• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

2.1.1 Pengertian Tekanan Darah

Tekanan darah adalah kekuatan yang diperlukan agar darah dapat mengalir di dalam pembuluh darah dan beredar mencapai semua jaringan tubuh manusia. Darah yang dengan lancar beredar ke seluruh bagian tubuh berfungsi sangat penting sebagai media pengangkut Oksigen serta zat-zat lain yang diperlukan bagi kehidupan sel-sel tubuh. Selain itu, darah juga berfungsi sebagai sarana pengangkut sisa hasil metabolisme yang tidak berguna lagi dari jatingan tubuh (Gunawan, 2001). Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), sementara angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik) (Ruhyanudin, 2007).

Tekanan Darah Sistolik (TDS) menunjukkan tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut jantung) atau tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat. TDS dinyatakan oleh angka yang lebih besar jika dibaca pada alat pengukur tekanan darah. TDS normal 90 – 120 mmHg. Tekanan Darah Diastolik (TDD) menunjukkan tekanan darah dalam arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi di antara dua denyutan. TDD dinyatakan dalam angka yang lebih kecil jika dibaca pada alat pengukur tekanan darah. TDD normal 60 -80 mmHg. Tingginya TDS berhubungan dengan curah jantung, sedangkan TDD berhubungan dengan besarnya resistensi perifer (Kaplan dan Joseph, M.D., 2006).

(2)

Tekanan darah memiliki berbagai macam variasi tergantung pada keadaan, akan meningkat sesuai dengan aktivitas fisik, emosi, dan stres,dan akan turun selama tidur (Gray dkk., 2002). Stres, baik fisik maupun emosional, menyebabkan kenaikan sementara pada tekanan darah (Marvyn, 1995).Tekanan darah dalam satu hari juga berbeda, paling tinggi di waktu pagi hari dan paling rendah pada saat tidur malam hari (Ruhyanudin, 2007).

Tekanan darah biasanya diukur secara tidak langsung menggunakan sfigmomanometer raksa dan metode dengar bunyi atau metode aukultasi. Beberapa piranti pengukur tekanan darah menggunakan aneroid sebagai pengganti manometer raksa dan sebaikya harus selalu di kalibrasi dan dicek secara teratur. Alat pengukur tekanan darah ini sering disebut tensi meter, dan penggunaannya biasanya menggunakan alat bantu dengar yakni stetoskop (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001). Pengukuran tekanan darah dilakukan minimal 2 kali setiap kesempatan dalam jarak waktu yang cukup lama yaitu 5-10 menit, dengan tidak ada perbedaan hasil pada kedua lengan. Jika terdapat perbedaan, lengan yang mempunyai angka yang lebih tinggi digunakan sebagai patokan untuk pengukuran berikutnya (Gray dkk., 2002).

2.1.2 Pengertian Hipertensi

Hipertensi adalah suatu peningkatan abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri secara terus-menerus lebih dari suatu periode (Udjianti, 2010). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JIVC) sebagai tekanan yang

(3)

keparahannya (Ruhyanudin, 2007). Hipertensi merupakan penyakit dari masa dewasa tengah termasuk diatas 60 juta orang, diperkirakan bahwa 1 dari 6 individu mempunyai tekanan darah tinggi. (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes, 1996)

Menurut WHO, batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, sedangkan tekanan darah ≥165/95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi. Tekanan darah di antara normotensi dan hipertensi disebut

borderline hypertension (Garis Batas Hipertensi). Batasan WHO tersebut tidak membedakan usia dan jenis kelamin (Udjianti,2010).

Batasan hipertensi dengan memperhatikan perbedaan usia dan jenis kelamin menurut Udjianti (2010) yang mengutip pendapat Kaplan adalah sebagai berikut :

a. Laki-laki, usia ≤ 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 130/90 mmHg,

b. Laki-laki, usia > 45 tahun di katakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 145/95 mmHg,

c. Perempuan, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 160/95 mmHg. Hipertensi umumnya berkembang dengan lambat. Pada kebanyakan kasus dimulai dengan tekanan darah normal yang berkembang menjadi prahipertensi lalu akhirnya menuju hipertensi. Jika dibiarkan tidak diobati, hipertensi dapat merusak banyak organ dan jaringan tubuh, Semakin tinggi tahap hipertensinya dan semakin lama dibiarkan tak terkontrol, risiko cedera serangan akan makin besar (Sheps, 2005). Peningkatan tekanan darah memberikan gejala yang akan

(4)

berlanjut ke suatu organ target tertentu seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung), dan hipertrofi ventrikel kanan (untuk otot jantung) (Bustan, 2007).

