• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjuan umum Aliran Sosiologis - Tabah Waluyo BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjuan umum Aliran Sosiologis - Tabah Waluyo BAB II"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan umum Aliran Sosiologis

1. Pengertian Aliran Sosiologis

Manusia, sejak lahir telah dilengkapi dengan naluri untuk hidup bersama dengan orang lain, karena itu akan timbul suatu hasrat untuk hidup teratur, yang mana teratur menurut seseorang belum tentu teratur buat orang lain sehingga akan menimbulkan suatu konflik. Keadaan tersebut harus dicegah untuk mempertahankan integrasi dan integritas masyarakat. Dari kebutuhan akan pedoman tersebut lahirlah norma atau kaidah yang hakekatnya muncul dari suatu pandangan nilai dari perilaku manusia yang merupakan patokan mengenai tingkah laku yang dianggap pantas dan berasal dari pemikiran normatif atau filosofis, proses tersebut dinamakan sosiologi.

(2)

peraturan-peraturan yang menunjuk „kebiasaan‟ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005:171). Sebagai alat untuk merekayasa (mengubah) masyarakat, hukum harus dipergunakan untuk mewujudkan perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah perubahan-perubahan sosial (perubahan masyarakat) yang direncanakan lebih dulu atau perubahan yang dikehendaki. Maka, dalam pandangan Roscou Pound hukum dipergunakan sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan masyarakat yang harus berlangsung secara tertib dan berencana.

Sociological Jurisprudence yang juga sering disebut sebagai aliran

hukum fungsional (Functional Anthropological). Aliran Sosciological

Jurisprudence (hukum fungsional) memiliki pengaruh yang cukup

signifikan dalam praksis hukum di Indonesia khususnya dalam rangka pembangunan hukum sebagai salah satu aspek dari praksis hukum yang bersifat praktis. Namun, selain pengaruh aliran Sociologial Jurisprudence, jauh sebelum itu, pengaruh aliran positivisme hukum dan mazhab sejarah sudah lebih dahulu di Indonesia sejak jaman kolonial (Sukrisna A. Samadi, 4: 2012).

(3)

terasa pada aliran Sociological Jurisprudence. Maka, sebagai sintesis dari dua aliran pemikiran hukum yang saling bertentangan, pemikiran positivisme hukum dan mazhab sejarah diterima dalam aliran Sociological

Jurisprudence (Hotma P. Sibuea, 2016:4).

Kedua aliran pemikiran hukum diterima tetapi dengan modifikasi tertentu. Aliran Sociological Jurisprudence mengemukakan bahwa hukum positif yang ditetapkan oleh penguasa adalah baik jikalau sesuai dengan hukum yang lahir (tumbuh) dalam masyarakat (living law). Oleh sebab itu, aliran ini mencanangkan inti pokok gagasannya yaitu bahwa “Hukum

yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat” (Hotma P. Sibuea, 2016:5).

Aquinas memberikan jawaban bahwa hukum seharunya mengikuti prinsip manusia dalam bertindak, karena hal itu merupakan aturan dan juga ukurannya. Ukuran tersebut adalah “kebahagiaan atau kebahagiaan

(moral)”. Karena memang tujuan dari adanya hukum adalah untuk

mencapai kebahagiaan, the last end of humanlife is happiness or be

attitude. Oleh Karena itu hukum harusnya mencapai sebuah kebahagiaan

bukan sebaliknya. Dalam hubungannya manusia dalam menciptakan hukum, Aquinas berpendapat bahwa tujuan dari terbentuknya hukum adalah mengantarkan manusia menuju kebajikan, as thephilosopher says,

the intention of the lawgiveris to lead men to virtue (Surya Desismansyah

(4)

Mochtar Kusumaatmadja mengadaptasi aliran Sociological

Jurisprudence dan hasilnya muncul suatu pemikiran filosofis hukum yaitu

“Konsepsi Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat.” Konsepsi

Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Maka, hukum yang ideal dalam pandangan konsepsi hukum ini adalah hukum yang ditetapkan oleh negara tetapi sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat). Maka, hukum itu memiliki kepastian hukum karena ditetapkan oleh negara tetapi sekaligus menceminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (Hotma P. Sibuea, 2016:1).

Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri (Soerjono Soekanto, 2005:174).

