• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Puskesmas 2.1.1 Pengertian

Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Depkes RI, 2004).

2.1.2 Wilayah Kerja

Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan, tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Depkes RI, 2004).

2.1.3 Visi

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan berperilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan

(2)

yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2004).

Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup 4 indikator utama yakni: (1) Lingkungan sehat, (2) Perilaku sehat, (3) Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, (4) Derajat kesehatan penduduk kecamatan (Depkes RI, 2004).

Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengacu pada visi pembangunan kesehatan puskesmas di atas yakni terwujudnya Kecamatan Sehat, yang harus sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kecamatan setempat (Depkes RI, 2004).

2.1.4 Misi

Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional. Misi tersebut adalah: 1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan, yakni pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan,

(3)

melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat berserta lingkungannya. Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang bersangkutan (Depkes RI, 2004).

2.1.5 Fungsi

Adapun fungsi dari puskesmas ialah :

1. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah

(4)

kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

2. Pusat pemberdayaan masyarakat.

Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan. Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya masyarakat setempat. 3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab puskesmas meliputi:

a. Pelayanan kesehatan perorangan

Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan

(5)

kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.

b. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana, kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat lainnya (Depkes RI, 2004).

2.1.6 Upaya Penyelenggaraan

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas, yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni:

1. Upaya Kesehatan Wajib

Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya

(6)

ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia.

Upaya kesehatan wajib tersebut adalah: (1) Upaya Promosi Kesehatan, (2) Upaya Kesehatan Lingkungan, (3) Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana, (4) Upaya Perbaikan Gizi, (5) Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular, (6) Upaya Pengobatan (Depkes RI, 2004).

2. Upaya Kesehatan Pengembangan

Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni: (1)Upaya Kesehatan Sekolah, (2) Upaya Kesehatan Olah Raga, (3) Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat, (4) Upaya Kesehatan Kerja, (5) Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut, (6) Upaya Kesehatan Jiwa, (7) Upaya Kesehatan Mata, (8) Upaya Kesehatan Usia Lanjut, (9) Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional (Depkes RI, 2004).

Apabila puskesmas belum mampu menyelenggarakan upaya kesehatan pengembangan, padahal menjadi kebutuhan masyarakat, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggunjawab dan wajib menyelenggarakannya. Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu dilengkapi dengan berbagai unit fungsional lainnya. Dalam keadaan tertentu, masyarakat membutuhkan pula pelayanan rawat inap. Untuk

(7)

ini di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan rawat inap tersebut, yang dalam pelaksanaannya harus memperhatikan berbagai persyaratan tenaga, sarana dan prasarana sesuai standar yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2004).

Lebih lanjut, di beberapa daerah tertentu telah muncul pula kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan medik spesialistik. Dalam keadaan ini, apabila ada kemampuan, di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan medik spesialistik tersebut, baik dalam bentuk rawat jalan maupun rawat inap. Keberadaan pelayanan medik spesialistik di puskesmas hanya dalam rangka mendekatkan pelayanan rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan. Status dokter dan atau tenaga spesialis yang bekerja di puskesmas dapat sebagai tenaga konsulen atau tenaga tetap fungsional puskesmas yang diatur oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat (Depkes RI, 2004).

2.1.7 Puskesmas Rawat Inap

Puskesmas dengan tempat tidur atau ruang rawat inap adalah puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong pasien - pasien gawat darurat, baik berupa tindakan operatif terbatas maupun asuhan keperawatan sementara dengan kapasitaas kurang lebih 10 tempat tidur. Puskesmas dengan ruang rawat inap berfungsi sebagai pusat rujukan antara yang melayani pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih mampu atau dipulangkan kembali ke rumahnya dan kemudian mendapat asuhan keperawatan tindak lanjut oleh petugas perawatan kesehatan masyarakat dari puskesmas yang bersangkutan di rumah pasien.

(8)

Kebijaksanaan puskesmas dengan ruang rawat sebagai pusat rujukan antara dalam sistem rujukan, berfungsi untuk menunjang upaya penurunan kematian bayi dan ibu maternal, keadaan-keadaan gawat daruratan serta pembatasan kemungkinan timbulnya kecacatan (Depkes RI, 1991).

