BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Konversi Lahan 1. Pengertian Konversi Lahan
Utomo dkk (1992) dalam kolokiumkpmipb.wordpress.com (2012) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Kustiawan (1997), konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasinya lahan secara umum menyangkut trnsformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke pengunaan lainnya.
pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif.
2. Pola Konversi Lahan
Sihaloho (2004), membagi konversi lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, antara lain:
1. Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola „enclave‟; dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi
demografi, dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
6. Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk ; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
3. Faktor Penyebab Konversi Lahan
Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
a. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. b. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi
sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
c. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.
Pasandaran (2006) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu ; kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, peningkatan jumlah penduduk
Pakpahan, et.al, (1993) dalam Munir (2008) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani, yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, petumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah.
kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Sehingga diperlukan kontrol agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Munir (2008) di Desa Candimulyo, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, dapat diketahui bahwa ada faktor-faktor yang berhubungan dengan konversi lahan. Faktor- faktor tersebut meliputi faktor internal petani dan faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik petani yang mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki, dan tingkat ketergantungan terhadap lahan. Sedangkan faktor eksternal mencakup pengaruh tetangga, investor, dan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pengembangan pertanian.
B. Lahan Pertanian 1. Pengertian
Pertanian adalah sejenis proses produksi khusus yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan hewan (Satari, 1999). Pertanian diterjemahkan dari kata agriculture yang berasal dari bahasa latin yang terdiri dari “ager” yang berarti lapangan / tanah / lading / tegalan, dan “cultura” yang berarti mengamati / memelihara / membajak.
menghasilkan produksi yang optimal. Optimalisasi lahan pertanian merupakan usaha meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan pertanian menjadi lahan usaha tani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan melalui upaya perbaikan dan peningkatan daya dukung lahan, sehingga dapat menjadi lahan usaha tani yang lebih produktif. Kegiatan optimalisasi lahan pertanian diarahkan untuk memenuhi kriteria lahan usaha tani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan dari aspek teknis, perbaikan fisik dan kimiawi tanah, serta peningkatan infrastruktur usaha tani yang diperlukan Kementrian Pertanian (2012 : 7).
Lahan pertanian adalah lahan yang digunakan untuk usaha produksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan, dan ubi-ubian) dan tanaman holtikultura seperti sayur-sayuran (Orleanti, 2000 : 35). Dari urain tersebut dapat disimpulkan lahan pertanian adalah bidang lahan yang ditanami tanaman makanan pokok seperti beras, palawija, dan sayur – sayuran.
2. Pola Pertanian
Pembagian pola pertanian dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Multiple cropping adalah sistem penanaman dengan menanam dua atau lebih tanaman pada tempat yang sama dalam satu tahun.
c. Intercropping adalah sistem penanaman dengan menanam dua atau lebih hasil panen dalam waktu serentak pada tempat yang sama setiap tahun. Petani mengatur dua atau lebih tanaman pada waktu dan tempat yang sama. Intercropping dapat dibagi menjadi empat subkategori, yaitu :
1. Mixed intercropping adalah menanam dua atau lebih tanaman secara serentak tanpa adanya pengaturan baris tertentu.
2. Raw intercropping adalah menanam dua atau lebih tanaman secara serentak, di mana satu atau lebih tanaman dominan dalam barisan dan merupakan pola penanaman yang sering dijumpai dalam pertanian intensif. Oleh karena itu, bajak dapat diganti dengan mesin sebagai peralatan sarana untuk mempersiapkan tanah.
3. Strip intercropping adalah menanam dua atau lebih tanaman secara serentak pada jalur dengan perbedaan lebar dan menghasilkan tidak adanya ketergantungan penanaman. Akan tetapi, lingkungan yang sempit dan tidak memadai bagi tanaman untuk berinteraksi didalam pertanian. “Strip intercropping” merupakan bentuk “intercropping” yang lebih sering
digunakan pada pertanian dengan sistem modernisasi yang tinggi dan sangat intensif.
C. Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan dasar teori di atas, maka penelitian yang relevan adalah sebagai berikut :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Isnaeni Murti Nur Weni (2010) bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi perubahan luas lahan pertanian dan industry. 2) mengetahui proses perubahan lahan yang terjadi. 3) mengetahui faktor – faktor serta bobot penyebab perubahan. Penelitian dilakukan di Zona industri Palur Kecamatan Jaten Kabupaten Karanganyar. Metodenya analisis datanya ada tiga, yaitu ; yang pertama untuk analisis perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri menggunakan analisis peta / overlay peta, yang kedua untuk analisis proses perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri menggunakan deskriptif kualitatif, dan yang ketiga untuk menganalisis factor perubahan lahan pertanian menjadi lahan industri menggunakan analisis faktor.
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Yang Relevan
Peneliti/Tahun Isnaeni Murti Nur Weni
(2010) Syamsahrir Arsyad (2012) Peneliti (2018)
Judul Faktor pengaruh perubahan
penggunaan lahan pertanian
menjadi lahan industri di
zona industri Palur
kabupaten Karanganyar
Perubahan lahan pertanian di
kabupaten Takalar tahun 1996
dan 2010 menggunakan citra
satelit Landsat 5 TM
Kajian konversi lahan
pertanian di kecamatan
Purbalingga kabupaten
Purbalingga
Lokasi
Penelitian
Zona industri Palur
Kecamatan Jaten Kabupaten
Karanganyar
Kecamatan Polombangkeng
Utara dan Kecamatan
Pattalasang Kabupaten
Takalar
Kecamatan Purbalingga
Kabupaten Purbalingga
Tujuan Untuk mengidentifikasi
perubahan luas lahan
pertanian dan industri,
proses perubahan lahan
yang terjadi, dan faktor –
faktor serta bobot penyebab
perubahan
Untuk mengetahui luas
perubahan lahan pertanian
pada kecamatan
Polombangkeng Utara dan
kecamatan Pattalasang
kabupaten Takalar dari tahun
1996 sampai tahun 2010
dengan menggunakan citra
satelit Landsat 5TM
Untuk mengetahui
seberapa besar konversi
lahan pertanian ke lahan
bangunan di Kecamatan
Purbalingga Kabupaten
Purbalingga
Metode
penelitian
Overlay peta Klasifikasi terawasi
(supervised clasification)
dan klasifikasi tidak terawasi
(unsupervised clasification)
Overlay peta
Hasil Penelitian Terdapat perubahan luas
lahan pertanian dan industri
yang cukup tinggi di zona
industri Palur
Terdapat perubahan luas lahan
pertanian sebesar 13 % dari
tahun 1996 sampai tahun
D. Kerangka Pikir
Lahan merupakan kebutuhan pokok dalam sebuah kota, namun dengan berjalannya waktu bertambahnya penduduk dan kebutuhan penduduk semakin meningkat. Seperti dipurbalingga kebutuhan akan lahan terus meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk dan pertumbuhan industri yang semakin pesat, maka dari itu lahan pertanian di Kecamatan Purbalingga semakin menyempit dengan salah satunya digunakan untuk industri. Alih fungsi lahan pertanian dirasa hal yang paling pas oleh pemerintah maupun sebagian investor. Selain pertanian dirasa sector yang kurang menguntungkan, tetapi juga karena pertanian lebih cenderung melambangkan pedesaan.
Gambar 2.1 Bagan alir kerangka piker
E. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka hipotesis yang dapat peneliti ajukan adalah “Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian di Kecamatan Purbalingga Kabupaten Purbalingga lebih dari 50% selama 5 tahun”.
Pertambahan penduduk kota Pertumbuhan industri
Peningkatan kebutuhan lahan dalam kota Lahan
Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian
Penggunaan lahan untuk industri Kebutuhan lahan tidak terpenuhi
Penggunaan lahan untuk permukiman
Overlay Peta 2010 – Peta 2014