BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta perhatian
serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan.1 Hukum Jaminan memiliki
kaitan yang erat dengan bidang hukum benda. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal
dalam hukum positif adalah jaminan fidusia dan gadai. Jaminan fidusia, sebagai lembaga jaminan
atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya
fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam
undang-undang tersendiri.2
Istilah Fidusia barasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie dan dalam bahasa Inggris disebut
fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam berbagai literatur, fidusia lazim
disebut dengan istilah Fiduciare eigendom overdract (FEO) yaitu penyerahan hak milik
berdasarkan kepercayaan. Dalam Bahasa Belanda disebut juga dengan Zekerheids eigendom
artinya hak milik sebagai kepercayaan.
Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai
dengan arti kata, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima
fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya
bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah
1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1.
2 Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 dan UU No. 4
dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.
Menurut Mahadi “fidusia” berasal dari bahasa latin yang artinya kepercayaan tehadap
seseorang atau sesuatu, pengharapan yang besar. Juga ada kata “fido” yangmerupakan kata kerja
yang berarti mempercayai seseorang atau sesuatu.3 Subekti menjelaskan arti kata “fiduciair”
adalah kepercayaan yang diberikan secara bertimbal balik oleh satu pihak kepada yang lain, bahwa
apa yang keluar ditampakkan sebagai pemindahan milik, hanya suatu jaminan saja untuk suatu
utang.4
Fidusia adalah suatu istilah yang berasal dari hukum Romawi, yang memiliki dua
pengertian yakni sebagai kata kerja dan kata sifat. Sebagai kata benda, istilah fidusia mempunyai
arti seorang yang diberi amanah untuk mengurus kepentingan pihak ketiga dengan itikad baik,
penuh ketelitian, bersikap hati-hati dan berterus terang. Orang yang diberi kepercayaan dibebani
kewajiban melakukan perbuatan untuk kemanfaatan orang lain. Sebagai kata sifat istilah fidusia
menunjukkan pengertian tentang hal yang berhubungan dengan kepercayaan (trust).
Di dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia dijumpai, pengertian fidusia yaitu: “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda”.
Pengertian pengalihan hak kepemilikan adalah pemindahan hak kepemilikan dari pemberi
fidusia kepada penerima fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi
objeknya tetap berada di tangan pemberi fidusia. Jadi fidusia itu merupakan suatu cara pemindahan
hak milik dari (debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada
3 Mahadi, Hak Milik dalam Hukum Perdata Nasional, Proyek BPHN: 1981, hal. 61.
kreditur, tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridis levering dan hanya dimiliki oleh
kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang debitur), barangnya tetap dikuasai oleh
debitur.
Bentuk rincian dari constitutum Prossesorium (penyerahan kepemilikan benda tanpa
penyerahan fisik benda sama sekali), fidusia ini pada prinsipnya dilakukan melalui proses tiga fase
yaitu:
a. Fase I: Fase perjanjian obligatoir (obligatoir overeenskomst)
Yaitu berupa perjanjian pinjam uang dengan jaminan fidusia antara pihak pemberi fidusia
dengan pihak penerima fidusia.
b. Fase II: Fase perjanjian kebendaan (zakelijke overeenskomst)
Yaitu perjanjian berupa penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur, dalam hal ini
dilakukan dengan penyerahan hak milik tanpa penyerahan fisik benda (constitutum
prossessorium).