Klasifikasi derajat tekanan darah menurut Joint National Commite (JNC VII) on Detection Evaluation mc and Treatment of Hight Blood Preasure tahun 2003 adalah:

a. Tekanan darah normal 120-130 mmHg TDS dan 80-89 mmHg TDD b. Hipertensi derajat I adalah 140-159 mmHg TDS dan 90-99 mmHg TDD c. Hipertensi derajat II adalah >160 mmHg TDS dan >100 mmHg TDD Sementara itu, ESH (Europian Society of Hypertension) dan ESC (Europian Society of Cardiology) tahun 2013 juga memakai batasan sebagai berikut untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit hipertensi berdasarkan TDS dan TDD (Mancia dkk., 2013): Sistolik Diastolik Optimal <120 <80 Normal 120-129 80-84 Normal Tinggi 130-139 85-89 Hipertensi Derajat 1 140-159 90-99 Hipertensi Derajat 2 160-179 100-109 Hipertensi Derajat 3 >180 ≥110 Hipertensi Terisolir ≥ 140 <90

(5)

atau petugas kesehatan menjadi waspada akan risiko ini dan dapat melakukan tindakan pencegahan (Siti dkk., 2008).

WHO menggunakan tekanan diastolik sebagai bagian tekanan yang dipakai dalam kriteria diagnosis dan klasifikasi. Tekanan darah manusia meliputi tekanan darah sistolik tekanan darah waktu jantung menguncup dan tekanan darah diastolik yakni tekanan darah waktu jantung istirahat. (Shadine, 2010)

Pentingnya perhatian terhadap diastolik dalam manajemen hipertensi berkaitan dengan lebih tinginya prevalensi hipertensi diastolik dibandingkan dengan prevalensi sistolik sehingga diastolik sangat penting dalam menegakan diagnosis hipertensi. Diastolik dapat digunakan dalam pengukuran keberhasilan pengobatan hipertensi dan menjadi pegangan dalam melakukan prognosis serta pedoman dalam evaluasi atau pengontrolan pengobatan. (Shadine, 2010)

2.2 Klasifikasi Hipertensi

2.2.1 Klasifikasi Berdasarkan Etiologi a. Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi Primer atau Esensial adalah persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal tanpa penyebab sekunder yang jelas (Sobel, 1996). Hipertensi esensial merupakan tipe paling umum dan termasuk 35%-95% dari individu dengan penyakit ini. Tidak ada penyebab yang mengidentifikasi hipertensi dan onsetnya tidak tampak dan perlahan-lahan, perkembangan meningkat tinggi pada tekanan darah dalam periode bertahun-tahun (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes, 1996). Menurut Kotchen (2010), hipertensi esensial cenderung bersifat familial dan besar

(6)

kemungkinannya merupakan akibat dari interaksi antara faktor lingkungan dan genetik. Prevalensi hipertensi esensial meningkat seiring usia, dan orang dengan tekanan darah yang relatif tinggi ketika muda berisiko lebih tinggi mengalami hipertensi di kemudian hari.

Selama 75 tahun terakhir telah banyak penelitian untuk mencari etiologinya (Gray, dkk., 2002). Pada tahap awal hipertensi primer curah jantung meninggi sedangkan tahanan perifer normal. Keadaan ini disebabkan peningkatan aktivitas simpatik. Pada tahap selanjutnya curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer meningkat yang disebabkan oleh refleks autoregulasi. Yang dimaksud dengan refleks autoregulasi adalah mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal. Peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan satu-satunya tanda hipertensi primer. Bergantung pada tingginya tekanan darah gejala yang timbul dapat berbeda-beda. Kadang hipertensi primer berjalan tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung (E J, Kapojos, 2001).

b. Hipertensi Sekunder atau non Esensial

Disebut hipertensi sekunder karena hal ini disebabkan oleh penyakit atau kelainan lain. Hipertensi sekunder biasanya terjadi lebih cepat dan menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan hipertensi esnsial atau primer, yang berkembang secara bertahap selama bertahun-tahun.

(7)

kadang-tekanan darah akan menurun. Bahkan pada orang tertentu akan menjadi normal kembali (Sheps, 2005). Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakain obat tertentu (misalnya pemakaian pil KB) (Depkes, 2014). Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder (Ruhyanudin, 2007):

1. Penyakit Ginjal (seperti: Stenosis arteri renalis, Pielonefritis, Glomerulonefritis, Tumor-tumor ginjal, Penyakit ginjal polikista, Trauma pada ginjal/luka yang mengenai ginjal, Terapi penyinaran yang mengenai ginjal)

2. Kelainan Hormonal (seperti: Hiperaldosteronisme, Sindroma Cushing, Feokromostioma)

3. Obat-obatan (seperti: Pil KB, Kortikosteroid, Siklosporin, Eritropoiten, Kokain, Penyalahgunaan alkohol, Kayu manis yang dikonsumsi dalam jumlah sangat besar)

4. Penyebab lainnya (seperti: Koartasio aorta, Preeklamsi pada kehamilan, Porfiria intermiten akut, Keracunan timbal akut)

2.3 Gejala Klinis Hipertensi

Hipertensi disebut juga the silent killer, sebab sering tanpa dibarengi tanda atau gejala yang memberi peringatan akan adanya masalah. tanpa dibarengi adanya masalah (Sheps, 2005). Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi. Gejala yang

(8)

dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan pada hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan (Ruhyanundin, 2007).

