• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA Oleh : E. Rial. N, SH 1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

42

UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK DI INDONESIA

Oleh : E. Rial. N, SH1

ABSTRAKSI

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Timbulnya sengketa pajak, adalah setelah suatu putusan atau penetapan yang mewajibkan pembayaran atau

sanksi tertentu telah ditimpakan kepada wajib pajak. Menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 Pasal 1 ayat 5 Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara

Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak

berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kehadiran

Pengadilan Pajak diharapkan dapat lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dibandingkan dengan institusi penyelesaian sengketa pajak sebelumnya

I. PENDAHULUAN

Didirikannya Pengadilan Pajak, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002, menambah nuansa baru dari suatu pengkhususan pengadilan di Indonesia. Saat ini di Indonesia hanya ada 4 lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Dengan melihat karakteristik Pengadilan Pajak sekilas dapat diketahui bahwa pengadilan ini tidak mungkin masuk dalam lingkungan Peradilan Umum dikarenakan Pengadilan Pajak menyelesaikan sengketa warga negara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh negara khususnya Kantor Perpajakan baik itu di daerah dan/atau di pusat, di mana hal ini dapat saja ditafsirkan bahwa keputusan dari kantor perpajakan tersebut sebagai sebuah keputusan tata usaha negara yang dalam hal ini masuk dalam ranah Peradilan Tata Usaha Negara.

Penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak dimulai dari jaman Hindia Belanda telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Banding Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken).2 Selanjutnya badan tersebut diganti oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara 1959 Nomor 13), yang disebut sebagai peradilan yang sah berdasarkan undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

1

Penulis adalah Kabid Pendidikan PUSDIKLAT Lab FH UII 2

Rizky Argama, Pengadilan Pajak Di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak, makalah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm. 6-7, Desember 2005.

(2)

43

Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak, sehingga pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang, agar dapat menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, 3 sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997.

Sekali lagi, bahwa ternyata BPSP pada kenyataannya juga belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung sehingga dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak. Dengan dasar pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

II. KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF PENGADILAN PAJAK

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai badan peradilan administrasi khusus dibidang perpajakan yang merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Kekuasaan (kompetensi Absolut) Pengadilan Pajak diatur dalam Pasal 31, 32, dan 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, di mana kekuasan (kompetenasi Absolut) tersebut adalah:

1. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak oleh karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau Badan Peradilan lain, kecuali putusan berupa "tidak dapat diterima" yang menyangkut kewenangan/kompetensi;

2. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak;

3. Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Pengadilan Pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau, keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

5. Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak;

6. Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan untuk kompetensi relatif yang menyangkut kewenangan mengadili suatu lembaga pengadilan terhadap kewenangan mengadili pengadilan dari lingkungan peradilan yang sama dengan wilayah hukum yang berbeda, maka kompetensi Pengadilan Pajak di atur dalam Pasal 3

3

(3)

44

dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dari Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diketahui bahwa kedudukan Pengadilan Pajak adalah di ibukota negara, maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya.5

Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.”

Pada hakikatnya tempat sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya. Namun, dengan pertimbangan untuk memperlancar dan mempercepat penanganan Sengketa Pajak, tempat sidang dapat dilakukan di tempat lain. Hal ini sesuai dengan prinsip penyelesaian perkara yang dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.6

III. UPAYA-UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PAJAK

A. UPAYA KEBERATAN

“Keberatan” adalah dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP dapat mengajukan keberatan.Upaya keberatan merupakan upaya hukum yang diajukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak sebagai akibat dari adanya perbedaan penafsiran dan pendirian mengenai ketentuan hukum di bidang pajak terhadap suatu kasus tertentu. Hal ini terjadi :

1. Antara wajib pajak atau penanggung pajak dan Dirjen Pajak dan jajarannya atas Penetapan utang pajak untuk jenis pajak pusat yang pengelolaannya menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak;

2. Antara wajib pajak dan Kepala Daerah/Kepala Dinas Pendapatan Daerah di daerah (baik provinsi maupun kabupaten/kota) atas penetapan besarnya utang pajak untuk pajak daerah;

3. antara wajib pajak dan Direktur Jenderal Bea Cukai dan jajarannya atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya.7

Di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, diatur beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai keberatan yaitu :

1. Keberatan atas Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Barang dan Jasa (Pasal 25 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ).