c. Fase III: Fase perjanjian pinjam pakai
Dalam hal ini benda objek fidusia yang hak miliknya sudah berpindah kepada pihak
kreditur dipinjampakaikan kepada pihak debitur, sehingga praktis benda tersebut, setelah
diikat dengan jaminan fidusia tetap saja dikuasai secara fisik oleh pihak debitur.5
Perkembangan fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, pengakuan fidusia dalam
yurisprudensi sampai diaturnya jaminan fidusia dalam undang-undang. Pada awalnya, lembaga
fidusia dikenal dalam hukum Romawi dengan nama Fidusia Cum Creditore dengan nama
lengkapnya adalah Fiducia Cum Creditore Contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat
dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada
kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan
kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas. Dengan
fiducia cum creditore ini maka kewenangan yang dimiliki oleh kreditur akan lebih besar yaitu
sebagai pemilik atas barang yang diserahkan sebagai jaminan. Debitur percaya bahwa kreditur
tidak akan menyalahgunakan wewenang yang diberikan itu. Kekuatannya hanya terbatas pada
kepercayaan secara moral saja dan bukan kekuatan hukum yang pasti. Debitur tidak akan dapat
berbuat apa-apa jika kreditur tidak mau mengembalikan hak milik atas barang yang diserahkan
sebagai jaminan.
Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara Aw de Haan V. Heinken Bierbrouwerij
Maafschappij tanggal 25 Januari 1929 fidusia telah diakui sebagai lembaga jaminan dengan objek
benda berupa inventaris perusahaan. Putusan Hooge Raad tersebut merupakan awal bagi
perkembangan hukum fidusia di Belanda. Fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil
penemuan hukum oleh hakim (recthvinding), sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai
(pand) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.6
Menurut Sri Soedewi latar belakang timbulnya jaminan fidusia adalah “Karena ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai (pand) mengandung banyak kekurangan,
tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat”.7
Dan Menurut Salim HS gadai mempunyai beberapa hambatan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang meliputi:
1. Adanya asas inbezitstelling
Asas ini mensyaratkan bahwa kekuasaan atas bendanya harus pindah/berada pada
pemegang gadai, sebagaimana yang diatur dalam pasal 1152 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ini merupakan hambatan yang berat bagi gadai atas benda-benda bergerak
berujud, karena pemberi gadai tidak dapat menggunakan benda-benda tersebut untuk
keperluannya.
2. Gadai atas surat-surat piutang
Kelemahan dalam pelaksanaan gadai atas surat-surat piutang ini karena:
a. Tidak adanya ketentuan tentang cara penarikan dari piutang-piutang oleh si
pemegang gadai.
b. Tidak adanya ketentuan mengenai bentuk tertentu bagaimana gadai itu harus
dilaksanakan, misalnya mengenai cara pemberitahuan tentang adanya gadai
piutang-piutang tersebut kepada si debitur surat utang.
c. Ketiadaan kepastian berkedudukan sebagai kreditur terkuat, sebagaimana tampak
dalam hal membagi hasil eksekusi, kreditur lain, yaitu pemegang hak privilege dapat
berkedudukan lebih tinggi dari pada pemegang gadai”.8
Menurut Munir Fuady ada beberapa hal yang mendasari lahirnya jaminan fidusia, antara
lain:
1. Dalam praktek terdapat kasus dimana benda yang menjadi objek jaminan utang adalah
tergolong benda bergerak tetapi pihak debitur enggan menyerahkan kekuasaan atas benda
tersebut kepada kreditur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan bahkan
kerepotan jika benda tersebut diserahkan kepadanya. Karena itu dibutuhkan suatu bentuk
jaminan utang yang objeknya benda bergerak tetapi tanpa menyerahkan kekuasaan atas
benda itu kepada kreditur. Inilah yang disebut dengan jaminan fidusia.
2. Adanya hak atas tanah tertentu yang tidak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan,
misalnya hak pakai atas tanah. Sehingga hak pakai atas tanah tersebut diikat dengan
jaminan fidusia.
3. Ada benda-benda yang sebenarnya termasuk benda-benda bergerak tetapi mempunyai
sifat-sifat seperti benda tidak bergerak sehingga pengikatannya dengan gadai dirasa tidak
cukup, terutama karena adanya kewajiban menyerahkan kekuasaan dari jaminan tersebut.
Karena itu jaminan fidusia menjadi pilihan.
4. Perkembangan kepemilikan atas benda-benda tertentu tidak selamanya dapat diikuti oleh
perkembangan hukum jaminan, sehingga ada hak-hak atas benda yang sebenarnya tidak
bergerak tetapi tidak dapat diikatkan dengan hipotik.