(5)

masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat. Secara idealnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum (Johni Najwan, 2016:2). Pendekatan ini lebih melihat hukum sebagai bangunan sosial (social

institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum

tidakdipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapisebagai kenyataan sosial yang ada dalam kehidupan.

Sistem hukum mereka menempatkan hukum dan proses hukum dalam konteks konseptual yang lebih besar, melihat hukum hanya sebagai bagian dari sistem sosial yang jauh lebih luas dan sebagian besar dari mereka mengambil bentuk kritik eksplisit. Pendekatan antropologis dan sosiologis untuk hukum menggunakan kerangka referensi yang tidak mudah dimasukkan ke dalam kategori hukum (Haney Craig, 2011:5). Seperti psikologi, hukum nampaknya lebih segera berkepentingan dengan orang, dan kurang langsung dengan variabel seperti budaya atau kelas sosial (Haney Craig, 2011:7).

(6)

(social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya. Hukum tidakdipahami sebagai teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapisebagai kenyataan sosial yang ada dalam kehidupan. Hukum tidak dipahamisecara tekstual normatif tetapi secara konteksual. Secara konstitusional, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 28D, menyatakan:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kepentingan manusia, bukan kepentingan hukum itu sendiri. Dalam hal Undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap wajib berpegang pada Undang-undang.

(7)

Untuk memberi basis yang lebih kuat terhadap agenda alternatif, maka di sini ingin diusulkan agar negara hukum ini menggunakan paradigma ganda, yaitu negara hukum yang tidak hanya menggunakan paradigma peraturan saja, tetapi juga paradigma moral (Satjipto Raharjo, 2008:103).

B. Mazhab dalam Aliran Sosiologis

Sosiologi hukum untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seseorang berkebangsaan Italia yang bernama Anzilotti pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada hakikatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli pemikir baik di bidang filsafat (hukum), ilmu maupun sosiologi (Soerjono Soekanto, 2005:176). Berikut beberapa Mazhab dalam Aliran Sosiologis :

1. Mazhab Formalistis a. Mazhab Positivis

Berpendapat bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah serta harus dipisahkan. Salah satu pendapat ahli John Austin (1790-1859). Bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan. Bahwa hukum adalah merupakan perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk berpikir, dimana perintah dilakukan oleh makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Bahwa hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup, dan oleh karena itu ajarannya dinamakan analytical

(8)

dibuat oleh Tuhan dan hukum yang disusun oleh Manusia. Hukum yang disusun oleh manusia dibedakan menjadi dua, yaitu hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.

Hukum yang sebenarnya : hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu- individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Mengandung 4 unsur, yaitu perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.

Hukum yang tidak sebenarnya bukanlah merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, akan tetapi merupakan peraturan-peraturan yang disusun oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan tertentu.

b. Mazhab tentang Hukum

Hans Kelsen berpendapat suatu sistem hukum sebagai suatu sistem pertanggapan dari kaidah-kaidah, dimana suatu kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan dinamakan kaidah dasar atau Grundnorm. Setiap sistem hukum merupakan Stunfenbau daripada kaidah-kaidah.

(9)

2. Mazhab Sejarah dan Kebudayaan

Hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah dan kebudayaan dimana hukum itu timbul. Beberapa pendapat para ahli : a. Friedrich Karl Von Savigny

Hukum merupakan perwujudan dari Kesadaran hukum masyarakat (volksgeit). Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan bukan dari pembentuk UU.

b. Sir Henry Main

Perkembangan hukum dari status ke Kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat sederhana ke masyarakat yang modern dan kompleks. Hubungan-hubungan hukum yang didasarkan pada status warga masyarakat yang masih sederhana, berangsur-angsur akan hilang apabila masyarakat tadi berkembang menjadi masyarakat yang modern dan kompleks (Soerjono Soekanto, 2005:178).

3. Mazhab Utilitarianism

(10)

4. Mazhab Sociological Jurisprudence a. Eugen Ehrlich

Bahwa hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang ada dalam masyarakat. Pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada Badan-badan legislatif, keputusan-keputusan Badan yudikatif ataupun Ilmu hukum, akan tetapi terletak justru terletak dalam masyarakat itu sendiri.

b. Roscoe Pound

Hukum harus dilihat/dipandang sebagai suatu lembaga Kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan Sosial, sedangkan tugas dari ilmu hukum yaitu untuk memperkembangkan suatu kerangka dimana kebutuhan-kebutuhan Sosial terpenuhi secara maksimal.

