• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang demikian pesat telah membawa banyak perubahan budaya manusia. Dengan memanfaatkan perkembangan IPTEKS, kemajuan yang berarti terjadi di berbagai bidang, salah satunya di bidang pendidikan, khususnya matematika. Karena itu, salah satu hal yang harus diperhatikan dan ditingkatkan adalah kemampuan dalam

matematika. Matematika sekolah mempunyai peranan yang cukup besar dalam

memberikan berbagai kemampuan kepada siswa untuk keperluan penataan kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam kehidupan sehari-hari, lebih khususnya kehidupan lokal di mana siswa bersentuhan secara langsung dengan lingkungannya.

Kurikulum 2006 tentang standar kompetensi menyebutkan bahwa matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kreatif dan kritis serta kemampuan bekerja sama. Salah satu tujuan dari pembelajaran matematika dalam kurikulum tersebut adalah mengembangkan akivitas kreatif dan kritis yang melibatkan siswa. Kurikulum ini juga menyebutkan bahwa salah satu prinsip kegiatan belajar mengajar adalah mengembangkan kreativitas siswa. Dengan demikian, kurikulum tersebut memandang penting pengembangan kreativitas dan kritis siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir.

(2)

Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa salah satu karakteristik matematika adalah memiliki objek langsung dan objek tidak langsung. Objek langsung matematika adalah isi materi yang dipelajari oleh siswa, sedangkan objek tidak langsung adalah sikap atau kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif dan logis. Karakteristik matematika yang lain adalah matematika memiliki objek yang sifatnya abstrak. Sifat ini menyebabkan sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika.

Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya prestasi belajar siswa dalam bidang matematika. Menurut laporan TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2007, menunjukan bahwa prestasi belajar matematika para siswa Indonesia berada pada peringkat 36 dari 49 negara dengan memperoleh skor 397 dari skor tertinggi 598 yang diperoleh Taiwan. Senada dengan itu hasil PISA(Programme for International Student Assessment) tahun 2009, menunjukan bahwa prestasi belajar matematika para siswa Indonesia berada pada peringkat ke 61 dari 65 negara dengan memperoleh skor 371 dari skor tertinggi (600) yang diperoleh Shanghai-Cina (Balitbang-Depdiknas, 2009).

Berdasarkan data TIMSS dan PISA tersebut terlihat bahwa prestasi matematika siswa di Indonesia pada umumnya rendah. Hal ini disebabkan oleh faktor siswa itu sendiri, guru dan lingkungan belajar. Di mana siswa mempunyai masalah baik secara komprehensif maupun secara parsial dalam mempelajari matematika, begitupun guru dalam penyampaian materi. Di samping itu, dalam mempelajari matematika, siswa

(3)

belum memperoleh makna sehingga pemahaman konsep matematika siswa sangat lemah.

Hasil Ujian Nasional siswa SLTP di Kota Ambon menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih rendah, yaitu nilai rata-tata 5.50. Prestasi belajar siswa yang memprihatinkan tersebut harus terus diupayakan untuk diperbaiki agar menjadi lebih baik. Berbagai upaya telah dilakukan untuk m eningkatkan kualitas hasil belajar siswa di sekolah. Usaha perbaikan pembelajaran matematika sekolah pun sudah banyak dilaksanakan. Misalnya, penataran terhadap para guru, peningkatan kualifikasi pendidikan guru, pembaharuan kurikulum serta penelitian mengenai kesalahan dan kesulitan siswa dalam mempelajari matematika. Tetapi,

berbagai upaya yang dilakukan itu belum memberikan hasil yang

menggembirakan. Marpaung (2001) menyatakan bahwa matematika tidak ada artinya kalau hanya dihafalkan. Banyak siswa dapat menyebutkan definisi jajar genjang, tetapi bila kepada mereka diberikan satu persegi panjang dan ditanyakan apakah persegi panjang itu jajar genjang, mereka menjawab “tidak”. Kutipan ini menunjukkan kegagalan siswa memahami konsep, sehingga pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemahaman siswa perlu diperhatikan. Pemahaman dapat diartikan kebermaknaan informasi yang disajikan oleh guru pada struktur kognitif yang dimiliki siswa. Siswa terbiasa untuk bekerja menurut prosedur dan memahami matematika tidak dengan suatu penalaran.

Dimyati dan Mudjiono (2006) mengemukakan, “faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan siswa dalam belajar yaitu faktor dari dalam (intern) siswa

(4)

berupa kemampuan yang dimilikinya dan faktor dari luar (ekstern) siswa yaitu kemampuan (kompetens) guru serta kondisi lingkungan”.

Pembelajaran yang dilakukan di sekolah-sekolah selama ini masih bersifat klasikal. Di mana, guru cenderung mendominasi pembelajaran sehingga keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat kurang. Hal ini menyebabkan siswa kurang mempunyai kesempatan untuk menggunakan caranya sendiri dalam memecahkan suatu masalah. Siswa terbiasa untuk bekerja menurut prosedur dan memahami matematika tidak dengan suatu penalaran.