5. Adakalanya pihak kreditur dan debitur tidak keberatan agar diikatkan jaminan utang berupa
gadai, tetapi benda yang dijaminkan karena sesuatu hal tidak dapat diserahkan
kepemilikannya kepada kreditur, misalnya saham yang belum dicetak sertifikatnya. Karena
itu timbul fidusia saham”.9
Dengan adanya berbagai kelemahan di atas, dalam praktik timbul lembaga baru yaitu
fidusia. Selain fakta di atas yang melatar belakangi lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Fidusia berdasarkan keadaan sekarang, tercantum dalam konsiderannya yaitu:
1. Kebutuhan yang sangat besar dan terus mengikat bagi dunia usaha atas tersedianya dana,
perlu diimbangi dengan adanya ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur
mengenai lembaga jaminan.
2. Pengaturan lembaga jaminan fidusia masih didasarkan pada yurisprudensi.
3. Dalam rangka memberi kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pihak yang
berkepentingan.
Di Indonesia, kasus jaminan fidusia untuk pertama kali diputus oleh Mahkamah Agung
(MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18
Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah benda bergerak/mobil. Hooggerechtschof dengan
arrestnya tanggal 16 Februari 1933 menetapkan bahwa hak grant (grant recht) dapat dijadikan
objek jaminan fidusia.
Dalam bidang perundang-undangan, perkembangan objek fidusia dapat dilihat setelah
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria. “Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak
atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna
bangunan dan hak guna usaha”.10
Dalam surat Direktur Jenderal Agraria No.D1133/73/3/73 tanggal 26 Maret 1973
dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik (sekararang hak tanggungan).
Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan
atas bangunan di atas tanah hak sewa.11
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Undang-Undang Rumah Susun,
objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang didirikan diatas tanah hak pakai
atau tanah negara.12 Dalam UU No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Pemukiman, objek
10 Lihat Pasal 25, 39, dan Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1960.
11 Sumardi Mangunkusumo, Fidusia Bangunan-Bangunan Di Atas Tanah Hak Sewa, (1972) Hukum dan Keadilan No. 3
Tahun ke III, Juni: hal. 2.
fidusia adalah rumah, tidak diatur secara rinci apakah rumah itu didirikan di atas suatu jenis hak
atas tanah tertentu.13
Berbeda halnya dengan Undang-Undang Rumah Susun yang menegaskan objek jaminan
fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman No. 4
Tahun 1992 yang diutamakan sebagai jaminan utang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah.
Sejak keluarnya UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, ketentuan fidusia dalam
Undang-Undang Rumah Susun dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan
fidusia dalam Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman masih berlaku.14 Selanjutnya dalam
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, tidak dinyatakan secara tegas
benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan fidusia. Hanya saja
diberlakukan ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia.15
Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia dinyatakan bahwa:
“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditur lainnya”.
Jadi dapat diketahui bahwa benda-benda yang dapat dijadikan jaminan utang dengan
pembebanan fidusia meliputi benda bergerak dan benda tidak bergerak. “Benda tidak bergerak”
13 Lihat Pasal 15 dan Penjelasannya UU No. 4 Tahun 1992. 14 Lihat Pasal 27 UU No. 4 Tahun 1992.
15 Lihat Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999, Bandingkan dengan Pengaturan Objek Hak Tanggungan dalam Pasal 4
yang dimaksudkan ialah bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan yaitu
bangunan di atas tanah hak milik orang lain.
Sebelum berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang menjadi
objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory),
benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kenderaan bermotor. Dengan berlakunya
Undang-Undang Jaminan Fidusia, maka objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas, yang antara
lain terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda yang
menjadi objek jaminan fidusia adalah:
1. Benda itu harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum
2. Benda berwujud dan benda tidak berwujud, termasuk piutang
3. Benda bergerak dan tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan
4. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hipotik
5. Dapat atas satu satuan atau jenis benda dan lebih dari satu jenis atau satuan benda
6. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia dan juga hasil klaim
asuransi objek jaminan fidusia tersebut.
