• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pakan Ikan - PENGGUNAAN PEREKAT TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN PAKAN (Bulu ayam fermentasi, Ampas tahu fermentasi, dan Ikan rucah) TERHADAP KUALITAS PAKAN IKAN SKRIPSI - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pakan Ikan - PENGGUNAAN PEREKAT TEPUNG TAPIOKA PADA PEMBUATAN PAKAN (Bulu ayam fermentasi, Ampas tahu fermentasi, dan Ikan rucah) TERHADAP KUALITAS PAKAN IKAN SKRIPSI - repository perpustakaan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pakan Ikan

Pakan merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan budidaya karena

sebagai sumber energi utama yang menjaga pertumbuhan, dan perkembangbiakan.

Nutrisi yang terkandung dalam pakan harus memenuhi kebutuhan ikan tersebut

agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pakan yang berkualitas adalah

pakan yang memenuhi kandungan protein, lemak, karbohidarat, mineral, dan

vitamin yang seimbang. Pakan yang diberikan untuk ikan diharapkan dapat

menghasilkan pertambahan berat, kadar protein tubuh tinggi, dan kelangsungan

hidup ikan (Marzuqi et al., 2012). Pakan ikan merupakan campuran dari berbagai

bahan pangan yang khusus diolah untuk dimakan dan dicerna dalam pencernaan

ikan sehingga menghasilkan eneregi yang dapat digunakan untuk aktivitas hidup.

Pakan untuk ikan dapat berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami adalah

pakan yang biasa sudah tersedia di alam, sedangkan pakan buatan adalah makanan

ikan yang dibuat dari campuran bahan-bahan alami atau bahan olahan yang

selanjutnya dilakukan proses pengolahan serta dibuat dalam bentuk tertentu

sehingga tercipta daya tarik ikan untuk memakannya (Anggraeni & Abdulgani,

2013).

Pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan. Akan tetapi harga pakan

tidak sebanding dengan harga jual ikan yang relatif stabil, sehingga perlu adanya

alternatif penyusunan bahan dalam pembuatan pakan ikan. Alternatif yang dapat

(2)

dengan memanfaatkan bahan baku dari limbah yang masih memiliki nilai

ekonomis, harganya murah, yaitu dengan bulu ayam, ampas tahu, dan ikan rucah.

Adanya bahan baku tersebut juga belum tentu dapat menjadikan kualitas pakan

yang baik, sehingga untuk meningkatkan kualitas fisik pakan sebaiknya

digunakan bahan perekat yaitu tepung tapioka sehingga pakan yang dihasilkan

lebih kompak dan tidak mudah hancur di dalam air. Menurut Wikantiasi (2001),

penambahan 4% tepung tapioka sebagai perekat dan proses pengukusan

menghasilkan kekerasan, stabilitas dalam air, dan bereat jenis pelet yang optimal

sehingga pelet yang dihasilkan lebih kompak, tidak mudah pecah, rapuh maupun

patah.

2.2 Limbah Bulu Ayam

Limbah merupakan bahan sisa atau buangan yang berasal dari suatu usaha

atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia yang dapat mengakibatkan penurunan

kualitas lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Salah satu kegiatan

industri yang menghasilkan limbah adalah Rumah Potong Ayam (RPA). RPA

merupakan usaha di bidang peternakan yang bergerak dalam fungsi pemotongan

ayam hidup dan mengolah menjadi karkas yang siap konsumsi. Menurut Erlita

(2011), limbah yang dihasilkan dari RPA berupa darah ayam, air bekas cucian

ayam, afkiran daging atau temak, dan bulu ayam. Dampak negatif yang

ditimbulkan oleh industri peternakan ayam yaitu berupa terganggunya sanitasi

lingkungan akibat limbah bulu ayam yang menimbulkan bau tidak sedap dan

merupakan sumber penyebaran penyakit sebagai dampak penurunan kualitas

(3)

kualitas tanah karena limbah bulu ayam sulit terdegradasi di lingkungan akibat

adanya keratin atau protein fibrous berupa serat. Oleh sebab itu, limbah bulu ayam

resisten terhadap perombakan atau degradasi dan merupakan masalah yang serius

di lingkungan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada beberapa tempat di

Jawa, limbah bulu ayam baru dimanfaatkan sebagai pupuk dan kemoceng.

