborasi memiliki tujuan untuk memberikan wadah bagi publik untuk mencegah dan memberantas korupsi menggunakan pendekatan multi aktor.