• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BLHD Propinsi Banten VI. 1

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

A.

Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Aseupan

Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun 2014, kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan terdiri dari hutan, hutan tanaman rakyat, belukar, lahan terbuka dan pemukiman. Analisis tersebut didasarkan pada warna yang tampak pada citra yang ditampilkan. Wilayah pemukiman dan lahan terbuka / lahan terbangun di tunjukkan dengan warna merah. Berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003 Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Banten, Gunung Aseupan terbagi atas kawasan Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Lindung. Hasil analisis terhadap citra Landsat menunjukkan bahwa kawasan Gunung Aseupan memiliki luas 8.093 hektar (Ecositrop 2014). Puncak Gunung Aseupan berada pada ketinggian 1.174 mdpl. Berikut adalah gambaran umum kondisi kekinian tutupan lahan di Gunung Aseupan saat dilakukan kajian tutupan lahan pada tahun 2014 (Gambar VI.1).

Gambar VI.1. Kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan berupa areal terbuka seperti lahan pertanian, hutan campuran, dan hutan lindung.

(2)

BLHD Propinsi Banten VI. 2 Hasil analisis citra Landsat menunjukkan bahwa kawasan Gunung Aseupan memiliki luas 8.093 hektar. Luas kawasan tersebut terdiri dari kawasan Hutan Produksi (HP) dengan luas 1.476 hektar, kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dengan luas 6.184 hektar, dan kawasan Hutan Lindung (HL) dengan luas 433 hektar. Kawasan tersebut terbagi ke dalam dua wilayah administrasi, yaitu Kabupten Pandeglang dan Kabupaten Serang Propinsi Banten. Adapun luas masing-masing kawasan dan wilayah administrasinya secara detail ditampilkan pada tabel berikut.

Tabel VI-1. Status kawasan dan luas kawasan Gunung Aseupan serta wilayah administarinya berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003.

No Kabupaten Status Kawasan Luas (Ha) Persentase (%) 1

Pandeglang

Hutan Lindung 414 5,1

Hutan Produksi 1.190 14,7

Hutan Produksi Terbatas 5.817 71,8

Sub total 7.421 91,7

2

Serang

Hutan Lindung 19 0,2

Hutan Produksi 286 3,5

Hutan Produksi Terbatas 367 4,5

Sub total 672 8,3

Total 8.093 100,0

Berdasarkan Table VI-1, kawasan Gunung Aseupan terbagi dalam tiga status kawasan hutan yang berada di Kabupaten Pandeglang dan Serang. Setiap kabupaten memiliki tiga status kawasan hutan yaitu HP, HPT, dan HL. Sebagian besar wilayah hutan terdapat di Kabupaten Pandeglang dengan persentase 91,7% (7.421 hektar) dan kawasan hutan terluas memiliki status HPT dengan persentase 71,8% (5.817 hektar) dari total luas seluruh kawasan. Kawasan Gunung Aseupan yang terdapat di Kabupaten Serang memiliki persentase 8,3% (672 hektar) dengan status kawasan hutan terluas berupa HPT yaitu sebesar 4,5% (367 hektar) dari totoal seluruh luas kawasan Gunung Aseupan. Status kawasan Gunung Aseupan dan wilayah administrasinya ditampilkan pada gambar berikut.

(3)

BLHD Propinsi Banten VI. 3

Gambar VI.2. Peta status kawasan Gunung Aseupan berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003.

(4)

BLHD Propinsi Banten VI. 4

B.

Tata Guna Lahan dan Fungsi Kawasan

Klasifikasi tutupan lahan Kawasan Gunung Aseupan berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat terdiri dari tutupan lahan berupa hutan, kebun campuran, ladang, dan pemukiman. Penggunaan lahan tersebut tersebar pada seluruh fungsi kawasan (HP, HPT, HL) di Gunung Aseupan. Analisis citra didasarkan pada warna yang tampak pada citra Landsat. Secara umum, warna yang tampak adalah hijau tua, hijau muda, hijau kuning, dan merah. Warna hijau tua menandakan tutupan lahan berupa hutan yang masih bagus, sementara hijau muda dan hijau kuning menandakan kawasan hutan yang sudah berubah menjadi hutan campuran/agroforest dan ladang, sementara warna merah merupakan area terbuka yang berupa pemukiman, jalan, dan area terbangun lainnya. Tabel berikut (Tabel VI-2) adalah hasil analisis tata guna lahan dan fungsi kawasan Gunung Aseupan yang diperoleh dari citra Landsat.

Tabel VI-2. Tata guna lahan dan fungsi kawasan Gunung Aseupan berdasarkan analisis citra Landsat.

