• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI YOGYAKARTA"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA AYAH DAN

IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat

meraih gelar Sarjana Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata DharmaYogyakarta

Disusun Oleh :

Florentina Dyani Anindyasari 119114030

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi

nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa

dan permohonan dengan ucapan syukur

(Filipi 4:6)

Never complain about what happened today, just accept it and

enjoy.

Life is about change, sometimes painful, sometimes beautiful, but

most of the time is both.

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu

untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia,

yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur kepada Tuhan Allah

Atas berkat yang telah diberikan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Skripsi ini saya persembahkan kepada

Kedua orangtua saya, Papa Wayang dan Mama Etik, yang selalu memberikan

semangat dan doa kepada saya. Kakak saya, Devi dan adik saya, Nadia, yang

keduanya selalu memberikan motivasi bagi saya ketika saya berkeluh kesah. Anak

saya, Michael Alvaro, terima kasih sudah membantu dan mendukung mama untuk

menyelesaikan skripsi ini.

Seluruh dosen dan staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah

memberikan banyak pengalaman hidup dan ilmu yang sangat berharga.

Teman-teman Psikologi yang turut memberikan banyak pengalaman dan

(6)
(7)

vii

PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN ANTARA AYAH DAN IBU YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI YOGYAKARTA

Florentina Dyani Anindyasari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaaan kecemasan yang dirasakan oleh pasangan suami istri yang memiliki anak dengan gangguan autis. Subjek penelitian ini adalah pasangan suami istri yang memiliki anak autis di Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 61 pasang suami istri. Peneliti memiliki hipotesis bahwa terdapat perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak dengan gangguan autis. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan Skala Kecemasan. Skala kecemasan tersebut telah divalidasi oleh professional judgement yang dilakukan oleh pembimbing skripsi, diseleksi item dan diuji reliabilitasnya. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik Mann Whitney U dari program SPSS for Windows versi 16.0 Menurut perhitungan mean ayah dan ibu, didapati mean ayah lebih rendah daripada mean ibu, yaitu 87,85246 > 100,1803. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kecemasan yang dirasakan oleh ayah dan ibu. Ibu memiliki kecemasan yang lebih tinggi daripada ayah.

(8)

viii

THE DIFFERENCES OF ANXIETY LEVEL BETWEEN FATHER AND MOTHER WHO HAVE AUTISM CHILDREN IN YOGYAKARTA

Florentina Dyani Anindyasari

ABSTRACT

This research aims to observe the differences anxiety by couples who have children with autism disorders. The subjects of this study are married couples who have children with autism in Yogyakarta. The subjects are about 61 couples husband and wife. Researchers have hypothesized that there are differences in anxiety between father and mother who have children with autism disorder. Data of this research revealed by using anxiety scale. The scale of anxiety has been validated by professional judgment conducted by thesis supervisor, selected item and tested its reliability. The data were analyzed using Mann Whitney U technique from SPSS for Windows version 16.0. Based on the mean father and mother calculation, the father mean is lower than the mother mean, that is 87,85246 > 100,1803. Based on the results of data analysis can be concluded that there are differences in anxiety felt by the father and mother. Mother has a higher anxiety than father.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat serta penyertaan

yang selalu saya terima sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi saya dengan

judul Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis di Yogyakarta dengan lancar dan suskses. Kelancaran dan kesuksesan saya dalam mengerjakan skripsi bukan semata-mata atas kerja keras

saya, namun ada juga banyak pihak yang selalu membantu saya dal am

menghadapi kesulitan dan rintangan yang saya alami. Oleh karena itu saya

mengucapkan banyak rasa terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Monica Eviandaru M., Ph.D. selaku Kepala Prodi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi saya.

Terima kasih atas bimbingan ibu yang senantiasa selalu sabar dalam

mengajarkan saya langkah-langkah untuk melakukan penelitian

sehingga saya dapat menemukan fenomena masalah, metode dan

melakukan analisis dalam sebuah penelitian.

4. CB. Herly Sapto Adji dan Widyaningsih T selaku orang tua saya yang

amat saya cintai. Terima kasih atas segala dukungan yang telah

diberikan kepada saya sampai saat ini, atas kesabarannya menghadapi

saya yang manja dan malas. Terima kasih juga atas segala kasih sayang

(11)

xi

5. Nindyana Carissa Devi dan Rosalia Nadya Narulita, selaku kakak dan

adik kandung saya, serta saudara-saudara sepupu saya yang saya cintai.

Terima kasih telah memberikan dukungan kepada saya tanpa henti. Saya

tahu kadang saya menyebalkan dan iseng dengan tingkah saya, namun

kalian tetap sayang dan peduli kepada saya.

6. Michael Alvaro Christian P. selaku anak kesayangan saya. Terima kasih

karena telah mengerti dan memberikan waktu untuk mama sehingga

mama dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

7. Seluruh Dosen Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas

Ilmu Psikologi dan pembelajaran hidup yang luar biasa yang telah kalian

berikan, sehingga membuat saya semakin selalu berkembang setiap

waktunya.

8. Seluruh Staff Karyawan Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima

kasih atas usaha yang diberikan, sehingga saya dapat menyelesaikan

segala urusan administrasi dengan lancar selama kuliah di Psikologi.

9. Arif W, Ika, Vero, Betrik, Ria, dan semua teman-teman saya, terima

kasih karena selalu ada untuk saya. Selalu memberikan nasihat dan

masukan yang membangun sehingga saya merasa tidak malas dan

berhasil menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas hari-hari yang

menyenangkan semasa kuliah. Terima kasih juga atas segala bantan dan

dukungan yang telah kalian berikan kepada saya. Terima kasih atas

segala kesabarannya menghadapi saya yang iseng, suka manja, egois,

(12)

xii

ini. Walaupun kita sempat jauh karena gak sekelas, tapi pada akhirnya

tetap bersama lagi sampai sekarang.

10.Teman-teman Psikologi Angkatan 2011 yang tidak bisa saya sebutkan

satu per satu, kalian semua sungguh luar biasa. Terima kasih atas

kebersamaan dan hari-hari yag menyenangkan. Terima kasih atas segala

bentuk bantuan yang kalian berikan kepada saya, sehingga saya dapat

melalui perkuliahan dengan lancar. Semoga kita semua sukses selalu

dan semoga komunikasi kita tetap terjalin meskipun berbeda benua

sekalipun. Semoga kita semua selalu dalam lindungan Tuhan.

11.Teman-teman lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Terima kasih atas pengalaman hidup luar biasa yang telah kalian

(13)

xiii DAFTAR ISI

Halaman Judul …….……… i

Halaman Persetujuan Pembimbing …….……….. ii

Halaman Pengesahan ………. iii

Halaman Motto ……… iv

Halaman Persembahan ……… v

Pernyataan Keaslian Karya ……….. vi

Abstrak ……….. vii

Abstract ………. viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya ……… ix

Kata Pengantar ……… x

Daftar Isi ………... xiii

Daftar Tabel ……….. xvii

Daftar Lampiran ……….. xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 6

D. Manfaat Penelitian ……… 7

BAB II LANDASAN TEORI ………. 8

(14)

xiv

1. Definisi Kecemasan ………... 8

2. Ciri-ciri Orang Yang Mengalami Kecemasan ……….. 9

3. Penyebab Kecemasan ……… 13

B. Ayah dan Ibu ……… 15

1. Peran Ayah dan Ibu ………... 15

a. Peran Ayah ……….. 16

b. Peran Ibu ………. 16

2. Dinamika Psikologis Ayah dan Ibu ………... 17

C. Autis ………. 21

1. Definisi Autis ………. 21

2. Gejala Autis ……….. 22

D. Perbedaan Kecemasan Ayah dan Ibu yang Memiliki Anak Autis ……. 24

E. Kerangka Berpikir ……….. 28

F. Hipotesis ………. 28

BAB III METODE PENELITIAN ……… 29

A. Jenis Penelitian ………. 29

B. Variabel Penelitian ………... 29

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………. 29

1. Jenis Kelamin ………. 29

2. Kecemasan ………. 30

(15)

xv

E. Metode Pengumpulan Data ……….. 31

F. Alat Pengumpul Data ….………. 33

1. Validitas ………. 33

2. Reliabilitas ………. 33

3. Seleksi Item ………... 34

G. Metode Analisis Data ………... 36

1. Uji Asumsi ………. 36

a. Uji Normalitas ……… 36

b. Uji Homogenitas ..………... 37

2. Uji Hipotesis ……….. 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 38

A. Persiapan Penelitian ………. 38

B. Pelaksanaan Penelitian ………. 38

C. Deskripsi Subjek Penelitian ………. 39

D. Analisis Data ……… 43

1. Mean Teoritik dan Mean Empirik ………. 43

2. Angka Kecemasan Ayah dan Ibu ……….. 44

3. Uji Asumsi ………. 46

a. Uji Normalitas ……… 46

b. Uji Homogenitas ………. 47

(16)

xvi

E. Pembahasan ……….. 49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 56

A. Kesimpulan ……….. 56

B. Saran ……… 56

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Blue Print Skala Kecemasan ……… 32