Jika penyakit hipertensi tidak ditangani dengan segera akan berlanjut menjadi hipertensi berat dan dapat menimbulkan gejala seperti sakit kepala/pusing (dibagian belakang kepala terutama pada pagi hari), jantung berdebar-debar, mudah marah, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, dunia terasa berputar (vertigo), penglihatan kabur/mata berkunang-kunang, mimisan, rasa berat ditengkuk, sering buang air kecil terutama pada malam hari dan telinga berdengung (tinnitus) (Kaplan dkk., 1991).

Hipertensi berat yang tidak ditangani segera dapat mengakibatkan komplikasi dengan meningkatkan kerusakan pembuluh darah yang meliputi arteri kecil (tahanan) dan arteriol serta arteri besar (saluran). Semua lesi ini bisa mengakibatkan morbiditas jantung, ginjal dan pembuluh darah otak serta kematian, (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001) Gejala lain akibat komplikasi hipertensi seperti gangguan penglihatan, gangguan saraf, gejala gagal jantung, dan gejala lain akibat gangguan fungsi ginjal sering di jumpai. Gagal jantung dan gangguan penglihatan banyak dijumpai pada hipertensi maligna, yang umumnya disertai pula dengan gangguan pada ginjal bahkan sampai gagal ginjal. Gangguan cerebral akibat hipertensi dapat merupakan kejang atau gejala-gejala akibat pendarahan pembuluh darah otak yang mengakibatkan kelumpuhan, gangguan kesadaran bahkan sampai koma (Riyadina, 2002).

(9)

2.4 Epidemiologi Hipertensi 2.4.1 Berdasarkan Orang

Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penghuni bumi mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025 (InaSh, 2007). Di Amerika Serikat, hipertensi dijumpai pada 15% golongan kulit putih dewasa dan 25-30% golongan kulit hitam. Golongan kulit hitam lebih banyak terkena hipertensi di bandingkan dengan yang berkulit putih dikarenakan pada kulit hitam mengkonsumsi garam lebih tinggi, makan makanan yang berlebihan sehingga terjadi kegemukan, mengkonsumsi alkohol serta stress yang berlebihan dikarenakan ketidaknyamanan golongan kulit hitam ini bergabung dan sering disepelekan oleh lingkungannya sehingga terjadi ketegangan jiwa. Di Amerika serikat dan beberapa negara maju lainnya hipertensi terjadi pada satu dari empat orang dewasa diatas umur 18 tahun dan satu dari dua orang diatas 50 tahun. Bila ditinjau perbandingan antara perempuan dan laki-laki, ternyata tidak ada perbedaan yang nyata kejadian hipertensi antara perempuan dan laki-laki (Sianipar, 2014).

Saat ini terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan. Beberapa puluh tahun lalu, hipertensi dan berbagai komplikasi beratnya dikenal sebagai penyakit yang hanya menyerang orang-orang tua (usia 50 tahun ke atas). Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak dijumpai kasus kematian mendadak, kelumpuhan, atau stroke yang menyerang orang-orang berusia muda (di bawah 50 tahun) (Khomsan, 2003).

(10)

Secara umum prevalensi hipertensi di Indonesia pada orang dewasa berumur lebih dari 50 tahun adalah antara 15%-20%. (InaSh, 2007). Survei faktor risiko penyakit kardiovasculer oleh WHO di Jakarta menunjukkan di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan jenis kelamin dengan tekanan darah 160/90 mmHg pada pria tahun 1988 sebesar 13,6%, tahun 1993 sebesar 16,5% dn pada tahun 2000 sebesar 12,1%. Sedangkan pada wanita prevalensi tahun 1988 mencapai 16%, tahun 1993 sebesar 17% dan tahun 2000 sebesar 12,2% (Tripena, 2011).

2.4.2 Berdasarkan Tempat

Prevalensi hipertensi berbeda-beda pada setiap daerah tergantung pada pola kehidupan masyarakatnya itu sendiri. Saat ini terdapat adanya kecenderungan bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat perdesaan. Hal ini antara lain dihubungkan dengan adanya gaya hidup masyarakat kota yang berhubungan dengan risiko penyakit hipertensi seperti stress yang berlebihan, obesitas (kegemukan dikarenakan makan yang tidak terkendali), kurangnya olah raga dikarenakan tidak adanya waktu atau kesempatan yang digunakan hanya untuk bekerja, merokok, alkohol dan makan makanan yang mengandung tinggi kadar lemaknya (Kaplan, 1991).

Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyebutkan provinsi dengan angka prevalensi paling tinggi ditempati provinsi Bangka Belitung dengan angka prevalensi 30,9 % dan terendah di Papua 16,8% terdapat pada usia >18 tahun. (Kemenkes RI, 2013) Sedangkan menurut kabupaten/kota dengan prevalensi

(11)

tertinggi ada di Natuna 53,3% dan paling rendah terletak di Jaya Wijaya 6,8%. (Kemenkes RI, 2007).

2.4.3 Berdasarkan Waktu

Prevalensi penyakit hipertensi cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, hampir satu miliar orang atau kira kira 26% dari populasi dewasa dunia mengalami hipertensi. Ini biasa terjadi baik di negara maju (333 juta) maupun di negara berkembang (639 juta). Per tahun 2006 hipertensi menyerang 76 juta orang dewasa di Amerika Serikat (34% dari populasi) dan kasus terbanyak terjadi pada orang dewasa ras Afrika-Amerika yakni sebesar 44% (Napitupulu, 2014). Sementara itu, di Indonesia hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004 (Rahajeng, E dkk.,2009).