NAMA GUNUNG

TATAGUNA LAHAN

FUNGSI KAWASAN (Ha) TOTAL

HL HP HPT Ha % Gunung Aseupan Hutan 366 4 1.312 1.682 20,78 Kebun Campuran 66 1.440 4.773 6.279 77,59 Ladang 28 98 127 1,57 Pemukiman 5 5 0,06 Total 433 1.476 6.184 8.093 100,00 Keterangan :

HL : Hutan Lindung HPT : Hutan Produksi Terbatas

HP : Hutan Produksi Ha : Hektar (satuan luas)

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui kondisi tutupan lahan, fungsi kawasan, bserta masing-masing luasnya. Kondisi tersebut bisa menggambarkan kondisi kekinian tata guna lahan pada masing-masing fungsi kawasan di Gunung Aseupan. Kawasan Hutan Lindung (HL) semestinya memiliki tutupan lahan berupa hutan, namun pada kawasan HL di Gunung Aseupan terdapat kebun campuran dengan luas 66 hektar, selebihnya berupa hutan dengan luas 366

(5)

BLHD Propinsi Banten VI. 5 hektar. Hal ini menunjukkan adanya gangguan/ kerusakan pada kawasan HL Gn. Aseupan. Tata guna lahan pada kawasan HP dan HPT didominasi oleh kebun campuran. Luas kebun campuran pada kawasan HP yaitu 1.440 hektar dan pada kawasan HPT 4.773 hektar. Selain kebun campuran, di dalam dua fungsi kawasan tersebut juga terdapat ladang dengan luas 28 hektar pada kawasan HP dan 98 hektar pada kawasan HPT. Kawasan ini seharusnya berupa hutan sebagai kawasan hutan produksi dengan pengelolaan yang intensif sehingga pada kawasan ini terdapat kegiatan produksi. Pada kawasan HP Gn. Aseupan juga terdapat pemukiman dengan luas 5 hektar.

Berdasarkan analisis tata guna lahan menurut citra Landsat kawasan Gunung Aseupan, tata guna lahan yang memiliki luas tertinggi adalah kebun campuran dengan persentase 77,59% (6.279 Ha), kemudian hutan dengan persentase sebesar 20,78% (1.682 Ha), ladang dengan persentase 1,57% (127 Ha), dan pemukiman dengan persentase 0,06% (5 Ha). Kebun campuran merupakan kawasan yang paling luas, namun areal kebun campuran tersebut berada pada wilayah HP dan HPT yang semestinya tidak diperbolehkan adanya kegiatan tersebut. Berdasarkan pemaparan dari pihak pengelola kawasan, dalam hal ini Perum Perhutani KPH Banten BKPH Pandeglang, pengelolaan yang dilakukan pada kawasan HP dan HPT dilakukan bersama dengan masyarakat dengan sistem bagi hasil antara pemilik lahan dengan masyarakat selaku penggarap. Pengelolaan hutan dilakukan dengan kombinasi penanaman jenis tanaman kehutanan dan tanaman campuran (Multi Purpose Tree Species, MPTS). Persentase pengelolaan tersebut terdiri dari 60% jenis tanaman kehutanan dan 40% jenis tanaman MPTS. Pola tersebut telah lama dikembangkan oleh pihak Perhutani dengan masyarakat dan dikenal dengan nama Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Hasil survei lapangan di wilayah Gunung Aseupan menunjukkan kawasan tersebut sebagian besar terdiri dari hutan, kebun campuran/ agroforest, kawasan persawahan, dan pemukiman yang berada di sekitar Gunung Aseupan. Gambar berikut ini menunjukkan kondisi tutupan dan tata guna lahan berdasarkan survei lapangan di Gunung Aseupan.

(6)

BLHD Propinsi Banten VI. 6

Gambar VI.3. a) Lahan pertanian masyarakat di sekitar Gunung Aseupan dan b) Kerbau yang digunakan masyarakat untuk membajak sawah.

