• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI LOSION TABIR SURYA EKSTRAK KULIT UMBI UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz ) DAN UJI AKTIVITASNYA - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI LOSION TABIR SURYA EKSTRAK KULIT UMBI UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz ) DAN UJI AKTIVITASNYA - repository perpustakaan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Umbi Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)

1. Klasifikasi

Ubi kayu merupakan tanaman pangan berupa perdu yang berasal

dari benua Amerika, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan

dalam bahasa inggris cassava. Umbi ubi dimanfatkan sebagai sumber

karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia ubi

kayu menjadi bahan pangan setelah beras dan jagung (Gagola dkk., 2014).

Gambar 1. Umbi ubi kayu (Johannesburg, 2006).

Klasifikasi tanaman umbi ubi kayu adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae atau tumbuh-tumbuhan

Divisi : Spermatophyta atau tumbuhan berbiji

Sub divisi : Angiospermae atau berbiji tertutup

Kelas : Dicotyledoneae atau biji berkeping dua

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Manihot

Spesies : Manihot esculenta Crantz atau Manihot utilisima

(2)

2. Morfologi Tanaman

Umbi ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman

pangan berupa perdu dengan nama lain ketela pohon, singkong, atau

kasape. Umbi ubi kayu merupakan tanaman yang berkayu arah

tumbuhnya tegak, daun tunggal atau majemuk, duduk tersebar atau

berhadapan dengan daun-daun penumpu yang sering kali menyerupai

kelenjar. Bunga hampir selalu berkelamin tunggal, berumah satu atau

dua, dengan bentuk dan susunan yang beraneka rupa. Biasanya buah

yang sudah masak pecah menjadi tiga bagian buah (Caniago dkk.,

2014). Umbi ubi kayu merupakan sumber karbohidrat yang paling

penting setelah beras. Tanaman singkong memiliki beberapa kelebihan

diantaranya dapat tumbuh di segala tanah, tidak memerlukan tanah

yang subur asal cukup gembur, tetapi sebaliknya tidak tumbuh dengan

baik pada tanah yang terlalu banyak airnya. Singkong merupakan

tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah tropika dengan

kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, tahan terhadap

musim kemarau dan mempunyai kelembaban yang tinggi, tetapi

sensitif terhadap suhu rendah. Tanaman singkong mempunyai adaptasi

yang luas. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah

sampai tinggi, yaitu dari 0 sampai 2500 m di atas permukaan laut,

maupun di daerah kering dengan curah hujan sekitar 500 mm/tahun,

asalkan air tidak sampai tergenang di perakarannya (Hidayat, 2009).

Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan

gaplek, tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya.

Potensi kulit singkong di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan

eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil singkong terbesar di

dunia dan terus mengalami peningkatan produksi dalam setiap

tahunnya. Dari setiap berat singkong akan dihasilkan limbah kulit

(3)

3. Kandungan Kimia Kulit Umbi Ubi Kayu

Kandungan kulit umbi ubi kayu mengandung fenolik dan

flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan (Gagola dkk., 2014).

Pada batang umbi kayu terdapat 10 komponen fenolik seperti

coniferaldehyde, isovanillin, 6-deoxyjacareubin, scopoletin,

syringaldehyde, pinoresinol, asam p-coumaric, ficusol , balanophonin

dan ethamivan yang memiliki aktivitas menangkal radikal bebas (Yi

dkk., 2010). Pada penelitian Buschmann dkk, (2000) menunjukan

adanya kandungan flavan-3-ol seperti, catechin, gallate catechin, dan

gallocatechin pada umbi kayu yang berpotensi sebagai antioksidan

efek dari radiasi. Pada penelitian Karundeng dkk, (2014) menunjukan

bahwa pada ekstrak kulit umbi ubi kayu yang mengandung flavonoid

pada konsentrasi 0,5% dapat berpotensi sebagai tabir surya dengan

nilai SPF 11,3 yang menunjukan proteksi maksimal.

B. Ekstraksi

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat

yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali

dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi

menjadi 3 yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia

pelikan atau mineral (Depkes RI, 1989).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan

mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati

menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir

semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Depkes RI, 1986).

Simplisia yang disari mengandung zat aktif yang dapat larut dan

zat aktif yang tidak larut seperti serat, karbohidrat dan protein. Faktor

yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat

yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara penyari dengan bahan

(4)

Macam–macam ekstraksi: 1. Maserasi

Maserasi adalah penyarian dengan merendam serbuk simplisia dalam

cairan penyari. Digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut

dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam penyari. Contoh

cairan penyari yaitu air, etanol, air-etanol (Depkes RI, 2000).