Tabel 2 : Distribusi Skala Kecemasan Setelah Seleksi Item …………. 35

Tabel 3 : Distribusi Skala Kecemasan Setelah Uji Coba ……… 36

Tabel 4 : Deskripsi Subjek Ayah dan Ibu Berdasarkan Usia ………… 39

Tabel 5 : Deskrpsi Subjek Ayah dan Ibu Berdasarkan Pendidikan

Terakhir ………... 40

Tabel 6 : Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Anak yang Menderita Autis dalam Satu Keluarga ………. 41

Tabel 7 : Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Anak Autis dalam Satu

Keluarga ………. 42

Tabel 8 : Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Anak Terdeteksi Autis ….. 42

Tabel 9 : Deskripsi Mean Teoritik dan Mean Empirik ………. 43

Tabel 10 : Perhitungan Mean Kecemasan Ayah dan Ibu Berdasarkan Rentang Usia Anak Autis ………... 44

Tabel 11 : Perhitungan Mean Kecemasan Ayah dan Ibu Berdasarkan Jumlah Anak Autis dalam Satu Keluarga ………... 45

Tabel 12 : Perhitungan Mean Kecemasan Ayah Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ………... 45

Tabel 13 : Perhitungan Mean Kecemasan Ibu Berdasarkan Tingkat Pendidikan Terakhir ……….. 45

Tabel 14 : Tabel Hasil Uji Normalitas ………. 46

(18)

xviii

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Kecemasan Sebelum Uji Coba ………. 63

Lampiran 2. Skala Kecemasan Setelah Uji Coba ……….... 69

Lampiran 3. Data Hasil Penelitian ……….. 74

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orangtua selalu mendambakan buah hati yang terlahir

normal secara jasmani dan rohani. Sejak dalam kandungan, ibu berusaha

semaksimal mungkin untuk menjaga kondisi fisik dan psikisnya agar

anaknya dapat terlahir dengan kondisi yang normal dan sehat. Beberapa

anak dilahirkan ke dunia dapat mengalami kelainan tertentu, salah satu

diantaranya adalah gangguan autis (Ariesta, 2016).

Autis merupakan suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan

perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan/atau

hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan dengan

ciri fungsi yang abnormal dalam tiga bidang yaitu interaksi sosial,

komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang (Departemen

Kesehatan RI, 1993). Anak dengan gangguan autis tampak layaknya anak

normal pada umumnya di usia 1-2 tahun. Sehingga orangtua seringkali

terlambat menyadari adanya keterlambatan pada kemampuan berbahasa

dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain (Handoyo,

dikutip dari Merianto, 2016).

Perkembangan komunikasi pada anak autis berbeda satu sama lain.

(21)

yang sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata (Maulana, 2014). Anak

autis lebih senang untuk menyendiri dan cenderung menghindari kontak

mata dengan orang lain, tidak senang bergaul atau bermain bersama

teman-temannya, dan mereka memiliki kesenangan serta caranya sendiri

dalam bermain. Permainan mereka sederhana dan kurang kreatif jika

dibandingkan dengan anak normal (Maulana, 2014).

Isu anak autis di Indonesia muncul sekitar tahun 1990. Autis mulai

dikenal secara luas sejak tahun 2000. Seorang psikiater di Jakarta

mengatakan bahwa jumlah pasien yang didiagnosa sebagai anak dengan

gangguan autis dalam setahun tidak lebih dari 5 orang, sebelum tahun

1990. Kini autis berkembang sangat pesat (Yuwono, 2012). Maulana

(2014) mengemukakan bahwa autis sendiri terjadi pada 5 dari setiap

10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita laki-lakinya empat kali lebih

besar jika dibandingkan dengan penderita wanita.

Berdasarkan data bahwa angka penderita autis terus mengalami

peningkatan, maka peran orangtua dalam pengasuhan anak autisme

sangatlah penting untuk perkembangan perilaku anak. Orangtua yang

memiliki anak autisme tentunya memiliki pola pengasuhan yang berbeda

dengan anak yang normal. Orangtua harus memberikan perhatian dan

pengawasan yang lebih dari biasanya agar dapat mengembangkan diri dan

kepribadian anak autisme itu sendiri. Selain itu, orangtua pasti akan rela

(22)

keluar dari pekerjaan supaya bisa mendampingi anaknya yang autis

(Widyatmoko, 2008).

Berdasarkan penelitian dari Davis & Carter (2008, dikutip dari

Fitriani & Ambarini, 2013) orangtua yang memiliki anak autis memiliki

tingkat stress yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan orangtua yang

memiliki anak dengan disabilitas lainnya. Orangtua yang memiliki anak

autis dihadapkan pada berbagai macam permasalahan. Salah satunya

adalah permasalahan dari diri anak dengan autisme itu sendiri. Masalah

perilaku, misalnya tantrum, repetitif, dan agresif. Tantangan yang lainnya

adalah kesulitan regulasi diri pada anak autis sehingga menyebabkan anak

memiliki emosi yang negatif (Tomanik, 1993, dikutip dari Pisula, 2011).

Selain kedua hal tersebut, ada pula tantangan berupa gangguan komunikasi

dalah mengasuh anak yang autis. (Welenski, 2006, dikutip dari Pisula,

2011).

Orangtua dengan anak autis juga dihadapkan pada situasi yang

tidak mudah (Ginanjar, dikutip dari Yuwono, 2012). Masalah pertama

yang timbul adalah masalah mengenai diagnosis autis. Orangtua yang

mengetahui anaknya didiagnosis mengalami gangguan autis akan merasa

terkejut dan tidak percaya. Mereka akan sesegera mungkin mencari

informasi mengenai gangguan autis. Setelah didiagnosis mengalami

(23)

perkembangan anak, dimana anak akan mengalami kesulitan untuk

berkomunikasi dengan orang lain.

Permasalahan yang dihadapi oleh orangtua tidak luput juga dari

masalah sosial, seperti keluarga besar dan masyarakat sekitar. Tanggapan

setiap orang akan berbeda-beda mengenai anak dengan autisme, ada yang

bisa memahami, ada pula yang memandang anak autis dengan sebelah

mata (Ginanjar, dikutip dari Yuwono, 2012). Orangtua yang memiliki

anak autis pun dihadapkan dengan masalah finansial. Kebutuhan anak

untuk mengikuti terapi tidaklah murah. Ratusan bahkan jutaan rupiah perlu

dikeluarkan untuk melakukan terapi demi kesembuhan anak (Ginanjar,

dikutip dari Yuwono, 2012).