2.2.1. Protein Keratin

Penggunaan bulu ayam sebagai bahan baku pakan alternatif untuk ternak

diutamakan sebagai sumber protein karena kandungan proteinnya yang cukup

tinggi, yaitu sebesar 74,4-91,8% dari bahan kering (Puastuti, 2004). Tingginya

potensi bulu ayam sebagai sumber protein memiliki kendala dalam hal

kecernaannya pada organ pencernaan hewan. Hal tersebut disebabkan protein

yang terkandung dalam bulu ayam termasuk jenis protein keratin.

Keratin merupakan jenis protein yang tersusun atas serat (fibrous) yang

banyak terdapat pada bagian tubuh seperti kuku, rambut, dan bulu karena

merupakan pengerasan jaringan epidermal sehingga susah tercerna oleh organ

pencernaan. Protein serat yang menyusun bagian-bagian tersebut kaya akan sistein

dan sistin (Sharma & Swati, 2012). Adanya jembatan sistein tersebut menjadi

penghambat kerja enzim proteolitik dalam memecah keratin. Di dalam deret asam

amino keratin bulu ayam, terdapat sembilan asam amino sistein (C) yang akan

membentuk jembatan disulfida yang memberikan kekuatan mekanik pada bulu.

Sedangkan keratinase merupakan enzim penghasil keratin atau keratinolitik.

Enzim keratinolitik adalah enzim protease spesifik yang memiliki kemampuan

(4)

keratinase yang dihasilkan oleh mikroorganisme keratinolitik tidak hanya

dimanfaatkan dalam industri kimia dan medis, tetapi juga dalam bidang industri

pakan ternak. Penggunaan keratinase mikrobial dapat menjadi alternatif hidrolisis

bulu ayam untuk dijadikan pakan ternak yang kaya nutrisi.

Keratinase memiliki kemampuan yang sangat baik dalam memecah ikatan

disulfida yang terdapat pada keratin. Menurut Kim et al. (2001), aktivitas hidrolitik keratinase yang digunakan dalam proses fermentasi bulu optimal

dilakukan pada suhu 550C dengan pH 8,5. Aktivitas keratinase pada saat proses

fermentasi bulu yaitu memutus ikatan disulfida yang terdapat dalam keratin

sehingga mampu meningkatkan nilai daya cerna proteinnya. Keratinase dapat

memecah keratin menjadi pepton atau memecah ikatan S-S pada sistin menjadi

sistein (William et al., 1991 dalam Sonjaya, 2001). Tingkat kesulitan degradasi

bulu oleh mikroba tersebut ditentukan oleh kadar sistin. Struktur bangun keratin

dapat di lihat pada Gambar 2.1.

2.2.2. Fermentasi Tepung Bulu Ayam menggunakan B. licheniformis

Pemanfaatan bulu ayam sebagai pakan ternak tanpa melalui pemrosesan

mempunyai nilai nutrisi yang rendah. Hal tersebut disebabkan tingginya

kandungan protein keratin sehingga sulit dicerna oleh organ pencernaan. Oleh

karena itu, perlu dilakukan upaya pengolahan bulu ayam menjadi bahan pakan

ternak melalui beberapa metode pemrosesan. Pemrosesan bulu ayam untuk

melemahkan atau memutuskan ikatan yang menyusun keratin melalui proses

(5)

NH NH

Gambar 2.1. Struktur bangun keratin (West & Todd, 1961 dalam Puastuti, 2007)

bulu ayam dapat dilakukan dengan cara fermentasi menggunakan

mikroorganisme. Fermentasi merupakan suatu cara yang dilakukan untuk

menguraikan senyawa dari bahan-bahan protein kompleks menjadi protein

sederhana melalui bantuan mikroorganisme (Pelczar & Chan, 2008). Fermentasi

menyebabkan perubahan sifat pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan

bahan pangan oleh mikroorganisme yang berada di dalamnya.

Mikroorganisme yang berpotensi baik untuk memecah keratin bulu ayam

adalah B. licheniformis yang memiliki kemampuan memfermentasi bahan

makanan sehingga terjadi perombakan struktur jaringan kimia dinding sel,

(6)

bulu ayam. Pengolahan tepung bulu melalui fermentasi secara aerobik dan

anaerobik menggunakan bakteri B. licheniformis menunjukkan bahwa bakteri

tersebut mempunyai kemampuan memecah keratin (Williams et al., 1991 dalam

Sonjaya, 2001). Menurut Mulyono (2008), B. licheniformis berpotensi untuk

digunakan dalam fermentasi bulu karena kandungan protein total yang terdapat

dalam bulu meningkat dari 82,35% menjadi 94,53%. Oleh karena itu, fermentasi

tepung bulu ayam menggunakan bakteri B. licheniformis merupakan metode yang

tepat dan aman untuk mendaur ulang limbah bulu ayam.