Konsepnya yang terkenal adalah law as a tool of Social

engineering artinya hukum sebagai alat untuk mewujudkan

perubahan-perubahan di bidang sosial. 5. MazhabRealisme Hukum

(11)

penggunaan prinsip-prinsip hukum yang formal. Keputusan-keputusan pengadilan dan doktrin hukum Selalu dapat diperkembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-hasil proses hukum. Karl Llewellyn mengembangkan teori tentang hubungan antara peraturan-peraturan hukum dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Pendapatnya bahwa tugas pokok dari pengadilan adalah menetapkan fakta dan rekonstruksi dari kejadian-kejadian yang telah lampau yang menyebabkan terjadinya perselisihan (Soerjono Soekanto, 2005:186).

C. Tinjauan Umum Positivisme Hukum

1. Pengertian Positivisme Hukum

Positivisme Hukum adalah suatu paham atau paradigma yang menuntut harus dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum, hukum harus eksis, dalam alamnya yang objektif sebagaimana norma-norma yang positif (Habib Shulton Asnawi 2012:4). Artinya positivisme hukum menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Aliran positivisme hukum ini berpendapat hendaknya “Keadilan harus

dikeluarkan dari ilmu hukum”.

(12)

hakim-hakim di Indonesia. Sehingga mereka hanya menerapkan apapun bunyi redaksi pasal dalam UU tersebut tanpa melihat aspek lain semisal akibat jika pasal tersebut tetap diterapkan, paradigma ini mengabaikan kemashlahatan yang ada di sosial masyarakat, paradigma ini lebih mengedepankan teks daripada konteks kemashlahatan manusia sehingga akibatnya keadilan menjadi terabaikan.

Negara hukum harus mempunyai kelenturan agar tidak hanya dibatasi dengan asas legalitas yang kaku, penegak hukum hanya dapat bertindak berdasarkan aturan-aturan hukum yang formal dan kaku, padahal sering mengorbankan keadilan. seharusnya selalu berpikir dan bertindak berdasarkan kepentingan umum, dengan memperhatikan asas-asas hukum yang berlaku serta rasa keadilan. Padahal, konsep negara hukum tidak hanya terbatas pada bagaimana suatu negara mengakui bahkan telah mengklaim berbagai syarat normati tersebut. Jika yang terjadi seperti ini, maka secara tidak sadar para penega hukum telah terjebak kepada konsep pemahaman yang serba “normatif positivisme”. Bagi lembaga pengadilan,

moralitas hakim mutlak diperluka untuk menjaga putusan benar-benar menjadi alat untuk mencapai keadilan. Atas dasar itu pula, bagi hakim, proses penegakkan hukum tidak patut direduksi hanya sekedar supremasi hukum tertulis, terlebih lagi hanya supremasi kalimat dalam undang-undang, melainkan supremasi keadilan(Habib Shulton Asnawi, 2012:4).

(13)

ini hakim-hakim di Indonesia masih didominasi oleh paradigma dan cara berfikir positivistik-legalistik. Proses penegakan hukum dijalankan sedemikian rupa dengan perspektif peraturan hukum semata. Akibatnya, ketentuan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) menjadi patokan paling utama dalam berhukum. Yang terjadi jika tetap menggunakan cara berpikir semacam ini terbukti membuat proses penegak hukum menjadi gersang, kering dari moralitas (Habib Shulton Asnawi, 2012:4).

Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Inilah filosofi hukum progresif sebagai upaya membongkar positivistik-legalistik terhadap pemaknaan hukum. Hukum progresif ditunjukan untuk melindungi manusia menuju kepada ideal hukum dan menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai tegnologi yang tidak bernurani, melainkan institusi yang bermoral. Hukum progresif bisa disebut sebagai “hukum yang pro-rakyat” dan “hukum pro-keadilan

(Habib Shulton Asnawi, 2012:5).

(14)

pragmatic positivism, dan Kelsen’s pure theory of law.Law Positivism,

Implication, Analytical Jurisprudence (Johni Najwan, 2016:6).