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh orangtua tentu

akan menimbulkan perasaan cemas. Kecemasan yang dialami oleh

orangtua sering kali memiliki dampak bagi anggota keluarga, terutama

anak. Kecemasan tersebut akan mempengaruhi keberlangsungan hidup dan

fungsi individu, sehingga perlu untuk dihilangkan (Fitriani & Ambarini,

2013). Pada umumnya, kecemasan yang dirasakan oleh orangtua lebih

kepada perasaan cemas akan perkembangan dan kesembuhan anaknya

yang menderita autis. Selain itu, orangtua juga merasa cemas akan

mengalami kesulitan menemukan sekolah dan pekerjaan yang bersedia

menerima kondisi anak anaknya kelak. Kecemasan yang dialami orangtua

(24)

bersosialisasi dengan lingkungannya dan besarnya biaya yang harus

dikeluarkan (Ariesta, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Jeniu, Widodo, dan Widiani (2017)

menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki orangtua sangat

berpengaruh bagi kecemasan orangtua. Semakin tinggi pendidikan

orangtua, maka tingkat kecemasan yang dirasakan orangtua semakin

rendah. Kecemasan yang dirasakan orangtua mengarah kepada

keberhasilan pendidikan anak. Hal tersebut terjadi karena orangtua sadar

mengenai keterbatasan anak mereka (Hasanah, 2017). Pengetahuan

orangtua mengenai autis sangat menentukan penerimaan diri orangtua

terhadap anak yang mengalami gangguan autis (Rachmayanti, 2007).

Orangtua yang memiliki anak autis juga sangat membutuhkan dukungan

dari keluarga dan lingkungan sekitar. Dukungan sosial yang diterima dari

lingkungan sekitar dapat mengurangi perasaan cemas yang dirasakan oleh

orangtua (Wahyuningjati, 2015).

Orangtua, dalam hal ini ayah dan ibu, tentu saja memiliki

perbedaan dalam hal kecemasan memiliki anak autis. Ayah yang berjenis

kelamin laki-laki tentu berbeda dengan ibu yang berjenis kelamin

perempuan. Cahyani, Wiyono, dan Ardiyani (2017) telah melakukan

penelitian mengenai perbedaan kecemasan antara laki-laki dan perempuan.

Penelitian tersebut menyatakan bahwa pada umumnya perempuan lebih

(25)

pengalaman baru yang terjadi dalam kehidupannya tidak selalu

menyenangkan. Pada dasarnya kecemasan bersifat subjektif, sehingga

pengalaman yang dialami oleh perempuan belum tentu dapat dirasakan

oleh laki-laki. Perempuan lebih cenderung mudah dipengaruhi oleh

tekanan dari lingkungan, sensitif, dan mudah menangis. Berbeda dengan

laki-laki yang lebih aktif, rileks dan eksploratif (Cahyani, Wiyono, dan

Ardiyani, 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ratnasari dan

Suleeman (2017), laki-laki dan perempuan memiliki regulasi emosi yang

berbeda. Perempuan memiliki kecenderungan untuk larut dalam emosi dan

kemudian mengekspresikannya. Sedangkan laki-laki cenderung menekan

emosinya dan melupakan pengalaman emosi. Gambaran mengenai emosi

yang berbeda antara laki-laki dan perempuan menyebabkan adanya pula

perbedaan kecemasan yang dialami oleh laki-laki dan perempuan. Selain

itu, peran sebagai ayah dan ibu dapat menyebabkan kecemasan berlebih

pada ibu, karena ibu memiliki banyak peran yang harus dijalankan.

Berbeda dengan ayah yang berperan sebagai kepala keluarga yang mencari

nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Disisi lain, beberapa

orangtua, baik itu ayah atau ibu, merasa baik-baik saja ketika dihadapkan

dengan peristiwa serupa. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dan membukitkan bagaimanakah perbedaan tingkat kecemasan

(26)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang

diangkat oleh peneliti adalah: “Apakah terdapat perbedaan tingkat

kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan

kecemasan yang dialami oleh ayah dan ibu yang memiliki anak autis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini,

manfaat yang diharapkan adalah :

1. Manfaat Teoretik

Memberikan informasi mengenai perbedaan kecemasan

yang dialami oleh ayah dan ibu yang memiliki anak autis

sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan psikologi

pada umumnya dan khususnya pada psikologi klinis.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para

orangtua untuk melakukan refleksi dan evaluasi mengenai

perbedaan kecemasan yang dialami. Sehingga diharapkan

dapat menemukan solusi untuk mengurangi kecemasan yang

(27)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kecemasan

1. Definisi Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang menentang

atau tidak menyenangkan yang meliputi interpretasi subjektif dan “arousal” atau rangsangan fisiologis (Ollendick, dalam Clerq, 1994). Jadi,

kecemasan dikonseptualisasikan sebagai reaksi emosional yang umum dan

nampaknya tidak berhubungan dengan keadaan atau stimulus tertentu,

namun muncul tanpa sebab yang jelas (Clerq, 1994).

Maramis (dalam Hasanah, 2017) mengungkapkan bahwa

kecemasan merupakan salah satu unsur emosi yang terjadi pada individu

dalam kehidupannya, karena suatu pengalaman baru yang dijumpai oleh

individu dalam kehidupannya. Kecemasan berupa ketegangan, rasa tidak

aman, khawatir, yang timbul akibat merasa akan terjadi suatu hal yang

tidak menyenangkan.

Kecemasan digambarkan sebagai state anxiety atau trait

anxiety. State anxiety adalah reaksi sementara emosi yang timbul pada

situasi tertentu, yang dirasakan sebagai ancaman. Trait anxiety menunjuk

(28)

seseorang untuk menginterpretasikan suatu keadaan sebagai ancaman

(Cattell dan Scheier; Spielberger; dalam Clerq, 1994). Trait anxiety

disebut dengan kecemasan kronis (Spielberger, dalam Clerq, 1994).

Kartono (2011) menyatakan kecemasan merupakan perasaan

campuran ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang

tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Menurut Freud (Boeree,

1997; Hall dan Lindzey, 1993), kecemasan merupakan perasaan yang

timbul akibat terjadinya konflik antara „id‟ dan „superego‟ yang ingin

menguasai „ego‟. Konflik ini akan mengakibatkan munculnya perasaan

terancam dan terjepit, yang dinamakan kecemasan. Kecemasan merupakan

pertanda atau peringatan akan suatu bahaya yang akan terjadi. Jika yang

bersangkutan tidak melakukan tindakan yang tepat, maka bahaya itu akan

meningkat sampai „ego‟ berhasil dikalahkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

kecemasan merupakan salah satu unsur emosi yang terjadi karena suatu

pengalaman baru yang dijumpai oleh individu dalam kehidupannya.

Kecemasan berupa ketegangan, rasa tidak aman, khawatir, yang timbul

akibat merasa akan terjadi suatu hal yang tidak menyenangkan.

2. Ciri-ciri orang yang mengalami kecemasan

Menurut Supratiknya (2000), orang yang mengalami

(29)

a. Senantiasa diliputi ketegangan, rasa was-was, dan keresahan yang

bersifat tidak menentu.

b. Terlalu peka (mudah tersinggung) dalam pergaulan, dan sering

merasa tidak mampu, minder, depresi dan serba sedih.

c. Sulit untuk berkonsentrasi dan mengambil keputusan, serba takut

salah.

d. Rasa tegang menjadikan yang bersangkutan selalu bersikap

tegang-lamban, bereaksi secara berlebihan terhadap rangsangan yang datang

secara tiba-tiba atau yang tidak diharapkan, dan selalu melakukan

gerakan-gerakan neurotik tertentu, seperti mematah-matahkan buku

jari, mendeham dan sebagainya.

e. Sering mengeluh bahwa ototnya tegang, khususnya pada bagian leher

dan sekitar bahu atas, mengalami diare ringan yang kronik, sering

buang air kecil, dan mengalami gangguan tidur berupa insomnia dan

mimpi buruk.

f.Mengeluarkan banyak keringat dan telapak tangannya sering basah.

g. Sering berdebar-debar dan tekanan darahnya tinggi.

h. Sering mengalami gangguan pernafasan dan berdebar-debar tanpa

sebab yang jelas.

i.Sering mengalami “anxiety attacks” atau tiba-tiba merasa cemas tanpa

ada pemicu yang jelas. Gejalanya dapat berupa berdebar-debar, sulit

(30)

Hawari (dalam Tsuraya, 2013) mengemukakan bahwa beberapa

simtom kecemasan yang sering dialami oleh individu yaitu: (1)

memandang diri rendah, (2) sulit untuk merasa senang atau pemurung, (3)

mudah menangis, (4) tidak percaya dengan diri sendiri, (5) mudah tegang

dan gelisah, (6) menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan, (7)

jantung sering berdebar-debar, (8) mulut terasa kering, dan (9) merasa

takut mati.

