• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Intervensi Negara dalam Ranah Hukum Privat: Studi Komparasi Antara Lembaga Jaminan Fidusia dan Gadai"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Bab ini berisi tinjauan pustaka. Uraian pertama akan menyangkut hakikat kontrak, yang di dalamnya membahas mengenai lembaga jaminan, lembaga fidusia, lembaga gadai dan perjanjian, sebagai dasar untuk menganalisis dan juga tentang bezit dan levering.

A. LEMBAGA JAMINAN 1. Pengertian Jaminan

Istilah Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhi tagihannya, di samping tanggung jawab umum debitur terhadap barang-barangnya. Istilah jaminan juga dikenal dengan agunan, yang dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, defenisi agunan adalah: “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah”. Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir). Tujuan

agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank, yang diserahkan oleh debitur kepada bank.

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggerakan di Yogyakarta, disimpulkan pengertian jaminan adalah: “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang

dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum”.1

(2)

Defenisi di atas hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh M. Bahsan yang berpendapat bahwa jaminan adalah: “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan

diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.2

2. Jenis Jaminan

Jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

1. Jaminan perorangan (personal/coorporate guarantee) diatur dalam pasal 1820-1864 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Jaminan Kebendaan

Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dihasilkan suatu rumusan bahwa jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri

“kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan

mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Seperti ditegaskan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “Penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga guna

kepentingan si kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si debitur manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya”.

Sri Soedewi Masjhoen memberikan pengertian jaminan kebendaan yaitu:

(3)

“Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Sedangkan jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,

terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.3

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi 4 macam, yaitu:

1. Gadai (pand), yang diatur di dalam Bab 20 Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2. Hak tanggungan, diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1996. 3. Jaminan Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999. 4. Jaminan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara.

Menurut Soebekti jaminan perorangan (immateril) adalah: “Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si

berutang (debitur)”.4

Yang termasuk jaminan perorangan adalah:

1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih. 2. Tanggung menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng.

3. Akibat hak dari tanggung renteng pasif, hubungan hak bersifat ekstren, hubungan hak antara para debitur dengan pihak lain (debitur). Hubungan hak bersifat intern, hubungan hak antara sesama debitur itu satu dengan yang lainnya.

3Sri Soedewi Masjhoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum dan Jaminan Perorangan, op. cit., hal. 46-47.

(4)

4. Perjanjian garansi Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.

Fungsi jaminan perorangan ini adalah sebagai jaminan/agunan tambahan seperti dimaksud dalam penjelasan Pasal 8 UU Perbankan No. 7 Tahun 1992. Pihak ketiga sebagai penjamin adalah: 1. Pengurus yang sekaligus menjadi pemegang saham atau pengendali perusahaan debitur. 2. Perusahaan yang menjadi pemegang saham atau pengendali perusahaan debitur. Cara

pengikatan jaminannya dibuat dengan akta notariil.

Dalam Jaminan perorangan ini pengurus yang menjadi penjamin disyaratkan, misalnya untuk menyerahkan agunan berupa tanah/rumah tinggal yang dimilikinya baik untuk pemberian kredit baru dan tambahan, atau untuk kredit yang berjalan. Dalam hal penjamin adalah perusahaan maka dimintakan Company Guarantee yang harus dilampiri dengan rincian harta kekayaan perusahaan sebagaimana tertuang dalam laporan keuangan perusahaan.

Secara yuridis penjamin tidak dapat dipaksa untuk menyerahkan daftar harta kekayaannya. Meskipun penjamin menyerahkan daftar harta kekayaannya, hak bank atas harta kekayaan penjamin tetap hanya terbatas pada jumlah dan syarat tertentu. Sebaiknya kewajiban untuk menyerahkan daftar harta kekayaan penjamin dilakukan secara kasuistis.

Di luar negeri lembaga jaminan dibagi menjadi 2 macam yaitu:

1. Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya (possessorium security) 2. Lembaga jaminan tanpa menguasai bendanya

Lembaga jaminan dengan menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, yang benda jaminannya berada pada penerima jaminan. Lembaga jaminan ini dibagi menjadi enam macam:

(5)

2. Lien, yaitu hak untuk menguasi bendanya sampai utang yang berkaitan dengan benda tersebut dibayar lunas

3. Mortgage with possession, yaitu pembebanan jaminan (hipotek) atas benda bergerak. Lembaga ini belum dikenal di Indonesia

4. Hire Purchase, yaitu perjanjian antara penjual sewa dan pembeli sewa, dan hak milik atas barang tersebut baru beralih setelah pelunasan yang terakhir

5. Conditional sale (pembelian bersyarat), yaitu perjanjian jual beli dengan syarat bahwa pemindahan hak atas barang baru terjadi setelah syarat dipenuhi, misalnya jika harga dibayar lunas

6. Credit sale, ialah jual beli di mana peralihan hak telah terjadi pada saat penyerahan

meskipun harga belum dibayar lunas”.5

Lembaga jaminan dengan tidak menguasai bendanya adalah suatu lembaga jaminan, dimana benda yang menjadi objek jaminan tidak berada atau tidak dikuasai oleh penerima jaminan. Yang termasuk lembaga jaminan ini adalah:

1. Mortage, yaitu pembebanan atas benda tak bergerak atau sama dengan hipotik.

2. Chattel Moetgage, yaitu mortgage atas benda-benda bergerak. Umumnya ialah mortgage atas kapal laut dan kapal terbang dengan tanpa menguasai bendanya.

