• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Tanah adalah sumber daya alam yang esensial bagi kelangsungan makhluk hidup. Tanah bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan akibat dari penggunaan dan pengelolaan tanah oleh manusia. Perubahan tersebut menyebabkan fungsi tanah sebagai sumber hara bagi tumbuhan dan tempat air tanah tersimpan mengalami penurunan. Ketika terjadi penurunan fungsi tanah, maka kerusakan tanah telah terjadi. Kerusakan tanah menurut Riquier (1977) dapat terjadi karena (1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran sebagai akibat peningkatan produksi pertanian yang melebihi kemampuan lahan; (2) terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinitas tanah); (3) penjenuhan tanah oleh air (water logging) dan (4) erosi.

Salah satu fenomena penyebab kerusakan tanah adalah erosi. Erosi yaitu suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Suripin, 2002). Kehilangan tanah yang diakibatkan oleh erosi merupakan masalah yang serius pada pengelolaan suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Secara umum DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit atau gunung maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul, yang berfungsi untuk menangkap air hujan yang jatuh ke dalam DAS (Darmadi, 2006). Erosi pada DAS sudah menjadi isu nasional yang mendapat perhatian khusus semenjak tahun 1970 (Sutarman, 2007), disebabkan erosi yang berlebihan dapat menyebabkan lahan menjadi tidak produktif secara ekonomi.

Mengatasi permasalahan tersebut perlu manajemen dan pengelolaan suatu DAS, karena dari tahun ke tahun jumlah DAS yang kritis terhadap permasalahan erosi di Indonesia bertambah. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (SK.328/Menhut-II/2009) tentang penetapan DAS prioritas, jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 108 DAS yang perlu ditangani secara serius termasuk di dalamnya adalah DAS Ngrancah yang merupakan daerah tangkapan air Waduk Sermo di Kabupaten Kulon Progo.

(2)

Waduk Sermo terletak di Dusun Sermo, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Waduk tersebut berfungsi sebagai penampung air yang disalurkan untuk kebutuhan air bersih, irigasi dan pencegah banjir. Keberadaan Waduk Sermo diiringi dengan perkembangan aktifitas masyarakat sekitar, baik kegiatan wisata, ekonomi, maupun aktifitas sehari-hari. Sayangnya, aktifitas ini berdampak negatif terhadap kondisi Waduk Sermo sendiri seperti terjadinya sedimentasi di waduk. Sedimentasi adalah pengendapan dari bahan sedimen berupa tanah, pasir, dan debu di dalam air yang diakibatkan oleh erosi, baik erosi permukaan maupun erosi tebing (Loebis dkk, 1993). Sedimentasi yang terjadi pada Waduk Sermo berdampak pada pendangkalan dan kesehatan waduk terutama pada aspek tata air. Pada kondisi tertentu, kekeruhan dan kekerasan sedimen yang terbawa bersama aliran air menyebabkan penurunan produktivitas pertanian.

Mengetahui dampak terjadinya sedimentasi di Waduk Sermo, perlu diketahui nilai kecepatan sedimentasi sebagai salah satu upaya dalam pengendalian erosi dan sedimentasi. Kecepatan sedimentasi dapat ditentukan melalui pendekatan suatu metode prediksi laju erosi yang dikenal sebagai USLE (Universal Soil Loss Equation). USLE memprediksi laju erosi suatu daerah dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor penutupan lahan dan faktor konservasi lahan (Kironoto, 2003). USLE digunakan di berbagai negara termasuk Indonesia, hal ini disebabkan parameter USLE relatif sederhana dan mudah diperoleh.

Penggunaan USLE perlu dibandingkan untuk mengetahui kedekatan nilai prediksi kecepatan sedimetasi di Waduk Sermo dengan data hasil ukuran. Perbandingan dilakukan pada nilai kecepatan sedimentasi dari pengukuran kandungan tanah dalam air yang masuk ke dalam waduk berupa sampel air yang mengandung kadar atau konsentrasi sedimen yang berasal dari sungai yang alirannya menuju Waduk Sermo. Berdasarkan pada nilai kecepatan sedimentasi di Waduk Sermo dari dua metode yang digunakan, maka diharapkan pada pihak pengelola Waduk Sermo dapat mengambil kebijakan yang tepat terhadap pola pengelolaan waduk yang harus dilakukan sebagai upaya pengendalian sedimentasi di Waduk Sermo agar usia waduk dalam melakukan fungsinya sesuai yang direncanakan.