Menurut Langgulung (1986), kecemasan akan tampak dalam

segi fisiologis dan psikologis. Ditinjau dari segi fisiologis, tubuh akan

menunjukkan reaksi-reaksi tertentu. Adanya peningkatan emosi atau

perasaan cemas, maka satu atau lebih organ akan meningkatkan

fungsinya, yaitu peningkatan asam lambung selama kecemasan atau

meningkatnya detak jantung, serta merasa ingin buang air atau sekresi

keringat yang berlebihan. Dari segi psikologis, biasanya disertai dengan

reaksi fisiologis misalnya adanya perasaan tegang, bingung, dan perasaan

yang tidak menentu, merasa terancam, tidak berdaya, rendah diri, kurang

percaya diri, tidak dapat memusatkan perhatian, juga seringkali tidak

dapat mengontrol gerakan-gerakan. Selain itu, reaksi psikologis dapat

berupa peningkatan dorongan untuk berperilaku efektif.

Hurlock (1996) mengungkapkan bahwa tanda-tanda munculnya

(31)

tidak mampu, tidak sanggup menyelesaikan masalah, rendah diri, dan

perasaan-perasaan lainnya yang tidak menyenangkan.

Mahler (dalam Prastiti, 2005) mengemukakan bahwa

kecemasan memiliki tiga komponen reaksi, antara lain:

a. Komponen emosional, yaitu reaksi terhadap kecemasan yang

berhubungan dengan perasaan individu terhadap suatu hal secara

tidak sadar dan disertai ketakutan yang mendalam. Misalnya: terus

menerus khawatir, gelisah, mudah tersinggung, tidak sabar dan

sering mengeluh.

b. Komponen kognitif, yaitu reaksi terhadap kecemasan yang

berhubungan dengan perasaan khawatir individu terhadap

konsekuensi yang mungkin terjadi. Apabila tingkat kekhawatiran

tinggi, maka hal tersebut dapat mengakibatkan sulitnya

berkonsentrasi, mudah lupa dan mudah panik.

c. Komponen fisik, yaitu reaksi terhadap kecemasan yang

berhubungan dengan reaksi tubuh. Misalnya: berkeringat secara

berlebihan walaupun udara tidak panas, jantung berdebar secara

cepat, tangan atau kaki terasa dingin, gangguan pencernaan, mulut

dan tenggorokan akan terasa kering, muka terlihat pucat, frekuensi

buang air kecil meningkat, dan susah tidur. Selain itu, individu yang

(32)

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

kecemasan akan tampak dalam segi fisiologis dan psikologis. Segi

fisiologis akan menunjukkan reaksi tubuh tertentu, yaitu: peningkatan

asam lambung, meningkatnya detak jantung, merasa ingin buang air dan

sekresi keringat yang berlebihan. Dari segi psikologis, biasanya disertai

dengan reaksi fisiologis, yaitu: adanya perasaan tegang, bingung dan

perasaan yang tidak menentu, merasa terancam, kurang percaya diri, serta

tidak dapat memusatkan perhatian.

3. Penyebab kecemasan

Menurut Supratiknya (2000), ada beberapa sebab munculnya

kecemasan, antara lain:

a. Modeling, yaitu mencontoh orangtua yang memiliki sifat tegang

dan pencemas.

b. Tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan yang dapat “membahayakan” atau mengancam ego, misalnya: rasa bermusuhan

terhadap seseorang, dorongan-dorongan seks, dan sebagainya.

Perasaan dan dorongan semacam itu akan direpresikan.

c. Membuat keputusan-keputusan yang menimbulkan kecemasan.

d. Munculnya kembali trauma psikologis yang pernah dialami di masa

lalu.

Selain itu, Kartono (2000) juga menjelaskan ada beberapa

(33)

a. Ketakutan dan kecemasan terus menerus, yang disebabkan oleh

kesusahan dan kegagalan yang bertubi-tubi.

b. Represi terhadap macam-macam masalah emosional, akan tetapi

tidak bisa berlangsung secara sempurna.

c. Ada kecenderungan akan harga diri yang terhalang.

d. Dorongan-dorongan seksual yang tidak mendapat kepuasan dan

terhambat, sehingga mengakibatkan timbulnya banyak konflik

batin.

Menurut Collins (dalam Krismawarti, 2010), ada beberapa

faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, antara lain: (1) ancaman,

baik berupa ancaman terhadap tubuh, jiwa atau psikisnya ataupun

eksistensinya; (2) konflik, yaitu adanya dua keinginan yang saling

bertolak belakang; (3) ketakutan, yaitu takut akan suatu kegagalan; dan

(4) kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

kecemasan disebabkan oleh adanya ancaman, konflik, ketakutan, dan

kebutuhan yang tidak terpenuhi. Orangtua yang memiliki anak autisme

memiliki kecemasan akan masa depan anak mereka, seperti kesembuhan

anak, keberhasilan pendidikan anak, masalah pubertas pada anak,

pekerjaan anak, dan kemandirian anak. Orangtua merasa khawatir dan

(34)

merupakan kecemasan yang dialami oleh para orangtua yang memiliki

anak autisme (Ariesta, 2016; Hasanah, 2017; Tussofa, 2015).

B. Ayah dan ibu

1. Peran ayah dan ibu

Ayah dan ibu biasa disebut dengan orangtua. Orangtua identik

dengan orang yang membimbing anak dalam lingkungan keluarga.

Orangtua memiliki peranan yang penting dalam kehidupan pertama anak.

Sebab anak mulai bergaul untuk pertama kalinya dalam lingkungan

keluarganya sendiri dan anak mulai mengenal lingkungan di luar

keluarganya dari lingkungan keluarga sendiri. Menurut Hasbullah (dalam

Pancawati, 2013), orang tua harus dapat membantu dan mendukung

terhadap segala usaha yang dilakukan oleh anaknya serta dapat

memberikan pendidikan informal guna membantu pertumbuhan dan

perkembangan anak tersebut serta untuk mengikuti atau melanjutkan

pendidikan pada program pendidikan formal di sekolah. Orangtua

mendidik anak, agar anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola

pergaulan hidup yang benar dan baik, penampilan, disiplin dan kebebasan

(Merianto, 2016).

Dalam hal ini, ayah dan ibu memiliki perannya masing-masing

(35)

a. Peran ayah

Gunarsa (2001) menjelaskan peran ayah secara umum

sebagai pencari nafkah untuk keluarga. Ayah juga memiliki peran

sebagai suami, pendidik anak, dan sebagai pelindung keluarga.

Santrock (2002) mengemukakan bahwa ayah berperan sebagai (1)

penanggungjawab akan pengajaran nilai-nilai moral, (2) sebagai

model maskulinitas pada anaknya, (3) mengontrol dan

mendisiplinkan anak, dan (4) aktif dalam mengasuh dan

memelihara anak.

b. Peran ibu

Menurut Gunarsa (2001), ibu memiliki banyak peran bagi

keluarga, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis,

(2) merawat dan mengurus keluarga, (3) sebagai pendidik yang

mampu mengatur dan mengendalikan anak, (4) sebagai contoh dan

teladan, (5) sebagai orang yang memberikan rangsangan dan

pembelajaran bagi anak, dan (7) sebagai istri. Sedangkan Kartono

dan Kartini (1992) menjelaskan bahwa seorang ibu harus mampu

untuk mendidik dan menciptakan iklim psikis yang gembira,

bahagia dan bebas sehingga suasana rumah menjadi semarak dan

(36)

2. Dinamika psikologis sebagai ayah dan ibu

Ayah dan ibu yang memiliki anak autisme memang dihadapkan

dalam situasi yang tidak mudah. Kehadiran anak yang menyandang

autisme dalam keluarga memberikan dampak yang besar untuk keluarga

itu sendiri. Sejak anak mulai didiagnosa menyandang autisme, orangtua

akan mengalami pergolakan dalam diri masing-masing. Tidak jarang

orangtua yang saling menyalahkan satu sama lain atas masa lalu mereka,

atau suami yang menyalahkan istri karena melahirkan anak dengan

kondisi yang demikian (Yuwono, 2012).

