• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASINYA DENGAN PELAKSANAAN TEORI KESEJAHTERAAN RAKYAT

A. Sebuah perbandingan

Belajar dari kesuksesan dan kegagalan bangsa lain adalah salah satu cara yang bijak dalam merancang dan melaksanakan bantuan hukum di Indonesia. Ketiga negara yang diuraikan dibawah ini merepresentasikan pengalaman dalam pemberian bantuan hukum.

1. Belanda

Pada saat ini Belanda menuangkan program Bantuan Hukumnya dalam Undang-Undang Bantuan Hukum Tahun 1994 yang kemudian diamandemen pada 2004. Undang-undang ini menyediakan seperangkat peraturan yang menjadi dasar

60

Ibid.

61

Ade Irawan Taufik, Sinergitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechtsvinding BPHN Volume 2 Nomor 1, April 2013, Hlm. 59.

62

Ni Komang Sutrisni, Tanggung Jawab Negara Dan Peranan Advokat Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu,Jurnal Advokasi Vol. 5 No.2 September 2015, Hlm. 158

50 bantuan hukum di negara ini. Menurut ketentuan undang-undang ini hanya orang atau badan tertentu yang kemampuan keuangan atau kekayaannya tidak mencapai jumlah tertentu pengeluaran maksimum (maximum disposable income) misalnya berpenghasilan Rp 13 juta atau memiliki aset senilai Rp 90 juta.

Program ini dilaksanakan oleh suatu badan yang disebut Legal Aid, Advice & Assistance Centres (Pusat Bantuan, Nasehat dan Pembelaan Hukum) yang merupakan lembaga independen dan didanai dari dana publik. Lembaga ini menangani seluruh jenis perkara, asalkan pemohon bantuan telah memenuhi kriteria batas penghasilan sebagaimana disebutkan di atas. Namun demikian, perkara-perkara dengan nilai di bawah 180 Euro (Rp 2 juta), perkara yang tidak memiliki dasar yang jelas (manifestly unfounded), perkara dengan biaya yang tidak proporsional, dan perkara dengan ancaman hukuman yang terlalu ringan juga tidak ditangani oleh lembaga ini. Dana bantuan hukum ini hanya membayar biaya advokat. Sedangkan biaya sidang dan biaya-biaya lain tidak didanai. Selain bisa menggunakan advokat dari The Legal Aid, Advice & Assistance Centres, pemohon bantuan hukum juga dapat memilih sendiri advokatnya. Masyarakat yang membutuhkan bantuan untuk memilih advokat boleh meminta nasehat dari Raad voor Rechtsbijstand atau asosiasi advokat disana.63

2. Australia

Sebagai perbandingan, di Australia bantuan hukum dibentuk dan dibiayai oleh negara. Sumber utama pemberian bantuan hukum dilaksanakan sebuah Komisi Bantuan Hukum yang dibentuk dan didanai oleh negara. Pemberian kuasa atau yang bertindak sebagai penasihat hukum, dilakukan oleh staf pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Privat atau pengacara yang membuka kantor sendiri.64 Pelaksanaan bantuan hukum di Australia dilaksanakan secara sinergis oleh pengacara Komisi Bantuan Hukum dan Pengacara Profesional /Pengacara Sipil.

Berbeda dengan konsep di Belanda, Australia justru tidak mencantumkan hak bantuan hukum dalam konstitusinya, demikian pula tidak terdapat hak ini dalam undang-undang federalnya. Hak-hak ini diakui dalam yurisprudensi dan undangundang negara bagian yang menciptakan komisi bantuan hukum. Yurisprudensi yang umum diikuti oleh hakim di Australia berdasarkan kekuatan mengikat yurisprudensi . Untuk mendapatkan bantuan hukum pemohon harus diuji melalui tiga kriteria yaitu kriteria pendapatan (Means Test), kriteria kelayakan perkara (Reasonableness Test) dan kriteria jenis perkara (Kind of Cases). Pemohon diperiksa pendapatan dan kekayaannya dalam kriteria

63

Naskah akademik ruu bantuan hukum, yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia,

64Goldie, Cassandra, “

Legal Aid and Acces to Justice in Australia; The Role of Legal Aid to Promote Acces to Justice for Marginalized in The Contex of Human Rights.” , (makalah disampaikan pada seminar Internasional Tentang: Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 29 April 2006), hlm. 3-4.