Strategi dalam meningkatkan kemampuan puskesmas dengan ruang rawat inap yakni puskesamas harus dapat menangani kasus-kasus yang potensial menimbulkan kematian pada bayi, ibu martenal dan gawat darurat lainnya dengan pembatasan hari rawat 3- 7 hari. Dari jumlah puskesmas rawatan yang ada saat ini, sebagian berasal dari rumah sakit pembantu sebelum ditetapkan klasifikasi rumah sakit yang statusnya diubah dan sebagian lainnya merupakan peningkatan puskesmas menjadi puskesmas dengan ruang rawat inap (Depkes RI, 1991).

Puskesmas yang ditingkatkan dari puskesmas tanpa rawat inap menjadi puskesmas dengan rawat inap diberi tambahan fasilitas berupa:

1. Ruang tambahan seluas 246m2 diatas tanah seluas 600m2 yang terdiri dari: (1) Ruang perawatan untuk 10 tempat tidur, (2) Ruang operasi sederhana, (3) Ruang persalinan, (4) Ruang perawat jaga, (5) Ruang post operatif, (6) Kamar Linen, (7) Kamar cuci, (8) Dapur, (9) Laboratorium (Depkes RI, 1991).

2. Peralatan medis dan perawatan yang terdiri dari : (1) Peralatan operasi terbatas, (2) Peralatan obstetri patologis, (3) Peralatan Resutasi, (4) Peralatan vasektomi dan tubektomi, (5) Tempat tidur dengan kelengkapannya, (6) Perlengkapan perawatan (Depkes RI, 1991).

(9)

3. Tambahan tenaga yang terdiri dari : (1) 1 (satu) orang dokter yang telah mendapatkan pelatihan klinis di rumah sakit selama 6 bulan dalam bidang kebidanan dan kandungan, bedah, anak dan penyakit dalam, (2) 2 (dua) orang perawat yang telah dilatih selama 6 bulan dalam bidang kebidanan dan kandungan, bedah, anak dan penyakit dalam, (3) 3 (tiga) orang perawat kesehatan/ perawat/bidan yang diberi tugas secara bergiliran, (4) 1 (satu) orang prakarya kesehatan untuk melaksanakan administrasi di ruang rawat inap puskesmas terutama pencatatan dan pelaporan (Depkes RI, 1991).

2.1.8 Jenis Kasus di Puskesmas Rawat Inap

Berbagai jenis kasus mungkin ditemui di puskesmas dengan ruang rawat inap dengan tingkat kegawat daruratan yang masih mampu ditangani oleh sumber daya yang tersedia di puskesmas tersebut. Beberapa contoh kasus yang bisa di temui di puskesmas dengan ruang rawat inap adalah kasus ibu martenal yang meliputi: kelainan karena komplikasi kehamilan seperti hiperemisi gravidarum,pendarahan pervaginam, keracunan kehamilan, kelainan dan komplikasi pada persalinan seperti keluarnya air ketuban pada pemeriksaan inspekulo osteum uteri pembukaan kecil, kontraksi rahim lemah, persalinan lama, gawat janin, uri tidak lahir, dan lainya. Selain kasus ibu martenal kasus neonatal dan kasus lainnya juga bisa saja ditemui di puskesmas dengan ruang rawat inap. Kasus lainnya yang mungkin di temui meliputi: diare, pneumonia, malaria, demam berdarah, pendarahan, luka bakar, keracunan makanan, syok, dan lainnya (Depkes RI, 1991).

(10)

Sesuai dengan tujuan puskesmas menjadi puskesmas dengan rawat inap sebagai tempat rujukan antara, maka pasien yang dirawat terutama adalah pasien gawat darurat yang dapat ditangani di puskesmas dengan fasilitas yang ada atau yang memerlukan observasi untuk kemudian dirujuk ke institusi lebih mampu, atau dapat dipulangkan dan dilakukan perawatan dan pengobatan di rumah pasien. Kasus-kasus yang sejak awal kedatangan tidak mungkin ditangani di puskesmas misalnya kasus- kasus yang perlu tindakan spesialistis serta kasus lain yang perlu perawatan dan pengobatan lama, harus segera dirujuk ke institusi yang lebih mampu atau rumah sakit setelah sebelumnya dilakukan tindakan atau pertolongan pertama terhadap keadaan kedaruratannya (Depkes RI, 1991).