7. Benda persediaan (inventory).
Hukum benda adalah sub sistem dari sistim hukum perdata nasional di satu sisi dan di sisi
lain hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan hukum perdata nasional. Oleh
karena itu penyusunan hukum benda harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Hal ini
penting mengingat penjelasan Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang
isinya adalah: ”Bangunan di atas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, dapat dijadikan objek
isinya: “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun
yang tak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik”.
Fidusia memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan kredit bagi masyarakat,
khususnya perusahaan kecil dan menengah sangat membantu usaha debitur. Oleh karena itu,
kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda.
Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha sehari-hari, pihak
perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. “Bank tidak perlu
menyediakan tempat khusus barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand)”.16 Dalam
perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat
2 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang isinya: “Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang
atau oleh seorang lain atas namanya …”.
Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang usaha debitur.
Dan “Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya bank
-bank di kota besar, karena tidak adanya gudang-gudang yang cukup luas yang mereka miliki”.17
Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum
jaminan melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat.
Namun lebih lanjut dalam penelitian ini, penulis akan membahas terkait perbedaan fidusia
dan gadai, dimana fidusia harus didaftarkan namun gadai tidak perlu didaftarkan. Maka terlebih
dahulu dilihat berkaitan dengan hukum secara umum, pada prinsipnya hukum dibagi dua, yaitu
hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum privat mengandung
16 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75.
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan
pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).18
Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap
individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan,
jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain.Sebagaimana dalam KUHPerdata dibagi
dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan,
dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa.19
Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang
menyangkut kepentingan umum. Hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum
atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau
melindungi kepentingan umum.20 Sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHPidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II
tentang kejahatan, dan buku III tentang pelanggaran.21 Hukum publik misalnya hukum pidana,
hukum tata negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.22
Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam hukum perdata
diserahkan kepada orang-perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak
dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Maka terdapatlah asas, yaitu asas
personalitas atau privity of contract yang berakar dari postulat yang bersifat universal bahwa
manusia mengetahui apa terbaik bagi dirinya sendiri dalam mengadakan hubungan kontraktual.
Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke
18 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9. 19 J. Satrio (II), Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1999, hlm. 1.
pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran
kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah
piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si
kreditur.23
Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin
orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya.
Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian apabila yang terjadi itu adalah kejahatan
penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga, dan sebagainya.24
Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku
secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat
berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan
hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk
melakukan suatu tindakan kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik
perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).25
Dalam fidusia, benda jaminan tidak diserahkan secara nyata oleh debitor kepada kreditor,
yang diserahkan hanyalah hak milik secara kepercayaan. Benda jaminan masih tetap dikuasai oleh
debitor dan debitor masih tetap dapat mempergunakan untuk keperluan sehari-hari. Jaminan
fidusia dituangkan dalam bentuk perjanjian. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor
mencantumkan dalam perjanjian itu bahwa debitor harus menyerahkan barang-barang tertentu
sebagai jaminan pelunasan utangnya.26
23Ibid.
24 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan. Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika,
2002, hlm. 10.
25Ibid.
Lain halnya dengan gadai, benda jaminan secara fisik berada di bawah penguasaan
Kreditur/Penerima Gadai atau pihak ketiga yang telah disetujui kedua belah pihak. Penerima
Gadai/Kreditur bertanggung jawab untuk hilangnya atau kemerosotan barangnya sekedar itu telah
terjadi karena kelalaiannya dan harus memberitahukan Pemberi Gadai, jika benda gadai dijual
sertra bertanggungjawab terhadap penjualan benda gadai.27
Pemberi Gadai diwajibkan mengganti kepada kreditur segala biaya yang berguna dan
perlu, yang telah dikeluarkan oleh pihak yang tersebut belakangan guna keselamatan barang
gadainya. Penerima Gadai mempunyai hak penguasaan benda gadai, namun tidak mempunyai hak
untuk memiliki benda gadai. Dalam hal debitur wanprestasi, untuk menjual dengan kekuasaan
sendiri (parate eksekusi), sehingga hak untuk penjualan benda gadai tidak diperlukan adanya title
eksekutorial. Penerima Gadai/ Pemegang Gadai dapat melaksanakan penjualan tanpa adanya
penetapan Pengadilan, tanpa perlu adanya juru sita ataupun mendahului dengan penyitaan.