Perkembangan fisik anak autisme pada umumnya sama dengan

anak seusianya. Lain halnya dengan perkembangan motorik, kognitif dan

sosialnya. Pada usia awal 1-5 tahun, anak normal pada umumnya sudah

memiliki ketertarikan dengan benda-benda di sekitarnya. Misalnya dengan

melakukan trial and error dalam bermain dengan permainan

menjodohkan bentuk. Balita beberapa kali mencoba untuk memasangkan

benda ke lubang yang memiliki bentuk sama. Maka setelah beberapa kali

percobaan akhirnya berhasil (Papalia, Olds, dan Feldman, 2008) . Namun

pada anak autisme, tidak demikian. Anak autisme cenderung melakukan

hal-hal yang diulang-ulang. Anak dengan gangguan autisme juga

cenderung lebih agresif daripada anak normal. Perilaku agresif yang

ditunjukkan oleh anak autisme terkadang berlebihan dan penyebabnya

(37)

Beberapa riset menunjukkan bahwa orangtua yang memiliki

anak autisme cenderung cemas akan kemampuan berbahasa dan sosial.

Kemampuan berbahasa dan sosial anak normal sangat berbeda dengan

anak autisme. Anak normal pada umunya sudah dapat berbahasa dengan

baik pada usia sekitar 5 tahun ke atas. Dengan kemampuan berbahasa

yang baik, maka anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Lain

halnya dengan anak autisme yang cenderung menutup diri dan tidak

tertarik dengan orang lain (Yuwono, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak autisme yang

memasuki masa remaja memiliki tingkat agresifitas yang tinggi. Mereka

sangat tempramen dan emosional serta menunjukkan beberapa perilaku

seksual (Widyasti, 2009). Pada usia remaja, anak umumnya sudah

memasuki masa pubertas, dimana kemampuan seksual anak sudah

matang. Pada anak perempuan ditandai dengan menstruasi dan anak

laki-laki ditandai dengan mimpi basah. Remaja normal memiliki kemampuan

untuk mengatasi hal tersebut dengan tepat. Lain halnya dengan anak

autisme yang belum paham mengenai apa itu menstruasi dan mimpi

basah.

Menurut Ginanjar (dalam Yuwono, 2012), masalah yang

dihadapi oleh orangtua yang memiliki anak autisme adalah sebagai

(38)

a. Saat menerima diagnosis anak. Ketika ayah dan ibu mengetahui

hasil diagnosis, mereka akan merasa terkejut dan tidak percaya.

Beberapa diantaranya akan menolak diagnosis dan tidak

memperbolehkan melakukan terapi, atau sebaliknya, sesegera

mungkin mencari terapi yang cepat agar mempercepat proses

penyembuhan anaknya.

b. Gangguan kesehatan anak. Gangguan kesehatan ini akan

memerlukan perhatian dan finansial yang besar. Ayah dan ibu

merasa stress dalam menghadapi kebutuhan perhatian dan

financial tersebut. Beberapa ibu bahkan rela untuk berhenti

bekerja supaya dapat memenuhi kebutuhan perhatian untuk

anaknya.

c. Menghadapi keluarga besar dan masyarakat. Tidak jarang

orangtua bertengkar atas kondisi anaknya yang demikian.

Terkadang orangtua merasa malu dan tertekan terhadap

lingkungan sekitarnya, sehingga orangtua menyembunyikan

anaknya dari masyarakat sekitar. Selain itu, perlakuan masyarakat

yang tidak tepat juga akan menambah beban orangtua. Hal

tersebut akan meningkatkan stress pada keluarga.

d. Masalah perkawinan. Banyak perkawinan yang menghadapi krisis

karena pasangan suami istri tidak memiliki kemampuan

(39)

e. Anak autisme yang memasuki masa sekolah/remaja. Kebutuhan

dan perubahan aspek biologis, akademis dan tuntutan sosial akan

semakin kompleks. Hal tersebut akan membuat orangtua merasa

terbebani akan tanggungjawabnya. Keterbatasan anak autisme

dalam beradaptasi dan bersosialisasi akan memunculkan emosi

tersendiri.

Berdasarkan hasil penelitian dan literature oleh TEACCH

(Treatment and Education of Autismetic and Related Communication

Handicapped Children) di Departement of Psychiatry di University of

North Carolina School of Medicine (dalam Yuwono, 2012), orangtua

yang memiliki anak autisme sangat rentan akan stress dan depresi. Selain

itu, keadaan yang tidak sesuai dengan harapan akan menyebabkan

orangtua menjadi cemas dan semakin tertekan. Menurut hasil penelitian,

ada sepuluh hal yang dapat mempengaruhinya, yaitu: (1) diagnosa yang

membingungkan, (2) masa perkembangan anak yang tidak biasa, (3)

ketidak pastian perkembangan anak, (4) komunikasi sosial yang tidak

normal, (5) fisik anak yang tidak normal, (6) perilaku anak di tempat

umum, (7) pengaruh genetik, (8) hubungan professional, (9) terapi-terapi

yang belum menjamin kesembuhan anak, dan (10) dukungan

(40)

C. Autisme

1. Definisi autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, “autos” yang berarti “self” atau diri sendiri. Istilah autisme pertama kali digunakan pada tahun

1906 oleh seorang psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada

gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berpikir autistik

adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebgai pusat dari

dunia, dan percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri

sendiri. Pada tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan diagnosis “autisme infantil awal” kepada sekelompok anak yang

terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan dengan orang lain,

seolah-olah mereka hidup dalam dunia mereka sendiri. (Nevid, Rathus, &

Greene. 2005).

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif

yang ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain,

terbatasnya kemampuan berbahasa, perilaku motorik yang terganggu,

gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan

(Nevid, Rathus, & Greene. 2005). Gangguan autisme terjadi pada anak

berusia kurang dari tiga tahun. Gangguan ini merupakan gangguan

perkembangan anak yang ditandai dengan ketidakmampuan individu

untuk berkomunikasi dan terhubung secara emosional dengan orang lain

(41)

Berdasarkan uraian di atas, autisme merupakan suatu gangguan

yang ditandai dengan kegagalan berhubungan dengan orang lain,

terbatasnya kemampuan berbahasa, perilaku motorik yang terganggu,

gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan.

2. Gejala autisme

Seorang penyandang autisme lebih senang menyendiri, dan

tidak ingin berhubungan dengan dunia luar. Mereka juga cenderung

memiliki kesulitan dalam hal berkomunikasi dengan orang lain, selain itu

juga memiliki perilaku yang stereotip (Nevid, Rathus, & Greene. 2005).

Menurut Prasetyono (dalam Merianto, 2016), anak autis

memiliki gambaran unik dan karakter yang berbeda dari anak lainnya.

Karakteristik itu antara lain:

a. Anak sangat selektif terhadap rangsangan, sehingga kemampuan

anak menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat

terbatas.

b. Kurang motivasi. Anak tidak hanya asyik sendiri, namun cenderung

tidak termotivasi untuk menjelajahi lingkungan baru atau

memperluas lingkup perhatian mereka.

c. Memiliki respon stimulasi diri tinggi. Anak menghabiskan sebagian

besar waktunya untuk merangsang diri sendiri, misalnya bertepuk

tangan, mengepak-ngepakkan tangan, dan memandangi jari jemari,

(42)

Autisme didiagnosis dengan menggunakan parameter triad of

impairments, yaitu tiga area kesulitan belajar dan berkomunikasi seorang

anak yang tampak dalam perkembangan anak tersebut sebelum dia berusia

tiga tahun (Christie, Newson, Prevezer, dan Chandler, 2009). Ketiga area

yang dimaksud antara lain:

a. Kesulitan Berbahasa dan Berkomunikasi

Area ini meliputi kemampuan anak untuk memahami segala

bentuk bahasa dan komunikasi. Bukan hanya bahasa lisan yang

terpengaruh, tetapi juga gesture (gerak isyarat), ekspresi wajah, dan

segala bentuk bahasa tubuh. Anak penyandang autisme memiliki

kemampuan pragmatis yang sangat rendah, dan ketika mereka

memasuki tahap awal bicara, mereka hampir selalu memberikan “label” untuk hal apapun yang mereka lihat atau inginkan dan

mengulang apa yang mereka dengar dari orang lain, seringkali

tanpa arti, dan bukan melibatkan diri dalam berdialog dengan orang

lain.

b. Kesulitan dalam Interaksi Sosial dan Pemahaman terhadap

Sekitarnya

Kesulitan bersosialisasi pada anak autisme lebih disebabkan oleh kurangnya “pemahaman sosial” dan bukan “ketertarikan

sosial”. Beberapa anak tertarik untuk berinteraksi dengan orang

(43)

bagaimana melakukan permainan itu dengan benar. Selain itu,

kesulitan anak dalam berinteraksi dengan sekitarnya disebabkan

oleh kurangnya rasa empati sosial, sehingga anak sulit memahami

apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Ciri lain adalah

tidak adanya kontak mata dengan orang lain. Anak autisme

mengalami kesulitan untuk fokus pada sesuatu.

c. Kurangnya fleksibilitas dalam berpikir dan bertingkah laku.