(3)

I.2. Tujuan

Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah diketahuinya nilai estimasi kecepatan sedimentasi di Waduk Sermo baik dengan pendekatan USLE (Universal Soil Loss Equation) maupun metode angkutan sedimen dengan data pengukuran kandungan tanah dalam air yang masuk ke Waduk Sermo dan membandingkan nilai kecepatan sedimentasi di Waduk Sermo berdasarkan kedua metode tersebut.

I.3. Manfaat

Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kecepatan sedimentasi Waduk Sermo sebagai acuan dalam perencanaan kebijakan pada pola pengelolaan operasi waduk dalam rangka upaya pengendalian erosi dan sedimentasi di Waduk Sermo agar umur layanan waduk sesuai dengan yang direncanakan.

I.4. Lingkup Pekerjaan

Penentuan kecepatan sedimentasi Waduk Sermo dalam kegiatan aplikatif ini mengambil batasan-batasan sebagai berikut:

1. Cakupan area prediksi kecepatan sedimentasi dengan pendekatan USLE hanya di DAS Ngrancah yang bermuara di Waduk Sermo untuk periode tahun 2015.

2. Data kandungan tanah dalam air, data debit masukan air (inflow) dan debit keluaran air (outflow) Waduk Sermo yang digunakan untuk periode tahun 2015.

3. Konsentrasi sedimen rerata dari data kandungan tanah dalam air diasumsikan sama di sepanjang aliran sungai yang menuju Waduk Sermo untuk periode tahun 2015. 4. Data curah hujan dari stasiun hujan Borrow Area diasumsikan mewakili kondisi

curah hujan di DAS Ngrancah selama periode tahun 2015.

5. Peta penggunaan lahan Kabupaten Kulon Progo diasumsikan mewakili kondisi tata guna lahan di DAS Ngrancah untuk periode tahun 2015

6. Penilaian faktor tutupan dan tindakan konservasi lahan dilakukan bersama berdasarkan pada peta penggunaan lahan Kabupaten Kulon Progo.

(4)

I.5. Landasan Teori

I.5.1.Erosi

Erosi yaitu proses hilangnya lapisan permukaan tanah atas yang disebabkan oleh pergerakan air atau angin (Suripin, 2002). Di daerah tropika basah seperti Indonesia dengan curah hujan yang relatif tinggi, erosi air lebih berperan dibandingkan dengan erosi angin. Proses erosi oleh air terdiri atas tiga proses yang berurutan, yaitu pelepasan, pengangkutan, dan pengendapan partikel-partikel tanah (Asdak, 1995). Proses erosi dimulai ketika air hujan mengenai permukaan tanah dan menghancurkan partikel-partikel tanah menjadi bagian-bagian yang halus. Partikel-partikel tanah yang hancur menutupi pori-pori tanah sehingga mengurangi daya kemampuan tanah dalam menyerap air hujan. Pada kondisi dimana intensitas hujan melebihi laju penyerapan tanah, mengakibatkan terjadinya genangan air di permukaan tanah dan membentuk aliran permukaan. Aliran permukaan tersebut menyediakan energi untuk mengangkut partikel-pertikel tanah ke tempat yang lebih rendah seperti sungai. Ketika energi aliran permukaan menurun dan tidak mampu mengangkut partikel-partikel tanah yang terlepas, maka terjadi pengendapan (Suripin, 2002).