3. Fiduciary transfer of ownership, yaitu perpindahan hak milik atas kepercayaan yang dipakai sebagai jaminan utang.

4. Leasing, yaitu suatu perjanjian dimana si peminjam (leassee) menyewa barang modal

untuk usaha tertentu dan jaminan angsuran tertentu”.6

(6)

Penggolongan ini bertujuan memudahkan debitur untuk membebani hak-hak yang digunakan dalam pemasangan jaminan, dengan opsi jenis jaminan yang berlaku untuk mendapatkan fasilitas kredit pada lembaga perbankan atau pegadaian.

3. Sifat Perjanjian Jaminan

Pada dasarnya perjanjian kebendaan dibedakan menjadi 2 macam, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan (accesoir). Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keungan non bank (perjanjian utang piutang). J. Satrio dengan mengutip pendapat Rotten mengemukakan bahwa:

“perjanjian pokok adalah perjanjian-perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang

mandiri”.7

Perjanjian pokok ini dijumpai dalam perjanjian kedit bank. Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dijumpai pengertian kredit yaitu: “Penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Munir Fuady memberikan pengertian perjanjian accessoir adalah “perjanjian yang tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi mengikuti/membuntuti perjanjian lainnya yang

merupakan perjanjian pokok”.8

Menurut Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani perjanjian assesoir adalah “suatu bentuk perjanjian atau/perikatan bersyarat, yang pelaksanaannya atau kebatalannya digantungkan

(7)

pada pemenuhan atau ketiadaan pemenuhan dari suatu syarat, kondisi atau keadaan dalam

perjanjian dasar yang menjadi dasar dari pembentukannya”.9

Perjanjian assesoir tidak dapat dan tidak mungkin berdiri sendiri. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dalam berbagai hal, pengalihan hak atas prestasi dalam perjanjian dasar dari pihak kreditur kepada pihak ketiga membawa serta akibat hukum beralihnya perjanjian assesoir kepada pihak ketiga yang menerima pengalihan hak berdasarkan perjanjian dasar tersebut.10

Perjanjian accessoir adalah perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Perjanjian accessoir ini dijumpai dalam perjanjian dengan pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, perjanjian hak tanggungan, perjanjian fidusia, perjanjian hipotik, perjanjian jaminan pribadi, dan perjanjian jaminan perusahaan.

B. LEMBAGA FIDUSIA 1. Pengertian Jaminan Fidusia

Pengertian Jaminan Fidusia adalah menurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti kepercayaan.11 Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

9 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000, hal. 48. 10 Ibid., hal. 49.

(8)

Pranata jaminan fidusia sudah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum Romawi. Ada dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fiducia cum creditore dan fiducia cum amico. Keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio. Dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta, yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa kreditur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas hutangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.12

Jika dihubungkan dengan sifat yang ada pada setiap pemegang hak, maka dikatakan bahwa debitur mempercayakan kewenangan atas suatu barang kepada kreditur untuk kepentingan kreditur sendiri (sebagai jaminan pemenuhan perikatana oleh kreditur).

Pasal 1 Undang-undang tentang Fidusia memberikan batasan dan pengertian sebagai berikut:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

“Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunana bagi

(9)

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”

Dari defenisi yang diberikan di atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata jaminan fidusia sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta di atas.13

2. Ruang Lingkup dan Objek Fidusia

Pasal 2 Undang-undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup berlakunya Undang-undang Jaminan Fidusia, yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UUJF yang menyatakan bahwa UUJF ini tidak berlaku terhadap: 1. Jaminan fidusia yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan

perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian, bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.

2. Hipotik atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) m3 atau lebih. 3. Hipotik atas pesawat terbang, dan

4. Gadai.

Adapun yang dimaksud dengan subjek dari Jaminan Fidusia adalah mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian Jaminan Fidusia, yang dalam hal ini terdiri atas pemberi

(10)

dan penerima fidusia. Antara objek Jaminan Fidusia dan subjek Jaminan Fidusia mempunyai kaitan yang erat, oleh karena benda-benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia menurut Munir Fuady, yaitu:

1. Benda tersebut harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2. Dapat atas benda berwujud.

3. Dapat juga atas benda tidak berwujud, termasuk piutang 4. Benda bergerak

5. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan jaminan fidusia 6. Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hiopotek

7. Baik atas benda yang sudah ada, maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.

8. Dapat atas satuan jenis benda.

9. Dapat juga atas lebih dari satu jenis atau satuan benda. 10.Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia.

11.Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 12.Benda persediaan (inventory, stock perdagangan) dapat juga menjadi objek jaminan

fidusia.14

Sementara menurut H. Salim HS, berdasarkan Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut, objek Jaminan Fidusia dibagi 2 (dua) macam yaitu :

1. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan,

2. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Jaminan fidusia.