2.2 Hukum Permintaan 2.2.1 Definisi Demand

Masyarakat harus selalu membuat keputusan dalam mengelolah sumber-sumber dayanya yang terbatas atau langka dalam upaya pemenuhan kebutuhan maupun keinginannya (Mankiw, 2000) atas dasar keinginan dan kebutuhan maka timbulah demand (permintaan) dari pernyataan tersebut menunjukan bahwa keinginan dengan permintaan adalah dua hal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Namun tidak dapat diingkari bahwa keduanya berhubungan erat (Rosyidi, 2002).

Demand (Permintaan) adalah keinginan yang disertai dengan ketersediaan serta kemampuan untuk membeli barang yang bersangkutan (Rosyidi, 2002). Kemampuan untuk membeli barang yang bersangkutan mengartikan pada harga yang

(11)

ditetapkan untuk barang atau jasa yang ditawarkan dalam pasar dan ini akan memengaruhi jumlah permintaan sesuai dengan hukum dari permintaan dimana apabila hal lainnya sama, harga meningkat maka jumlah demand akan turun dan sebaliknya apabila harga turun maka jumlah demand akan meningkat hukum ini sering di kenal dengan sebutan ceteris paribus (Mankiw, 2000).

Hubungan antara harga barang atau jasa dengan kuantitas yang diminta di perlihatkan dalam sebuah tabel yang di sebut skedul permintaan atau demand schedul (Mankiw, 2000). Selanjutnya apa yang digambarkan dalam demand skedul dapat dilukiskan dalam sebuah grafik yang disebut kurva demand (Rosyidi, 2002).

Kurva demand bisa saja berubah miring ke kiri atau ke kanan ketika terjadi perubahan harga yang mengakibatkan perubahan kuantitas demand atau jumlah yang diminta. Ada satu hal yang penting untuk diperhatikan, yaitu perbedaan antara istilah demand dengan istilah kuantitas demand. Hal ini sering sekali menimbulkan kesalahpahaman, sebab kebanyakan orang menggangapnya sama. Sampai saat ini masih sering terdengar orang yang mengatakan, bahwa naiknya harga sesuatu barang atau jasa akan menurunkan demand orang akan barang atau jasa tersebut. Pernyataan tersebut salah, sebab dalam persoalan seperti itu bukanlah demand yang berubah namun kuantitas demand (Rosyidi, 2002).

Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga atau faktor-faktor lainnya terhadap perubahan permintaan suatu komoditas. Secara umum elastisitas permintaan dapat

(12)

dibedakan menjadi elastisitas permintaan terhadap harga (price elasticity of demand), elastisitas permintaan terhadap pendapatan (income elasticity of demand), dan elastisitas permintaan silang (cross price elasticity of demand). Elastisitas permintaan terhadap harga, mengukur seberapa besar perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila harganya berubah. Jadi elastisitas permintaan terhadap harga adalah ukuran kepekaan perubahan jumlah komoditas yang diminta terhadap perubahan harga komoditas tersebut dengan asumsi ceteris paribus. Nilai elastisitas permintaan terhadap harga merupakan hasil bagi antara persentase perubahan harga. Nilai yang diperoleh tersebut merupakan suatu besaran yang menggambarkan sampai berapa besar-kah perubahan jumlah komoditas yang diminta apabila dibandingkan dengan perubahan harga (Sugiarto, 2005).

Ada beberapa faktor yang memengaruhi elastisitas demand yaitu (1) ada tidaknya barang pegganti. Semakin banyak serta baik suatu barang memiliki barang pegganti maka semakin elasti permintaannya dan sebaliknya. (2) Luas atau sempitnya kemungkinan penggunaan barang yang bersangkutan. Apabila suatu barang mampu memenuhi banyak kebutuhan yang bermacam- macam atau memiliki kemungkinan banyak pengguna maka barang tersebut akan semakin elastis dan sebaliknya. (3) Pentingnya bagi kehidupan. Jika suatu barang memiliki arti yang penting bagi kehidupan maka akan semakin inelastislah demand-nya. (4) sifat tahan lamanya suatu barang, barang yang tahan lama (durable goods) dan barang yang tidak tahan lama (non- durable goods atau perishable goods). Semakin tahan lama

(13)

suatu barang maka akan semakin elastislah permintaan terhadapnya dan sebaliknya. Kemudian (5) harga barang dibandingkan dengan pendapatan konsumen. Semakin mahal harga suatu barang makan akan semakin elastislah demand-nya dan sebaliknya. (Rosyidi, 2002)