I.5.2.USLE

Wischmeier dan Smith (1978) mengembangkan suatu metode pendugaan besarnya laju kehilangan tanah yang diakibatkan oleh erosi. Metode tersebut dikenal sebagai USLE (Universal Soil Loss Equation) atau dalam bahasa Indonesia disebut Persamaan Umum Kehilangan tanah (PUKT). USLE yaitu suatu model parametrik untuk memprediksi besarnya laju erosi pada suatu bidang tanah dengan parameter persamaannya yang terdiri atas faktor erosivitas hujan, faktor erodibilitas tanah, faktor panjang dan kemiringan lereng, faktor tutupan dan tindakan konservasi lahan (Kironoto, 2003). Persamaan USLE dinyatakan pada persamaan I.1 sebagai berikut :

Ea = R x K x LS x C x P (I.1) di mana :

(5)

R : faktor erosivitas hujan (kJ/ha) K : faktor erodibilitas tanah (ton/kJ) LS : faktor panjang dan kemiringan lereng C : faktor tanaman penutup lahan

P : faktor tindakan konservasi tanah

I.5.2.1 Faktor erosivitas hujan. Erosivitas hujan adalah kemampuan air hujan dalam mengerosi tanah (Arsyad, 2010). Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi bersumber dari laju dan distribusi tetesan air hujan, yang mana kedua hal tersebut mempengaruhi besar energi kinetik air hujan. Energi tersebut merupakan penyebab utama dalam proses penghancuran agregat-agregat tanah (Kironoto, 2003). Nilai erosivitas hujan dihitung menggunakan persamaan Abdurachman (1989) yang berdasarkan pada penelitiannya terhadap erosivitas hujan di Indonesia dengan menggunakan data curah hujan dari berbagai stasiun hujan di Pulau Jawa. Persamaan erosivitas hujan Abdurachman dinyatakan pada persamaan I.2 dan I.3 berikut :

Rm = (Pm) 2,263 x(Max P)0,678 40,056 x(Dm)0,349 (I.2) R = ∑12 (Rm) m=1 (I.3) di mana :

R : Erosivitas hujan tahunan (kJ/ha) Rm : Erosivitas hujan bulanan (kJ/ha)

Pm : Jumlah curah hujan dalam sebulan (cm) Dm : Jumlah hari hujan dalam sebulan (hari)

Max P : Curah hujan harian maksimal dalam sebulan (cm)

I.5.2.2. Faktor erodibilitas tanah. Sifat fisik tanah berpengaruh pada besarnya erosi yang terjadi. Kepekaan tanah pada erosi disebut erodibilitas tanah. Erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh energi kinetik air hujan (Asdak, 1995). Nilai erodibiltas tanah yang tinggi menunjukkan tanah mudah tereosi erosi, sebaliknya nilai erodibilitas tanah yang rendah menunjukkan tanah sulit tererosi (Sarief, 1989). Nilai erodibilitas

(6)

tanah ditentukan pada persamaan I.4 yang dikemukakan oleh Wischmeier (1978) dengan mempertimbangkan faktor-faktor besarnya nilai erodibilitas tanah yang terdiri atas tekstur tanah, struktur tanah, permeabilitas tanah, dan bahan organik tanah (Asdak, 1995).

K

=

2.713M1,14(10-4 x 12 – a) + 3,25 (b - 2)+2,5(c - 3)100 (I.4) di mana :

K : Faktor erodibilitas tanah (ton/kJ) M : Nilai partikel ukuran tanah a : Persentase bahan organik b : Kode struktur tanah

c : Kode permeabilitas penampang tanah

Berikut disajikan tabel pelengkap parameter persamaan faktor erodibilitas tanah yang meliputi partikel ukuran tanah (M) dari kelas tekstur tanah pada Tabel I.1, kode struktur tanah pada Tabel I.2 dan kelas permeabilitas tanah pada Tabel I.3.

Tabel I.1. Nilai partikel ukuran tanah (M) dari kelas tekstur tanah No. Kelas tekstur Nilai M

1 Lempung pasiran 1215

2 Lempung ringan 1685

3 Lempung debuan 2510

4 Pasir 3035

5 Pasir geluhan 3245

6 Geluh lempung debuan 3770

7 Geluh pasiran 4005

8 Geluh 4390

9 Geluh debuan 6330

10 Debu 8245

(7)

Tabel I.2. Kode struktur tanah

No. Kelas struktur tanah (ukuran diameter) Kode 1 Granuler sangat halus (<1 mm) 1