(11)

Yang dimaksud dengan bangunan yang tidak di sini dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.15

Sedangkan menurut J. Satrio, bahwa yang menjadi objek Jaminan Fidusia adalah: 1. Benda bergerak

2. Benda tidak bergerak

3. Khususnya yang berupa bangunan yang tidak dibebani dengan jaminan fidusia 4. Dan harus bisa dimiliki dan dialihkan.16

Berdasarkan uraian tentang objek jaminan fidusia di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa objek jaminan fidusia dengan objek jaminan pada gadai ada perbedaannya. Untuk melihat perbedaan tersebut, perlu diuraikan tentang benda menurut KUH Perdata sebagai berikut :

1. Menurut Pasal 503 KUH Perdata benda itu dapat dibagi dalam :

o Benda yang berwujud, ialah segala sesuatu yang dapat diraba oleh panca indera, seperti : rumah, mobil, buku.

o Benda yang tak berwujud, ialah segala macam hak, seperti : hak cipta, hak merek perdagangan.

2. Menurut Pasal 504 KUH Perdata benda itu dapat juga dibagi atas :

o Benda bergerak, dapat dibagi menjadi :

 Benda bergerak menurut sifatnya ialah benda yang dapat dipindahkan

(Pasal 509 KUH Perdata), seperti : kursi, meja, buku.

15 H.Salim HS, Op. Cit., hal.64

(12)

 Benda bergerak menurut ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang

melekat atas benda bergerak (Pasal 511 KUH Perdata), seperti : hak memungut hasil atas benda bergerak, saham-saham perusahaan, piutang-piutang.

o Benda tidak bergerak, dapat dibagi menjadi :

 Benda tidak bergerak menurut sifatnya ialah benda yang tidak dapat

dipindah-pindahkan (Pasal 506 KUH Perdata), seperti : tanah dan segala yang melekat diatasnya, rumah, gedung, pepohonan.

 Benda tidak bergerak karena tujuannya ialah benda yang dilekatkan pada

benda tidak bergerak sebagai benda pokok untuk tujuan tertentu (Pasal 507 KUH Perdata), seperti : mesin-mesin yang dipasang di suatu pabrik.  Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang ialah hak-hak yang

melekat atas benda tidak bergerak (Pasal 508 KUH Perdata), seperti : hipotik, hak memungut hasil atas benda tidak bergerak.

Untuk masing-masing kelompok benda tersebut KUH Perdata telah memberikan lembaga jaminannya sendiri-sendiri, yaitu untuk barang bergerak disebut dengan gadai, sedangkan untuk benda tetap disebut dengan hipotik.

Dalam Pasal 1150 jo. Pasal 1152 KUH Perdata menyatakan, yang dapat dijadikan objek dari hak gadai ialah semua benda bergerak. Selanjutnya Pasal 1167 KUH Perdata mempertegas lagi dengan menyatakan, bahwa barang-barang bergerak tidak dapat dihipotikkan.

(13)

oogstverband dan untuk benda tetap yang disebut credietverband. Bahkan, sekarang kita mengenal lembaga jaminan untuk persil berupa jaminan fidusia dan fidusia untuk benda bergerak.17

Dengan adanya penyebutan secara khusus dan berturut-turut dalam Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata tentang hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutangpiutang atas bawa/tunjuk, dapat dikatakan bahwa gadai dapat diletakkan, baik atas barang-barang bergerak bertubuh (berwujud) maupun yang tidak bertubuh. Juga di dalam Pasal 1158, Pasal 1152 bis, dan Pasal 1153 KUH Perdata dibicarakan tentang menggadaikan suatu tagihan.

Selanjutnya tentang objek jaminan kredit dalam kredit angsuran sistem fidusia merupakan jaminan tambahan dari perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang antara Perum Pegadaian selaku Kreditur dengan pengusaha mikro dan pengusaha kecil selaku Debitur. Yang bisa dijadikan objek jaminan kredit adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud.

Selanjutnya tentang objek jaminan kredit dalam kredit angsuran sistem fidusia merupakan jaminan tambahan dari perjanjian pokok berupa perjanjian hutang piutang antara Perum Pegadaian selaku Kreditur dengan pengusaha mikro dan pengusaha kecil selaku Debitur. Yang bisa dijadikan objek jaminan kredit adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud.

3. Sifat Jaminan Fidusia

Ketentuan Pasal 1 angka 2 UUJF menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana

(14)

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Ini berarti UUJF secara tegas menyatakan jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan atas jaminan kebendaan (Zakelijke zekerheid, security right in rem) yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia, yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak ini tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.(Pasal 27 ayat (3) UUJF.) Dengan demikian, tidak alasan untuk menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya merupakan perbankan obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat “persoonlijk”

(perorangan) bagi kreditur.

Dalam Pasal 4 UUJF juga secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut:

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok

Keabsahannya, semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok

2. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

4. Pembebanan Fidusia dan Fidusia Ulang

(15)

disebut dengan “Akta Jaminan Fidusia”. Akta jaminan fidusia ini dibuat dalam bentuk akta

otentik, yang dibuat dihadapan notaris dengan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia, akta ini antara lain harus berisikan hal-hal:

a. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia b. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

c. Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia d. Nilai penjaminan dan

e. Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

Utang yang pelunasannya dijaminkan dengan jaminan fidusia adalah: 1. Utang yang telah ada

2. Utang yang akan ada dikemudian hari (kontinjen), tetapi telah diperjanjikan dan jumlahnya sudah tertentu. Misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.