2.2.2 Demand Terhadap Pelayanan Kesehatan

Menurut Santerre dan Neun (2000) dalam Murti bahwa Pelayanan kesehatan berbeda dengan barang dan pelayanan ekonomi lainya. Pelayanan kesehatan atau pelayanan medis sangat heterogen, terdiri atas banyak sekali barang dan pelayanan yang bertujuan memelihara, memperbaiki, memulihkan kesehatan fissik dan jiwa seorang. Karena sifat yang sangaat heterogen, pelayaanan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Beberapa karakteristik khusus pelayanan kesehatan sebagai berikut :

1. Intangibility. Tidak seperti mobil atau makanan, pelayanan kesehatan tidak bisa dinilai oleh panca indera. Konsumen (pasien) tidak bisa melihat, mendengar, membau, merasakan, mengecap pelayanan kesehatan.

2. Inseparability. Produksi dan konsumsi pelayanan kesehatan terjadi secara simultan (bersama). Makanan bisa dibuat dulu, untuk dikonsumsi kemudian. Tindakan operatif yang dilakukan dokter bedah pada saat yang sama digunakan oleh pasien.

3. Inventory. Pelayanan kesehataan tidak bisa disimpan untuk digunakan pada saat dibutuhkan oleh pasien nantinya.

(14)

4. Inkonsistensi. Komposisi dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima pasien dari seorang dokter dari waktu ke waktu, maupun pelayanan kesehatan yang digunakan antar pasien, bervariasi.

Jadi pelayanaan kesehatan sulit diukur secara kuantitatif. Biasanya pelayanan kesehatan diukur berdasarkan ketersediaaan atau penggunaan.

Adanya demand terhadap pelayanan kesehatan menurut Grossman (1972) karena kesehatan merupakan komoditas yang harus dibeli (consumption commodity) sebab dapat membuat pembelinya merasa dirinya lebih baik dan nyaman. Kesehatan dianggap sebagai barang yang tidak habis dalam sekejap (durable good) dan merupakan suatu investasi (investment commodity) artinya bila keadaan sehat maka semua waktu yang tersedia dapat digunakan secara produktif sehingga secara tidak langsung merupakan investasi sedangkan menurut Amran Razak (2000) dalam Haeruddin (2007), Demand terhadap pelayanan kesehatan timbul akibat adanya permintaan kesehatan yang baik, dimana meningkatnya umur seseorang bisa merupakan mulai menurunnya kondisi kesehatan yang lebih baik.

Secara umum keadaan demand dan need jasa pelayanan kesehatan dapat dilukiskan dalam suatu konsep yang disebut fenomena gunung es atau ice-berg

phenomenon. Konsep ini mengacu pada pengertian bahwa demand yang benar

seharusnya merupakan bagian dari need. Secara konseptual, need akan jasa pelayanan kesehatan dapat berwujud suatu gunung es yang hanya sedikit puncaknya terlihat sebagai demand (Pallutturi, 2005).

(15)

Menurut Mills dan Gilson (1990) dalam Andhika (2010) kesehatan merupakan suatu kebutuhan (need) yang diartikan secara umum yang merupakan perbandingan antara situasi nyata dan standart teknis tertentu yang telah disepakati. Selain itu juga kesehatan merupakan kebutuhan yang dirasakan (felt need) yaitu kebutuhan yang dirasakan sendiri oleh individu. Sehingga keputusan untuk memanfaatkan suatu jasa pelayanan kesehatan merupakan pencerminan kombinasi normatif dan kebutuhan yang dirasakan. Bila ditelaah dari pernyataan tersebut, dapat dikategorikan maka kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis sesuai dengan konsep kebutuhan Maslow.

Menurut Kasali (2000) dalam Laij (2012) terdapat dua konsep yang sangat mendasar yaitu kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Kebutuhan adalah hal-hal yang mendasar yang dibutuhkan makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupannya. Tanaman membutuhkan air, tanah, pupuk dan udara untuk hidup. Manusia tidak hanya membutuhkan makanan dan minuman, tetapi juga cinta, penghargaan, persaudaraan, pengetahuan dan sebagainya. Kalau kebutuhan itu tidak terpenuhi, mereka akan merasa tidak bahagia, ada yang dirasakan kurang dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia amat bervariasi dan kompleks. Sedangkan keinginan adalah pernyataan manusia terhadap kebutuhan-kebutuhannya yang dipertajam oleh budaya dan kepribadiannya. perbedaannya dengan kebutuhan terletak pada barang-barang yang dipilih untuk melangsungkan kehidupannya.