51 pendapatan. Dalam kriteria kelayakan perkara yang dimohonkan pembelaannya akan dinilai kemungkinan menangnya, efisiensi biaya berbanding dengan manfaat untuk klien, dan kelayakan biaya berbanding dengan kebutuhan lain yang lebih mendesak. Untuk kriteria jenis perkara, dana bantuan hukum ini tidak disediakan untuk perkaraperkara tertentu seperti perkara sewa menyewa dan perkara perburuhan. Sehari-hari bantuan hukum dilaksanakan oleh pusat-pusat pelayanan hukum masyarakat (Community Legal Centres) yang dilaksanakan oleh NGO dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Di seluruh Australia terdapat 214 pusat pelayanan hukum masyarakat ini yang mempekerjakan 580 pekerja purna waktu, 662 pekerja paruh waktu dan 3.464 sukarelawan. Dalam lingkup yang lebih luas pusat pelayanan hukum masyarakat ini juga mengelola program- program bantuan hukum di luar beracara di pengadilan.65

Lembaga ini juga mengelola program pendidikan dan pelatihan hukum (Clinical Legal Education) bersama-sama dengan fakultas hukum dari berbagai universitas, program pendidikan hukum komunitas (Community Legal Education) dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti penerbitan, online resouces, publikasi melalui radio, workshop dan sebagainya. Lembaga ini juga aktif dalam melakukan advokasi dan reformasi hukum secara keseluruhan. Selain disediakan oleh pusat pelayanan bantuan hukum sebagaimana dijelaskan di atas, bantuan hukum juga dilaksanakan secara aktif oleh advokat prodeo (pro bono lawyers) yang tergabung dalam National Pro Bono Resource Centre, Public Interest Law Clearing House atau dikelola sendiri oleh firma-firma hukum di negara ini. Para advokat prodeo ini diperkirakan telah menyumbang setidaknya 866.300 jam kerja untuk melaksanakan pendampingan hukum gratis, 123.100 jam kerja untuk reformasi hukum dan pendidikan hukum masyarakat dan membantu mengurangi beban biaya pengacara sampai 536.700 jam kerja. Program ini didanai oleh pemerintah federal Australia, pemerintah negaranegara bagian sebesar $AU9.700.000, dari persemakmuran (Commonwealth) sebesar $AU 20.400.000 dan berbagai sumber dana yang lain seperti universitas.66

3. Thailand

Kalau pembicaraan dialihkan ke Asia, maka perlu di telaah perkembangan bantuan hukum di salah satu negara Asia. Di Thailand misalnya bantuan hukum di mungkinkan dengan diundangkannya udang-undang hukum secara perdata pada tahun 1908. Dalam hak ini, maka pengadilanlah yang mempunyai wewenang untuk membebaskan seseorang (yang terbukti miskin) dari segala biaya perkara. Hal ini juga berlaku bagi perkara-perkara pidana yang di kualifikasikan sebagai perkara berat, dan apabila seorang anak menjadi tersangka atau terdakwa. Akan tetapi di dalam perkara-perkara pidana ada kemungkinan bahwa terdakwa

65

Naskah akademik ruu bantuan hukum, op.cit. hlm.26

66

52 dibebani dengan biaya untuk pencarian bukti pendatangan saksi-saksi, dan seterusnya.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka di Thailand tumbuh berbagai badan swasta, yang menyelenggarakan bantuan hukum, seperti misalnya. 1. The Woman Lawyer Association of Thailand yang berkantor di Universitas Thammasat yang sudah beroperasi sejak tahun enam puluhan dan hanya menyelenggarakan bantuan hukum diagnostik (konsultasi hukum).

2. The Association of University Graduates, Chulalongkorn University yang memberikan bantuan hukum diagnostik sejak tahun 1967. Badan ini sebenarnya bertujuan untuk melatih mahasiswa-mahasiswa hukum tingkat terakhir berpraktek.