3. Utang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi, misalnya utang bunga atas perjanjian pokok yang jumlahnya akan ditentukan kemudian.

Yang dimaksud dengan fidusia ulang adalah atas benda yang sama yang telah dibebankan fidusia, dibebankan fidusia sekali lagi. Walaupun dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia ini terlihat, ada beberapa pasal yang seolah-olah saling bertentangan namun mengenai fidusia ulang ini dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Jaminan Fidusia

(16)

menjadi objek jaminan fidusia yang sudah didaftar”. Karena Undang-Undang Jaminan

Fidusia masih menganut prinsip fidusia sebagai peralihan hak milik (secara kepercayaan) bukan hanya sebagai jaminan utang.

Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitur maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia.

Ada satu kemungkinan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu pihak adalah kemungkinan yang diberikan berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang isinya adalah: “Jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia

atau kepada kuasa atau wakil dari penerima fidusia tersebut”. Dari penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Jaminan Fidusia tersirat bahwa yang dimaksud adalah pemberian fidusia kepada lebih dari satu kreditur dalam bentuk pemberian kredit konsorsium atau sindikasi. Maksudnya fidusia diberikan secara bersama-sama pada waktu yang bersamaan dan semua kreditur saling mengetahui adanya dua atau lebih kreditur tersebut.

5. Pendaftaran Fidusia

(17)

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa benda, baik yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia maupun benda yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan. Untuk pertama kalinya kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Kantor Pendaftaran Fidusia berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Azasi manusia.

Tujuan pendaftaran fidusia adalah:

1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.

2. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. Ini disebabkan jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap menguasai objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.18

Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal:

1. Benda objek jaminan fidusia yang berada di dalam negeri (pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999).

2. Benda objek jaminan fidusia yang berada di luar negeri (pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 42 tahun 1999). Terhadap perubahan isi Sertifikat Jaminan Fidusia (pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 42 tahun 1999).

Pada pokoknya pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut:

(18)

a. Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;

b. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan secara tertulis dan dalam Bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia:

c. Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia memuat: 1) Identitas pemberi dan penerima fidusia

2) Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

3) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jamnan fidusia; 5) Nilai jaminan;

6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Pasal 2 ayat 4 PP No. 86 Tahun 2000, permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilengkapi dengan:

a. Salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia;

b. Surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia;

c. Bukti pembayaran biaya pendaftaran jaminan fidusia.

(19)

yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Ketika mencatat dalam buku daftar fidusia, petugas pendaftaran hanya berwenang melakukan pengecekan data dan tidak berwenang melakukan penilaian terhadap kebenaran data yang dicantumkan dalam pernyatan pendaftaran jaminan fidusia.

Dengan dikelurkannya Keputusan Presiden nomor 139 Tahun 2000 tanggal 30 September 2000, di setiap wilayah ibukota propinsi dibentuk Kantor Pendaftaran Fidusia, yang terletak dalam lingkup Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Judul Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Makna dari pencantuman kata-kata tersebut adalah bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga apabila debitur wanprestasi, maka penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (pasal 15 ayat 2 dan 3 UU Jaminan Fidusia). Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia.

Jika terjadi kekeliruan penulisan dalam sertfikat jaminan fidusia yang telah diterima pemohon, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat itu, pemohon memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat perbaikan memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula.19 Sertifikat jaminan fidusia dapat saja mengalami perubahan terhadap substansi, antara lain perubahan objek jaminan fidusia, perubahan penerima fidusia, perubahan perjanjian pokok dan perubahan nilai jaminan.

(20)

Adanya kewajiban melakukan pendaftaran jaminan fidusia merupakan suatu perwujutan dari asas publisitas. Dengan adanya publikasi terhadap jaminan utang, kreditur maupun khalayak ramai mempunyai akses untuk mengetahui berbagai informasi yang berhubungan dengan jaminan utang tersebut. Dengan adanya pendaftaran fidusia, diharapkan agar pihak debitur terutama debitur yang tidak beritikat baik, tidak dapat lagi membohongi/menipu kreditur atau calon debitur dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual benda objek jaminan tanpa sepengetahuan kreditur. Asas publisitas secara tersirat tercantum pada pasal 18 UU Jaminan Fidusia, yaitu: Segala keterangan mengenai benda fidusia yang menjadi objek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.

6. Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia

Salah satu unsur yuridis dalam sistem hukum jaminan adalah asas hukum. Ini menunjukkan pentingnya asas hukum dalam suatu perundang-undangan. Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa Latin “principium”, bahasa Inggris “principle” dan bahasa

Belanda “beginsel”, yang artinya dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau

berpendapat. Asas hukum bukan suatu perintah hukum yang konkrit yang dapat dipergunakan terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan tidak memiliki sanksi yang tegas. Dalam peraturan-peraturan (pasal-pasal) dapat ditemukan aturan yang mendasar berupa asas hukum yang merupakan cita-cita dari pembentuknya.

(21)

Pertama, asas bahwa kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur preferens. Kedua, Asas bahwa jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (droit de suite atau zaakgevolg).Ketiga, asas bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang lazim disebut asas asesoritas, keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian utama atau principal. Keempat, asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen).