Legal Positivism memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Hukum bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivisme, tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan Undang-undang. Hukum dipahami dalam perspektif yang rasional dan logika. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. Dalam positivisme, dimensi spiritual dengan segala perspektifnya seperti agama, etika dan moralitas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern.

Pesatnya perkembangan positivisme terjadi setelah menangnya gerakan sekularisasi, yang berupaya memisahkan secara tegas antara urusan politik (negara) dengan urusan Gereja (agama), dan bersamaan dengan runtuhnya kewibawaan gereja, yang menawarkan basis pemikiran transendenta. Pandangan hukum positif atau positivisme dari aliran hukum merupakan pengaruh dari postivisme sosiologis yang dimotori Auguste Comte dan Herbert Spencer yang berakar dari filsafat Yunani yakni Epicurus. Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1) Metode ini diarahkan pada fakta-fakta.

(15)

hidup.

3) Metode ini berusaha ke arah kepastian. 4) Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Hukum nasional yang menganut ajaran positivisme yang marak di barat dan mengalami puncak keberhasilannya pada akhir abad 19 ini kemudian dikenali sebagai hukum positif dan tampil dalam rupa hukum perundang-undangan. Lahirnya hukum nasional yang dituliskan atas dasar konsep-konsep kaum positivis yang akan dirawat oleh sebarisan hukum yang profesional.

Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya, apa yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi aturan aturan hukum tersebut, maka nilai-nilai ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Menurut Johni Najwan, karena mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, maka positvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human

being).

b. Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). c. Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan

(16)

sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.

d. Keputusan-keputusan (hukum) dapat di deduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas. e. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan

dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian Dari sinilah berawal pemikiran yang mengetengahkan dan memperjuangkan ide bahwa apa yang dimaklumatkan sebagai hukum harus mempunyai statusnya yang positif dalam arti telah disahkan tegas-tegas (positif) sebagai hukum dengan membentuknya dalam wujud produk perundang-undangan.

2. Jenis Hukum Positif

Hukum positif dapat dikelompokkan kedalam hukum positif tertulis dan hukum positif tidak tertulis.

a. Hukum Positif Tertulis

Dapat dibedakan antara hukum positif tertulis yang berlaku umum dan hukum positif tertulis yang berlaku khusus.

1. Hukum positif tertulis yang berlaku umum, terdiri dari:

(17)

yang berisi aturan tingkah laku yang berlaku atau mengikat (secara) umum. Termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan adalah aturan hukum sebagaimana disebutkan dalam Tap. No. III/MPR/2000." Ditinjau dari wewenang pembentukannya, perauran perundang-undangan dapat dibedakan antara yang bersifat kenegaraan dan yang bersifat administrasi negara. Selanjutnya ditinjau dari daya ikat ada yang bersifat ketatanegaraan (staatsrechtelijk) dan ada yang bersifat administrasi negara (admfnistratiefrechttelijk). Ditinjau dari lingkungan tempat berlaku, dapat dibedakan antara peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah. b) Peraturan kebijakan (beleidsregels, pseudowetgeuing, policy

rides), yaitu peraturan yang dibuat baik kewenangan atau

(18)

Agung. Meskipun dari segi bentuk, menyerupai salah satu aturan kebijakan, Surat Edaran Mahkamah Agung tidak perlu dikategorikan sebagai aturan kebijakan. Pertama : Mahkamah Agung bukan administrasi negara. Kedua : wewenang Mahkamah Agung membuat surat edaran tidak didasarkan pada kebebasan bertindak, tetapi atas petunjuk undang-undang. Ketiga : Surat Edaran Mahkamah Agung berada dalam cakupan yang terbatas yaitu sebagai pedoman yang berisi petunjuk bagi badan peradilan tingkat rendah yang mandiri dalam menjalankan fungsi peradilan.

