• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN PARADIGMA PERATURAN TERKAIT DISABILITAS

AKSES KEADILAN SOSIAL BAGI PENYANDANG DISABILITAS DAN TANTANGAN KEDEPAN

B. PERUBAHAN PARADIGMA PERATURAN TERKAIT DISABILITAS

Seiring dengan terjadinya perubahan yang sangat dinamis tentang paradigma pemberdayaan masyarakat sipil dalam konteks Welfare State maka pola penanganan juga mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift). Perubahan dimaksud mencakup pergeseran dari paradigma pelayanan dan rehabilitasi (charity based) menjadi pendekatan berbasis hak (right based). Dalam hal ini, penanganan penyandang disabilitas tidak hanya menyangkut pada aspek kesejahteraan sosial sebagaimana yang menjadi ciri undang-undang sebelumnya, tetapi semua aspek, terutama pemeliharaan dan penyiapan lingkungan yang dapat mendukung perluasan aksesibilitas pelayanan terhadap penyandang disabilitas. Gagasan tersebut, tentu merupakan hal yang perlu terus diperjuangkan sedemikian rupa oleh segenap komponen bangsa. Komitmen pemerintah sendiri tentang gagasan luhur tersebut sudah sampai pada kebulatan tekad untuk mewujudkannya. Apalagi dengan perubahan paradigma dari charity based menjadi right based, memberikan harapan cerah bagi upaya perwujudan hak penyandang disabilitas secara sistematis, terarah, menyeluruh, sungguh-sungguh dan berkesinambungan. Hal ini selaras dengan CRPD yang diadopsi

35 Majelis Umum PBB pada tanggal 13 Desember 2006 dan menjadi hukum positif di Indonesia (Ius Constitutum) berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2011. Hal yang relevan dengan penegasan ini adalah statement CRPD yang disadur dari kantor PBB di New York, yaitu:30

The Convention marks a "paradigm shift" in attitudes and approaches to persons with disabilities. It takes to a new height the movement from viewing persons with disabilities as "objects" of charity, medical treatment and social protection towards viewing persons with disabilities as "subjects" with rights, who are capable of claiming those rights and making decisions for their lives based on their free and informed consent as well as being active members of society.The Convention is intended as a human rights instrument with an explicit, social development dimension. It adopts a broad categorization of persons with disabilities and reaffirms that all persons with all types of disabilities must enjoy all human rights and fundamental freedoms.

Isi konvensi penyandang disabilitas tersebut memberikan dasar atau jaminan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mengembangkan diri dan berdaya. Sebagai anggota masyarakat, lingkungan perlu memberikan kesempatan untuk pemenuhan hak -hak tersebut.

Sebelum pengesahan UU Penyandang Disabilitas, sebenarnya jauh-jauh waktu sudah ada peraturan perundang-undangan sebagai upaya untuk melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, diantaranya: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang ditetapkan oleh Pemerintah pada tanggal 10 November 2011, dimana konvensi internasional tersebut telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia sejak tanggal 30 Maret 2007 di New York.; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Selain undang-undang, terdapat juga dalam peraturan daerah, seperti yang dilakukan oleh pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang termaktub dalam Peraturan Daerah

30

36 Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Negara yang bermartabat adalah Negara yang menghormati, menghargai, memenuhi dan memberikan perlindungan bagi setiap warga negaranya tanpa kecuali. Isu tentang penyandang disabilitas atau orang-orang yang memiliki perbedaan

kemampuan seringkali dikenal dengan istilah ―difable‖ (differently abled people) atau

sekarang dikenal sebagai ―disabilitas‖ adalah masalah yang paling jarang mendapatkan

perhatian dari Pemerintah maupun masyarakat. Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Hal ini terlihat dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.31

C. IMPLEMENTASI AKSES KEADILAN SOSIAL BAGI PENYANDANG

DISABILITAS

Secara kultur, kaum difabel dianggap sebagai orang berdosa, orang pembawa aib, hasil dari perbuatan dosa dan sebagainya. Dalam medis mereka adalah orang sakit atau rusak dan mempunyai kondisi yang harus disembuhkan atau diperbaiki supaya

bisa ‗normal‘. Dan secara sosial masalah bukan pada individu yang memiliki ‗kecacatan‘, tetapi lingkungan fisik (infrastuktur) dan lingkungan sosial yang

menciptakan hambatan bagi individu tersebut dalam mendapatkan haknya. Dalam Hak Asasi, penyandang disabilitas sebagai individu yang memiliki hak dan sebagai subjek dalam hukum sehingga pengakuan dan penghormatan individu sangatlah penting dilakukan sebagai bagian dari sebuah perbedaan, hal ini merupakan tanggungjawab sosial dan pemerintah.