Kelima, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Keenam, asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain (asas pemisahan horizontal).Ketujuh, asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Kedelapan, asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memilki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia.

Kesembilan, asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia (asas publikasi). Kesepuluh, asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan (asas pendakuan).Kesebelas, asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima jaminan fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia dari kreditur yang mendaftar kemudian. Keduabelas, asas bahwa yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikad baik. Ketigabelas, asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.20

(22)

1. Asas preferens ini dapat dilihat dari pasal 1 angka 2 dan Pasal 27 UU Jaminan Fidusia. Dalam Pasal 27 ini dijelaskan bahwa hak yang didahulukan adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Berbeda halnya dengan gadai yang tidak tegas menyatakan kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya. Akan tetapi hak untuk diutamakan yang dimiliki oleh penerima fidusia tidak mengurangi kedudukan untuk didahulukan terhadap piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sama halnya dengan ketentuan yang berlaku kepada hak tanggungan.

2. Asas droit de suite atau zaakgevolg, pengakuan asas ini menunjukkan bahwa jaminan fidusia merupakan hak kebendaan dan bukan hak perorangan, dengan begitu hak jaminan fidusia dapat dipertahankan terhadap siapapun juga dan barhak untuk menuntut siapa saja yang mengganggu hak tersebut. Dalam asas droit de suite terdapat prinsip yang tua didahulukan dari yang muda berdasarkan urutan waktunya. Hal ini perlu dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditur pemegang fidusia untuk memperoleh pelunasan utang dari hasil penjualan objek jaminan fidusia apabila debitur pemberi fidusia melakukan wanprestasi. Bahkan ketika benda jaminan fidusia berada pada pihak ketiga.

(23)

Apabila terjadi peralihan benda jaminan fidusia, kreditur pemegang jaminan fidusia hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren tidak dapat dilindungi berdasarkan asas droit de suite (tidak didahulukan dari kreditur lain)

Asas droit de suite ini tidak berlaku pada semua objek jaminan fidusia, ada pengecualian yaitu terhadap objek jaminan fidusia berupa benda persediaan. Tetapi Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan benda persediaan tetapi hanya dijelaskan apa yang tidak termasuk benda persediaan yaitu: mesin produksi, mobil pribadi, atau rumah pribadi yang menjadi objek jaminan fidusia.21 Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia dijelaskan bahwa sebelum Undang-Undang-Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 dibentuk benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendraan bermotor.22 Jadi belum ada kejelasan tentang benda persediaan yang dimaksud oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Menurut Tan kamelo benda persediaan adalah benda yang diuraikan dalam suatu daftar secara detail, spesifik baik mengenai jumlah maupun jenisnya.23

Debitur pemberi jaminan fidusia dapat mengalihkan benda persediaan sesuai dengan cara dan prosedur yang lazim dalam dunia perdagangan. Misalnya, dengan cara menjual kepada pihak ketiga, peralihan ini adalah sah dan pembeli adalah pemilik yang sempurna. Pada prinsipnya, pemberi jaminan fidusia dilarang untuk mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain objek jaminan fidusia, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang berupa benda persediaan.

(24)

Asas assesoir, asas ini mempunyai arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan jaminan fidusia. Dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia , asas assesoir ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 yang isinya adalah: “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang

menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Sesuai dengan asas

assesoir ini hapusnya jaminan fidusia ini juga ditentukan oleh hapusnya utang atau karena pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima jaminan fidusia dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.24 Jadi Jaminan Fidusia ini merupakan perjanjian yang lahir dari perjanjian pokok yaitu perjanjian utang piutang. Asas ini juga dianut dalam perjanjian hak tanggungan.

Pencantuman asas ini adalah untuk menghilangkan keragu-raguan mengenai karakter jaminan fidusia yang bersifat assesoir dan bukan perjanjian yang berdiri sendiri. Sebelum lahirnya Undang-Undang Jaminan Fidusia No. 42 Tahun 1999 hal ini sempat meragukan bagi dunia bisnis.

Asas ini membawa konsekuensi hukum terhadap pengalihan hak atas piutang dari pemegang jaminan fidusia lama kepada pemegang jaminan fidusia yang baru. Hal ini berarti terjadi pemindahan hak dan kewajiban dari pemegang fidusia yang lama kepada pemegang fidusia yang baru, dengan syarat bahwa pemegang fidusia yang baru mendaftarkan perbuatan hukum (cessie) tersebut ke kantor pendaftaran fidusia.25

Asas bahwa jaminan fidusia dapat diletakkan atas utang yang baru akan ada (kontinjen). Artinya pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, utang tersebut belum ada, tetapi sudah diperjanjikan sebelumnya dalam jumlah tertentu. Asas ini adalah untuk menampung aspirasi

(25)

hukum dalam dunia bisnis perbankan, misalnya hutang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank.26

Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan ada. Asas ini telah diakui setelah keluarnya Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang intinya adalah jaminan fidusia dapat dibebankan atas benda yang akan ada.27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tidak hanya menetapkan objek jaminan terhadap benda yang akan ada, bahkan memberikan aturan terhadap piutang yang akan ada juga dapat dibebani dengan jaminan fidusia yang sebenarnya mengandung pengertian yang sama sebab piutang yang akan ada juga benda yaitu benda tidak berwujud untuk itu sebenarnya pengaturan piutang yang ada ini tidak perlu lagi.