2 Granuler halus (1-2 mm) 2

3 Granuler sedang hingga kasar (2-10 mm) 3 4 Gumpal, lempeng, pejal (>10 mm) 4

Sumber : Departemen Kehutanan (2009) Tabel I.3. Kelas permeabilitas tanah

No. Kelas permebilitas Kecepatan (cm/jam) Kode

1 Sangat lambat < 0,5 6 2 Lambat 0,5 - 2 5 3 Cukup lambat 2 – 6,3 4 4 Sedang 6,3 – 12,7 3 5 Cukup cepat 12,7 – 25,4 2 6 Cepat > 25,4 1

Sumber : Departemen Kehutanan (2009)

Jika data yang tersedia hanya peta jenis tanah, nilai faktor erodibilitas tanah mengacu Tabel I.4 yaitu rekapitulasi hasil penelitian erodibiltas tanah di Pulau Jawa.

Tabel I.4. Jenis tanah dan nilai erodibilitas tanah (K) No. Jenis Tanah Nilai K

1 Podsolik 0,16 2 Grumusol 0,21 3 Mediteran 0,23 4 Litosol 0,29 5 Latosol 0,31 6 Regosol 0,4 7 Alluvial 0,47 Sumber : Kironoto (2003)

(8)

I.5.2.3. Faktor panjang dan kemiringan lereng. Topografi berperan dalam menentukkan kecepatan dan volume aliran permukaan. Dua unsur topografi yang berpengaruh pada besarnya erosi adalah panjang lereng dan kemiringan lereng atau sering disingkat LS (Length and Slope). Panjang lereng mempengaruhi volume air yang mengalir. Semakin panjang suatu lereng maka volume air yang mengalir semakin besar, sehingga kesempatan air dalam mengerosi tanah semakin besar. Kemiringan lereng mempengaruhi kecepatan terkikisnya tanah. Semakin curam suatu lereng maka aliran permukaan yang mengangkut bagian-bagian tanah semakin cepat, sehingga tidak ada air yang terserap ke dalam tanah yang dapat menyebabkan besarnya jumlah tanah yang terangkut (Suripin, 2002). Wischmeier dan Smith (1978) menyatakan bahwa nilai faktor panjang dan kemiringan leremg (LS) dapat dihitung dengan persamaan I.5 sebagai berikut :

LS = √X(0,0138 + 0,00965 S + 0,00138 S2) (I.5) di mana :

X : Panjang lereng (m) S : Kemiringan lereng (%)

Selain menggunakan persamaan I.5, nilai faktor panjang dan kemiringan lereng dapat ditentukan berdasarkan persentase kemiringan lereng dengan mengacu pada Tabel I.5 yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan.

Tabel I.5. Nilai faktor LS berdasarkan persentase kemiringan lereng No. Kemiringan lereng Kelas lereng Nilai LS

1 0-8% I 0,4

2 8-15 % II 1,4

3 15-25 % III 3,1

4 25-40 % IV 6,8

5 > 40 % V 9,5

(9)

I.5.2.4. Faktor tutupan lahan. Faktor tutupan lahan merupakan perbandingan antara jumlah tanah yang tererosi pada lahan dengan suatu jenis penutup lahan tertentu terhadap lahan tanpa adanya tutupan lahan. Tutupan lahan berpengaruh terhadap besarnya erosi, hal ini disebabkan tutupan lahan melindungi tanah dari penghancuran tanah yang diakibatkan oleh air hujan. Selain menjadi penghalang bagi tanah tererosi secara langsung oleh dari air hujan, perakaran pada vegetasi penutup lahan juga memperkuat struktur tanah dan menyerap jumlah air yang masuk ke dalam tanah sehingga tanah sulit tererosi. Nilai faktor tutupan lahan (C) untuk suatu jenis penutup lahan bergantung pada jenis, kombinasi, kerapatan, panen dan rotasi tanaman. Pada proses penilaian tutupan lahan dapat menggunakan Tabel I.6.