2. Infudasi

Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat

aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infundasi

dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air secukupnya

dalam penangas air selama 15 menit yang dihitung mulai suhu di

dalam panci mencapai 90 °C sambil sesekali diaduk, infus disaring

sewaktu masih panas dengan menggunakan kain flanel. Penyarian

dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah

tercemar oleh bakteri dan jamur (Depkes RI, 1986).

3. Sokletasi

Sokhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi

kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya

pendingin balik (Depkes RI, 1986).

4. Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui

dan colare yang artinya merembes, secara umum dapat dinyatakan

sebagai proses dimana obat yang sudah halus diekstraksi dalam

pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui

obat dalam suatu kolom. Obat yang dimampatkan dalam alat ekstraksi

khusus yang disebut perkolator, dan ekstrak yang telah dikumpulkan

disebut perkolat (Ansel, 1989).

(5)

C. Uraian Bahan

1. Asam stearat (Depkes RI, 1979)

Asam stearat ( merupakan asam lemak yang terdiri dari

rantai hidrokarbon, diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat

dimakan, dan berbentuk serbuk berwarna putih. Asam stearat mudah

larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air. Bahan ini

berfungsi sebagai pengemulsi dalam sediaan kosmetika. Asam stearat

dapat menghasilkan kilauan yang khas pada produk losion.

2. Malam putih atau cera alba (Depkes RI, 1979)

Malam putih dibuat dengan memutihkan malam yang diperoleh

dari sarang lebah apis melli fera l atau spesies lain. Pemerian zat

padat, lapis tipis bening, putih kekuningan, bau khas. Kelarutan

praktis tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%),

larut dalam kloroform, dalam minyak lemak dan minyak atsiri. Suhu

lebur 62 °C sampai 64 °C. Khasiat dari malam putih zat tambahan

atau basis.

3. Lanolin (Depkes RI, 1979)

Lanolin merupakan basis serap, dibentuk dengan penambahan

zat-zat yang dapat bercampur dengan hidrokarbon dan zat-zat yang memiliki

gugus polar seperti sulfat, hidroksi, karboksil. Lanolin zat serupa

lemak lengket kuning muda, agak tembus cahaya, bau lemah dan

khas. Suhu lebur dari suhu 36 °C sampai 42 °C, kelarutannya tidak

larut dalam air agak sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut

dalam kloroform P dan dalam eter P.

4. Propilenglikol (Rowe dkk., 2009).

Merupakan alkohol bivalen dengan dua gugus OH. Bentuknya

berupa cairan higroskopis jernih tidak berwarna dan tidak berbau atau

hampir tidak berbau dengan rasa agak manis. Sifat kelarutannya yaitu

dapat bercampur dengan air, aseton, alkohol dan kloroform. Larut

dalam 6 bagian eter, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P

(6)

Propilenglikol memiliki banyak fungsi yaitu pengawet

antimikroba, desinfektan, humektan, pelarut, stabilizer vitamin,

kosolven. Formula losion menggunakan propilenglikol agar sediaan

terasa nyaman dikulit karena propilenglikol bersifat humektan.

5. Propilparaben (Depkes RI, 1979)

Propilparaben atau Nipasol berupa kristal tidak berwarna atau

serbuk putih, tidak berbau, tidak berasa. Bahan ini sangat sukar larut

dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam eter. Propilparaben

digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik dan sediaan

farmasetika. Propilparaben untuk pembuatan losion sebesar

0,02-0,3%.

6. Metilparaben (Rowe dkk., 2009)

Metilparaben ( merupakan zat berwarna putih atau tidak

berwarna, berbentuk serbuk halus, dan tidak berbau. Zat ini mudah

larut dalam etanol 95%, eter, dan air tetapi sedikit larut benzen, dan

karbontetraklorida. Metil paraben sering digunakan dalam losion

karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur serta dapat

mempertahankan losion dari mikroorganisme yang dapat merusak.

Metil paraben termasuk salah satu jenis pengawet yang biasa

digunakan dalam pembuatan losion. Bahan pengawet yang biasa

ditambahkan pada pembuatan losion sebesar 0,1-0,2%. Pengawet yang

digunakan sebagai tambahan pada produk menyebabkan mikroba

tidak dapat tumbuh karena pengawet bersifat antimikroba. Pengawet

harus ditambahkan pada suhu yang tepat pada saat proses pembuatan

losion, yaitu antara suhu 35-45 °C agar tidak merusak bahan aktif

yang terdapat dalam pengawet tersebut.

7. Disodium Edetat (Rowe dkk., 2009)

Merupakan serbuk kristal putih, sodium edetat dapat digunakan

untuk komposisi pada sediaan topikal sebesar 0,01-0,1% b/v. Sodium

edetat ditambahkan dalam sediaan karena memiliki kemampuan

(7)

pembentukan khelat logam yang tidak larut. Selain itu, adanya logam

pada ekstrak dapat menjadi katalisator reaksi oksidasi sehingga

diperlukan penambahan disodium edetat untuk mengikat logam

tersebut. Disodium edetat juga digunakan sebagai penstabil.