3. The Free People League of Thailand, yang memberikan konsultasi hukum serta dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi tertentu agar orangorang tertentu (yang miskin) dibebaskan dari kewajiban membayar jasajasa seorang advokat. 4. The Lawyer‟s Association of Thailand yang dalam hal-hal tertentu memberikan bantuan hukum pengendalian konflik secara bebas, atas dasar prinsip-prinsip, sebagai berikut: a. The justice of the community as a whole concerning the matter requestes.

b. The effect of the proceeding the light of the preliminary facts given. c. The conditions of the family of the applicant.

5. Legal Aid Office of the Thai Bar Association, yang mempekerjakan mahasiswa hukum tingkat akhir untuk melakukan praktek hukum, terutama diagnostik dan bantuan hukum pengendalian konflik. Mereka yang mendapatkan bantuan hukum harus memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut.67

a. He is of small means or having so poor salary that being unable to pay for the consultation or counsel fees, and that he deserves the aid.

b. He has a reasonable ground for the aid.”

Saat ini Thailand masih memberlakukan sistem Ex-Officcio Assigned Counsel System. Bantuan hukum dilaksanakan oleh pengadilan, institusi negara termasuk kantor perdana menteri dan kejaksaan agung, dan oleh Dewan Advokat Thailand (The Lawyers Council of Thailand-LCT). Masing-masing lembaga itu menunjuk advokat untuk membela terdakwa yang miskin dan bayaran advokat yang ditunjuk diambil dari dana negara yang khusus dialokasikan untuk tujuan ini. Section 242 Konstitusi Thailand menegaskan hak rakyat untuk mendapatkan bantuan hukum dari negara. Thailand juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang memberikan jaminan untuk hak ini. Namun demikian tidak ada undang-undang yang diturunkan dari ketentuan undang-undang dasar ini.68

67

T. Rutanosoth., S. Thongprapal., S. Criteria fof Legal Aid, Singapore Law Review, Vol. 3, 1971/1972, hlm. 71-72.

68

53 Sistem ini menyediakan pembelaan terutama untuk perkara pidana yang mewajibkan adanya pembela. Konstitusi mewajibkan negara untuk menyediakan bantuan hukum cuma-cuma mulai dari pengusutan sampai pemeriksaan di pengadilan sebagai prasyarat mutlak untuk keabsahan suatu pemeriksaan yang jika tidak dipenuhi akan mengarah pada putusan pada tingkat banding. Pasal 173 Criminal Procedural Code(CPC) mewajibkan pengadilan untuk menyediakan pembela bagi terdakwa yang diancam dengan hukuman mati. Kewajiban ini juga ditetapkan jika terdakwa adalah terdakwa anak. Sedangkan dalam perkara perdata, yang berhak mendapatkan pendampingan hukum hanya mereka yang miskin. Selain itu sebagian perkara ditangani oleh The Lawyers Council of Thailand (LCT) yang dibentuk berdasarkan sebuah undang-undang pada tahun 1985 sebagai organisasi profesi untuk praktisi hukum. Advokat yang bergabung di LCT juga membela perkara yang menjadi kepentingan umum, seperti perkara-perkara lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan perkara-perkara perlindungan konsumen dengan bekerja sama dengan NGO. Sebagian dana yang dibutuhkan oleh LCT yang juga melaksanakan bantuan hukum ini disubsidi dengan dana yang disediakan oleh pemerintah sebesar US$ 1,3 juta per tahun.100

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis berpendapat, bahwa peran negara harus diperluas. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator dan donatur, tapi lebih dari itu negara harus bertindak sebagai aktor dan fasilitator. Untuk memperluas akses bantuan hukum, model yang penulis tawarkan adalah melalui model sistem tiga jalur (triple tract system), yaitu negara (pemerintah) membentuk Komisi bantuan Hukum Nasional yakni lembaga khusus sebagai pembela umum (public defender) yang sepenuhnya didanai oleh negara untuk melaksanakan bantuan hukum dan mempekerjakan sejumlah pengacara, disamping itu juga bantuan hukum yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan oleh advokat/organisasi advokat.

54

DAFTAR PUSTAKA

Anies Baswedan, Merawat Tenun Kebangsaan Refleksi Ihwal Kepemimpinan, Demokrasi, dan Pendidikan, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2015. Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas

Kasihan , Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.

Goldie, Cassandra, ―Legal Aid and Acces to Justice in Australia; The Role of Legal Aid to Promote Acces to Justice for Marginalized in The

Contex of Human Rights.‖ , (makalah disampaikan pada seminar

Internasional Tentang: Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinan dalam Kontek Hak Asasi Manusia, Jakarta, 29 April 2006).