Tabel I.6. Nilai faktor tutupan lahan (C)

No. Nama Penggunaan Lahan Nilai Faktor C 1 Tanah terbuka, tanpa tanaman 1

2 Hutan 0,001 3 Tegalan 0,7 4 Padang rumput 0,3 5 Sawah 0,01 6 Kebun campuran 0,2 7 Alang-alang 0,02 8 Kacang tanah 0,4 9 Ubi kayu 0,8 10 Jagung 0,64 11 Talas 0,86 12 Tebu 0,2 13 Pisang 0,4 14 Kedelai 0,4 15 Sorgum 0,35 16 Padi gogo-kedelai 0,3

17 Ubi kayu-kacang tanah 0,26

18 Tambak 0,01

(10)

I.5.2.5 Faktor tindakan konservasi lahan. Faktor tindakan konservasi lahan adalah perbandingan antara besar erosi pada lahan dengan suatu tindakan konservasi terhadap besar erosi pada lahan tanpa dilakukan tindakan konservasi (Suripin, 2002). Tujuan utama dari konservasi lahan adalah mengurangi erosi sampai tingkat yang memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan tanah tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan (Morgan, 2005). Nilai faktor konservasi lahan (P) mengacu pada Tabel I.7.

Tabel I.7. Nilai faktor tindakan konservasi lahan (P) No. Tindakan Konservasi Tanah Nilai Faktor P

1 Teras bangku, baik 0,04

2 Teras bangku, sedang 0,15

3 Teras bangku, kurang baik 0,35

4 Teras tradisional 0,4

5 Teras gulud 0,01

6 Kontur cropping kemiringan 0-8% 0,5 7 Kontur cropping kemiringan 9-20% 0,75 8 Kontur cropping kemiringan >20% 0,9

9 Strip crotolaria 0,5

10 Strip rumput permanen 0,4

11 Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th 0,25 12 Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th 0,6

13 Mulsa jagung 0,35

14 Mulsa kacang tanah 0,75

15 Tanpa tindakan konservasi 1

Sumber : Departemen Kehutanan (2009)

Faktor tindakan konservasi dan faktor tutupan lahan (CP) biasanya dijadikan satu penilaian, hal ini terjadi jika data yang digunakan untuk penilaian kedua faktor tersebut menggunakan data yang sama. Secara umum faktor CP dipengaruhi oleh jenis tanaman (tata guna lahan) dan tindakan pengelolaan lahan (teknik konservasi) yang dilakukan, seperti penanaman mengikuti garis kontur, strip cropping, dan pembuatan teras. Jika pengelolaan lahan (tindakan konservasi) tidak dilakukan maka nilai P adalah 1 (satu), apabila pengelolaan lahan dilakukan maka nilai P kurang dari 1 (satu). Penilaian faktor tindakan tutupan dan konservasi lahan (CP) terdapat pada Tabel I.8.

(11)

Tabel I.8. Nilai Faktor Tutupan dan Konservasi Lahan (CP) No. Tindakan Konservasi Tanah Nilai faktor CP

1 Pertanian dengan mulsa 0,14

2 Pertanian dengan teras bangku 0,04 3 Pertanian dengan contour cropping 0,14

4 Kebun campuran 0,2

5 Tanaman pertanian padi irigasi 0,01

6 Hutan tak terganggu 0,1

7 Hutan tanpa tumbuhan bawah (serasah) 0,5 8 Hutan dengan tumbuhan bawah (serasah) 0,2 9 Rerumputan penutup tanah sempurna 0,01 10 Rerumputan penutup tanah sebagian 0,02

11 Rerumputan serai wangi 0,65

12 Semak belukar 0,3

13 Perladangan/tegalan 0,28

Sumber : Kironoto (2003) I.5.3.Sedimentasi

Sedimen adalah bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat terjadinya erosi. Sedimen umumnya mengendap di bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air sungai, dan di waduk. Sedimen yang terbawa oleh aliran air kemudian mengendap pada suatu tempat disebabkan kecepatan aliran air yang mengangkut sedimen berhenti disebut sedimentasi (Asdak, 1995). Proses sedimentasi meliputi proses erosi, pengangkutan, pengendapan, dan pemadatan dari sedimen itu sediri. Salah satu indikator terjadinya sedimentasi dapat dilihat dari besarnya kadar sedimen dalam air yang terangkut oleh aliran air sungai atau banyaknya endapan sedimen di waduk. Besarnya kadar sedimen di dalam aliran air dinyatakan sebagai besaran laju sedimentasi (dalam satuan m3 atau mm per tahun) (Seta, 1995). Besaran laju sedimentasi diklasifikasikan sesuai ketebalan sedimen yang dihasilkan per tahun baik di sungai maupun di waduk berdasarkan pada peraturan direktur jendral rehabilitasi lahan dan perhutanan sosial nomor P.04/V-SET/2009 tentang pedoman monitoring dan evaluasi daerah aliran sungai yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan pada Tabel I.9.