(16)

Ada 3 situasi yang dapat diperhatikan atas tingkat persoalan kesehatan dan kebutuhan pelayanan kesehatan yang dirasakan oleh seorang individu. Permintaan pelayanan kesehatan timbul melalui proses perubahan persoalan kesehatan menjadi persoalan kesehatan yang dirasakan, dilanjutkan dengan merasa dibutuhkannya pelayanan kesehatan dan akhirnya dinyatakan dengan permintaan aktual. Dalam upayanya mengubah kebutuhan pelayanan yang dirasakan menjadi suatu bentuk permintaan yang efektif, konsumen harus memiliki kesediaan (willingness) dan kemampuan (ability) untuk membeli atau membayar sejumlah jenis pelayanan kesehatan yang diperlukan (Andhika, 2010).

Hubungan antara keinginan kesehatan permintaan akan pelayanan kesehatan hanya kelihatannya saja yang sederhana, namun sebenarnya sangat kompleks. Penyebab utamanya karena persoalan kesenjangan informasi. Menerjemahkan keinginan sehat menjadi konsumsi pelayanan kesehatan melibatkan berbagai informasi tentang berbagai hal, antara lain : aspek status kesehatan saat ini, informasi status kesehatan yang lebih baik, informasi tentang macam pelayanan yang tersedia, tentang kesesuaian pelayanan tersebut, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena permintaan pelayanan kesehatan mengandung masalah uncertainty (ketidakpastian), sakit sebagai ciri-ciri persoalan kesehatan merupakan suatu ketidakpastian. Keduanya, imperfect information dan uncertainty merupakan karakteristik umum dari permintaan pelayanan kesehatan dan kesehatan (Laij, 2012).

(17)

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Demand terhadap Pelayanan Kesehatan

Demand terhadap pelayanan kesehatan mempunyai faktor-faktor eksogen antara lain ketidaktahuan pasien-pasien sehingga penderita mendelegasikan keputusannya kepada petugas kesehatan (dokter/paramedik), faktor penghasilan pemakai jasa pelayanan dan sebagainya; dan demand terhadap pelayanan kesehatan melibatkan banyak hal, antara lain penyediaan dan tingkat keterampilan petugas kesehatan yang ada, dimana peran ganda yang dimilikinya (penyedia layanan medis dan wakil pasien) dapat menciptakan motif ekonomi berupa pelayanan kesehatan yang berlebih-lebihan (unnecessary procedure) Amran Razak (2000) dalam Haeruddin (2007).

Beberapa faktor yang memengaruhi demand pelayanan kesehatan yaitu faktor kebutuhan yang berbasis pada aspek fisiologis, penilaian pribadi akan status kesehatannya, variabel-variabel ekonomi seperti : tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan, serta variabel-variabel demografis dan organisasi. Disamping faktor-faktor tersebut masih ada faktor lain misalnya: pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta pengaruh inflasi, Dunlop dan Zubkoff (1981) dalam Pallutturi (2005).

Menurut Santerre dan Neun (2000) dalam Andhika (2010), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan pemeliharaan pelayanan kesehatan (Quantity demanded) seperti harga pembayaran secara langsung oleh rumah tangga, pendapatan bersih (real income), biaya waktu (time cost), termasuk di

(18)

dalamnya adalah biaya (uang) untuk perjalanan termasuk muatan bis atau bensin di tambah biaya pengganti untuk waktu, harga barang substitusi dan komplementer, selera dan preferensi, termasuk di dalamnya status pernikahan, pendidikan dan gaya hidup, phisik dan mental hidup, status kesehatan serta kualitas pelayanan (quality of care).

Menurut Mills & Gilson (1990) dalam Andhika (2010), hubungan antara teori permintaan dengan pelayanan kesehatan di negara-negara berkembang sangat dipengaruhi oleh pendapatan, sarana dan kualitas pelayanan kesehatan. Pendapatan memiliki hubungan (asosiasi) dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap pemeliharaan kesehatan. Meningkatnya harga mungkin akan lebih mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Sulitnya pencapaian sarana pelayanan kesehatan secara fisik akan menurunkan permintaan. Kemanjuran dan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk meminta pelayanan dan pemberi jasa tertentu.