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56a74ee917a37/rasio-jumlah-pengacara- dan-penduduk-di-empat-provinsi.

http://www.mitrahukum.org/publikasi/opini/bantuan-hukum-dalam-perspektif- tanggungjawab-negara/.

Ichsan Zikry, Membentuk Perspektif Keadilan Sosial Dalam Sistem Peradilan Pidana Melalui Bantuan Hukum Struktural Studi Kasus: Salah Tangkap 6 Orang Pengamen Cipulir, Proceeding INCLE 2nd Conference Diversity Of Clinical Legal Education And The Road To Social Justice 11 – 13 May 2016, Universitas Udayana, Bali, Indonesia. Irawan Taufik, Sinergitas Peran Dan Tanggung Jawab Advokat Dan Negara

Dalam Pemberian Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Jurnal Rechtsvinding BPHN Volume 2 Nomor 1, April 2013.

Kaelan, negara Kebangsaan Pancasila Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan Aktualisasinya, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2013.

Mochamad Adib Zain, Ananda Prima Yurista dan Mailinda Eka Yuniza, Jurnal Penelitian Hukum, volume 1 Nomor 2 Juli 2014.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Bantua Hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Naskah akademik ruu bantuan hukum, yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia,

Ni Komang Sutrisni, Tanggung Jawab Negara Dan Peranan Advokat Dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Tidak Mampu, Jurnal Advokasi Vol. 5 No.2 September 2015.

55 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir catatan kritis tentang pergulatan

Manusia dan Hukum, Kompas, Jakarta, 2007.

T. Rutanosoth., S. Thongprapal., S. Criteria fof Legal Aid, Singapore Law Review, Vol. 3, 1971/1972, hlm. 71-72.

Tim kerja Sosialisasi empat Pilar, Empat Pilar Kehidupan berbangsa dan bernegara, Sekretariat jenderal MPR RI, Jakarta, 2012.

Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktur (Jakarta: Lp3es, 1986).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2003 tentang Advokat. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia dan AusAID, Panduan Bantuan

Hukum di Indonesia pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2014.

56

Peran Klinik Hukum Perempuan dan Anak dalam Upaya Mendorong Peningkatan Kesadaran Atas Pentingnya Perlindungan Perempuan dan Anak di Kampus

Lidwina Inge Nutjahyo69lidwina.inge@ui. ac.id Irena Lucy Ihsimora70irenalucy@ui.ac.i d Abstrak

Tujuan pembentukan klinik hukum di kampus bukan hanya sebagai sarana bagi mahasiswa fakultas hukum untuk belajar dengan mempergunakan metode experential based learning. Akan tetapi klinik hukum juga diselenggarakan dalam rangka menanamkan sikap pro keadilan sosial,. Salah satu bentuk upaya penanaman sikap pro keadilan sosial itu dilakukan melalui upaya mendorong mahasiswa peserta klinik atau lulusan klinik hukum aktif berperan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi di komunitasnya. Hal tersebut dilaksanakan oleh para lulusan Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mereka setelah memperoleh pemahaman dan pengalaman bekerja mengadvokasi perlindungan perempuan dan anak di Klinik, mencoba untuk menularkan pengetahuan dan pengalamannya itu kepada kawan-kawan mahasiswa di sivitas akademika UI. Beberapa gerakan yang telah dimulai antara lain sosialisasi himbauan anti kekerasan seksual dan pembentukan jaringan pelaporan khusus untuk mahasiswa/mahasiswi yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus. Tulisan ini pertama-tama menyampaikan ide bahwa manfaat kegiatan klinik seyogyanya tidak hanya berhenti pada mahasiswa yang terlibat kegiatan klinik. Penting untuk mendorong mahasiswa mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, dan memperkuat nilai keadilan sosial melalui berbagi manfaat yang diperolehnya melalui kuliah klinik hukum, kepada masyarakat. Dalam tulisan ini masyarakat yang dimaksud di dalamnya adalah peer group mahasiswa. Hal kedua yang disampaikan penulis adalah gambaran contoh kegiatan yang dilakukan mahasiswa Klinik Hukum Perempuan dan Anak yang dilakukan di dalam kampus.