2.5 Komplikasi

Hipertensi harus dikendalikan sebab semakin lama tekanan yang berlebihan pada dinding arteri dapat merusak banyak organ vital dalam tubuh. Tempat-tempat utama yang paling dipengaruhi hipertensi adalah pembuluh arteri, jantung, otak, ginjal, dan mata. Beberapa komplikasi yang dijelaskan dibawah ini kadang-kadang memerlukan penangan segera (Sheps,2005).

(12)

a. Jantung

Penyakit jantung adalah kausa tersering kematian pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi terjadi karena adaptasi struktural dan fungsional yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik, Gagal Jantung Kronik, kelainan aliran darah karena penyakit aterosklerotik arteri koronia dan penyakit mikrovaskular, serta aritmia jantung. Baik faktor genetik maupun haemodinamik ikut berperan menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri. Orang dengan hipertrofi ventrikel kiri berisiko mengalami ,stroke, Gagal Jantung Kronik, dan kematian mendadak (Kotchen, 2010).

Peningkatan gejala penyakit jantung pada tekanan diastolik yang rendah mungkin disebabkan karena rendahnya tekanan perfusi koroner, yang dengan miokard yang menebal disertai resistensi arteriol yang meninggi akibat proses hipertensi, menyebabkan iskemia jantung terutama pada malam hari ketika tekanan darah biasanya paling rendah (Gray dkk, 2002).

b. Ginjal

Kira-kira seperlima dari darah yang dipompa jantung akan melewati ginjal. Ginjal mengatur keseimbangan mineral, derajat asam dan air dalam darah. Ginjal juga menghasilkan zat-zat kimia yang mengontrol ukuran pembuluh darah dan fungsinya, akan tetapi hipertensi dapat mempengaruhi proses yang rumit ini. Jika pembuluh darah dalam ginjal mengalami aterosklerosis karena tekanan darah yang terlalu tinggi, maka aliran darah ke nefron akan menurun sehingga ginjal tidak dapat membuang semua produk sisa dari dalam darah. Lama-kelamaan

(13)

produk sisa akan menumpuk dari dalam darah, ginjal akan mengecil dan berhenti fungsi (Sheps, 2005).

Jika kedua ginjal tidak berfungsi lagi, maka bisa diperlukan dialisis ginjal (cuci darah) atau pencangkokan ginjal. Pencucian darah proses pembuangan produk sisa dari dalam darah melalui mesin filter di luar tubuh. Sebagian fungsi ginjal adalah membantu mengontrol tekanan darah dengan mengatur jumlah natrium dan air dalam darah. Karena itu kerusakan ginjal dapat memperparah hipertensi (Sheps, 2005).

Pada hipertensi hebat yang dipercepat, gagal ginjal akut sering terjadi dan merupakan penyebab utama kematian jika hipertensi tidak diterapi dengan tepat. Kejadian demikian merupakan suatu kedaruratan medis (Gray dkk, 2002). Kelompok yang paling rentan terkena kerusakan ginjal akibat hipertensi adalah orang berusia lanjut, penyandang obesitas, orang berkulit hitam, dan mereka yang berasal dari subbenua India, terutama penyandang diabetes (O’Callaghan, 2006).

c. Otak

Hipertensi secara signifikan meningkatkan kemungkinan terserang stroke. Penelitian yang dilakukan selama 35 tahun dalam Framingham Heart Study menunjukan bahwa 56% stroke pada pria dan 66% stroke pada wanita berhubungan langsung dengan hipertensi. Stroke, disebut juga dengan serangan otak, merupakan sejenis cedera otak yang disebabkan tersumbatnya atau pecahnya pembuluh darah dalam otak sehingga pasokan darah ke otak terganggu (Sheps, 2005).

(14)

Sekitar 85% stroke disebabkan oleh infark dan sisanya disebabkan oleh perdarahan, baik perdarahan intraserebral maupun perdarahan subaraknoid. Pada orang berusia >65 tahun, insiden stroke meningkat progresif seiring dengan peningkatan darah, terutama tekanan darah sistolik (Kotchen, 2010). Stroke dan serangan iskemik transien lebih sering ditemukan pada penderita hipertensi. Selama stroke, tekanan darah akan meningkat secara akut dan perlu kehati-hatian untuk menurunkannya terlalu cepat atau mendadak. Resistensi vaskular serebral akan meningkat karena efek hipertensi jangka panjang, juga kemungkinan efek akut edema serebral, dan reduksi berlebihan tekanan perfusi arteri serebral dapat meningkatkan iskemia serebral (Gray dkk, 2002).

2.6 Faktor Risiko Hipertensi

2.6.1 Faktor Risiko Yang Tidak Dapat Diubah

a. Umur

Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enam puluhan (Sugiharto, 2007).