Wilayah selatan Gunung Aseupan yang berdekatan dengan kawasan pemukiman banyak dikerjakan masyarakat sebagai lahan pertanian berupa sawah dan ladang. Pengelolaan sawah dan lahan pertanian masih dilakukan dengan cara konvensional. Sawah dibajak menggunkanan kerbau, dan sistem pengairan (irigasi) masih mengandalkan bantuan alam (hujan) dan sumber air pegunungan.

a

(7)

BLHD Propinsi Banten VI. 7

Gambar VI.4. a) dan b) adalah sawah yang dikelola masyarakat; c) dan d) Sawah dan tegalan yang dilalui saat melakukan survei lapangan. a

c

b

(8)

BLHD Propinsi Banten VI. 8 Lahan pertanian yang merupakan sawah masyarakat di sekitar Gunung Aseupan merupakan sawah tadah hujan. Sumber air juga diperoleh dari mata air pegunungan, sehingga pada saat akhir musim kemarau menjelang musim penghujanan kegiatan pertanian sudah bisa dimulai dengan bantuan air dari Gunung Aseupan. Air tersebut juga merupakan sumber air bersih yang digunakan sebagai sumber air minum dan kebutuhan MCK masyarakat. Ari dari Gunung Aseupan dialirkan menggunakan pipa yang dihubungkan ke setiap rumah menggunakan selang dengan ukuran yang lebih kecil untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga masyarakat sekitar Gunung Aseupan.

Gambar VI.5. a) Sumber air yang berasal dari Gunung Aseupan dan b) Pipa yang digunakan masyarakat untuk mengalirkan air dari Gunung Aseupan menuju pemukiman masyarakat.

(9)

BLHD Propinsi Banten VI. 9 Tata guna lahan pada Kawasan Hutan Produksi Gunung Aseupan berupa kebun campuran yang dikelola oleh masyarakat. Jenis yang banyak ditanam adalah melinjo dan cengkeh. Selian dua jenis tanaman tersebut, lantai hutan juga banyak didominasi oleh anakan kopi. Saat ini budidaya kopi kurang diminati masyarakat karena produksi buah kopi yang dihasilkan kurang menguntungkan sehingga banyak yang beralih menanam cengkeh. Selain bisa dimanfaatkan buahnya, saat ini cengkeh juga dimanfaatkan daunnya sebagai bahan untuk membuat minyak atsiri. Tak jarang saat tim melakukan survei, banyak ditemukan ibu-ibu yang membersihkan dedaunan di sekitar tanaman cengkeh dengan tujuan untuk dikumpulkan dan dijual.

Gambar VI.6. a) Anakan kopi pada lantai hutan, b) Kegiatan pengumpulan daun cengkeh, dan c) Daun cengkeh yang dikumpulkan.

a

(10)

BLHD Propinsi Banten VI. 10 Kebun campuran juga banyak ditanam berbagai jenis tanaman kayu seperti Mahoni, Sengon, Kayu Afrika, Manglid, Pulai, dan bernagai jenis lainnya. Kombinasi kebun campuran yang dikembangkan masyarakat di sekitar kawasan Gunung Aseupan berupa tanaman perkebunan, tanaman kayu, tanaman buah, sayuran, palawija, dan berbagai jenis tanaman lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau keperluan perdagangan (untuk dijual). Kebun campuran yang dikembangkan masyarakat secara umum seperti pada gambar berikut.

Gambar VI.7. a) Kebun campuran yang didominasi tanaman Melinjo, b) Berbagai jenis tanaman kayu pada kebun campuran, dan c) Mahoni salah satu jenis tanaman untuk kayu pertukangan.

a

(11)

BLHD Propinsi Banten VI. 11 Pada dataran yang semakin tinggi kebun masyarakat sudah tidak ditemukan. Hal ini diperkirakan karena pada dataran tersebut kegiatan budidaya pertanian kurang produktif. Salah satu faktor utama yang bisa menghambat adalah karena kondisi tanah pada wilayah yang lebih tinggi memiliki lapisan top saoil yang tipis sehingga tanaman pertanian akan kekurangan unsur hara. Selain karena faktor tersebut, pada wilayah yang lebih tinggi juga menyebabkan akses untuk menjangkau lebih sulit dan memerlukan lebih banyak tenaga, oleh karena kegiatan pertanian dan kebun campuran masyarkat lebih banyak ditemukan di sekitar pemukiman hingga kaki Gunung Aseupan.

Gambar VI.8. Memasuki ekosisitem hutan Gunung Aseupan, berbagai jenis vegetasi alami mulai mendominasi dan jenis tanaman budidaya yang dikembangkan masyarakat sudah jarang ditemukan.

(12)

BLHD Propinsi Banten VI. 12 Kawasan hutan Gunung Aseupan banyak didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan alami. Mulai dari berbagai jenis palem-paleman (Palmae), herba, liana, hingga kelompok tumbuhan kelas pohon. Kelompok pohon yang banyak dijumpai adalah Puspa (Schima walichii), Pasang (Quersus sp.), Antidesma sp.,

Syzigium sp., dan berbagai jenis pohon lainnya. Berikut adalah gambaran kondisi hutan Gunung Aseupan dan tutupan tajuknya.