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);

e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga. 2. Keberatan atas Pajak Bumi dan Bangunan

4

Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005, hlm 73-74.

5

Rizky Argama, Op.Cit., hlm 13-14.

6 Penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 7

Y. Sri Pudyatmoko, Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang Pajak, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2005, hlm 27 – 28.

(4)

45

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Pemberitahuan Pajak terutang (SPPT) b. Surat ketetapan Pajak (SKP)

3. Keberatan atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu :

a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB)

b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBPHTBKBT)

c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan lebih Bayar (SKBPHTBLB)

d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBPHTBN) 4. Keberatan atas Pajak Daerah

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu : a. Surat Ketetapan Pajak Daerah

b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar

c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan d. Surat Ketetapan Pajak Daearah lebih Bayar

e. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil

Ketentuan yang mengatur tentang keberatan atas surat ketetapan pajak daerah pada umumnya diatur dalam ketentuan perundangan-undangan mengenai Pajak Daerah (Peraturan Daerah) yang bersangkutan.

5. Untuk Bea Masuk, keberatan atas tarif dan atau nilai Pabean dan Sanksi Adminsitratif diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu

a. Penetapan tarif atau nilai pabean untuk dasar penghitungan Bea Masuk barang impor b. Pengenaan sanksi dari Direktur Jenderal

6. Untuk Cukai, keberatan atas pengenaan Cukai dan sanksi administrasinya diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007

Ketentuan pengajuan keberatan dari masing-masing keberatan tersebut adalah : 1. Keberatan diajukan secara tertulis (dalam Bahasa Indonesia)

2. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong

atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dan disertai alasan-alasan yang jelas.

3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila dalam suatu ketentuan perundang-undangan perpajakan terdapat ketentuan tersendiri yang mengatur tentang jangka waktu pengajuan keberatan, maka ketentuan umum jangka waktu pengajuan keberatan 3 (tiga) bulan tersebut tidak berlaku, yang berlaku adalah yang diatur secara khusus dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan surat keberatan, sehingga tidak diproses.

(5)

46

B. UPAYA BANDING

Banding yang diajukan ke Pengadilan Pajak merupakan upaya hukum lanjutan oleh wajib pajak, di mana upaya banding ini dilakukan terhadap keputusan pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan keputusan atas upaya keberatan. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Objek Banding adalah sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun dasar hukum dari banding ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 27 dan 27A), serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002. Selain itu terdapat pengaturan atau dasar hukum mengenai upaya banding lainnya misalnya dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006

Upaya banding pada pengadilan pajak ini berbeda dengan upaya banding pada pengadilan umum di mana untuk banding pada Peradilan Umum ini adalah merupakan Pengadilan Tingkat II, artinya sengketa hukum yang terjadi antara para pihak yang berperkara telah diputus oleh Pengadilan Tingkat I, dan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa tersebut menganggap bahwa putusan Pengadilan Tingkat I kurang memuaskan, sehingga mereka mengajukan permohonan upaya hukum banding ke pengadilan Tingkat II.8

Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan. Dengan demikian, proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan.

Syarat-Syarat Banding (Pasal 35 & 36)9 adalah sebagai berikut :

1. Banding diajukan secara tertulis dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak’

2. Banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus atau kuasa hukumnya.

3. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

4. Jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Pemohon Banding.

5. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

6. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.

7. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding.

8. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

9. Pemohon banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku, sepanjang masih dalam jangka waktu yang ditetapkan.

8 Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 87. 9

www.pajakonline.com. Lihat juga bahan ajar mata kuliah Praktik Peradilan Pajak, Dosen Bapak Drs. Adi Poernomo.