Perbedaan yang perlu ditegaskan adalah mengenai objek jaminan pada barang perniagaan dengan barang yang akan ada. Barang perniagaan objek jaminan fidusia sering terjadi sedangkan barang yang akan ada pergantian itu tidak terjadi dengan cepat seperti: taksi-taksi sebagai objek jaminan fidusia.

Pengaturan asas ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan dunia bisnis dan sekaligus dapat menjamin kelenturan objek jaminan fidusia yang tidak hanya terpaku pada benda yang sudah ada. Perwujutan asas ini merupakan penuangan cita-cita masyarakat dalam bidang hukum jaminan. Asas bahwa jaminan fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Dalam ilmu hukum asas ini disebut dengan asas pemisahan horizontal. Dalam pemberian kredit bank, dapat menampung pihak pencari kredit khususnya pelaku usaha yang tidak memiliki tanah tetapi memiliki hak atas bangunan/rumah. Biasanya hubungan hukum antara pemilik tanah dan pemilik bangunan adalah perjanjian sewa.

(26)

Asas bahwa jaminan fidusia berisikan uraian secara detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia. Subjek fidusia yang dimaksudkan adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan yang dimaksud adalah data perjanjian pokok yang dijamin dengan fidusia, uraian mengenai benda jaminan fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek jaminan. Dalam hukum disebut asas spesialitas atau pertelaan.28

Asas bahwa pemberi jaminan fidusia harus orang yang memiliki kewenangan hukum atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut harus sudah ada pada saat jaminan fidusia didaftarkan ke kantor fidusia. Asas ini sekaligus menegaskan bahwa pemberi jaminan fidusia bukanlah orang berwenang berbuat. Dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 asas ini tidak secara tegas diatur, berbeda dengan pengaturan dalam hak tanggungan yang mengatur secara tegas dalam Pasal 8 Undang-Undang Hak tanggungan.

Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftar ke kantor pendaftaran fidusia. Dalam ilmu hukum disebut dengan asas publikasi.29 Dengan dilakukannya pendaftaran akta jaminan fidusia, berarti perjanjian fidusia lahir dan momentum tersebut menunjukkan perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kebendaan. Asas publikasi ini melahirkan kepastian hukum bagi kreditur.

Asas bahwa benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditur penerima jaminan fidusia meskipun hal itu diperjanjikan.30 Asas ini disebut asas pendakuan.

Asas bahwa jaminan fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditur penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia daripada kreditur yang mendaftarkan kemudian.

28 Lihat Pasal 6 UU No. 42 tahun 1999. 29 Lihat pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999.

(27)

Asas bahwa pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan harus mempunyai itikat baik. Dengan asas ini diharapkan bahwa pemberi jaminan fidusia wajib memelihara benda jaminan, tidak mengalihkan, menyewakan dan menggadaikannya kepada pihak lain.

Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi.31 Kemudahan pelaksanaan eksekusi dilakukan dengan mencantumkan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa” pada sertifikat jaminan fidusia. Dengan titel eksekutorial ini menimbulkan konsekuensi

yuridis bahwa jaminan fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam penjualan benda jaminan fidusia, selain melalui titel eksekutorial, dapat juga dilakukan dengan cara melelang secara umum dan dibawah tangan.

C. LEMBAGA GADAI 1. Definisi dan Dasar Gadai

Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia dapat dilakukan dalam bentuk “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg”menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si pemberi kredit.32

Hak gadai menurut KUHPerdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 - 1161.33 Pihak

yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima

31 Lihat Pasal 15 UU No. 42 Tahun 1999.

32 Johannes Gunawan, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Cet. 6, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hlm. 61.

(28)

atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya.34

KUHPerdata merumuskan gadai sebagai berikut: Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.35

Menurut Mariam DarusBadruzaman rumusan gadai di atas belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Untuk menemukan sifat-sifat umum gadai, sifat tadi harus dicari lagi di dalam ketentuan-ketentuan lain.

2. Syarat dan Rukun Gadai

Dalam konteksnya dengan gadai (pand), maka hak gadai itu pun diadakan dengan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis barangnya. Kalau yang digadaikan itu adalah benda bergerak yang berwujud dan surat piutang yang aantoonder(kepada si pembawa) maka syarat-syaratnya:

1. Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai ini (pandoverenkomst) perjanjian ini bentuknya dalam KUHPerdata tidak disyaratkan apa-apa, oleh karenanya bentuk perjanjian pand itu dapat bebas tak terikat oleh suatu bentuk yang tertentu. Artinya

34 Mariam DarusBadruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia,Cet, 5, PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 55.

(29)

perjanjian bisa diadakan secara tertulis ataupun secara lisan saja. Dan yang secara tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris (jadi merupakan akte autentik), bisa juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja.

2. Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan/berada di luar kekuasaan dari si pemberi gadai (inbezitstelling). Dengan perkataan lain barangnya itu harus berada dalam kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUHPerdata bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai.36

Syarat yang kedua inilah yang dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk ditepati. Yaitu jika kebetulan barang yang digadaikan itu justru barang yang sangat dibutuhkan oleh si pemberi gadai, misalnya untuk mencari nafkah. Maka akan sangat sulit bagi si pemberi gadai jika barang yang penting untuk mencari nafkah itu justru harus berada di luar kekuasaannya.37

3. Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai

Selama gadai itu berlangsung si pemegang gadai mempunyai beberapa hak:

1. Si pemegang gadai dalam hal si pemberi gadai (debitur) melakukan wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajibannya, maka setelah jangka waktu yang telah ditentukan itu lampau, si pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan sendiri (eigenmachtigeverkoop)kemudian dari hasil penjualan itu diambil sebagian untuk melunasi hutang debitur dan sisanya dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang itu harus dilakukan dimuka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang lazim berlaku.

(30)

2. Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnya.

3. Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie); itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang yang kedua antara para pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai wenang untuk menahan benda itu sampai kedua macam hutang itu dilunasi.38

Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajiban-kewajiban yang berikut:

1. Bertanggungjawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelaliannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPerdata).

2. Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUHPerdata). Pemberitahuan dengan telegrap atau dengan surat tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat 3 KUHPerdata).

3. Bertanggungjawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUHPerdata).39

4. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai

Hak pemberi gadai (Pasal 1155 KUHPerdata) :

38 Ibid, hlm. 101-102.

(31)

1. Menerima Uang gadai dari penerima (pemegang) gadai

2. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya

3. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual unuk melunasi hutang-hutangnya.

Dan adapun kewajuban pemberi gadai merujuk pada Pasal 1154 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1. Menyerahkan barang gadai kepada penerima (pemegang) gadai

2. Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima (pemegang) gadai

3. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima (pemegang) gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai.

5. Barang yang Dapat Digadaikan

Yang dapat digadaikan ialah semua benda bergerak: 1. Benda bergerak yang berwujud.

2. Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aantoonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama).

Timbul persoalan apakah mengenai piutang yang masih akan ada itu dapat digadaikan? Menurut pendapat yang lazim sekarang gadai mengenai piutang yang masih akan ada itu dimungkinkan, asal hubungan hukum yang menimbulkan piutang sudah ada.40

Pendapat yang sama dengan keterangan di atas dikemukakan oleh R. Subekti: yang dapat dijadikan obyek dari pandrecht, ialah segala benda yang bergerak yang bukan kepunyaannya orang

(32)

yang menghutangkan sendiri. Sebaliknya tidaklah perlu benda itu harus kepunyaan orang yang berhutang, meskipun lazimnya orang yang berhutang itu juga yang memberikan tanggungan, tetapi itu tidak diharuskan.41

Gadai dalam KUHPerdata merupakan hak kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas suatu hutang. Hak jaminan atas suatu hutang itu, disamping gadai yang obyeknya benda bergerak, juga dalam KUHPerdata ada hak kebendaan lainnya yang sama-sama sebagai jaminan atas suatu hutang yaitu hipotek. Karena itu antara gadai dan hipotek memiliki persamaan juga perbedaan.

6. Levering pada Gadai

Untuk terjadinya hak gadai harus memenuhi dua unsur mutlak, pertama, harus adanya

perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi gadai (debitur sendiri atau pihak

ketiga) dan pemegang gadai (kreditur). Mengenai bentuk hubungan hukum perjanjian gadai ini

tidak ditentukan, apakah dibuat tertulis ataukah cukup dengan lisan saja; hal itu hanya diserahkan

kepada para pihak. Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan dalam akta notaris maupun

cukup dengan akta dibawah tangan saja. Namun yang terpenting, bahwa perjanjian gadai itu dapat

dibuktikan adanya. Ketentuan dalam pasal 1151 KUHPerdata menyatakan persetujuan gadai

dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan pembuktian persetujuan pokoknya. Berdasarkan

ketentuan dalam pasal 1151 KUHPerdata tersebut, perjanjian gadai tidak dipersyaratkan dalam

bentuk tertentu, dapat saja dibuat dengan mengikuti bentuk perjanjian pokoknya, yang umumnya

perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit bank, pengakuan hutang dengan gadai barang,

jadi bisa tertulis atau secara lisan saja.

Syarat kedua yang mesti ada, yaitu adanya penyerahan kebendaan yang digadaikan tersebut

dari tangan debitur (pemberi gadai) kepada tangan kreditur (pemegang gadai). Dengan kata lain,

(33)

kebendaan gadainya harus berada dibawah penguasaan kreditur (pemegang gadainya), sehingga

perjanjian gadai yang tidak dilanjutkan dengan penyerahan kebendaan gadainya kepada kreditur

(pemegang gadai) yang kemudian berada dalam penguasaan kreditur (pemegang gadai), maka hak

gadainya diancam tidak sah atau hal itu bukan suatu gadai, dengan konsekuensi tidak melahirkan

hak gadai. Menurut Pasal 612 KUHPerdata, penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan

penyerahan nyata (feitelijke levering). Feitelijke Levering Adalah perbuatan yang berupa

penyerahan kekuasaan atas suatu benda. Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah

sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering). Juridische Levering Adalah perbuatan hukum

yang bertujuan untuk memindahkan hak kebendaan kepada orang lain. Perbuatan ini merupakan

penyerahan secara formal atau resmi.