(12)

Tabel I.9. Klasifikasi tingkat laju sedimentasi No. Laju Sedimentasi (mm/tahun) Kelas

1 < 2 Baik

2 2 - 5 Sedang

3 > 5 Buruk

Sumber : Departemen Kehutanan (2009)

1.5.3.1. Penentuan laju sedimentasi waduk secara langsung. Data kandungan tanah dalam air dan rerata debit air harian waduk dapat digunakan dalam menentukan laju sedimentasi waduk secara langsung. Debit air harian waduk berasal dari aliran sungai-sungai yang terdapat di DAS dan terakumulasi menuju waduk, dicatat oleh alat pencatat debit air otomatis. Data kandungan tanah diperoleh dari pengambilan sampel air di sungai dengan media berupa botol mineral ukuran ± 600 ml atau alat suspended sampler jenis US-DH 48 (Gambar I.1.).

Gambar I.1. Alat suspended sampler (Supangat, 2004)

Pada pengambilan sampel air, alat pengambil sampel air diturunkan tegak lurus terhadap arah aliran air sungai dengan kecepatan tetap. Setelah sampai di dasar alat ditarik ke permukaan dengan cara yang sama (Linsley dan Joseph, 1986). Sampel air dibawa ke laboratorium untuk mengetahui konsentrasi sedimen terlarut (tersuspensi) dalam alat pengambil sampel air. Hasil perkalian antara konsentrasi sedimen dan rerata debit air harian waduk menghasilkan jumlah rerata sedimen yang terangkut oleh aliran air yang menuju waduk dalam satu hari. Metode tersebut dikenal sebagai angkutan sedimen (Supangat, 2014). Angkutan sedimen dinyatakan pada persamaan I.6 sebagai berikut :

(13)

Qs = k x Cs x Q (I.6) di mana :

Qs : Debit angkutan sedimen (ton/hari) k : Konstanta (24x60x60 = 86400 detik) Cs : Konsentrasi sedimen (gr/liter) Q : Debit air (m3/detik)

1.5.3.2. Penentuan laju sedimentasi waduk secara tidak langsung. Penentuan kecepatan sedimentasi waduk secara tidak langsung berdasarkan pada jumlah material erosi tanah yang terjadi di DAS menuju ke waduk. Akan tetapi tidak semua material erosi dari DAS sampai menuju waduk, hal ini disebabkan oleh faktor-faktor pembatas seperti vegetasi tutupan lahan dan variasi kondisi topografi. Total material erosi yang mencapai ke waduk disebut produksi sedimen atau sediment yield (Chow, 1964). Produksi sedimen dipengaruhi oleh laju erosi suatu DAS dan rasio jumlah tanah yang terbawa oleh aliran sungai dan menuju ke waduk atau SDR (Sediment Delivery Ratio). Produksi sedimen dinyatakan pada persamaan I.7 sebagai berikut :

SY = SDR x Ea (I.7) di mana :

SY : Produksi sedimen (sediment yield) (ton/ha) SDR : Sediment Delivery Ratio

Ea : Laju erosi (ton/ha)

Menurut USDA (United States Department of Agriculture) pada tahun 1979 nilai suatu SDR begantung pada faktor luasan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mana ditentukan dengan persamaan I.8 sebagai berikut :

SDR = 0,5656 x A-0,11 (I.8) di mana :

SDR : Sediment Delivery Ratio A : Luas DAS (km2)

(14)

I.5.4. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan di berbagai bidang disiplin ilmu dan berkembang dengan cepat. Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak komputer untuk mengelola, menganalisa, dan memetakan informasi spasial beserta data atribut (Prahasta, 2002). Kelebihan SIG dibandingkan sistem informasi lainya terletak pada analisis spasial yang mampu diintegrasikan dengan atribut non spasial.