(6)

47

Pengajuan sebuah upaya hukum banding oleh wajib pajak atau penanggung pajak menggunakan bahasa Indonesia. Undang-undang memberikan solusi bagi mereka yang kurang mempunyai kecakapan dan pemahaman mengenai berbagai hal di bidang pajak, termasuk di dalamnya kurang mampu berbahasa Indonesia, untuk mencari kuasa hukum yang dapat mewakili atau mendampinginya. Namun bagaimana jika wajib pajak tidak mempunyai kecakapan beracara ternyata tidak mampu membayar seseorang yang diberi kuasa untuk mewakili atau mendampingi?

Pengajuan banding mempunyai limit waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Pada prinsipnya pemberian limit waktu untuk memberikan kepastian kepada publik, bahwa jika waktu pengajuan banding dibatasi 3 (tiga) bulan sejak diterimanya keputusan, dan ternyata setelah lewat waktu tersebut tidak diajukan banding, maka wajib pajak atau penanggung pajak dapat menerima isi keputusan yang diterimanya.10 Ketentuan ini dapat disimpangi jika terjadi di luar kekuasaan wajib pajak atau penanggung pajak dalam mengajukan upaya banding dengan membuktikan bahwa wajib pajak atau penanggung pajak tidak memenuhi disebabkan terjadi di luar kemampuannya sehingga pengajuan upaya banding ini melampaui batas waktu yang telah ditentukan undang-undang.

Di dalam surat banding ini wajib pajak atau penanggung pajak harus menyertai alasan-alasan yang jelas seperti layaknya membuat sebuah gugatan (dalam perkara perdata) yang memuat posita (alasan-alasan hukum) dan petitum (hal yang dimohonkan), dengan dilampirkan keputusan yang dijadikan obyek sengketa. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus. Apabila selama proses banding, Pemohon Banding meninggal dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal Pemohon Banding pailit. Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.

Dalam hal melakukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding. Sementara itu, apabila ternyata permohonan banding kita ditolak atau dikabulkan sebagian perlu diperhatikan bahwa konsekuensinya adalah kita sebagai Wajib Pajak akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Putusan Banding akan diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak Surat Banding diterima (pemeriksaan dengan cara biasa). Putusan Banding ini merupakan keputusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Atas putusan pengadilan pajak ini, dapat diajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.11

C. GUGATAN

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk mengenai Penagihan Pajak diatur Pasal 37 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, di mana gugatan yang diajukan ke Badan Peradilan Pajak

10

Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 89

11

(7)

48

adalah gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang. 12

Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), gugatan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak, di mana Badan peradilan pajak yang dimaksud adalah Pengadilan Pajak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Gugatan dilakukan terhadap :

1. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;

2. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;

3. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP; atau

4. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan baik atas keputusan tentang penagihan pajak maupun hal lain di bidang pajak sepanjang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengajuan gugatan diberikan batas waktu 14 hari, namun apabila telah lewat dari 14 hari tanpa ada gugatan dari wajib pajak atau penaggung pajak terhadap penagihan pajak, maka wajib pajak atau penanggung pajak menerima tindakan penagihan tersebut. Jangka waktu tersebut dapat disimpangi, apabila wajib pajak atau penanggung pajak dapat memberikan alasan yang kuat terhadap limit waktu pengajuan pajak ke Pengadilan Pajak dikarenakan di luar kemampuan wajib pajak atau penanggung pajak. Sedangkan untuk Gugatan terhadap Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak, Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP, Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.

Pihak yang dapat mengajukan gugatan pajak ke Pengadilan Pajak, seperti halnya pada waktu pengajuan upaya banding, yaitu wajib pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak tidak menunda pelaksanaan penagihan atau kewajiban pajak wajib pajak atau penanggung pajak. Namun wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan permohonan (di mana permohonan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan) agar pelaksanaan penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Permohonan penundaan pelaksanaan penagihan pajak yang diajukan berbarengan dengan gugatan, seharusnya diputuskan terlebih dahulu apakah diterima atau tidak diterima. Tetapi apabila pemohonan diajukan saat sengketa sudah diproses tahap pemeriksaan atau sudah hampir putusan maka permohonan penundaan tersebut tidak diputuskan terlebih dahulu. Permohonan penundaan dapat dikabulkan apabila keadaan mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat dirugikan jika penagihan pajak yang digugat dilaksanakan.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tidak diatur syarat formal gugatan, namun tidak ada konsekuensi apapun jika gugatan tidak memenuhi syarat formal tersebut di dalam Undang-Undang pengadilan Pajak tersebut. Dengan tidak dimuatnya syarat formal sebuah gugatan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak maka pencari keadilan pada bidang pajak tersebut melalui Pengadilan Pajak dapat memahami materi (isi) gugatan, yang pada umumnya memuat :