2.2.3. Bakteri Bacillus licheniformis

KlasifikasiB. licheniformis menurut Whitman et al. (2009) adalah sebagai

berikut:

Phyllum : Firmicutes

Classis : Bacilli

Ordo : Bacillales

Famili : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus licheniformis

(7)

Bakteri B. licheniformis merupakan genus Bacillus yang tergolong ke dalam kelas batang. Bakteri tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain selnya

berbentuk batang panjang; ukuran sel : panjang 1,5-3 µm dan lebar 0,6-0,8 µm;

merupakan Gram positif, yaitu menyerap zat warna iod; bergerak dengan flagella;

membentuk spora; dan habitat alamiahnya pada hewan terutama unggas. B. licheniformis memiliki bentuk spora bulat teluar atau silinder dengan posisi sentral atau subterminal. Spora bakteri ini sangat tahan terhadap panas dan

digolongkan dalam mikoorganisme termofilik. Ukuran dinding serat dari bakteri

tersebut sebanding dengan ukuran sel dari bakteri itu sendiri. Komposisi dinding

selnya terdiri dari asam teikoat, polisakarida, dan poliaglikan (Cowan, 1974 dalam

Desi, 2002).

Menurut Mazotto et al. (2011), bakteri B. licheniformis juga menghasilkan

enzim keratinase. Enzim keratinase dari B. licheniformis mampu menghidrolisis seluruh substrat protein yang diujikan termasuk kolagen, elastin, dan keratin bulu

(Lin et al., 1992 dalam Desi, 2002). Menurut Lee et al. (1991) dalam Desi (2002), penambahan keratinase yang diisolasi dari B. licheniformis pada pakan dapat meningkatkan total asam amino yang dapat dicerna dari bulu asli dari 30%

menjadi 66%, dan bulu komersial dari 77% menjadi 99%. Hal tersebut

menunjukkan bahwa penambahan keratinase dapat memudahkan bulu untuk

dicerna. Kemampuan B. licheniformis dalam menghasilkan enzim keratinase untuk memecah keratin menjadikan bakteri tersebut memiliki potensi yang baik

(8)

2.3 Ampas Tahu

Proses pembuatan tahu menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun

limbah cair. Limbah padat umumnya dapat dijual untuk makanan ternak,

sedangkan limbah cair dalam proses pembuatan tahu berasal dari air cucian

kedelai, air rendaman, air penyaringan, air penggumpalan, dan air sisa pencetakan

yang dapat mencemari lingkungan. Limbah padat (ampas tahu) merupakan hasil

sisa perasan bubur kedelai yang diperas untuk diambil airnya pada pembuatan

tahu. Ampas tahu juga merupakan limbah yang jarang dimafaatkan, karena

memiliki sifat cepat basi dan berbau tidak sedap apabila tidak ditangani dengan

cepat. Namun, ampas tahu juga sering digunakan sebagai bahan ramuan makanan

ikan karena masih memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Menurut Nuraini et al. (2011), ampas tahu dapat dijadikan sebagai sumber nitrogen pada media fermentasi dan dapat dijadikan sebagai bahan pakan sumber protein karena

mengandung protein kasar yang cukup tinggi berdasarkan bahan kering yaitu

28,36% dan kandungan nutrien lainnya adalah lemak 5,52%, serat kasar 17,06%

dan BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) 45,44%.

Pemanfaatan ampas tahu yang masih rendah dapat ditingkatkan nilai

nutrisinya yaitu dengan cara fermentasi. Menurut Purwaningsih (2008), dalam

proses fermentasi terdapat beberapa keuntungan dari pangan yang telah

difermentasi antara lain makanan menjadi awet, lebih aman, nilai cerna lebih

(9)

2.3.1. Fermentasi Ampas Tahu

Fermentasi adalah proses metabolisme enzim mikroorganisme melakukan

oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi kimia lainnya sehingga terjadi perubahan

kimia pada substrat organik (Lestari, 2001). Manfaat fermentasi antara lain dapat

mengubah bahan organik kompleks seperti protein, karbohidrat, dan lemak

menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna, mengubah

rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai, mensintesisis protein,

memepercepat pematangan, dan dalam beberapa hal tertentu menambah daya

tahan. Fermentasi ampas tahu dapat meningkatkan prosentase protein. Selama

proses fermentasi enzim protease akan mempercepat reaksi kimia dengan cara

menempel pada substrat dan mendegradasi protein menjadi asam amino yang

mudah dicerna. Asam amino merupakan komponen pembentuk protein. Adanya

enzim proteolitik menyebabkan degradasi protein menjadi asam amino, sehingga

protein terlarut meningkat (Zakaria et al., 2013).