Aspek ini muncul sesuai dengan perkembangan usianya.

Mereka senang menirukan gerakan tertentu, tertarik akan pola-pola

tertentu atau bersikeras melakukan kegiatan rutinnya. Jika mereka

tidak mendapat apa yang mereka inginkan, maka mereka akan

menjadi sangat marah dan panik.

Berdasarkan uraian di atas, anak dengan gangguan autisme

memiliki ciri sebagai berikut: tidak mampu menjalin hubungan dengan

orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, cenderung hidup

dalam dunianya sendiri, dan tidak mampu mengendalikan dorongan yang

dirasakan.

D. Perbedaan kecemasan ayah dan ibu yang memiliki anak autisme

Menurut Gunarsa (1991), perempuan dan laki-laki memiliki

perbedaan dalam beberapa aspek. Perempuan memiliki aspek-aspek

emosionalitas, rasio, dan suasana hati yang terintegrasi menjadi suatu

(44)

hal tersebut. Oleh karena itu, ketika perempuan berpikir, maka akan

melibatkan perasaan dan suasana hatinya. Hal tersebut menyebabkan

perempuan kesulitan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang

dialaminya. Lain halnya dengan laki-laki. Laki-laki lebih menunjukkan

batasan antara pikiran, rasio, dan emosionalitas. Jalan pikiran laki-laki

cenderung tidak dikuasai oleh emosi, perasaan maupun suasana hati, sehingga

laki-laki lebih memiliki inisiatif, keras, dan tegas. Perempuan lebih sulit

menyelesaikan masalah sehingga dapat memicu timbulnya kecemasan

berlebihan dalam dirinya. Sedangkan laki-laki tidak mudah mengalami

kecemasan karena tidak melibatkan perasaan dan suasana hatinya dalam

menyelesaikan suatu masalah.

Menurut Daradjat (1996), kecemasan dapat dipengaruhi oleh jenis

kelamin. Perempuan pada dasarnya memiliki sifat yang feminin, peduli dan

perhatian. Perempuan cenderung melibatkan rasa emosional dan menganggap

bahwa penerimaan dari lingkungan sangat dibutuhkan. Berbeda dengan

laki-laki. Laki-laki memiliki sifat yang maskulin, cenderung lebih memikirkan

pencapaian tujuan, sehingga kurang peduli dengan lingkungan sekitarnya.

Selain itu, Dewi (2010) juga mengungkapkan bahwa perempuan memiliki

kecemasan berlebih dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut disebabkan

karena laki-laki memiliki sifat yang lebih rileks dalam menghadapi kehidupan

sehari-hari, berbeda dengan perempuan yang lebih sensitif dengan keadaan

(45)

ketika berhadapan dengan lingkungan dan sangat dipengaruhi oleh tekanan

dari lingkungan sekitarnya. Hal tersebut berbeda dengan laki-laki yang lebih

berani mengambil risiko ketika berhadapan dengan lingkungannya, sehingga

laki-laki kurang rentan terhadap kecemasan.

Berdasarkan hasil penelitian dan literature oleh TEACCH

(Treatment and Education of Autismetic and Related Communication

Handicapped Children) di Departement of Psychiatry di University of North

Carolina School of Medicine (dalam Yuwono, 2012), orangtua yang memiliki

anak autisme sangat rentan akan stress dan depresi. Selain itu, keadaan yang

tidak sesuai dengan harapan akan menyebabkan orangtua menjadi cemas dan

semakin tertekan. Selain itu, Merianto (2016) mengemukakan bahwa orangtua

dengan anak autisme memiliki banyak tantangan dalam hidupnya. Pertama

dalah penolakan, baik itu berasal dari diri sendiri, maupun dari lingkungan.

Kedua, besarnya biaya financial yang harus dikeluarkan untuk pengobatan

anaknya. Dan ketiga, masih terbatasnya klinik terapi atau lembaga pendidikan

yang menerima anak dengan gangguan autisme.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi yang

terjadi dalam diri anak autisme dapat membuat orangtua merasa cemas. Ayah

dan ibu memiliki kecemasan yang berbeda satu sama lain. Menurut Gunarsa

(2001), seorang ibu memiliki kedekatan yang lebih dengan anak, karena pada

hakikatnya ibu memiliki peran untuk merawat dan mengurus keluarga.

(46)

perempuan akan lebih mudah cemas dibandingkan dengan laki-laki. Seorang

ibu akan memiliki lebih banyak waktu dengan anak dibandingkan dengan

ayah. Ayah pada umumnya tidak memiliki banyak waktu dengan anak karena

harus bekerja mencari nafkah. Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi

(47)

E. Kerangka berpikir

Kecemasan Ayah dan Ibu yang memiliki anak autisme

F. Hipotesis

Anak yang mengalami suatu gangguan perkembangan dan ditandai dengan kegagalan untuk berhubungan dengan orang lain, terbatasnya

kemampuan berbahasa, perilaku motorik yang terganggu, gangguan intelektual, dan tidak menyukai perubahan dalam lingkungan.

(48)

29 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dengan

pendekatan kuantitatif. Penelitian deskriptif memiliki tujuan untuk

menganalisis data sampai pada taraf deskriptif dalam menganalisis dan

menyajikan data agar terlihat lebih mudah untuk dipahami dan

disimpulkan, serta menggambarkan secara sistematik mengenai populasi

atau suatu bidang tertentu (Azwar, 2001). Metode penelitian ini digunakan

untuk menjelaskan perbedaan kecemasan ayah dan ibu yang memiliki anak

autis.

B. Variabel penelitian

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah sebagai

berikut:

Variabel Bebas : Jenis Kelamin

Variabel Terikat : Kecemasan

C. Definisi operasional variabel penelitian 1. Jenis kelamin

Jenis kelamin yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ayah

(49)

Dimana ayah dan ibu merupakan pasangan suami istri yang memiliki

anak dengan gangguan autis.

2. Kecemasan

Kecemasan merupakan salah satu unsur emosi yang terjadi

karena suatu pengalaman baru yang dijumpai oleh individu dalam

kehidupannya. Kecemasan berupa ketegangan, rasa tidak aman,

khawatir, yang timbul akibat merasa akan terjadi suatu hal yang

tidak menyenangkan. Kecemasan disebabkan oleh adanya ancaman,

konflik, ketakutan, dan kebutuhan yang tidak terpenuhi. Kecemasan

akan tampak dalam segi fisiologis dan psikologis. Segi fisiologis

akan menunjukkan reaksi tubuh tertentu, yaitu: peningkatan asam

lambung, meningkatnya detak jantung, merasa ingin buang air dan

sekresi keringat yang berlebihan. Dari segi psikologis, biasanya

disertai dengan reaksi fisiologis, yaitu: adanya perasaan tegang,

bingung atau perasaan yang tidak menentu, merasa terancam, tidak

berdaya, kurang percaya diri, dan tidak dapat memusatkan

perhatian.