12

(8)

49

1. Kompetensi (absolut dan relatif); 2. Identitas para pihak;

3. Posita (Fundamentum Potendi); 4. Petitum (Tuntutan)

D. PENINJAUAN KEMBALI

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung.

Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak diatur bahwa pihak-pihak yang bersengketa baik Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan Putusan Pengadilan Pajak.

Dalam Pasal 91 Jo. Pasal 92 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak, permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan :

1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diternukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.

4. Apabila mengenai suatu bagian dan tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.

5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.

KESIMPULAN

1. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi

sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan

(9)

perundang-50

undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

3. Upaya Penyelesaian sengketa di bidang pajak : a. Upaya Keberatan

Upaya yang dilakukan wajib pajak terhadap perbedaan penafsiran dan pendirian tentang ketentuan hukum di bidang pajak terhadap kasus tertentu. Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak tanggal surat ketetapan, dan atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima

b. Upaya Banding

Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Objek Banding adalah sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak (Pengadilan Pajak) atas Surat Keputusan Keberatan, sehingga proses pengajuan banding hanya dapat dilakukan apabila telah melalui proses keberatan. c. Gugatan

Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gugatan yang diajukan ke Badan Peradilan Pajak adalah gugatan penanggung pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang.

d. Peninjauan Kembali

Permohonan Pengajuan Peninjauan kembali dapat dilakukan oleh wajib pajak dan itu merupakan upaya hukum luar biasa, dimana untuk dapat mengajukan telah dibatasi apa yang menjadi alasannya. Permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Meskipun hal itu tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.

Catatan tambahan :

1. Apabila Pasal 35 dan 36 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak didudukkan sebagai ketentuan yang mengatur persyaratan formal pengajuan banding, maka untuk gugatan juga ada, yaitu Pasal 40 dan 41

2. Dalam BAB III (mengenai Upaya Keberatan, Upaya Banding, Gugatan dan Peninjauan Kembali), disatu pihak disebut wajib pajak (selaku Pemohon Banding atau Penggugat), namun dilain pihak hanya disebut Direktur Jenderal Pajak (selaku Terbanding atau Tergugat). Ada baiknya disinggung juga mengenai Pejabat di bidang perpajakan lainnya seperti Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Gubernur / Kepala Dinas Pendapatan Daerah atau lainnya

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan sudut polarisasi cahaya cenderung meningkat dan linier terhadap kenaikan konsentrasi larutan naftalena, sedangkan untuk antrasena tidak linier.. Hasil ini

1) Marcellina Rasemi W,. SST, M.Pd selaku dosen pembimbing 1 yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam mengerjakan

Melalui service encounter quality yang dilaksanakan Grand Zuri Hotel BSD City bertujuan untuk menciptakan persepsi kualitas jasa yang baik di benak pelanggan diharapkan

Berdasarkan hasil tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara pola kebersihan diri dengan gangguan kulit pada petani padi di Kelurahan Nanggulan

Temuan penelitian menunjukkan bahwa: 1 Implementasi pendidikan karakter di SDIT Permata Ummat Trenggalek telah terlaksana, hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai karakter yang

Tahap pendefinisian ini dilakukan untuk menentukan konsep dalam memperkuat produk pengembangan. Tahap pendefinisian dengan kegiatan analisis kebutuhan terhadap guru

Berkaitan dengan Evaluasi Renja Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Riau Tahun 2019 yang mempertimbangkan bahwa Dinas Komunikasi, Informatika dan

Dalam proses akuntansi diidentifikasikan berbagai transaksi atau peristiwa yang merupakan kegiatan ekonomi perusahaan, yang dilakukan melalui pengukuran, pencatatan, penggolongan,