Beberapa di antaranya adalah pengembangan gerakan ‗stop anti kekerasan

seksual‘ dan upaya mendirikan jaringan layanan pengaduan kekerasan berbasis kampus.

69 Dosen Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia

57 Pendahuluan

Catatan Tahunan yang dikeluarkan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Perempuan dan Anak (Komnas Perempuan) tahun 2016 menunjukkan bahwa dari 5.002 kasus, sebanyak 61% adalah termasuk kasus kekerasan seksual71. Dari prosentase tersebut, bentuk kekerasan seksual yang paling sering terjadi adalah perkosaan sebanyak 1.657 kasus. Disusul dengan pencabulan sebanyak 1.064 kasus. Pelecehan seksual berada pada posisi ketiga dari urutan bentuk kekerasan seksual yang terjadi, dengan jumlah 268 kasus. Di bawahnya terdapat bentuk kekerasan seksual lain sebanyak 130 kasus, yang sayangnya tidak dilengkapi keterangan tentang bentuk kekerasan tersebut apa saja. Pada tempat kelima terdapat kekerasan seksual dalam bentuk melarikan anak perempuan, sebanyak 49 kasus. Bentuk kekerasan seksual yang juga kerap terjadi dan berada di tempat kelima dalam Catahu adalah percobaan perkosaan sejumlah enam kasus.

Berdasarkan Peta Kekerasan terhadap Perempuan (2002), kekerasan seksual adalah segala bentuk tindakan yang mengandung makna seksual, di mana tindakan tersebut tidak diinginkan korban. Kekerasan seksual juga merujuk kepada berbagai bentuk pemaksaan untuk berhubungan seks.

Data dari Catahu Komnas Perempuan Tahun 2016 di atas menunjukkan bahwa kekerasan seksual di Indonesia amat sering terjadi. Akan tetapi perlu dipahami bahwa angka yang dipaparkan dalam Catahu hanyalah mencakup kasus-kasus yang dilaporkan. Para aktivis perlindungan hak perempuan dan anak menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual yang diketahui publik sering hanya merupakan pucuk gunung es. Artinya, data angka yang dipublikasi lembaga pemerintah sering hanya menggambarkan secuplik kecil saja dari belantara kasus kekerasan seksual yang jumlahnya sangat banyak.

Kasus Kekerasan Seksual Tidak Selalu Dilaporkan

Pertanyaan kemudian muncul. Mengapa tidak semua kasus kekerasan seksual dilaporkan? Apakah faktor-faktor penyebab kasus kejahatan seksual jarang dilaporkan? Dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, ada beberapa faktor penyebab amat khas yang membuat perempuan (dan anak perempuan) enggan melaporkan kekerasan (fisik, psikis maupun seksual) yang terjadi pada dirinya. Pertama, korban tidak paham bahwa dirinya menjadi korban. Kedua, korban memiliki hubungan ketergantungan dengan pelaku atau keluarga pelaku. Hal ini terjadi sebagian besar dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup keluarga, atau ketika korban dan pelaku memiliki relasi karena pekerjaan di mana korban adalah pekerja yang nasibnya tergantung pada pelaku yang memberi kerja, atau korban tergantung secara ekonomi. Kemudian faktor ketiga, ada ancaman dari pelaku atau keluarga pelaku. Keempat, tekanan keluarga korban

58 sendiri yang merasa malu atas peristiwa yang menimpa korban. Kelima, proses hukum yang berbelit-belit dan belum kondusif terhadap situasi korban sehingga menyebabkan korban enggan melapor (Wulandari, 2015; Nurtjahyo 2015). Ditambah lagi faktor keenam, tekanan dari komunitas atau lembaga tempat korban dan atau pelaku berada. Bartky (2005) menambahkan dua faktor lagi penyebab para korban enggan melapor: ketidakpahaman atas bahasa hukum dan rasa terintimidasi korban yang timbul atas sikap para aparat penegak hukum. Ketidakpahaman atas bahasa hukum, membuat orang kemudian sulit memahami bagaimana sebetulnya hak-haknya diatur di dalam hukum karena bahasa hukum tidaklah sesederhana laras bahasa sehari-hari. Tidak hanya sulit memahami soal perlindungan hak, orang juga akan mengalami kesulitan mencerna informasi berkaitan dengan mekanisme dan prosedur untuk mempertahankan atau melindungi hak-haknya tersebut.