(15)

berusia 55 tahun dengan tekanan darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vaskular dalam 10 tahun mendatang sekitar 14% (Gray dkk, 2002). Risiko wanita meningkat setelah mengalami masa menopause (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Baik pria maupun wanita hidup lebih lama dan 50% dari mereka yang berusia diatas 60 tahun akan menderita hipertensi sistolik terisolasi (TD sistolik 160 mmHg dan diastolik 90 mmHg). Karena risiko kardiovaskular meningkat sesuai usia maka pasien usia lanjut dengan tekanan darah seperti ini akan lebih memerlukan terapi daripada pasien usia lebih muda (Gray dkk, 2002).

b. Jenis Kelamin

Pada usia dini tidak dapat bukti nyata tentang adanya perbedaan tekanan darah laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, mulai pada masa remaja, laki-laki cenderung menunjukan arah rata-rata yang lebih tinggi. Perbedaan ini lebih jelas terlihat pada orang dewasa muda dan orang setengah baya. Pada usia tua, perbedaan itu menyempit dan polanya bahkan dapat berbalik. Perubahan pada masa tua antara lain dapat dijelaskan dengan tingkat kematian awal yang lebih tinggi pada pria setengah baya pengidap hipertensi, sementara perubahan pasca-menopause pada wanita dapat pula berpengaruh. Banyak penelitian sedang dilakukan untuk mengevaluasi apakah penambahan estrogen dapat melindungi terhadap kenaikan-relatif tekanan darah pada masa tua seorang wanita (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

Di antara penduduk AS yang berumur 18 tahun ke atas, 34% pria dan 31% wanita berkulit hitam mempunyai hipertensi. Bandingkan dengan 25% pria dan

(16)

21% wanita berkulit putih yang mengidap hipertensi. Sedangkan pada orang Hispanik terdapat 23% dan 22% wanita. Pada keturunan Asia dan suku-suku di kepulauan Pasifik ditemukan hanya 10% pria dan 8% wanita. Sedangkan di antara orang Indian Amerika, kira-kira 27% pria dan 27% wanitanya menderita hipertensi (Sheps, 2005).

c. Riwayat Keluarga

Orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer (Nurkhalida, 2003). Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat.

Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya menderita hipertensi. (Sugiharto, 2007) Menurut Sheps, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan penyakit tersebut 60% (Sheps, 2005).

d. Genetika

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang

(17)

alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Sugiharto, 2007).

Dibanding orang kulit putih, orang kulit hitam di negara barat lebih banyak menderita hipertensi, lebih tinggi tingkat hipertensinya, dan lebih besar tingkat morbiditas maupun mortalitasnya, sehingga diperkirakan ada kaitan hipertensi dengan perbedaan genetik. Beberapa peneliti mengatakan terdapat kelainan pada gen angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifat poligenik. (Gray dkk, 2002)

e. Suku

Berdasarkan hasil-hasil National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), Amerika Serikat memiliki prevalensi 28,7% pada orang dewasa atau sekitar 58,4 juta orang yang mengidap hipertensi. Prevalensi hipertensi adalah 33,5% pada orang berkulit hitam non Spanyol, 28,9% pada orang berkuit putih non-Spanyol, dan 20,7% pada orang Amerika Meksiko (Kotchen, 2010). Kira-kira 23% penduduk AS yang berkulit putih berusia 18-74 tahun mempunyai hipertensi. Pada orang berkulit hitam jumlahnya 33%, orang Indian 21%, orang Hispanik 18% dan pada keturunan Asia dan kepulauan Pasifik jumlahnya menurun menjadi 16% (Sheps, 2005). Terdapat perbedaan tekanan darah yang nyata antara populasi kelompok daerah kurang makmur dengan daerah maju, seperti bangsa Indian Amerika Selatan yang tekanan darahnya rendah dan tidak banyak meningkat sesuai dengan pertambahan usia dibanding masyarakat Barat. (Gray dkk., 2002)

(18)

Budi Darmojo (2001) dalam tulisannya Mengamati Perjalanan Epidemiologi Hipertensi di Indonesia, melaporkan prevalensi hipertensi pada penduduk 20 tahun ke atas di berbagai daerah mempunyai angka berkisar 5-15%, prevalensi terendah terdapat pada suku Lembah Bileam Jaya sedangkan yang tertinggi terdapat ada suku Jawa 11,4%. (Darmojo, 2001)

f. Status sosioekonomi

Dinegara-negara yang berada pada tahap pasca-peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi, selalu dapat ditunjukan bahwa tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi rendah. Hubungan yang terbalik itu ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Akan tetapi dalam masyarakat yang berada dalam masa peralihan dan pra-peralihan dan prevalensi-hipertensi yang lebih tinggi ternyata terdapat pada golongan sosioekonomi yang lebih tinggi. Ini barangkali menggambarkan tahap awal epidemi penyakit kardiovaskuler. Pengalaman pada sebagian besar masyarakat telah menunjukan bahwa peningkatan epidemi berpengaruh pada pembalikan golongan sosial ini (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

2.6.2 Faktor Risiko Yang Dapat Diubah

a. Obesitas

Obesitas mempunyai korelasi positif dengan hipertensi. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Volume darah yang beredar melalui pembuluh darah

(19)

Anak-anak remaja yang mengalami kegemukan cenderung mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi). Ada dugaan bahwa meningkatnya berat badan normal relatif sebesar 10 % mengakibatkan kenaikan tekanan darah 7 mmHg. Oleh karena itu, penurunan berat badan dengan membatasi kalori bagi orang-orang yang obes bisa dijadikan langkah positif untuk mencegah terjadinya hipertensi (Khomsan, 2003; Sheps, 2005). Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan lebih (Nurkhalida, 2003).