2. Hukum positif tertulis yang berlaku khusus. Hukum positif tertulis yang berlaku khusus dapat dibedakan antara yang ditetapkan administrasi negara dan yang ditetapkan badan kenegaraan bukan administrasi negara. Disebut berlaku khusus karena hanya berlaku untuk subyek atau subyek-subyek tertentu dan atau obyek atau obyek-obyek tertentu yang bersifat konkrit. Contoh hukum positif tertulis: Ketetapan atau keputusan administrasi negara yang bersifat konkrit. Dalam dunia ilmu hukum di Negeri Belanda dan Indonesia ketetapan atau keputusan semacam ini lazim disebut atau dinamakan beschikking. Pada negara-negara berbahasa Inggris disebut decree.

b. Hukum Positif Tidak Tertulis

(19)

1. Hukum Adat

Hukum adat yaitu hukum asli bangsa Indonesia yang hidup dan berlaku secara turun temurun atau diakui atau dinyatakan sebagai hukum yang berlaku berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau putusan hakim. Hukum adat mungkin didapati atau diketahui dalam atau melalui tulisan (dituliskan). Walaupun demikian, hukum adat adalah hukum tidak tertulis, karena tidak pernah dengan sengaja dibentuk secara tertulis oleh pejabat yang berwenang melalui tata cara tertentu. Hukum adat menjadi hukum positif atas dasar kenyataan sebagai hukum yang hidup dan ditaati, pengakuan, dibiarkan berlaku, atau ditetapkan oleh pengadilan. Lingkup hukum adat sebagai hukum positif makin terbatas akibat kehadiran hukum positif tertulis atau karena yurisprudensi. Sampai tahun 1999 hampir semua hukum adat ketatanegaraan tidak berlaku lagi. Sisa hukum adat ketatanegaraan yang masih berlaku adalah untuk pemerintahan desa atau yang dipersamakan dengan desa berdasarkan ketentuan IGO dan IGOB. Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi sejak ada UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa.

2. Hukum Keagamaan

(20)

oleh pengikutnya dipandang sebagai agama. Pada saat ini, didapati berbagai hukum keagamaan yang dinyatakan melalui undang-undang sebagai hukum positif.

3. Hukum Yurisprudensi

Hukum Yurisprudensi adalah hukum positif yang berlaku secara umum yang lahir atau berasal dari putusan hakim. Disinilah letak perbedaaan sifat hukum antara putusan hakim dengan yurisprudensi. Putusan hakim adalah hukum yang bersifat konkrit dan khusus berlaku pada subyek yang terkena atau terkait langsung dengan bunyi putusan. Pada saat suatu putusan hakim diterima sebagai yurisprudensi, maka asas atau kaidahnya menjadi bersifat umum dan dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan hukum bagi siapa saja.

4. Hukum Kebiasaan

(21)

Indonesia. Yang cukup intensif diajarkan di Fakultas Hukum adalah hukum kebiasaan di bidang ketatanegaraan, atau lazim disebut konvensi. Tetapi karena hukum kebiasaan ketatanegaraan ini sangat menonjol pada sistem ketatanegaraan Inggris, maka referensi utama biasanya adalah kebiasaan ketatanegaraan Inggris. Termasuk kedudukan hukum dari kebiasaan ketatanegaraan (Chazawi Adami, 2002: 200).

D. Pencurian Ringan

Pencurian berasal dari kata “curi” yang mendapatkan awalan “pe” dan

akhiran “an” yang berarti mengambil secara diam-diam, sembunyisembunyi

tanpa diketahui oleh orang lain. Mencuri berarti mengambil milik orang lain secara melawan hukum, orang yang mencuri milik orang lain disebut pencuri. Pencurian sendiri berarti perbuatan atau perkara yang berkaitan dengan pencurian. Seseorang dikatakan pencuri jika semua unsur yang diatur didalam pasal pencurian terpenuhi. Pemenuhan unsur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan itu hanyalah upaya minimal, dalam taraf akan masuk ke peristiwa hukum yang sesungguhnya (R. Soesilo 247:1993)

Berikut ini pengertian pencurian menurut beberapa ahli (R. Soesilo 220-222:1993) :

1. Menurut Mr.Blok :

Wegnemen is ene gedraging waardoor men het goed brengt in zijn feitelijke heerschappij, onder zijn macht, in zijne detentie, onafhankelijk van de bedoeling, die men ten opzichte van dat goed verder koestert.

(22)

benda berada dalam penguasaanya yang nyata, atau berada di bawah kekuasaanya atau di dalam detensinya, terlepas dari maksudnya tentang apa yang ia inginkan dengan benda tersebut. 2. Prof. Noyon dan Prof. Langemaijer :

Wegnemen (in de zin van art. 310) is altij een eigenmachtige

inbenzitneming.

Artinya: Mengambil (menurut pengertian Pasal 362 KUHP) selalu merupakan suatu tindakan sepihak untuk membuat suatu benda berada dalam penguasaanya.