8. Trietanolamin (Rowe dkk., 2009)

Triethanolamin (( atau TEA merupakan cairan

tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau

hampir tidak berbau, dan higroskopis. Cairan ini dapat larut air dan

etanol tetapi sukar larut dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur

pH dan pengemulsi pada fase air dalam sediaan losion. TEA

merupakan bahan kimia organik yang terdiri dari amine dan alkohol

dan berfungsi sebagai penyeimbang pH pada formulasi losion. TEA

tergolong dalam basa lemah.

9. Oleum Rosae (Depkes RI, 1979)

Minyak mawar adalah minyak atsiri yang diperoleh dengan

penyulingan uap bunga segar. Minyak mawar merupakan cairan tidak

berwarna atau kuning, bau menyerupai bunga mawar, rasa khas, pada

suhu 25 °C kental, jika didinginkan perlahan-lahan berubah menjadi

massa hablur bening yang jika dipanaskan mudah melebur. Larut

dalam 1 bagian kloroform. Biasanya digunakan untuk bahan pewangi.

10. Akuades (Depkes RI, 1979s)

Air merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam

Pembuatan losion. Air yang digunakan dalam pembuatan losion

merupakan air murni yaitu air yang diperoleh dengan cara

penyulingan, proses penukaran ion dan osmosis sehingga tidak lagi

mengandung ion-ion dan mineral-mineral. Air murni hanya

mengandung molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan

jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki pH 5,0-7,0, dan

(8)

D. Losion

Sediaan losion merupakan emulsi dengan kandungan minyak yang

lebih rendah dibandingkan krim, sehingga menyebabkan sediaan losion

lebih encer. Losion dimaksudkan untuk digunakan pada kulit sebagai

pelindungan untuk obat karena sifat bahan-bahannya. Kecairannya

memungkinkan pemakaian yang merata dan cepat pada permukaan kulit

yang luas. Losion dimaksudkan segera kering pada kulit setelah

pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis dari komponen obat pada

permukaan kulit. Karena fase terdispersi dari losion cenderung untuk

memisahkan diri dari pembawanya bila didiamkan, losion harus dikocok

kuat-kuat setiap akan digunakan supaya bahan-bahan yang telah memisah

terdispersi kembali (Ansel, 1989).

Losion termasuk golongan kosmetika pelembab kulit yang terdiri dari

berbagai minyak nabati, hewani maupun sintetis. Losion juga berfungsi

untuk melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, dan mengurangi

penguapan air dari sel kulit. Losion didefinisikan sebagai campuran dua

fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan

berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang.

Losion tabir surya sebagai kosmetik perlu diperhatikan hal-hal

yang diperlukan dalam tabir surya yaitu efektif dalam menyerap sinar

eritmogenik pada rentang panjang gelombang 290-320 nm tanpa

menimbulkan gangguan yang akan mengurangi efisiensinya yang

menimbulkan toksik atau iritasi. Memberikan transmisi penuh pada

rentang panjang gelombang 300-400 nm untuk memberikan efek terhadap

tanning maksimum.Tidak mudah menguap, resisten terhadap air dan

keringat. Memiliki sifat-sifat mudah larut yang sesuai untuk memberikan

formulasi kosmetik yang sesuai. Tidak berbau dan memiliki sifat-sifat fisik

yang memuaskan, misalnya daya lengketnya, dan lain-lain. Tidak

menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan sensitifitas.

(9)

dalam penggunaan. Tidak menimbulkan noda saat dipakai (Pratama dan

Zukarnain, 2015).

E. Tabir Surya

Tabir surya adalah produk yang diformulasikan khusus untuk

menyerap atau membelokkan sinar ultraviolet (Lavi, 2011). Tabir surya di

maksudkan untuk digunakan melindungi kulit manusia dari efek buruk

sinar matahari (Bleasel, 1999). Sediaan tabir surya adalah sediaan

kosmetik yang digunakan untuk maksud membaurkan atau mengabsorpsi

secara efektif cahaya matahari, terutama daerah emisi gelombang UV dan

infra merah sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena

cahaya matahari (Bambal dkk., 2011).