Gambar VI.9. a) Tajuk hutan Gunung Aseupan, b) Daerah lembah yang menjadi aliran air dari Gunung Aseupan, dan c) Kondisi lantai hutan Gunung Aseupan.

a b

(13)

BLHD Propinsi Banten VI. 13 Kawasan hutan Gunung Aseupan juga memiliki banyak area yang tutupan lahannya berupa semak dan belukar. Sebagai gambaran tutpan lahan berupa belukar terdapat di wilayah punggungan Gunung Aseupan pada bagian selatan. Daerah punggungan gunung tampak memiliki pepohonan yang berukuran besar dan inggi, namun wilayah sekitarnya berupa semak (Gambar VI.10.a). Kondisi tutupan lahan tersebut bisa terjadi akibat adanya perubahan tutupan lahan yang semula lahan kemudian di konversi untuk keperluan lain. Selain alasan tersebut, wilayah Gunung Aseupan memiliki kemiringan lereng sangat terjal. Banyak lereng yang terbuka akibat terjadinya longsor pada punggungan Gunung Aseupan. Longsor bisa terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor kemiringan yang terjal (topografi), curah hujan yang tinggi (erosifitas), dan tanah yang peka terhadap erosi (erodibilitas). Longsor juga dipicu oleh kegiatan manusia yang membuka lahan pada wilayah yang beroptensi longsor. Sebagai contoh kegiatan pembukaan lahan yang berpotensi memicu longsor di Gunung Aseupan adalah pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya pertanian (Gambar VI.10.b). Hasil analisis citra Landsatyang didukung oleh survei lapangan menghasilakan gambaran umum kondisi tutupan dan kerusakan lahan Gunung Aseupan yang tampak seperti pada Gambar VI.11 dan Gambar VI.12.

Gambar VI.10. a) Hutan pada wilayah punggungan Gunung Aseupan, b) Pembukaan lahan yang mengakibatkan kerusakan pada tutupan lahan Gunung Aseupan.

(14)

BLHD Propinsi Banten VI. 14

Gambar VI.11. Kondisi tutupan lahan Gunung Aseupan menurut citra Landsat liputan tahun 2014.

(15)

BLHD Propinsi Banten VI. 15

Gambar VI.12. Hasil analisis tutupan dan tata guna lahan Gunung Aseupan berdasarkan citra Landsat liputan tahun 2014.

Gambar

Gambar VI.1.   Kondisi  tutupan  lahan  Gunung  Aseupan  berupa  areal  terbuka  seperti lahan pertanian, hutan campuran, dan hutan lindung
Tabel VI-1.   Status  kawasan  dan  luas  kawasan  Gunung  Aseupan  serta  wilayah  administarinya berdasarkan SK Menhut No.195/Kpts-II/2003
Tabel VI-2.   Tata guna lahan dan fungsi kawasan Gunung Aseupan berdasarkan  analisis citra Landsat
Gambar VI.5.   a)  Sumber  air  yang  berasal  dari  Gunung  Aseupan  dan  b)  Pipa  yang digunakan masyarakat untuk mengalirkan air dari Gunung  Aseupan menuju pemukiman masyarakat
+6

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi kinerja dilakukan oleh pimpinan STIE Sakti Alam Kerinci untuk menilai dosen yang bertugas pada masing-masing program studi, serta oleh setiap mahasiswa yang

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa model Project Based learning (PjBL) yang digunakan oleh dosen dalam proses belajar mengajar membuat mahasiswa lebih memahami dalam

bahan yang akan diajarkan guru kelas sesuai dengan bahan pelaksanaan tindakan peneliti, (3) Pengorganisasian materi ajar adalah pengembangan materi cukup luas,

Penerapan iptek ini diharapkan dapat meningkatkan ketrampilan masyarakat desa dalam membuat beragam produk makanan olahan dari rumput laut sehingga dapat

Oleh karena itu peneliti terdorong untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Eksperimentasi pengajaran matematika dengan metode demonstrasi pada pokok bahasan kubus dan

Membagikan paket sembako kepada warga masyarakat kurang yang mampu dan telah kami survei sebelumnya sesuai syarat dan kriteria dari panitia, dalam kegiatan Gebyar

Oleh karena itu, penulis mengangkat permasalahan ini menjadi topik pembahasan makalah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar menempatkan kembali arsitektur

PDI Perjuangan membentuk Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan beranggotakan PDI Perjuangan, PKB, partai Nasdem, partai Hanura, dan PKPI. Dari tabel tersebut