3. Menurut Prof. Simons:

Wegnemen is het voorwerp tot zick nemen, het bregen onder zijne uitsluitende feitelijke heerschappi m.a.w de dader moet het voorwerp op het ogenblik der handeling niet reeds onder zick hebben.

Artinya: Mengambil ialah membawa suatu benda menjadi berada dalam penguasaanya atau membawa benda tersebut secara mutlak berada di bawah penguasaanya yang nyata, dengan kata lain, pada waktu pelaku melakukan perbuatannya, benda tersebut harus belum berada dalam penguasaanya.

4. Menurut Prof. Van Bemmelen dan Prof. Van Hattum :

Wegnemen is iedere handeling, waardoor iemand of een vermogenbestanddel van een ander in zijn eigen herschappij brengt zonder mederwerking of toestemming van dia ander of de band, die op een of andere wijze nog tussen die ander en dat

vermogenbestanddeel bestond, verbreekt.

Artinya : Mengambil ialah setiap tindakan yang membuat sebagian harta kekayaan orang lain menjadi berada dalam penguasaannya tanpa bantuan atau tapa seizin orang lain tersebut, ataupun untuk memutuskan hubungan yang masih ada antara orang lain itu dengan bagian harta kekayaan yang dimaksud.

Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam Pasal 364 KUHP yang rumusannya sebagai berikut :

“Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada kediamannya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,00 diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau

pidana denda paling banyak Rp 900,00”

(23)

363 nomor 5. Apabila tidak dilakukan dalam suatu rumah kediaman atau di pekarangan tetap. Dimana rumah kediaman bila barang yang dicuri berharga tidak lebih dari Rp.250,00 dan hukumannya maksimal 3 bulan penjara atau denda 60 rupiah.

Unsur yang harus selalu ada dalam pencurian ringan ialah benda tidak lebih dari Rp 250,00. Dalam WvT pencurian ringan tidak diatur hanya KUHP yang mengatur hal ini. Untuk masa kini benda seharga Rp 250,00 pada saat ini relatif sangat kecil. Maka daripada itu kejahatan-kejahatan ringan perlu dihapus dari KUHP.

Pencurian di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hak, diancam karena kesalahannya melakukan pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda setinggi-tingginya enam puluh rupiah”.Berdasarkan pada ketentuan di atas menurut (R. Soesilo 253:1993),

dapat diuraikan mengenai unsur-unsur dari tindak pidana pencurian, yaitu: 1) Unsur Barang Siapa

Yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum,sebagai pendukung hak dan kewajiban yang identitasnya jelas, diajukan kepersidangan karena telah didakwakan melakukan tindak pidana dan perbuatanya dapat dipertanggung jawabkan kepadanya.

(24)

Mengambil sesuatu barang adalah memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lain.

3) Unsur Sama Sekali atau Sebagian Termasuk Kepunyaan Orang Lain Yaitu barang yang dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain adalah sebagian atau seluruhnya merupakan kepunyaan orang lain.

4) Unsur dengan Maksud Memiliki Barang dengan Melawan Hukum

Dengan maksud memiliki barang dengan melawan hukum adalah barang yang telah diambil akan dikuasai atau dimiliki tanpa izin atau persetujuan pemilik barang.

Pasal 363 (Pencurian dengan pemberatan) biasanya secara doktrinal di sebut dengan pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang di lakukan dengan cara-cara tertentu, atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian ringan dan pencurian biasa dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun, dihukum menurut (R. Soesilo 223-226 :1993) :

1. Pencurian hewan

2. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, kebanjiran, gempa bumi, atau gempa laut, letusan gunung merapi, kapal selam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau kesengsaraan dimasa perang.