Berdasarkan mekanisme kerjanya tabir surya dibagi menjadi 2 yaitu,

melindungi fisik (pengeblok fisik) dengan memantulkan energi sinar

ultraviolet dan secara kimia (penyerapan kimia) dengan menyerap energi

sinar ultraviolet. Tabir surya fisik adalah tabir surya yang mekanisme

kerjanya memantulkan dan memantulkan radiasi sinar ultraviolet,

kemampuannya berdasarkan ukuran partikel dan ketebalan lapisan, bisa

menembus lapisan dermis hingga subkutan atau hipodermis dan efektif

pada spekrum radiasi UV A, UV B dan sinar tampak (Lavi, 2011). Zat

aktif yang di gunakan dalam tabir surya fisik yaitu titanium dioksida,

magnesium silikat, zinc oksida, kaolin (biasa digunakan pada bedak/alas

bedak). Tabir surya kimia, yang mekanisme kerjanya mengabsorbsi radiasi

sinar ultraviolet dan mengubahnya menjadi bentuk energi panas. Dapat

mengabsorbsi hampir 95% radiasi sinar UV B yang dapat menyebabkan

sunburn (eritema & kerut). Zat aktif yang di gunakan dalam tabir surya

kimia yaitu, PABA, benzofenon, salisilat andoktil avobenzon (Lavi, 2011).

Menurut Bleasel (1999) efek berbahaya dari radiasi matahari

disebabkan terutama oleh daerah UV dari spektrum elektromagnetik

(10)

1. Radiasi UV A antara 320- 400 nm.

UV A biasanya hanya menyebabkan kulit menjadi coklat, walaupun

dapat juga menimbulkan terbakar surya tapi lebih lemah dibanding

dengan UV B. Karena intensitas UV A yang sampai ke bumi kira-kira

10 kali UV B, maka efek kumulatif jangka panjang sinar UV A ini

sama pentingnya dengan efek UV B.

2. Radiasi UV B 290-320 nm.

sering disebut sebagai spektrum terbakar surya atau kulit terbakar

akut, karena sinar ini penyebab utama terjadinya terbakar surya

(sunburn). UV B ini paling efektif menyebabkan pigmentasi dan

karsinogenik.

3. Radiasi UV C dari 200 -290 nm.

Sinar UV C merupakan sinar yang tidak sampai ke bumi karena

mengalami penyerapan. Akan tetapi seseorang dapat terkena paparan

sinar UV C ini dari lampu-lampu buatan. Kelainan yang timbul yang

disebabkan oleh UV C adalah kulit kemerahan, peradangan mata dan

merangsang pigmentasi. F. SPF (Sun Protection Factor)

SPF adalah pengukuran kuantitatif dari efektivitas formulasi tabir

surya agar efektif dalam mencegah kulit terbakar dan kerusakan kulit

lainnya (Bleasel, 1999). Produk tabir surya harus memiliki berbagai

absorbansi 290-400 nm (Bambal dkk., 2011).

Penentuan aktifitas tabir surya berdasarkan nilai SPF dapat dilakukan

secara in vivo dan in vitro. Pengujian SPF secara in vivo yaitu

membandingkan energi ultraviolet untuk menghasilkan dosis eritema

minimal (DEM) pada kulit yang terlindungi terhadap energi untuk

menghasilkan eritema minimal pada kulit tidak terlindungi, sedangkan

pengujian in vitro nilai SPF dapat ditentukan dengan menggunakan

metode spektrofotometri (Bambal dkk., 2011).

Pengukuran nilai SPF, Sampel diukur serapannya dengan

(11)

290 nm sampai panjang gelombang 320 nm dan dilakukan tiga kali

penentuan tiap poinnya. Diikuti dengan aplikasi persamaan yang telah

dilakukan (Sayre dkk., 1978). Untuk menghitung nilai SPF digunakan

Tabel 1. Normalized yang di gunakan untuk data SPF (EE X I)

Panjang gelombang EE X I

Nilai SPF yang didapat dapat di klasifikasikan berdasarkan tipe

proteksi dapat di lihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tipe proteksi (Zulkarnain dkk., 2013)

Tipe proteksi Nilai SPF

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi

elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati

monokromatik yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada

daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) atau pada daerah

sinar tampak (panjang gelombang 380-780 nm). Meskipun spektrum pada

(12)

khas, tetapi sangat cocok untuk penetapan kuantitatif, dan untuk beberapa

zat berguna untuk membantu identifikasi (Depkes RI, 1979).

Instrumen yang digunakan menurut Gandjar dan Abdul (2007) untuk

mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi

dari panjang gelombang disebut “spektrometer” atau spektrofotometer.

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber-sumber lampu

Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang

gelombang dari 190-350 nm,sementara lampu halogen kuarsa atau

lampu tungsten di gunakan untuk daerah visibel (pada panjang

gelombang antara 350-900 nm).

2. Monokromator

Digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam

komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh

celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran

panjang gelombang dilewatkan pada sedemikian rupa sehingga

kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan

intrumen melewati spektrum.

3. Optik-optik

Dapat di desain untuk memecah sumber sinar sehingga sumber sinar

melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam spektrofotometer

berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat digunakan

dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau

spektrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam

spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk

Gambar

Tabel 1.  Normalized yang di gunakan untuk data SPF (EE X I)

Referensi

Dokumen terkait