Pengamatan WHO tahun 1996, menunjukan bahwa kenaikan TDS 2-3 mmHg dan TDD 1-3 mmHg utuk setiap kenaikan 10 kg bobot tubuh. Bagi seseorang yang memiliki lemak bertumpuk pada daerah sekitar pinggang dan perut (bentuk buah apel) lebih mungkin terkena tekanan darah tinggi bila dibandingkan mereka yang memiliki kelebihan lemak dipaha dan pinggul. Indeks massa tubuh digunakan untuk mengukur kadar kegemukan kombinasi atau perbandingan antara berat badan dan tinggi badan. Dimana dikatakan kurus bila IMT kurang dari 20, berat badan sehat bila IMT 20-25, kawasan peringatan bila IMT 25-27 dan obesitas bila IMT diatas 27 (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).

(20)

b. Konsumsi Garam

Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa orang, baik yang sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada kelompok lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga memicu terjadinya hipertensi (Sheps, 2005). Menurut Alison Hull, penelitian menunjukkan adanya kaitan antara asupan natrium dengan hipertensi pada beberapa individu. Asupan natrium akan meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan volume darah (Hull, 1993).

Menurut Laporan Komisi Pakar WHO, diet garam dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah dan prevalensi hipertensi. Efek ini diperkuat dengan diet kalium yang rendah. Penurunan diet natrium dari 180 mmol (10,5 gr) perhari menjadi 80-100 mmol (4,7-5,8 perhari) menurunkan tekanan darah sistolik 4-5 mmHg (Laporan Komisi Pakar WHO,2001).

c. Kebiasaan Merokok

Walaupun merokok bukan sebagai penyebab utama naiknya tekanan darah, tidak perlu diragukan bahwa bobot bukti klinis dan laboratorium menentang kebiasaan itu karena merupakan satu faktor penyokong bagi timbulnya hipertensi (Marvyn, 1995). Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi (Nurkhalida, 2003).

(21)

Nikotin dalam tembakau merupakan penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama. Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah mencapai otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan berada pada level tinggi sepanjang hari. (Sheps, 2005).

d. Kebiasaan Konsumsi Alkohol

Orang-orang yang minum alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebihin tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit (Hull, 1993) Konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol (Khomsan, 2003). Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah (Nurkhalida, 2003).

(22)

Diperkirakan konsumsi alkohol berlebihan menjadi penyebab sekitar 5-20% dari semua kasus hipertensi. Mengkonsumsi tiga gelas atau lebih minuman berakohol per hari meningkatkan risiko mendapat hipertensi sebesar dua kali. Bagaimana dan mengapa alkohol meningkatkan tekanan darah belum diketahui dengan jelas. Namun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam jangka panjang, minum-minuman beralkohol berlebihan akan merusak jantung dan organ-organ lain (Bustan, 2007;Sheps, 2005).

e. Olahraga

Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko menderita kelebihan berat badan (Sheps, 2005). Dengan berolahraga secara teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan juga dapat mencegah obesitas serta mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (Dalimartha, 2008).

Latihan fisik aerobik sedang secara teratur (jalan atau renang selama 30-45 menit 3-4 kali seminggu) lebih efektif menurunkan tekanan darah dibandingkan dengan olahtaga berat seperti lari. Latihan fisik isometrik seperti angkat besi dapat meningkatkan tekanan darah dan harus dihindari bagi yang berisiko terkena hipertensi (Joewono, 2003).

f. Stress

Sejumlah penyebab dan akibat tekanan darah tinggi mungkin berhubungan dengan stress. Bentuk stress bisa berupa situasi yang mengancam hidup, masalah bisnis, kecemasan akan kesehatan seseorang atau sekedar ketegangan hidup

(23)

Kelenjar seperti tiroid dan adrenalin bereaksi dengan meningkatkan pengeluaran hormon aktif mereka. Kebutuhan otak akan darah juga meningkat. Jantung bereaksi atas tuntutan yang meningkat terhadap darah dari otak dan otot dengan menyediakannya secara lebih cepat. Bentuk stres yang membuat tekanan darah naik selama beberapa bulan bahkan beberapa tahun akhirnya mengakibatkan suatu komplikasi yang harus diobati (Marvyn, 1995).

2.7 Upaya Pencegahan Hipertensi 2.7.1 Pencegahan Primordial

Pencegahan hipertensi secara primordial adalah upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap hipertensi dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko. Upaya ini dimaksudkan dengan memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan pencegahan terjadinya hipertensi mendapat dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup, dan faktor lainnya, misalnya menciptakan kondisi sehingga masyarakat merasa bahwa rokok itu suatu kebiasaan yang kurang baik dan masyarakat mampu bersikap positif terhadap bukan perokok, merubah pola konsumsi masyarakat yang sering mengonsumsi makanan cepat saji (Sianipar, 2014).