I.5.4.1. Model data SIG. Data dalam SIG terdiri atas dua komponen yaitu data spasial yang berhubungan dengan bentuk keruangan dan data atribut yang memberikan informasi bentuk keruangan (Chang, 2002). Data spasial direpresentasikan di dalam basisdata sebagai vektor dan raster (Prahasta, 2002). Data vektor adalah data yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dalam bentuk titik, garis dan poligon beserta atribut data (Prahasta, 2002), sedangkan data raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid (Prahasta, 2002). Perbedaan model data raster dan vektor disajikan pada Gambar I.2.

Gambar I.2. Perbedaan data raster, vektor, dan real world (Buckley, 1997) Raster

Vektor

(15)

I.5.4.2. Subsistem SIG. Menurut (Prahasta, 2002), SIG diuraikan menjadi beberapa subsistem sebagai berikut :

Gambar I.3. Subsistem dalam sistem informasi geografis (Prahasta, 2002) a. Data Input (masukan data). Subsistem ini berfungsi untuk mengumpulkan data

spasial dan data atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini juga berfungsi untuk mengubah/mengkonversi format data asli ke format yang digunakan SIG. b. Data management (pengelolaan data). Subsistem ini berfungsi untuk

mengorganisasi data spasial dan data atribut ke dalam basis data sehingga mudah dipanggil, dilakukan update, dan diedit.

c. Data manipulation and analysis (manipulasi dan analisis data). Subsistem ini berfungsi untuk menentukan informasi-informasi yang dihasilkan oleh SIG. Subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data agar menghasilkan informasi yang diharapkan.

d. Data output. Subsistem ini berfungsi untuk menampilkan informasi dan hasil analisis data geografis secara kualitatif dan kuantitatif atau berfungsi menampilkan basis data dalam bentuk softcopy maupun dalam bentuk hardcopy

(16)

I.5.4.3. Operasi spasial SIG. Dalam proyek ini menggunakan beberapa operasi spasial SIG yang terdapat pada softwareArcGIS, di antaranya :

a. Merge (penggabungan) adalah proses menggabungkan dua buah features menjadi

feature baru dengan atribut nama yang sama akan tetap disimpan (Gambar I.4).

Gambar I.4. Ilustrsasi operasi merge

b. Clip adalah analisis pemotongan feature dengan memanfaatkan feature lain sebagai batas area pemotongan (Gambar I.5).

Gambar I.5. Ilustrasi operasi clip

c. Intersect digunakan untuk mengintegrasikan dua buah data spasial. Intersect mirip dengan operasi clip. Perbedaanya adalah pada operasi clip, feature yang dihasilkan memiliki data atribut yang sama dengan salah satu feature sebelumnya, akan tetapi pada operasi intersect menghasilkan data atribut yang merupakan gabungan dari

feature-feature sebelumnya (Gambar I.6).

(17)

I.5.4.4. Analisis Hidrologi. Fitur analisis hidrologi pada SIG dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik pergerakan aliran air di daerah pengaliran yang diantaranya: a. Flow Direction. Fitur flow direction digunakan untuk menentukan arah aliran setiap piksel suatu raster dengan penurunan paling curam (steepest path). Suatu piksel dikelilingi sebanyak delapan (8) buah sel tetangga, sehingga terdapat delapan arah flow direction yang diwakili kode arah aliran berupa angka-angka integer terdiri atas 1 (timur), 2 (tenggara), 4 (selatan), 8 (barat daya), 16 (barat), 32 (barat laut), 64 (utara) dan 128 (timur laut) seperti ditunjukkan pada Gambar I.7.

Gambar I.7. Kode arah aliran air flow direction (Kennedy, 2013)

b. Flow accumulation. Fitur flow accumulation digunakan untuk menentukan akumulasi aliran dari setiap grid pada raster flow direction. Suatu piksel yang memiliki nilai flow accumulation nol (0) menunjukkan tidak ada satu piksel yang mengalirkan air ke piksel tersebut, demikian juga jika suatu piksel memiliki flow accumulation tiga puluh lima (35), maka terdapat sejumlah 35 piksel yang mengalirkan air ke piksel tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar I.8.