Menjual benda gadai dengan perantaraan hakim, dimana kreditur dapat memohon pada hakim
untuk menentukan cara penjualan benda gadai. Mendapat ganti rugi berupa biaya yang perlu dan
berguna yang telah dikeluarkan guna keselamatan barang gadai dan mempunyai retensi (menahan)
benda gadai, bilamana selama hutang pokok, bunga, dan ongkos-ongkos yang menjadi tanggungan
belum dilunasi maka si berhutang/debitur maka debitur tidak berkuasa menuntut pengembalian
benda gadai.
Gadai didahulukan (kreditur preferen) pelunasan piutangnya terhadap kreditur lainnya, hal
tersebut diwujudkan melalui parate eksekusi ataupun dengan permohonan kepada Hakim dalam
cara bentuk penjualan barang gadai. Pemberi Gadai tetap mempunyai hak milik atas Benda Gadai.
27 Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, PT Citra Aditya Bakti, 1991,
Hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia mengenal asas kepribadian (privity of
contract) yang maknanya adalah perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Inti
ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Lebih lanjut Pasal 1350 KUHPer menyebutkan perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
yang membuatnya, namun ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana diintrodusir dalam Pasal
1317 KUHPer. Namun dalam perjanjian jaminan fidusia, asas Privity of Contract ini patut untuk
dipertanyakan eksistensinya, karena dalam Pasal 11 UUJF mengharuskan setiap perjanjian
jaminan fidusia wajib untuk didaftarkan, baik jaminan yang ada di dalam negeri maupun di luar
negeri.
Bertitik tolak dari uraian di atas, maka masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah
Hakikat hukum dalam rangka campur tangan pemerintah terhadap warga negaranya terkait dengan
konsep ranah hukum publik yang memasuki ranah hukum privat. Sehingga penulis memilih judul
INTERVENSI NEGARA DALAM RANAH HUKUM PRIVAT : STUDI KOMPARASI
ANTARA LEMBAGA JAMINAN FIDUSIA DAN GADAI.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam thesis ini Penulis rumuskan ke dalam
rumusan masalah:
1. Bagaimana perbandingan antara jaminan fidusia dan gadai?
2. Bagaimanakah intervensi Negara pada jaminan fidusia dan gadai?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui perbandingan antara jaminan fidusia dan gadai.
2. Untuk mengetahui intervensi Negara pada jaminan fidusia dan gadai.
D. Keaslian Penelitian
Thesis dengan topik ini adalah merupakan suatu penelitian yang orisinil. Sebab, Penulis
belum menemukan penelitian dan penulisan yang benar-benar sama dan serupa dengan topik
ini, yang pernah dilakukan sebelumnya oleh mahasiswa Magister Hukum Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Penelitian tentang jaminan fidusia dan gadai ini sudah beberapa ditulis
dalam bentuk tesis, namun isi dari penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Penelitian
tersebut antara lain sebagai berikut:
Tabel. 1. Tabel Perbedaan penelitian Jaminan Fidusia Dan Gadai
No Nama Judul Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh mengenai pengaturan pendaftaran jaminan fidusia dalam sistem hukum indonesia adalah dengan melakukan analisa pada 6 (enam) peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit dan jaminan fidusia, yang mana ada beberapa peraturan yang mengatur namun belum jelas dan tegas serta ada beberapa peraturan yang tidak mengatur sama sekali mengenai pendaftaran jaminan fidusia dan akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi.