2.7.2 Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah upaya pencegahan awal sebelum seseorang terkena penyakit hipertensi, dimana dilakukan penyuluhan faktor-faktor risiko hipertensi terutama kepada kelompok yang berisiko tinggi (Bustan,2007). Adapun upaya pencegahan primer untuk penyakit hipertensi antara lain :

(24)

a. Mengontrol pola makan

Faktor risiko dapat dihindari dengan cara menjauhi makan makanan berlemak dan mengandung banyak garam. American Heart Association

menyarakan konsumsi garam sebanyak satu sendok teh per hari. Sementara kebutuhan lemak sangat kecil, disarankan kurang dari 30% dari konsumsi kalori setiap hari. Lemak tersebut dibutuhkan untuk menjaga organ tubuh tetap berkerja dan berfungsi dengan baik (Dalimartha, 2008).

b. Tingkatkan konsumsi potasium dan magnesium

Pola makan yang rendah potasium dan magnesium menjadi salah satu faktor pemicu tekanan darah tinggi. Buah-buahan dan sayuran segar merupakan sumber terbaik bagi kedua nutrisi tersebut (Dalimartha, 2008). Buah-buahan dan sayuran mengandung serat, zat-zat gizi, bebas lemak dan rendah kalori. Juga fitokimia yaitu zat-zat yang membantu mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler serta beberapa jenis kanker. Menggantikan makanan berlemak dan berkalori tinggi dengan sayuran dan buah-buahan adalah salah satu cara mudah untuk memperbaiki pola makan tanpa mengurangi jumlah yang dimakan (Sheps, 2005). c. Makan makanan jenis padi-padian

Dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam American Journal Clinical Nutrition ditemukan bahwa pria yang mengonsumsi sedikitnya satu porsi sereal dan jenis padi-padian per hari mempunyai kemungkinan yang sangat kecil (0-20%) untuk terkena penyakit jantung. Semakin banyak konsumsi padi-padian, semakin rendah risiko penyakit jantung koroner, termasuk terkena hipertensi.

(25)

salah satu langkah penting menurunkan tekanan darah dan menghindari komplikasi akibat dari hipertensi (Dalimartha,2008)

d. Tingkatkan aktivitas fisik

Aktivitas fisik sangat penting untuk mengendalikan tekanan darah sebab membuat jantung lebih kuat. Aktivitas fisik yang teratur dapat menurunkan tekanan darah sebanyak 5-10 mmHg. Setelah beraktivitas tekanan darah kita untuk sementara akan menjadi rendah.

Latihan aerobik merupakan aktivitas fisik yang paling efektif untuk mengendalikan tekanan darah. Suatu aktivitas fisik disebut aerobik jika menyebabkan peningkatan kemampuan jantung, paru-paru dan otot, yang berarti pula peningkatan kebutuhan akan oksigen. Beberapa contoh bentuk aerobik yang lazim dilakukan antara lain joging, berjalan kaki, bersepeda, dan berenang (Dalimartha, 2008).

e. Sertakan bantuan dari kelompok pendukung

Sertakan keluarga dan teman menjadi kelompok pendukung pola hidup sehat. Dukungan dan partisipasi orang lain membuat lebih mudah dan lebih asyik bagi setiap orang. Penelitian menunjukan dukungan kelompok terbukti berhasil dalam mengubha gaya hidup untuk mencegah hipertensi (Dalimartha, 2008). f. Berhenti merokok dan hindari konsumsi alkohol berlebih

Dengan berhenti merokok, tekanan darah sebenarnya hanya akan turun beberapa poin saja. Namun berhenti merokok tetaplah penting bagi kesehatan. Alasannya adalah dapat meningkatkan efektifitas obat dan mengurangi risiko komplikasi dari penyakit hipertensi.

(26)

Fakta menunjukkan, mengurangi konsumsi alkohol dapat menurunkan tekanan. Peminum berat yang mengubah kebiasaanya menjadi peminum sedang dapat mengalami penurunan tekanan sistolik sebesar 5 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 3 mmHg. Penurunan tekanan darah lebih banyak lagi yaitu sebesar kira-kira 10 mmHg untuk tekanan sistolik dan 7 mmHg untuk tekanan diastolik dapat dicapai bila pengurangan penggunaan alkohol dikombinasikan dengan makanan yang bergizi (Sheps, 2005).

2.7.3 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan kepada individu yang memiliki risiko untuk terjadinya hipertensi. Pencegahan sekunder dilakukan dengan pemeriksaan dini untuk mendeteksi adanya hipertensi dan melakukan terapi bukan obat dan terapi obat. Terapi bukan obat dilakukan dengan pengurangan berat badan pasien hipertensi agar lemak yang didalam tubuh tidak menghambat peredaran darah karena adanya penyempitan pada pembuluh darah. Sedangkan terapi obat dilakukan untuk mencegah terjadinya proses penyakit yang lebih lanjut dan komplikasi (Sobel, 1996).