Ketidakmampuan orang memahami bahwa haknya dilindungi di dalam hukum serta mekanisme dan prosedur yang harus dilalui dalam rangka melindungi hak (- hak) itu, membuat orang enggan untuk melakukan pelaporan atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Dengan demikian menjadi amat penting untuk membuat suatu mekanisme pelaporan yang mudah diakses, sederhana serta melindungi korban. Hal ini menjadi salah satu isu yang dibahas di dalam makalah ini.

Hal lain yang menarik untuk dijelaskan lebih lanjut terkait dengan data dari Catahu adalah wilayah terjadinya kekerasan seksual itu. Catahu membedakan wilayah terjadinya kekerasan seksual atas ranah personal – di dalamnya termasuk kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga/keluarga atau sering diebut sebagai KDRT; ranah komunitas – termasuk di dalamnya tempat bekerja, lingkungan sekitar rumah/tetangga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan; dan sebagainya. Jadi, berdasarkan Catahu, terlihat bahwa kekerasan seksual dapat atau mungkin terjadi pada lingkup tempat bekerja, lingkungan sekolah termasuk juga kampus. Makalah ini secara khusus fokus pada kampus sebagai locus terjadinya kekerasan seksual, karena kampus sebagai ruang publik dan tempat dilaksanakannya kegiatan akademis ternyata tidak steril dari kejahatan seksual.

Pemilihan kampus untuk dibahas sebagai ruang terjadinya kejahatan seksual, di dalam makalah ini, disebabkan juga karena penulis, sebagai pihak yang berkecimpung di kampus, merasa memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan perlindungan terhadap hak-hak korban kekerasan seksual pada komunitas yang terdapat di kampus. Khususnya perlindungan untuk korban kekerasan seksual yang berstatus mahasiswa. Kepedulian ini muncul karena para penulis bekerja bersama di dalam Klinik Hukum Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Klinik). Berangkat dari pengalaman bersama di Klinik tersebut, para penulis sepakat untuk menulis dan mengembangkan makalah ini.

59 Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan (Kampus)

Kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Hal ini tidak mengecualikan lingkungan akademik seperti universitas sebagai tempat terjadinya kekerasan seksual, mahasiswa sebagai korban maupun sebagai pelaku. Makalah ini didasarkan pada data hasil penelitian dan pelaporan yang masuk baik melalui Klinik Hukum Perempuan dan Anak maupun lewat BEM. Secara khusus, data yang ditampilkan adalah data kasus yang terjadi di FHUI. Sebetulnya cakupan laporan dan penelitian tidak hanya di FHUI melainkan di kampus-kampus lain juga. Akan tetapi untuk alasan metodologis dan demi keakuratan data, penulis fokus pada data kasus yang terjadi di FHUI untuk makalah ini.

Pada tahun 2016, sebanyak sembilan kasus yang terlapor kepada Badan Eksekutif Mahasiswa FHUI.72 Kasus-kasus ini terjadi dari rentang waktu 2014- 2016. Dari sembilan kasus, tujuh kasus dilakukan oleh mahasiswa FHUI dengan korban mahasiswa FHUI; dan dua kasus lainnya dilakukan oleh pihak eksternal namun korbannya adalah mahasiswa FHUI. Korban yang tercatat hingga saat ini sebanyak 33 orang. Korban terdiri dari 23 mahasiswa FHUI dan 10 mahasiswa dari universitas lain. Dari sembilan kasus ini terdapat tiga kasus yang korbannya untuk tiap kasus lebih dari satu orang.

Tabel 1. Data Laporan Kekerasan Seksual di FHUI Tahun 2016

No Pelaku Jumlah Korban Bentuk Kejahatan

1 Mahasiswa T 5 orang mahasiswa FHUI Percobaan perkosaan (4), Pencabulan (1) 2 Mahasiswa B 1 orang mahasiswa FHUI Pelecehan seksual

3 Mahasiswa C 1 orang mahasiswa FHUI Kekerasan dalam pacaran

4 Mahasiswa R

7 orang mahasiswa

FHUI, 10 orang mahasiswa universitas lain Pelecehan seksual,