Kemudian hasil penelitian mengenai akibat hukum pendaftaran jaminan fidusia setelah debitur wanprestasi adalah tetap dapat
dilakukannya pengeksekusian
jaminan fidusia terhadap debitur yang
wanprestasi karena kantor
fidusia, yang mana hal ini sesuai disimpulkan hal yang sebenarnya harus didaftar dalam jaminan fidusia adalah pendaftaran terhadap ikatan jaminannya. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UUJF. Di samping itu dengan melakukan pendaftaran ikatan jaminan dalam fidusia, maka perlindungan terhadap kreditur akan lebih aman atau terlindungi jika dibandingkan dengan melakukan pendaftaran terhadap benda.
Perlindungan yang diberikan oleh undang-undang terhadap kreditur dengan obyek jaminan fidusia berupa stok barang dagangan telah sangat mencukupi, yaitu jika yang didaftar dalam pendaftaran jaminan fidusia adalah berupa ikatan jaminan. Dengan ikatan jaminan kreditur dapat
melakukan pemenuhan haknya
dengan mengeksekusi obyek jaminan fidusia sesuai dengan yang terdapat dalam lampiran tentang rincian benda dan jika benda yang dijadikan obyek jaminan tidak ada sesuai dengan lampiran rincian, maka kreditur tetap bisa menuntut pemenuhan haknya sesuai dengan nilai benda yang Lembaga Jaminan Fidusia Dan Gadai)
membahas masalah
intervensi negara terhadap hukum diranah privat, dimana ranah privat yang dimaksud adalah terkait perjanjian fidusia yang akan dibandingkan dengan gadai. Bentuk intervensi itu adalah Kewajiban atau suatu keharusan pihak yang
melakukan perjanjian harus
didaftarkan, dalam hal ini perjanjian fidusia. Maka dalam hal ini asas
Privity of Contract tidak lagi menjadi asas yang pribadi karena intervensi dari UUJF. Maka nampak bahwa perjanjian yang sejatinya merupakan
undang-undang bagi yang
pengundangan undang-undang a quo
beserta peraturan pelaksanaannya. Sedangkan dalam perjanjian gadai tidak memerlukan pendaftaran, sehingga bentuk intervensi negara tidak nampak.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik dari segi teoritis maupun
praktis.
a.Segi Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan Ilmu Hukum, khususnya hukum jaminan.
b. Segi Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif sebagai
bahan masukan kepada para perumus peraturan perundang-undangan di Dewan Perwakilan
Rakyat, supaya dalam penyusunannya, serta ketepatan perumusan kaedah-kaedah dan
asas-asas hukum dapat melindungi para pihak dalam praktek fidusia dan juga dalam praktek gadai.
Sehingga bisa tepat dalam menentukan intervensi negara terhadap hukum privat.
F. Kerangka Teori
Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum
alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan
Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu
boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah
cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan
melalui hukum dan moral.
Menurut Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah ketentuan akal yang
bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus
masyarakat untuk disebarluaskan.
Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan
ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataann justru tulisan-tulisan pakar
yang menolak itu, banyak menggunakan paham hukum alam yang kemungkinan tidak
disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap
hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari
hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sai-sia dan tidak bermanfaat.28
Pada dasarnya setiap manusia terlahir sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
(YME) yang secara kodrati mendapatkan hak dasar yaitu kebebasan, hak hidup, hak untuk
dilindungi, dan hak yang lainnya. Hal ini senada dengan prinsip hukum alam pada abad ke-18
yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio, salah satu penganutnya adalah Locke, menurut
Locke teori hukum beranjak dari dua hal di atas yaitu kebebasan individu dan keutamaan rasio.
Ia juga mengajarkan pada kontrak sosial.
Menurutnya manusia yang melakukan kontrak sosial adalah manusia yang tertib dan
menghargai kebebasan, hak hidup dan pemilikan harta sebagai hak bawaan manusia. Menurut
Locke masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang tidak melanggar hak-hak dasar manusia.
Menurut locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak
sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial,
dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut
justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin
mengancam, baik datang dari dalam maupun dair luar. Begitulah, hukum yang dibuat dalam
negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.29
Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan
kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan makhluk
berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya.