Menurut teori laissez- faire demand didasarkan atas individual dan harapan masyarakat sehingga faktor-faktor yang memengaruhi demand menurut teori ini adalah faktor individual seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat sosial, faktor lingkungan seperti ekonomi, masyarakat sekitar, faktor penyedia jasa pelayanan kesehatan seperti akses, jarak, penawaran, pelayanan dan faktor

(19)

pembayaran seperti asuransi kesehatan yang dimiliki, pajak dari asuransi, cara pembayaran dan sebagainya (Tulchinsky and Elena Varavikova, 2009).

Menurut Grossman (1972) kerangka kerja dari proses produksi kesehatan terdiri dari 2 yaitu: input dan output, dimana output yang di hasilkan merupakan kesehatan itu sendiri. Sedangkan untuk input atau masukan, kesehatan di pengaruhi oleh faktor individual, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor individual meliputi sosial ekonomi, pendidikan, faktor budaya, pendapatan, perbedaan usia, gender, dan status kesehatannya. Faktor pelayanan kesehatan akan meliputi organisasi pelayanan kesehatan itu sendiri dimana penyedia pelayanan kesehatan harus mampu menawarkan pelayanan berkualitas sesuai dengan permintaan dan tujuan pelayanan tersebut, kepuasan pelanggan akan menjadi tolak ukurnya. Faktor lingkungan yang memengaruhi permintaan kesehatan meliputi pengaruh-penggaruh lingkungan yang mendukung seseorang dalam memutuskan permintaan akan pembelian pelayanan kesehatan baik berdasarkan sumber informasi yang diterima maupun kelompok-kelompok yang menjadi referensi dalam menentukan keputusan pembelian (Tulchinsky and Elena Varavikova, 2009).

(20)

2.3 Hubungan antara Jenis kelamin, Umur, Pendidikan, Pekerjaan dan Pendapatan, Pengetahuan, Kebutuhan, Jarak, Sumber Informasi, Kelompok Referensi dan Persepsi terhadap Demand Pelayanan Rawat Inap

2.3.1 Pengaruh Jenis kelamin, Umur, Kebutuhan, Pekerjaan dan Pendapatan Terhadap Permintaan pelayanan rawat inap

Menurut Scheiber (1990) dalam Laij (2012) menyebutkan bahwa permintaan untuk pelayanan kesehatan bergantung pada status usia, pendapatan, pendidikan dan kesehatan itu sendiri. Pada status usia sesuai dengan bertambahnya usia maka vitalitas tubuh akan menurun yang mengakibatkan akan meningkatnya kebutuhan pelayanan kesehatan dan menjadikan permintaan pelayanan kesehatan akan meningkat pula.

Perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi perbedaan akan permintaan pelayanan kesehatan. Theodore schultz (1985) dalam Elfindri (2003) berhasil menyebarluaskan pemikiran bahwa masalah gender akan menjadi bagian kajian dari masalah ekonomi dimana keterkaitan gender dengan reproduksi seperti fertility, mortality dan family planning akan memengaruhi kebutuhan permintaan pelayanan kesehatan Selain itu kemampuan dan kemauan wanita yang terbatas untuk mencari pelayanan, terutama jika sarana transportasi yang tersedia terbatas, komunikasi sulit dan di daerah tersebut tidak tersedia tempat pelayanan.

Pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak permintaan terhadap berbagai barang dan pendapatan sangat tergantung dari jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. Perubahan pendapatan selalu

(21)

menimbulkan perubahan terhadap permintaan berbagai jenis barang. Ada hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan akan pemeliharaan kesehatan, terutama dalam hal pelayanan kesehatan modern. Jika pendapatan meningkat maka garis pendapatan akan bergeser kekanan sehingga jumlah barang dan jasa kesehatan meningkat. Pada masyarakat berpendapatan rendah, akan mencukupi kebutuhan barang terlebih dahulu, setelah kebutuhan akan barang tercukupi akan mengkonsumsi kesehatan (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990 dalam Laij,2012).

2.3.2 Pengaruh Jarak terhadap Permintaan Jasa Pelayanan Kesehatan

Jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap jumlah pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh tempat tinggal dari tempat pelayanan kesehatan akan semakin mahal. Ini telah sesuai dengan teori permintaan yaitu jika barang yang diminta semakin mahal, maka jumlah barang yang dibeli akan semakin sedikit (Andersen et al, 1975; Santerre & Neun, 2000; Mills & Gilson,1990 dalam Laij,2012).