Dalam penelitian ini, kecemasan yang dirasakan oleh ayah dan

ibu yang memiliki anak autis akan diukur dengan menggunakan

skala kecemasan. Skala kecemasan yang digunakan adalah Skala

Likert, yaitu suatu skala yang meminta persetujuan subjek dari

pernyataan-pernyataan yang disediakan. Semakin tinggi skor

(50)

D. Subjek penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasangan suami

istri yang memiliki anak autis yang berada di Yogyakarta. Teknik

pengambilan sampling dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

teknik purposive sampling atau sampling bertujuan.

Untuk mengetahui data pribadi masing-masing subjek maka

disediakan isian mengenai biodata responden (seperti jenis kelamin, usia,

pendidikan terakhir, jumlah anak yang menderita autis, usia anak, dan usia

anak terdeteksi autis).

E. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penyebaran skala, yaitu: skala kecemasan ayah dan ibu yang

memiliki anak autis. Pengisian skala merupakan suatu metode

pengumpulan data yang berdasar pada respon tertulis dari subjek terhadap

sejumlah pertanyaan yang telah disusun sebelumnya (Hadi, 2004).

Metode penskalaan yang digunakan adalah Skala Likert, yaitu

suatu skala yang meminta persetujuan subjek dari pernyataan yang

disediakan (Azwar, 2011). Skala Likert yang digunakan dalam penelitian

ini memiliki 4 pilihan jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak

Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS).

Skala yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah skala

kecemasan yang dilihat dari aspek fisiologis dan psikologis. Item-item

(51)

dengan variabel, dan (2) item unfavorable yang tidak sesuai dengan

variabel.

Berikut ini disajikan tabel distribusi item-item skala kecemasan

ayah dan ibu yang memiliki anak autis:

Tabel 1

Skor yang diberikan pada masing-masing item tentu berbeda,

tergantung pada jawaban subjek. Untuk pernyataan yang favorable,

jawaban sangat sesuai mendapatkan skor 4, sesuai mendapatkan skor 3,

tidak sesuai mendapatkan skor 2, dan sangat tidak sesuai mendapatkan

skor 1. Sebaliknya, untuk item yang bersifat unfavorable, jawaban sangat

sesuai mendapatkan skor 1, sesuai mendapatkan skor 2, tidak sesuai

(52)

F. Alat pengumpul data 1. Validitas

Azwar (2011) mengatakan bahwa validitas berasal dari kata

validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan

kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Berdasarkan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini maka

validitas yang digunakan adalah validitas isi. Validitas isi

merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi

tes dengan analisis rasional atau professional judgement (Azwar,

2003). Aspek isi tes yang perlu dievaluasi meliputi (1) sufficiency,

yaitu apakah isi tes tersebut memadai; (2) clarity atau kejelasan,

yaitu apakah ranah yang dituliskan sesuai dengan yang akan diukur

dan tidak tercampur dengan ranah yang lainnya; (3) relevance atau

relevansi, yaitu apakah ranahnya sesuai dengan apa yang akan

diukur; (4) kesesuaian antara item-item dengan tugas-tugas yang

dpakai sebagai stimulus dalam tes tersebut dengn definisi konstruk

yang terwakili oleh ranah isi spesifik yang hendak diukur; (5) ada

tidaknya bias dan (6) kemungkinan terjadinya varian yang tidak

relevan dengan konstruk dan kurang memadainya keterwakilan

konstruk yang hendak diukur (Supratiknya, 2014).

2. Reliabilitas

Azwar (2003) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan

(53)

dan ability. Reliabilitas merupakan tingkat konsistensi dalam suatu

pengukuran. Sehingga pengukuran tersebut dapat dipercaya

(Azwar, 2003). Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan dalam

koefisien reliabilitas (rxx) berada pada rentang angka 0 sampai

dengan 1,00. Semakin tinggi nilai koefisien reliabilitasnya

(mendekati angka 1,00), maka semakin tinggi kepercayaan

terhadap hasil alat ukur. Reliabilitas alat penelitian ini diukur

dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows versi 16.0.

Hasil koefisien reliabilitas yang diperoleh adalah 0,975. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa alat ukur yang berupa skala

tentang kecemasan ini dapat dipercaya.

3. Seleksi item

Item-item yang telah disusun kemudian direview dan

diseleksi ulang untu kemudian direvisi lagi. Tujuan dilakukannya

seleksi item adalah untuk melihat sejauhmana kualitas dari item

yang dituliskan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menyeleksi item adalah: (1) ketepatan item, (2) relevansinya

dengan tabel spesifikasi, (3) penggunaan kalimat yang efektif, (4)

tata bahasa dan ejaan, dan (5) pilihan kata (Supratiknya, 2014).

Setelah melakukan uji coba, maka diperlukan analisis item.

Analisis item digunakan untuk melihat apakah item-item tersebut

memiliki kualitas yang baik atau buruk. Untuk itu diperlukan

(54)

dengan cara menghitung korelasi item-total dengan menggunakan

batasan 0,30 yang berarti item dengan nilai di atas 0,30 dianggap

baik, sedangkan item dengan skor di bawah 0,30 merupakan item

yang buruk atau gugur (Azwar, 2003).

Untuk menguji reliabilitas dari setiap item dalam skala

kecemasan ini, peneliti melakukan analisis statistik dengan

menggunakan program komputer SPSS for Windows versi 16.0 dengan

taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil analisis, dari 50 item skala

kecemasan dengan 60 subjek penelitian diperoleh korelasi

item-total berkisar antara -0,550 hingga 0,954. Setelah dilakukan seleksi,

didapati 10 item yang gugur dan 40 item yang lolos seleksi. Item

yang lolos memiliki korelasi antara 0,333 hingga 0,954.

Berikut disajikan tabel spesifikasi untuk item yang lolos dan

yang gugur:

Tabel 2

Tabel Distribusi Skala Kecemasan setelah seleksi item

No. Aspek Nomor Item Total Presentas

e

(55)

Tabel 3

Tabel Distribusi Skala Kecemasan setelah uji coba

No. Aspek Nomor Item Total Presentase

Sebelum penghitungan uji hipotesis, maka diperlukan uji asumsi

untuk melihat apakah data yang diperoleh memenuhi syarat penggunaan

analisis uji-t atau tidak. Selain itu, uji asumsi dilakukan supaya

kesimpulan yang dihasilkan tidak menyimpang. Uji asumsi yang

dilakukan meliputi:

a. Uji normalitas

Uji normalitas merupakan metode dalam statistika yang

digunakan untuk melihat apakah data berdistribusi normal atau

tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan program komputer SPSS for Windows versi 16.0.

(56)

memiliki nilai p > 0,05 dan dianggap tidak memiliki sebaran

normal jika nilai p < 0,05 (Santosa, 2010).

b. Uji homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah

populasi homogen sehingga sampel yang diambil mewakili

keseluruhan populasi. Uji homogenitas dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for

Windows versi 16.0.

2. Uji hipotesis

Uji hipotesis digunakan untuk mencari tahu apakah terdapat

perbedaan kecemasan antara ayah dan ibu yang memiliki anak autis.

Maka metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah. semua

penghitungan dilakukan dengan program komputer SPSS for Windows

(57)

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan uji coba skala

terlebih dahulu mengenai kecemasan orangtua yang memiliki anak autis.

Dalam membuat skala, peneliti menentukan indikator kecemasan

berdasarkan teori yang telah ditentukan sebelumnya. Setelah indikator

kecemasan tersusun, kemudian peneliti menuliskan item-item pernyataan

yang sesuai dengan indikator. Peneliti menuliskan 50 pernyataan yang

sudah sesuai dengan indikator dan sudah divalidasi oleh expert judgement.

Skala tersebut kemudian disebar kepada 30 orangtua dari anak autis di

Sekolah Lanjutan Autis Fredofios Yogyakarta.

B. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai dari tanggal 21 April 2018 sampai

dengan 12 Mei 2018 dengan menyebarkan skala. Skala diberikan secara

langsung kepada subjek. Peneliti mendatangi beberapa sekolah autis di

Yogyakarta untuk menyebarkan skala bagi orangtua siswa. Beberapa

sekolah menolak untuk membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

Pihak sekolah beralasan bahwa sebelumnya ada beberapa mahasiswa yang

juga mengadakan penelitian dengan cara membagikan angket kepada

(58)

banyak angket yang tidak kembali lagi. Oleh karena itu, peneliti menemui

subjek secara langsung. Skala yang dibagikan kepada subjek kemudian

dibawa pulang untuk diisi, kemudian dikembalikan kepada peneliti pada

hari berikutnya.

C. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 61 pasang

suami istri (112 orang), dengan 6 subjek try out terpakai. Setelah itu,

dilakukan pengukuran berdasarkan data demografik subjek yaitu: usia,

pendidikan terakhir, jumlah anak autis, usia anak autis, dan usia anak

terdeteksi autis. Namun ada beberapa subjek yang tidak mengisi dengan

lengkap, sehingga menghasilkan data sebagai berikut:

Pertama, peneliti mendiskripsikan data subjek berdasarkan usia

subjek penelitian. Berikut tabel deskripsi subjek berdasarkan usia:

Tabel 4

Deskripsi Subjek Ayah dan Ibu Berdasarkan Usia

Rentang Usia Ayah Ibu

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

30 - 39 tahun 8 13,11 % 12 19,67 %

(59)

40 – 49 tahun sebanyak 15 orang. Jumlah subjek pada rentang usia 30 – 39

tahun sebanyak 8 orang. Dan usia subjek yang lebih dari 60 tahun

sebanyak 5 orang.

Usia ibu pada rentang usia 40 – 49 tahun memiliki presentase

tertinggi, dengan jumlah subjek sebanyak 34 orang. Jumlah subjek pada

rentang usia 50 – 59 tahun sebanyak 15 orang. Jumlah subjek pada rentang

usia 30 – 39 tahun sebanyak 12 orang. Dan tidak ada subjek ibu dengan

usia lebih dari 60 tahun.

Deksripsi subjek berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat

dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5

Deskripsi Subjek Ayah dan Ibu Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Pendidikan Terakhir

Ayah Ibu

Jumlah Presentase Jumlah Presentase

SMA / SMK 4 6,55 % 6 9,83 %

Hasil tabel di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tingkat

pendidikan terakhir ayah yang memiliki presentase tertinggi adalah S1,

dengan jumlah subjek sebanyak 35 orang. Jumlah subjek pada tingkat

pendidikan terakhir S2 sebanyak 11 orang. Jumlah subjek pada tingkat

(60)

SMA / SMK sebanyak 4 orang. Dan subjek ayah yang tidak menjawab

sebanyak 2 orang.

Tingkat pendidikan terakhir ibu yang memiliki presentase tertinggi

adalah S1, dengan jumlah subjek sebanyak 34 orang. Jumlah subjek pada

tingkat pendidikan terakhir D3 sebanyak 15 orang. Jumlah subjek pada

tingkat pendidikan terakhir SMA / SMK sebanyak 6 orang. Subjek ibu

dengan tingkat pendidikan terakhir S2 sebanyak 3 orang. Dan 3 orang

lainnya tidak menjawab tingkat pendidikan terakhirnya.

Ketiga, peneliti mendiskripsikan subjek berdasarkan jumlah anak

yang autis. Berikut adalah tabel deskripsi subjek berdasarkan jumlah anak

yang autis dalam satu keluarga:

Tabel 6

Deskripsi Subjek Berdasarkan Jumlah Anak yang Menderita Autis dalam Satu Keluarga

Hasil dari deskripsi di atas menunjukkan bahwa subjek rata-rata

hanya memiliki 1 anak yang menderita autis, yaitu sebanyak 57 pasangan

suami istri. Sementara subjek yang memiliki 2 anak autis sebanyak 4

pasangan suami istri.

Keempat, peneliti mendeskripsikan subjek berdasarkan usia anak

(61)

Tabel 7

Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia Anak Autis dalam Satu Keluarga

Hasil deskripsi menunjukkan bahwa subjek paling banyak memiliki

anak autis dengan rentang usia 6 – 10 tahun, yaitu sebanyak 30 anak.

Rentang usia anak autis 1 – 5 tahun sebanyak 19 anak. Rentang usia anak

autis di atas 11 tahun sebanyak 16 anak. Kelima, peneliti mendiskripsikan

subjek berdasarkan usia anak terdeteksi autis. Berikut adalah tabel

deskripsi subjek berdasarkan usia anak terdeteksi autis:

Tabel 8

(62)

Hasil deskripsi menunjukkan bahwa anak terdeteksi autis paling

banyak pada usia 2 tahun, yakni sebanyak 35 anak. Anak terdeteksi autis

pada usia 3 tahun sebanyak 14 anak. Anak terdeteksi autis pada usia 1

tahun sebanyak 5 anak. Sedangkan anak yang terdeteksi autis pada usia 4

tahun sebanyak 2 anak. Dan subjek yang tidak memberikan jawaban

sebanyak 5 orang.

D. Analisis Data

Semua data yang terkumpul dilakukan pengujian dengan

menggunakan program komputer SPSS for Windows versi 16.0 untuk

melakukan penghitungan mean teoritik dan mean empirik, angka

kecemasan ayah dan ibu, uji asumsi, dan uji hipotesis.

1. Mean Teoritik dan Mean Empirik

Hasil penghitungan mean kecemasan pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Tabel 9

Deskripsi Mean Teoritik dan Mean Empirik

Statistik Teoritik Empirik

Ayah Ibu

Mean teoritik yang dimaksud diatas adalah rata-rata dari

(63)

menjadi titik tengah alat ukur penelitian. Sedangkan mean

empirik merupakan rata-rata dari hasil penelitian.

Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa mean

empirik ayah lebih rendah daripada mean teoritik, yaitu sebesar

87,85246. Sedangkan mean empirik ibu lebih tinggi daripada

mean teoritik, yaitu sebesar 100,1803. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa kelompok subjek ayah cenderung

memilih jawaban dengan kategori skor yang rendah, sedangkan

ibu cenderung memilih jawaban dengan kategori skor tinggi.

Oleh karena itu, kelompok subjek ibu memiliki kecemasan

berlebih jika dibandingkan dengan kelompok subjek ayah.

2. Angka Kecemasan Ayah dan Ibu

Berdasarkan data yang diperoleh, maka angka kecemasan

ayah dan ibu dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:

a. Rentang Usia

Hasil perhitungan angka kecemasan ayah dan ibu

yang memiliki anak autis berdasarkan rentang usia anak

adalah sebagai berikut:

Tabel 10

Perhitungan Mean Kecemasan Ayah dan Ibu Berdasarkan Rentang Usia Anak Autis

Usia Anak Jumlah Anak

Ayah Ibu

Kecemasan Mean Kecemasan Mean 1-5 tahun 19 1702 89,57 1884 99,15

Gambar

Tabel 16 : Tabel Hasil Uji Mann Whitney U ……………………………
Tabel 1 Blue Print Skala Kecemasan
Tabel 2 Tabel Distribusi Skala Kecemasan setelah seleksi item
Tabel Distribusi Skala Kecemasan setelah uji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan memliki ketrampilan yang baik mampu memberikan pelayanan yang baik terhadap pasien.Ketrampilan klinis dari pengamatan

Isolat (F3.1) dari ekstrak n -heksana daun kepuh adalah senyawa golongan triterpenoid sejati yang memberikan serapan landai pada panjang gelombang 265 nm dengan

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Dalam penelitian ini, penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan meneliti asas-asas hukum, khususnya

Danyang terakhir yaitu metode konservasi tanah dan air secara mekanik, metode ini menggunakan semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah, dan

Tahap selanjutnya adalah memodelkannya ke dalam bentuk arsitektur sistem yang digambarkan pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3, pemodelan kelas, pemodelan data yang

Setiap orang atau badan penyelenggara tempat parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf c serta ayat (5) yang berdasarkan peraturan perundang-undangan masuk

Berdasarkan aturan dalam pelelangan umum dengan pascakualifikasi, maka panitia pengadaan diharuskan melakukan pembuktian kualifikasi terhadap data-data kualifikasi perusahaan,

Penulis sekiranya dapat memberikan alternatif pilihan dalam pengaturan lampu lalu lintas tersebut sehingga dapat mengurangi kemacetan pada suatu