Kemakmuran dan kebahagian rakyat merupakan tujuan negara dan hukum, oleh karena itu,
hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara.30
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat
karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya
dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.31 Kepentingan
hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.32
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu
ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya
merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara
29 Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan MarkusY. Hage, Op. Cit, hal. 72-73. 30Ibied., 75
anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili
kepentingak masyarakat.
Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hokum dapat difungsikan untuk
mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga
prediktif dan antisipatif.33
Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang
lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.34
Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.35 Perlindungan hukum yang preventif
bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah berikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan bwedasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga
peradilan.36
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang
diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni
adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam
praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar
tersebut bersamaan.
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, bidang hukum yang minta perhatian
serius dalam pembinaan di antaranya adalah bidang hukum jaminan.37 Istilah jaminan merupakan
terjemahan dari bahasa belanda, yaituzakerheid atau cautie. zakerheid atau cautie mencakup secara
umum cara-cara kreditur menjamian dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungjawab
umum debitur terhadap barang-barangnya.selain istilah jaminan dikenal juga istilah agunan.
Agunan adalah “ jaminan tambahan disertakan nasabah debitur kepada baik dalam rangka
mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Agunan merupakan
jaminan tambahan.
Unsur-unsur agunan yaitu jaminan tambahan, diserahkan oleh debitur kepada bank, untuk
mendapat fasilitas kredit atau pembiayaan. Menurut Hartono hadisoeprapto jaminan adalah “
sesuatu yang di berikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajibannya yang dapat di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan
Jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu, jaminan materiil (kebendaan) dan
jaminan imateriil (perorangan). Jaminan kebendaaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti
memberikan hak mandahului diatas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan
mengikuti benda yang bersangkutan . Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak
mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat
orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.
Hukum Jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum hukum perjanjian.
Hukum jaminan yang bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung prinsip
bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan utang untuk segala perikatan yang dibuat38.
37 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Bina Usaha: Yogyakarta, 1980, hal. 1.
Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah jaminan
fidusia, sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak dipergunakan oleh
masyarakat bisnis. Pada awalnya fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, sekarang jaminan
fidusia sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.39
Untuk menutupi kelemahan, perlu diperjanjikan secara khusus benda-benda tertentu dari
debitur yang diikat sebagai jaminan utang. Secara teoritis, jika seorang pemberi fidusia
wanprestasi, objek jaminan fidusia dapat dieksekusi, kalau harga jual melebihi utang debitur,
kreditur fidusia wajib mengembalikan kelebihan uang sisa penjualan kepada debiturnya.
Sebaliknya apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk membayar utang, debitur tetap
bertanggungjawab atas sisa utang tersebut.40
Debitur masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usaha sehari-hari, lebih
praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. Tidak perlu menyediakan tempat khusus
barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand)”.41 Dalam perjanjian gadai, barang jaminan
harus diserahkan kepada kreditur sesuai dengan pasal 1150 ayat 2 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata yang isinya:
“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya”.
Dengan syarat gadai tersebut barang jaminan tidak dapat lagi menunjang usaha debitur.
Dan “Bagi bank dapat menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan, khususnya
bank-bank di kota besar, karena tidak adanya gudang-gudang yang cukup luas yang mereka miliki”.42
39 Jaminan Fidusia diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999, sebelumnya diatur dalam UU No. 16 Tahun 1985 dan UU No. 4
Tahun 1992.
40 Lihat Pasal 34 UU No. 42 Tahun 1999.
41 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit., hal. 75.
Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum
jaminan melalui putusan pengadilan atas desakan kebutuhan masyarakat.
G. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Ilmu hukum sebagai ilmu normatif memiliki cara kerja yang khas sui generis.43
Penelitian ini merupakan penelitian hukum (penelitian yuridis) yang memiliki suatu
metode yang berbeda dengan penelitian lainnya. Metode penelitian hukum merupakan
suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.44 Metode penelitian hukm
normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan didalam penelitian hukum dengan
cara meneliti bahan pustaka yang ada.45 Agar tidak terjebak pada kesalahan yang umumnya
terjadi dalam sebuah penelitian hukum dengan memaksakan penggunaan format penelitian
empiris dalam ilmu sosial terhadap penelitian normatif (penelitian yuridis normatif).
Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum obyekti (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian
terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian
yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif.46
b. Pendekatan Penelitian
43Sui generis dalam peristilahan hukum adalah ilmu hukum merupakan ilmu jenis sendiri dalam hal cara kerja dan
sistem ilmiah. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
44 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 57
45 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11 (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal.13-14.
46Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian.47 Dari
ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang dikehendaki
adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang
berada di balik bahan hukum.
Sesuai dengan jenis penelitiannya yakni penelitian hukum normatif (yuridis
normatif), maka dapat digunakan lebih dari satu pendekatan.48 penelitian ini digunakan
pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konsep (conceptual
approach).49
Pendekatan undangan dilakukan untuk meneliti aturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai wajib daftar jaminan fidusia yakni UUJF dan KUHPer
yang memberikan batas waktu pendaftaran jaminan fidusia yakni Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012, sedangkan pendekatan konseptual (conceptual
approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di
dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandang-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran
bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.
c. Bahan Hukum
47 Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Rieneka Cipta, Jakarta, hal 23. 48 Jhonny Ibrahim, Op.Cit, hal300
Dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya data, sebab dalam penelitian hukum
khususnya yuridis normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari kepustakaan bukan
dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan hukum.50 Dalam penelitian
hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian
umumnya disebut bahan hukum sekunder.51 Dalam bahan hukum sekunder terbagi bahan
hukum primer dan sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Adapun bahan hukum primer terdiri dari :
a. KUHPerdata
b. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
c. Undang Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
e. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 130/PMK.010/2012
tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan yang
Melakukan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan
Pembebanan Jaminan Fidusia.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu
atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat
penjelasan di dalamnya. Bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah
buku-buku, thesis, jurnal dan dokumen-dokumen yang mengulas tentang jaminan
fidusia.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk
atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain.
H. Pertanggungjawaban Sistematika
Tesis ini berisi:
1. Bab Pendahuluan
Merupakan pendahuluan, yang berisikan hal-hal yang melatarbelakangi permasalahan
munculnya perjanjian fidusia dan gadai. Mengapa perjanjian fidusia dan gadai
berbeda? Dimana letak perbedaannya? kemudian bagaimana beralihnya hak kebendaan
dan bagaimana cara penyerahannya. Selanjutnya bagaimana peran negara untuk kedua
perjanjian tersebut. Hingga perumusan permasalahan secara tegas untuk menentukan
arah penelitian. Disamping itu, diuraikan juga mengenai tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab Tinjauan Pustaka
Merupakan uraian mengenai tinjauan umum mengenai hakikat kontrak, perjanjian
bagaimana perlindungan terhadap pihak ketiga di hukum positif Indonesia, dan
bagaimana bentuk intervensi negara terhadap perjanjian fidusia.
3. Bab Hasil Penelitian dan Analisis.
Merupakan hasil dari penelitian dan analisis dengan melihat uraian dalam bab tinjauan
pustaka, yaitu problematika intervensi negara terhadap peristiwa hukum diranah privat.
Dan bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum
dan dasar analisa yang digunakan pembahasan perjanjian fidusia dan gadai dalam
prakteknya, yang nantinya akan digunakan untuk membuat kesimpulan dan saran pada
bab penutupan.
4. Bab Penutup.
Dikemukakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu, sehingga
dapat ditarik kesimpulan mengenai arti penting dari latar belakang makna fidusia dan
intervensi negara terhadap fidusia. Saran-saran diketengahkan sebagai sumbangan
pemikiran ilmiah yang diharapkan dapat memberi masukan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sesuai cita-cita bangsa yang tertuang dalam norma dasar