(25)

dengan setahunya atau bertentangan dengan kemauannya orang yang berhak (yang punya)

4. Pencurian dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih

5. Pencurian yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai barang untuk diambilnya, dengan jalan membongkar, memecah atau memanjat atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal yang tersebut dalam buir 4 dan 5, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. Pencurian dalam pasal ini dinamakan pencurian dengan pemberatan atau pencurian dengan kualifikasi dan diancam dengan hukuman yang lebih berat pencurian dengan pemberatan itu adalah pencurian biasa (pasal 362) disertai dengan salah satu keadaan seperti berikut ; 1. Apabila barang yang dicuri itu adalah hewan yaitu semua macam binatang yang memamah biak (kerbau, sapi, kambing dan lain sebagainya), binatang yang berkuku satu (kuda, keledai) dan babi. Anjing, ayam, bebek, angsa tidak termasuk disini karena tidak memamah biak dan tidak berkuku Satu

2. Apabila pencurian itu dilakukan pada waktu ada kejadian macam malapetaka, karena pada waktu semacam itu orang-orang semua ribut dan barang-barang dalam keadaan tidak terjaga

(26)

suatu pekarangan yang sekelilingnya ada tanda-tanda batas yang kelihatan nyata seperti selokan, pagar bambu, pagar hidup, pagar kawat dan lain-lain. Disini pencuri itu harus betul-betul masuk kedalam rumah, dan melakukan pencurian disitu

4. Apabila pencurian itu, dilakukan dua orang atau lebih. Supaya masuk disini, maka dua orang atau lebih itu semua harus bertindak sebagai pembuat atau turut melakukan (Pasal 55), bukan misalnya yang satu sebagai pembuat (Pasal 55) sedang yang lain hanya membantu saja (Pasal 560)

5. Apabila dalam pencurian itu, pencuri masuk ketempat kejahatan atau mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar, memecah, merusak barang yang agak besar, misalnya membongkar pintu jendela. Disini harus ada barang yang rusak, putus atau pecah. Pencuri yang mengangkat pintu daru engselnya, sedang engsel itu tidak ada kerusakan sama sekali, tidak masuk pengertian membongkar. Memecah merusak barang yang agak kecil, misalnya memecah peti kecil, memecah kaca jendela dan lain-lain.

Dalam Pasal 363 butir 5 disebutkan sebagai berikut :

(27)

dengan melalui pintu yang sedang terbuka, lalu bersembunyi dalam rumah itu dan kemudian setelah malam buta sedang orang yang punya tidur nyenyak, pencuri tersebut keluar dari sembunyinya, mengambil barang dari dalam rumah itu, dan untuk dapat keluar dari dalam rumah tersebut “membongkar” pintu rumah, maka peristiwa itu tidak masuk dalam

golongan ini, oleh karena pembongkaran itu untuk “keluar‟‟ dan bukan

untuk masuk kedalam tempat kejahatan

2. Tersalah mencapai barang yang dicurinya dengan jalan membongkar dan lain-lain, mencapai artinya memasukan kedalam kekuasaannya. Misalnya seorang mencopet uang didalam saku dengan menggunting saku itu, atau pencuri uang dalam lemari atau peti besi didalam rumah dengan merusak lemari atau peti tersebut. Akan tetapi menurut arrest hoge raad 27 Januari 1896, mencopet arloji denga menarik rantai arloji itu sampai putus atau mencuri hewan denga memotong tali ikatan hewan itu, tidak masuk membongkar atau memecah.

Berdasarkan rumusan pada Pasal 364 KUHP di atas, maka unsur-unsur dalam pencurian ringan adalah :

1. Pencurian dalam bentuknya yang pokok (Pasal 362 KUHP).

2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP).

3. Pencurian yang dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat, dengan anak kunci, perintah palsu atau seragam palsu.

(28)

5. Tidak dilakukan dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya.

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Voltmeter untuk mengukur tegangan antara dua titik, dalam hal ini adalah tegangan pada lampu 3, voltmeter harus dipasang secara paralel dengan beban yang hendak diukur, posisi

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Ledakan penduduk juga terjadi karena rumah tangga tidak direncanakan secara baik dan tidak melihat faktor sebab akibat, banyak rumah tangga yang berdiri tapi tidak

Kepatuhan. 5) Dalam hal terdapat perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat ( prone to rapid change ) antara lain terkait perubahan kondisi ekonomi,

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh dari tingkat pengungkapan informasi CSR, size, dan pro fi tabilitas terhadap informativeness of earnings yang dalam hal ini

Kedudukan Dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah Perumusan Isu Strategis Analisis lingkungan internal Analisis lingkungan eksternal Perumusan Tujuan, Sasaran, Strategi,

Tabel 5.3 Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Minahasa Menurut Jenis Pendapatan (juta rupiah), 2012-2015. Sumber: Kabupaten Minahasa Dalam Angka