Pemeriksaan yang lebih teliti perlu ditingkatkan pada organ target untuk menilai komplikasi hipertensi. Identifikasi pembesaran jantung, tanda payah jantung, pemeriksaan funduskopi, tanda gangguan neurologi dapat membantu menegakan diagnosa komplikasi akibat hipertensi (Kaplan, 1991).

Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan data anamnese, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan penunjang. Pada 70-80

(27)

walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi esensial. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar (Kaplan dkk., 1991). Beberapa pasien akan memerlukan pemeriksaan penunjang yang lebih kompleks dan dirujuk ke spesialis, contohnya pasien dengan hipertensi maligna, pasien dengan dugaan hipertensi sekunder, pasien dengan masalah terapi atau kegagalannya, dan pasien dengan keadaan khusus (misalnya kehamilan) (Gray dkk, 2002).

Pada wanita keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan, riwayat persalinan, penggunaan pil kontrasepsi, diperlukan dalam anamnesis. Selain itu data mengenai penyakit penyerta yang timbul bersamaan seperti diabetes melitus, gangguan hyperthyroid, rematik, gangguan ginjal serta faktor risiko terjadinya hipertensi seperti rokok, alkohol, stress dan data obesitas perlu diberitahukan kepada dokter yang memeriksa (Riyadina, 2002; Kaplan dkk, 1991).

Pemeriksaan yang lebih teliti perlu dilakukan pada organ target untuk menilai komplikasi hipertensi. Identifikasi pembesaran jantung, tanda payah jantung, pemeriksaan funduskopi, tanda gangguan neurologi dapat membantu menegakkan diagnosis komplikasi akibat hipertensi. Pemeriksaan fisik lain secara rutin perlu dilakukan untuk mendapatkan tanda kelainan lain yang mungkin ada hubungan dengan hipertensi (Riyadina, 2002; Kaplan dkk, 1991).

Pencegahan bagi yang terancam dan menderita hipertensi adalah dengan dilakukan (Sobel, 1996) :

(28)

a. Pemeriksaan berkala :

- Pengukuran tekanan darah secara berkala dilakukan tim medis untuk mengetahui apakah menderita hipertensi atau tidak

- Mengendalikan tensi secara teratur agar tetap stabil dengan atau tidak menggunakan obat anti hipertensi

b. Pengobatan/perawatan

- Pengobatan segera dilakukan supaya penderita hipertensi dapat segera dikendalikan penyakit hipertensinya

- Menghindari komplikasi dengan menjaga agar tidak terjadinya hiperkolesterolemia, diabetes melitus dan lain lain

- Menstabilkan tekanan darah agar penderita hipertensi kualitas hidupnya tidak menurun sehingga mampu beraktivitas dengan baik

- Memperkecil efek samping pengobatan supaya tidak timbul penyakit lainnya

- Mengobati penyakit pendamping seperti : penyakit diabetes melitus dan penyakit jantung koroner

(29)

2.7.4 Pencegahan Tersier

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan tersier menurut Sobel (1996) adalah :

a. Menurunkan tekanan darah ketingkat normal

b. Mencegah memberatnya tekanan darah tinggi sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada jaringan tubuh

c. Memulihkan kerusakan organ dengan obat anti hipertensi

d. Mengontrol tekanan darah sehingga tidak menimbulkan komplikasi penyakit seperti stroke, penyakit jantung koroner

e. Melakukan penanganan cepat dan tepat, menghindari kecacatan dan kematian akibat hipertensi yang tidak terkendali

(30)

2.8 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Komplikasi Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014 adalah sebagai berikut.

KARAKTERISTIK PENDERITA HIPERTENSI DENGAN KOMPLIKASI 1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Agama Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal 2. Derajat Hipertensi 3. Keluhan Utama 4. Jenis Komplikasi 5. Lama Rawatan 6. Sumber Biaya

Referensi

Dokumen terkait

Merupa upaka kan n pom pompa pa yan yang g ber berfun fungsi gsi men mengan gangka gkat t (ja (jack) ck) por poros os tur turbin bin den dengan gan tek tekana anan

Menurut PSAK, (revisi 2009) tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang

Kegiatan Perkesmas (Keperawatan Kesehatan Masyarakat) di Puskesmas Pedan dilakukan dalam bentuk kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit–penyakit tidak

Berdasarkan hasil dari penelitian bahwa ekstraksi DNA dengan metode Chelex ini dapat digunakan untuk ekstraksi DNA dari sampel bite marks. Hasil uji kuantitasi DNA

ANALISIS DAYA SAING USAHA TANI KOPI ROBUSTA (COFFEA CANEPHORA) DI KABUPATEN REJANG LEBONG (Fery Murtiningrum, dibawah bimbingan Dr.Putri Suci Asriani, S.P, MP. Di

Dalam bahasa aslinya, seperti ditulis kembali oleh Pursal (nama aslinya Purnama Salura) dalam Arsitektur Yang Membodohkan, berbunyi 'Haec autem ita fieri debent, ut

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa promosi penjualan, pemasaran media sosial dan motivasi belanja hedonis berpengaruh terhadap perilaku pembelian impulsif

Berdasarkan hasil analisis data siswa secara statistik terhadap hasil tes yang telah dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kuningan tentang perbandingan kemampuan