2.3.3 Pengaruh Pendidikan, Pengetahuan, Sumber Informasi, Kelompok Referensi dan Persepsi terhadap Pelayanan Rawat Inap

Faktor sosial dan budaya akan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap pentingnya kesehatan. Sebagai contoh faktor tingkat pendidikan dan pengetahuan memengaruhi nilai pentingnya kesehatan. Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi

(22)

cenderung untuk meningkatkan kesadaran status kesehatan dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Masyarakat yang berpendidikan lebih tinggi menganggap penting nilai kesehatan, sehingga akan mengkonsumsi jasa kesehatan lebih banyak dibandingkan masyarakat yang pendidikan dan pengetahuannya lebih rendah. Faktor budaya setempat juga sangat menentukan konsumsi kesehatan (Joko, 2005 dalam Laij, 2012).

Grossman mengembangkan model dimana kesehatan dipandang sebagai stok modal yang menghasilkan output kehidupan yang sehat. Individu dapat mengadakan investasi pada kesehatan yang dikombinasikan dengan waktu (kunjungan dokter) dengan membeli input (jasa medis). Status pendidikan seseorang berpengaruh terhadap pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, karena status pendidikan memengaruhi kesadaran dan pengetahuan seseorang tentang kesehatan. Hal yang sering menjadi penghambat bagi pemanfaatan jasa pelayanan tersebut adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kesehatan. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan seseorang sangat bervariasi, mulai dari tidak mengetahui tempat jasa pelayanan kesehatan yang tersedia hingga kurangnya pemahaman tentang manfaat pelayanan, tanda-tanda bahaya atau kegawatan yang memerlukan pelayanan (Joko, 2005 dalam Laij, 2012).

Sumber informasi dan kelompok referensi akan memengaruhi keputusan pembelian seseorang akan permintaan pelayanan kesehatan dimana hal ini berkaitan erat dengan peningkatan pengetahuan yang diterima oleh seseorang mengenai jasa

(23)

pelayanan kesehatan tertentu dan memengaruhi persepsi seseorang terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Semakin banyak sumber informasi dan kelompok referensi yang bernilai positif akan semakin baik pula persepsi seseorang berkaitan dengan pelayanan kesehatan tersebut.

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.1 Kerangka konsep penelitian

Demand terhadap Pelayanan Rawat Inap Faktor individual : Jenis kelamin Umur Tingkat pendidikan Pendapatan Pengetahuan Kebutuhan Faktor lingkungan : Jarak Sumber informasi Kelompok referensi

Faktor sistem pelayanan kesehatan :

Persepsi terhadap pelayanan rawat inap

(24)

2.5 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada dan kerangka konsep yang ada maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut : adanya pengaruh positif dari faktor individual (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pendapatan, pengetahuan, kebutuhan), faktor lingkungan ( jarak, sumber informasi, kelompok referensi) dan faktor sistem pelayanan kesehatan (persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia) terhadap demand masyarakat terhadap pelayanan rawat inap di wilayah kerja Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Bromo dan Puskesmas Kedai Durian.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka konsep penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisis regresi yang telah dilakukan diketahui bahwa untuk investasi swasta di Jawa Tengah mempunyai pengaruh yang positif dan sinifikan baik dalam

38 MIRIS, S.Ag Pembina (IV/a) Camat Tigo Nagari / Eselon III.a Kepala Bidang Bina Organisasi dan Bantuan Sosial Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kab.Pasaman/Eselon

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan antara kadar klorida serum sebelum dan sesudah latihan fisik intensitas ringan pada

(3) Personel pemandu lalu lintas penerbangan yang mengikuti pelatihan formal yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan luar negeri selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki percaya diri tinggi memperoleh keterampilan proses sains biologi siswa lebih baik dengan skor 118,3

Selama ini, pengajaran kacapi sebagai waditra pokok dalam penyajian kawih dan tembang Sunda dilakukan dengan metode oral tradisi tanpa menggunakan sistem notasi atau

Penelitian ini dilakukan untuk memaparkan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Doa Anak Jalanan NDU\D 0D¶PXQ $IIDQ\ 'DUL penelitian ini ditemukan lima

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak Rumah Sakit Islam Kendal dalam pengembangan sistem informasi melalui rancangan sistem informasi