Proses fermentasi ampas tahu menggunakan mikroorganisme dapat

meningkatkan nilai nutrisi pada pakan ikan. Mikroorganisme merupakan kunci

keberhasilan atau kegagalan fermentasi. Mikroorganisme yang sering digunakan

dalam proses fermentasi antara lain mikroorganisme jenis kapang. Kapang

Aspergillus merupakan jenis kapang yang sering digunakan dalam proses fermentasi protein karena A. niger bersifat proteolitik. Kapang Aspergillus dapat

mengubah pati yang terkandung dalam bahan baku menjadi glukosa dengan

(10)

2.3.2. Deskripsi Kapang Aspergillus niger

Kedudukan taksonomi kapang Aspergillus niger menurut Alexopoulus & Mims (1979) adalah sebagai berikut: Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas

memiliki filament (miselium). A. niger bersifat aerob, yaitu hidup di lingkungan

yang cukup oksigen, temperatur optimum bagi pertumbuhan A. niger berkisar antara 35-370C, sedangkan kisaran pH yang dibutuhkan antara 5,0-7,0 (Fardiaz,

1992). A. niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna

hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar

dengan bertambahnya umur.

Menurut Gray (1970), kapang yang sering digunakan dalam proses

fermentasi adalah jenis kapang A. niger yang merupakan salah satu jenis

Aspergillus yang tidak menghasilkan mitoksin sehingga tidak membahayakan. Penelitian Miskiyah (2006), bahwa penggunaan A. niger dan penambahan mineral

(11)

kelapa dapat meningkatkan kadar protein kasar dari 11,35% menjadi 26,09%, dan

kadar lemak turun 28,70% hingga 11,39%, sedangkan uji kecernaan bahan kering

menunjukkan peningkatan dari 78,99% menjadi 95,105.

2.4 Ikan Rucah

Ikan rucah merupakan ikan berukuran kecil dan merupakan hasil

tangkapan sampingan oleh nelayan antara lain ikan pari, cucut, tembang, kuniran,

rebon, selar, dan sejenisnya yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia dan tidak

mempunyai nilai ekonomis tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan ikan rucah yang

kurang maksimal dapat dimanfaatkan dengan cara dijadikan produk olahan yang

dapat meningkatkan nilai jualnya salah satunya untuk pakan ternak. Kandungan

gizi ikan rucah cukup lengkap yaitu mengandung 76,12% air, 12,14% protein, dan

1,39% lemak (Subagio et al., 2003). Ikan rucah sangat potensial untuk dijadikan bahan baku pakan buatan untuk menggantikan tepung ikan.

Tepung ikan merupakan sumber protein hewani yang baik dan sebagai

sumber mineral terutama kalsium dan fosfor. Tepung ikan memiliki nilai gizi

yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial

yang sangat dibutuhkan oleh ikan. Protein tersebut disusun oleh asam-asam amino

esensial yang kompleks, di antaranya asam amino Lisin dan Methionin.

Disamping itu, tepung ikan mengandung protein, abu, lemak, serat kasar, dan

(12)

2.5 Tepung Tapioka

Tepung tapioka umumnya digunakan sebagai bahan perekat karena banyak

terdapat di pasaran, harganya relatif murah, dan cara membuatnya mudah yaitu

cukup mencampurkan tepung tapioka dengan air, kemudian didihkan. Tepung

tapioka merupakan pati dari umbi singkong. Singkong (Manihot utilissima)

disebut juga ubi kayu atau ketela pohon yang merupakan salah satu komoditas

tanaman pangan yang penting sebagai bahan pangan karbohidrat, bahan baku

industri makanan, kimia, dan pakan ternak. Kandungan nutrisi pada tepung

tapioka, dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi pada Tepung Tapioka

Komposisi Jumlah

Tapioka banyak digunakan sebagai bahan pengental dan bahan pengikat

dalam industri makanan, sedangkan ampas tapiokanya banyak digunakan sebagai

campuran makanan ternak. Bahan perekat yang digunakan sebagai pakan ternak

diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai

struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur, dan mudah dibentuk pada

proses pembuatannya (Wikantiasi, 2001). Ada dua jenis tapioka, yaitu tapioka

(13)

ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan

lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi.