(18)

c. Pour points adalah titik outlet atau titik yang dianggap sebagai tumpahan keluaran air yang mengalir di sungai pada DAS. Pour points menjadi kerangka dalam pembentukkan Watershed atau DAS

I.5.5. Penyajian Peta

Kartografi adalah ilmu dan teknik pembuatan peta (Prihandito, 1989). Peta adalah gambaran permukaan bumi pada skala tertentu dan digambarkan diatas bidang datar melalui sistem proyeksi (Prihandito, 2010). Tujuan pembuatan peta adalah menyajikan informasi spasial (ruang) kepada pemakai peta. Peta disajikan secara konvensional dan secara digital. Peta juga memiliki unsur-unsur yang ada pada peta agar mudah dipahami oleh pemakai peta. Unsur-unsur peta di antaranya :

a Judul peta

b Skala peta. Skala peta yaitu perbandingan jarak di peta terhadap jarak di lapangan c Simbol Peta

d Legenda dan arah utara peta e Sumber dan tahun pembuatan peta

f Sistem koordinat dan proyeksi peta. Sistem koordinat adalah sistem yang menyatakan posisi titik dalam koordinat. Proyeksi peta adalah tahapan membawa bidang permukaan lengkung bumi ke bidang datar diatas peta pada sistem koordinat tertentu.

g Datum. Datum merupakan sejumlah parameter untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran elipsoid referensi dalam pendefinisian koordinat geodetik, kedudukan dan orientasinya dalam ruang terhadap fisik bumi.

Dalam penyajian peta dibatasi oleh suatu garis tepi dimana diluar batas tepi daerah ini pada umumnya dicantumkan berbagai keterangan yang sering disebut dengan keterangan tepi. Keterangan tepi penting dicantumkan agar peta dapat digunakan sebaik-baiknya oleh pemakai peta, karena tidak semua pemakai peta paham dengan peta. Oleh karena itu keterangan peta dibuat dengan sebaik-baiknya. Untuk suatu rangkaian peta topografi terdapat suatu standar ukuran lembar peta dan juga standar keterangan tepi, termasuk posisi/letak informasi pada peta, ukuran huruf, ketebalan garis, warna-warna yang digunakan dan lain-lain (Prihandito, 1989)

Gambar

Tabel I.1. Nilai partikel ukuran tanah (M) dari kelas tekstur tanah   No.  Kelas tekstur  Nilai M
Tabel I.4. Jenis tanah dan nilai erodibilitas tanah (K)  No.  Jenis Tanah  Nilai K
Tabel I.5. Nilai faktor LS berdasarkan persentase kemiringan lereng  No.  Kemiringan lereng  Kelas lereng  Nilai LS
Tabel I.6. Nilai faktor tutupan lahan (C)
+7

Referensi

Dokumen terkait

dalam proses re-desain Pasar Kota Purbalingga yang meliputi konsep pencapaian dan penzoningan pada site/tapak, konsep ruang dagang pedagang K-5 pada open space konsep efisiensi

Walaupun tidak semua sasaran rencana Strategis termuat dalam Perjanjian Kinerja, namun dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) tetap

8 Penelitian lain yang dilakukan oleh Diana Aulya tahun 2013, pada polisi lalu lintas di Polres Metro Jaya Pusat terdapat 24,6% Polisi Lalu Lintas mengalami stres kerja

Kode Barang Asal-usul Cara Nomor Bahan Nomor Register Merk / Type Ukuran /cc Nama Barang /.

bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan oleh peserta – pesertanya dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik

Dari hasil penelitian di Dusun 12 Translok Desa Margasari Lampung Timur terdapat 7 jenis tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat antara lain api-api ( Avicennia marina )

Pantai Timur Jaya tidak dapat dipakai sebagai dasar dalam pengambilan keputusan bagi pemilik perusahaan yang juga dikasus ini adalah direktur perusahaan untuk mengganti