Yang terjadi sekarang adalah secara kultur, kaum difabel tidak dianggap sebagai seorang manusia yang mempunyai hak, bahkan hak untuk hidup. Dan secara medis dalam penyelesaiannya melalui pendekatan yang lebih fokus pada

‗penyelesaian‘ atau penyembuhan fisik individu yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak normal dan harus diperbaiki. Kondisi fisik yang dianggap tidak normal dan tidak mandiri, sehingga kelanjutannya adalah penempatan di panti panti untuk rehabilitasi sosial. Pandangan model medis ini menjadi dasar pendekatan ‗charity‘ yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam pranata sosial, mereka melakukan penanganan berbasis hak

dan komprehensif, promosi sikap positif terhadap ‗kecacatan‘, namun tidak melakukan

modifikasi sarana dan prasarana, tidak menyediakan informasi dalam format yang

31 Rahayu Repindowaty Harahap dan Bustanuddin, “Perlindungan Hukum Terhadap Penyandang

Disabilitas Menurut Convention On The Rights Of Persons With Disabilities(CRPD)”, Jurnal Inovatif, Volume VIII

37 aksesibel, sehingga hal ini belum memastikan perlindungan hukum dalam bentuk konvensi baik undang undang maupun kebijakan.

Akses terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas di Indonesia antara lain :

a. Penolakan pelaporan kasus di kepolisian

b. Rendahnya pengetahuan aparat hukum dan kepolisian terhadap isu disabilitas termasuk hak nya

c. Tidak tersedianya sarana pendukung seperti petunjuk braille, penerjemah bahasa isyarat, gedung yang menyulitkan

d. Penolakan penyandang disabilitas sebagai saksi

e. Hukum pengampuan

f. Undang –undang yang tidak berpihak dan tidak melindungi penyandang disabilitas

g. Sistem administrasi peradilan yang tidak aksesibel

h. Rendahnya sosialisasi tentang informasi hukum kepada penyandang disabilitas i. Tidak ada implementasi undang undang yang sudah akomodatif

Grafik 1.1 Jenis Peraturan Perundang-undangan terkait Disabilitas Tahun 2015 Peraturan

Daerah 19%

Peraturan Presiden 2% Undang-undang 40%

Peraturan Pemerinth39%

38 Contoh undang-undang dan kebijakan yang dibuat tersebut masih belum sepenuhnya mengakomodir dalam akses keadilan sosial bagi penyandang disabilitas. Ketentuan sehat jasmani dan rohani masih banyak diberlakukan di berbagai bidang sosial dan hukum sehingga orang yang tidak sehat jasmani sangat minim peluang mendapatkan akses dalam berbagai bidang. Undang-undang perkawinan tahun 1974 yang membolehkan menyeraikan istri jika menjadi cacat atau sakit juga salah satu bentuk upaya kurangnya perhatian pada kaum difabel yang bisa dilakukan seperti apapun karena keadaan fisik yang kurang bersahabat. Juga terlihat pada undang undang tentang penyandang cacat tahun 1997 hanya

melakukan pandangan dan pendekatan berdasarkan ‗charity‘. Demikian juga pada

undang undang tentang Pelayanan Publik tahaun 2010, tidak ada kebijakan yang mengatur sebagai pendukung pelaksanaannya serta pada undang-undang tentang Bangunan Umum dan Permen PU tentang Pedoman Teknis fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan dan Lingkungan yang implementasinya masih banyak menimbulkan pertanyaan.

D. HAMBATAN DAN TANTANGAN KE DEPAN

Berkaca dari pengalaman di Kalimantan Selatan Keluarnya Perda No. 17 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas telah memberikan warna baru bagi tonggak awal pengakuan dan perlindungan dari pemerintah daerah terhadap para penyandang disabilitas ini. Sosialisasi kemudian menjadi hal yang sangat penting untuk memastikan para pihak dapat menjalankan dan memberikan hak-hak penyandang disabilitas ini, khususnya terkait masalah ketenagarkerjaan.

Namun dari data yang diperoleh terlihat dari 91 responden yang peneliti wawancarai dari 13 kabupaten kota (satu orang dari dinas ketenagakerjaan dan sosial, dua orang dari dinas PU yakni dari bina marga dan cipta karya, satu orang dari perusahaan umum dan satu orang dari perusahaan daerah serta dua orang difable) , 96 persen diantaranya menyatakan bahwa mereka belum pernah mendengar tentang adanya perda tentang disabilitas ini.

39 Sumber : Balitbangda Kalsel, 2015.

Pengetahuan akan adanya perda No. 17 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas menjadi penting adanya, dimana para pelaku usaha ataupun SKPD memiliki dasar dan mandat untuk melakukan kegiatan usahanya ataupun proses pelayanan dan pembangunan fisik dan sarana prasaran yang ramah dan peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Untuk dunia usaha misalnya, penetapan minimal 1 % dari jumlah pegawai harus difabel dan ditempatkan di bidang produksi atau distribusi, menjadi suatu proses mainstreaming (pengarus utamaan) yang dapat ditekankan oleh dinas Ketenaga kerjaan kepada pihak perusahaan.