2.5.1 Pati

Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,

berwujud bubuk putih, tawar, dan tidak berbau. Pati terdiri dari butiran-butiran

kecil yang disebut granula. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang

berbeda-beda tergantung dari sumbernya. Menurut Moorthy dalam Eliasson

(2004), ukuran granula tapioka menunjukkan variasi yang besar yaitu sekitar 5-40

µm dengan bentuk bulat dan oval. Granula pati terdiri dari dua fraksi yang dapat

dipisahkan dengan air panas yaitu, fraksi yang terlarut disebut amilosa dan fraksi

yang tidak terlarut disebut amilopektin. Komposisi pati terdiri dari 10-2-%

amilosa, sedangkan komponen terbesarnya, yaitu amilopektin sebesar 80-90%.

Amilosa tersusun dari molekul-molekul α-glukosa dengan ikatan glikosida α-(1-4)

membenuk rantai linier, sedangkan amilopektin terdiri dari rantai-rantai amilosa

(ikatan α(1-4)) yang saling terikat membentuk cabang dengan ikatan glikosida α

-(1-6) (Niken & Adepristian, 2013). Pati singkong dari tepung tapioka memiliki

rasio 17% amilosa dan 83% amilopektin. Menurut Taggart dalam Eliasson (2004),

amilosa memiliki kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai

polimernya yang sederhana dapat membentuk interaksi molekular yang kuat.

Interaksi terjadi pada gugus hidroksil amilosa. Amilopektin juga dapat

membentuk kristal tetapi tidak sereaktif amilosa karena adanya rantai percabangan

yang menghalangi terbentuknta kristal. Berikut adalah struktur amilosa dan

(14)

Amilosa Amilopektin

Gambar 2.3. Struktur amilosa dan amilopektin (BeMiller & Whistler, 2009)

2.5.2 Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati ketika

dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi

granula pati dapat mengembang dalam air panas. Suhu pada saat granula pati

pecah di sebut suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi pada tepung tapioka berkisar

antara 52-640C (Winarno, 1997). Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan

pembengkakan granula pati sehingga menyebabkan terjadinya penekanan antara

granula pati dengan lainnya. Pengembangan granula pati mulanya bersifat dapat

balik, tetapi jika dipanaskan pengembangan granula pati menjadi bersifat

reversible (dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah

terlewati, pembengkakan granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali) dan akan terjadi perubahan struktur granula. Proses gelatinisasi terjadi karena

kerusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan

integritas granula pati.Menurut Purnamasari (2010), suhu gelatinisasi dipengaruhi

oleh ukuran granula pati. Semakin besar ukuran granula memungkinkan pati lebih

(15)

menyebabkan pati lebih mudah mengalami gelatinisasi (suhu gelatinisasi relatif

rendah). Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel yang lebih lambat

sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dari pada granula yang

Gambar

Gambar 2.1. Struktur bangun keratin (West & Todd, 1961 dalam Puastuti, 2007)
Gambar 2.2. Bakteri B. licheniformis perbesaran 1000X (Pikoli et al., 2000)
Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi pada Tepung Tapioka
Gambar 2.3. Struktur amilosa dan amilopektin (BeMiller & Whistler, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Pada triwulan I tahun 2015, kategori ekonomi yang memiliki peranan terbesar terhadap perekonomian Papua adalah kategori pertambangan dan penggalian yaitu sebesar

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain, Jika varian dari

Modifikasi Pati Alami dan Pati Hasil Pemutusan Rantai Cabang dengan Perlakuan Fisik/Kimia untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten pada Pati Beras.. Jurnal Teknologi

Perkembangan Mata Pencaharian Masyarakat Arab Saudi pada Masa Pemerintahan Faisal bin Abdul Aziz (1964-1975)...29. Transportasi dan

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi

Tahap-tahap yang dilakukan dalam pembangunan aplikasi kamus terminologi pelayaran ini meliputi analisa kebutuhan perangkat lunak dan perangkat keras, perancangan struktur

Sedangkan pelaksanaan tes akhir dimaksudkan untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam bentuk pemahaman dan penalaran matematik siswa mengenai trigonometri setelah

Tampilan proses dalam sistem pengelompokan data siswa ini, dapat dilihat pada gambar berikut ini : / Gambar 3 tampilan proses KESIMPULAN Pada pembahasa diatas dapat di