D. PERJANJIAN

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu

“overeenskomst”. Overeenskomst biasanya diterjemahkan dengan perjanjian atau

persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan di adakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang di perjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang diperjanjikan.42

(34)

Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.43

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:44

1. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2. tidak tampak asas konsensualisime, dan ;

3. bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu, maka harus dicari dalam doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum".45 Kata “perbuatan” yang terdapat dalam Pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian

“perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming),

tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. R Setiawan mengusulkan untuk menambah kata-kata dalam perjanjian itu sebagai berikut : perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya.46Perumusan pengertian

43 Merujuk Terjemahan BW dalam bahasa Indonesia Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

44 Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada,Jakarta,2010,hlm.163. 45 Salim HS, Ibid., hlm. 164.

(35)

perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.47

Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang diberikan Pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain : R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.48 Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”49 Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk

melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”50

2. Syarat Sah Perjanjian

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang

lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.51 Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan

47 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Inter Nusa, Jakarta,1987,hlm.1. 48 ibid

49 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1986, hlm, 9. 50 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,

(36)

kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).52 Pengaturan tentang Perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari Undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum.

Terdapat di dalam KUH Perdata aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan Undang-undang. Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi perjanjian.53 Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.54

Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang mensyaratkan adanya 3 (tiga) asas yang seyogyanya dalam perjanjian:55

52 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm. 2.

53 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 ayat (1). 54 Ibid., Pasal 1337

(37)

a. Mengenai Terjadinya Perjanjian

b. Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH Perdata perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme).

c. Tentang akibat perjanjian

Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah. di antara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.

d. Tentang Isi Perjanjian

Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-vrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan. Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepentingan umum, dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak. Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah.

(38)

Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki dalam hal mendapatkan hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak yaitu dengan :

a. .Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.56

“Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun terdapat

kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan penyalahgunaan

keadaan.”57

2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

(39)

Kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21 Tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan sebagai orang yang belum dewasa, tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.

3) Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenkomst)

Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor. Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, prestasi itu terdiri atas:

a) Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu; b) Berbuat sesuatu; dan

c) Tidak berbuat sesuatu

Menurut Ahmadi Miru58 ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelas-jelas adalah

(40)

metode, teknik atau cara sehingga prestasi itu terwujud. Lebih tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa. Sedangkan untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar rumah yang bertetangga.”

4) Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)

Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

umum. Menurut Subekti; “Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian

harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4

tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.”59

Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram dalam Hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan nilai kepatutan. Bertentangan dengan Undang-Undang sering disamakan dengan istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan hanya yang tertulis. Berdasarkan penafsiran luas tentang Pengertian Perbuatan Melawan Hukum

(41)

oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) Negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen, maka pengertian perbuatan melawan hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi juga perbuatan :

a. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum; b. Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; c. Yang bertentangan dengan kesusilaan;

d. Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.

3. Asas-Asas Perjanjian

Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa

perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama, Pasal 1338 KUHPerdata :

a. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang olesh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu

c. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas “partij

autonomie”. Pasal 1338 KUHPerdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal

1319 KUHPerdata. Istilah “secara sah” pembuat undang-undang menunjukkan bahwa

(42)

yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Berikut adalah asas-asas dalam hukum perjanjian :

a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

“Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham

individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaumEpicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.

Rosseau.”60

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan

berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan

menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

(43)

Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan

kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada

dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de

homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan, oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik, oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan hukum kontrak/perjanjian.

b. Asas Konsensualisme (concensualism).

(44)

Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

(45)

mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

d. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat(3) KUHPerdata yang

berbunyi:“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan

asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.

Referensi

Dokumen terkait

Objektif artikel ini adalah untuk meneliti permasalahan yang dihadapi pihak pemimpin masyarakat tempatan sewaktu menguruskan banjir, mengenalpasti tindakan-tindakan

Umumnya terdapat semangat kasih yang lebih besar untuk bekerjasama dengan rahmat Allah, ketika orang menerima rahmat itu di masa dewasa ataupun di akhir masa

isi (tulisan yang kita ketikkan) dari object text1 di page1 pada pageframe1 akan masuk ke filed nama di tabel tbAddressBook (ingat kembali pada kode form1

Bahwa Kepemimpinan Paternalistik berupa menganggap bawahan sebagai manusia yang tidak atau belum dewasa atau anak sendiri yang perlu dikembangkan, bersikap terlalu melindungi

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan penelitian pengembangan anak usia dini yang menyentuh seluruh kebutuhan tumbuh kembang anak, sistematis, dan melibatkan

Sejalan dengan penjelasan tersebut, lebih tegas lagi pasal 4 UU Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian

Tidak dapat disangkal bahwa dari kumpulan data angka di atas, kita dapat memperoleh gambaran mengenai hasil ujian yang dicapai oleh 80 orang mahasiswa tersebut, namun gambaran

Prasetyo, Imam. Pembelajaran Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Praktik Manasik Haji Siswa Kelas 6 SD Islam Al-Azhar 25 Semarang Tahun Pelajaran 2017/2018.