Menurut Jimly Asshiddiqie, ada beberapa hambatan dalam mencapai tujuan untuk lahirnya keadilan, antara lain :32

a. Hambatan fisik pada kantor polisi, pengadilan, penjara, dan gedung bangunan umum lainnya, sangat tidak aksesibel terhadap difabel yang cenderung fisik dibangun untuk masyarakat umum.

b. Tidak adanya transportasi yang aksesibel untuk bisa pergi ke kantor polisi, lembaga bantuan hukum, pengadilan, dan gedung bangunan umum lainnya

c. Legislasi, regulasi, kebijakan, atau praktisi yang mendiskriminasi penyandang disabilitas seperti menjadi saksi, pengacara, hakim masih belum terjangkau dengan baik.

32

http://www.jimlyschool.com/read/news/337/akses-terhadap-hukum-dan- peradilan-bagi-penyandang-disabilitas/

Gambar 1. Pengetahuan tentang Perda 17/2013

4%

96%

Mengetahui Tidak Tahu

40

d. Rendahnya informasi yang aksesibel tentang tata kerja sistem peradilan, hak penyandang disabilitas sebagai individu didalam sistem peradilan

e. Rendahnya ketersediaan akomodasi sebagai fasilitas berkomunikasi

bagi penyandang disabilitas, terutama bagi orang dengan gangguan intelektual, tunanetra, tunarungu, orang dengan gangguan belajar, orang dengan masalah kejiwaan

f. Sikap terhadap kemampuan penyandang disabilitas untuk

berpartisipasi aktif dalam administrasi peradilan, misalnya keyakinan bahwa orang dengan masalah kejiwaan tidak bisa diakui kesaksiannya

g. Rendahnya training bagi petugas kepolisian, pengadilan, lembaga bantuan hukum lainnya untuk mengerti penyandang disabilitas dan kebutuhan spesifik dalam mengakses keadilan serta bagaimana menyediakan akomodasi yang diperlukan.

E. Konklusi

Perlu penghormatan yang melekat pada martabat seseorang tanpa melihat kondisi fisik maupun kehidupan sosialnya dan cerminan otonomi individual termasuk kebebasan dalam menentukan pilihan merupakan bentuk kemerdekaan perseorangan yang non diskriminasi. Partisipasi penuh dan efektif harus tercermin dalam masyarakat sehingga peran dan keikutsertaan dalam membangun masyarakat sangat berpengaruh untuk menunjang dan support terhadap kaum difabel. Penghormatan atas perbedaan dan penerimaan penyandang disabilitas ini sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan, kesetaraan kesempatan, aksesibilitas, kesetaraan antara laki laki dan perempuan serta penghormatan atas kapasitas yang terus tumbuh dari penyandang disabilitas anak guna mempertahankan identitas mereka.

Dalam pengakuan atas kesetaraan dimuka hukum Negara menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hokum, negara wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan dan Negara wajib mengambil langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka.

Dalam Akses terhadap Keadilan, negara wajib menjamin secara efektif akses penyandang disabilitas pada keadilan didasarkan atas kesamaan dengan yang lain, termasuk melalui pengakomodasian pengaturan yang berkaitan dengan prosedur dan kesesuaian usia, dalam

41 rangka memfasilitasi peran efektif penyandang disabilitas sebagai partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk sebagai saksi, dalam semua persidangan, termasuk dalam penyidikan dan tahap-tahap awal lainnya. Dan dalam rangka menolong terjaminnya akses efektif terhadap keadilan bagi penyandang disabilitas, Negara-Negara Pihak wajib meningkatkan pelatihan yang tepat bagi mereka yang bekerja di bidang penyelenggaraan hukum, termasuk polisi dan sipir penjara.

42

DAFTAR PUSTAKA

Daming, Saharuddin. Sekapur Sirih Tentang Perwujudan Hak Penyandang Disabilitas Di Indonesia. Jakarta: Komnas HAM, 2003.

Degener, Theresia. International Disability Law- A New Legal Subject on the Rise, disampaikan pada Experts Meeting di Hongkong, 13-17 Desember 1999. Berkeley Journal International. 2000.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

. Undang-undang tentang Penyandang Cacat, UU No. 4 Tahun 1997, LN No. 9Tahun1997, TLN No.3670.

United Nations, Convention on the Right of People with Disabilities, CRPD,

http://www.un.org/disabilities/documents/convention/con voptprot-e.pdf diakses pada 01 Mei 2017 pukul 10.09

http://www.jimlyschool.com/read/news/337/akses-terhadap-hukum- dan-peradilan-bagi-penyandang-disabilitas/ diakses pada 01 Mei 2017 pukul 11.00

43 PEMBERIAN BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN DALAM

IMPLIKASINYA DENGAN PELAKSANAAN