Pembelajaran yang dilakukan secara klasikal di sekolah hanya mengukur hasil belajar siswa lewat tes yang dilakukan guru di akhir pembelajaran tanpa mengukur kemampuan potensial siswa dalam pembelajaran. Mengukur kemampuan potensial yang dimaksudkan adalah bagaimana siswa bertanya dan menjawab pertanyaan guru atau siswa yang lain, dalam hal ini kemampuan potensial siswa akan nampak dalam menyelesaikan suatu masalah matematika baik secara individu maupun diskusi dalam kelompok. Kemampuan potensial siswa adalah kemampuan berpikir yaitu berpikir kritis matematis dan kreatif matematis untuk menanggapi dan menyelesaikan masalah matematika.

Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa sangat rendah. Beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis antara lain penelitian yang dilakukan Ismaimazu (2010) yang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis dapat membantu siswa dalam penyelesaian masalah

(5)

matematika dan penelitian yang dilakukan oleh Uzel dan Uyangor (2005) tentang peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif dengan pendekatan RME. Dengan demikian, pembelajaran yang berlangsung nantinya diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa dalam belajar matematika.

Berpikir kritis menurut Krulik dan Rudnick (NCTM: 1999) adalah berpikir yang menguji, mempertanyakan, menghubungkan dan mengevaluasi dalam suatu situasi atau masalah. Sedangkan, Evans (1991) mengemukakan bahwa berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Oleh karena itu, penelitian disertasi akhir-akhir ini sering dilakukan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa. Sebab dalam pembelajaran, aspek berpikir kritis dan kreatif matematis tidak pernah dilakukan dan dinilai oleh guru. Karena itu, penelitian ini dilakukan untuk menggali secara lebih mendalam kemampuan potensial dimaksud pada proses pembelajaran yang selama ini terabaikan oleh guru. Padahal justru proses itu sangat menentukan berhasil tidaknya suatu pembelajaran di kelas.

Berpikir kritis matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses kritis meliputi mengidentifikasi, menghubungkan, menganalisis dan memecahkan masalah, dan berpikir kreatif matematis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah proses kreatif yang meliputi kelancaran, keaslian, kelenturan dan elaborasi. Oleh sebab itu, siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka sehingga interaksi dalam kelas dapat berjalan dengan baik. Berkaitan dengan uraian di atas, maka perlu dipikirkan strategi atau cara

(6)

penyajian dan suasana pembelajaran matematika yang membuat siswa terlibat dan merasa senang dalam belajar matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis.

Salah satu pembelajaran matematika yang dijiwai oleh nilai konstruktivisme adalah Realistic Mathematics Education (RME), yang dalam bahasa Indonesia berarti Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Hasil pengamatan terhadap proses pengajaran matematika di Belanda menunjukkan bahwa implementasi pembelajaran matematika realistik memberi dampak positif terhadap proses maupun hasil pembelajaran (Yuwono, 2001). Jika pembelajaran matematika realistik dapat memberi dampak positif di negara lain, maka ada kemungkinan pembelajaran matematika realistik juga dapat membantu meningkatkan kemampuan matematika siswa di Indonesia dengan merujuk pada hasil penelitian Fauzan, Slettenhaar dan Tjeerd Plomp (2002) yang menunjukkan bahwa RME bisa mengatasi masalah di dalam pendidikan matematika di Indonesia. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Zulkardi (2002), yaitu pembelajaran matematika realistik dapat mengembangkan lingkungan belajar yang “kaya” untuk mahasiswa keguruan di Indonesia.

Senada dengan itu, Palinussa (2009), menunjukkan bahwa PMR untuk materi belah ketupat dan layang-layang-layang SMP di kota Ambon menujukkan bahwa pengembangan perangkat dianggap layak, PMR dianggap efektif dan hasil pembelajaran dengan PMR Lebih baik. Sugiman dan Kusumah (2010), mengemukakan bahwa dampak PMR menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMP. Dalam Penerapan PMR pada

(7)

siswa, guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pengajaran di kelas. Turmudi (2012), melakukan penelitian tentang persepsi guru terhadap inovasi pengajaran matematika SMP di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwaguru di Bandung, Indonesia memiliki orientasi yang positif terhadap inovasi pengajaran matematika yaitu PMR.

Pada proses pembelajaran dengan PMR, siswa menjadi fokus dari semua aktivitas dalam semua proses belajar dan mengajar di kelas. Hal ini menjadikan siswa tersebut aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Pengalaman belajar yang diperoleh siswa melalui kegiatan bertindak, mencari, dan menemukan sendiri menyebabkan materi itu sendiri tidak mudah dilupakan. Untuk itu, guru mengajar tidak hanya sekedar memberikan ilmu pengetahuan tetapi menciptakan situasi yang menggiring siswa untuk berani bertanya, berani mengemukakan pendapatnya sendiri dan dapat menerima pendapat dari temannya serta menemukan sendiri fakta atau konsep yang dipelajari. Dengan PMR, siswa mempelajari ide-ide dan konsep-konsep matematika melalui permasalahan konstektual yang berkaitan dengan lingkungan siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan Kurikulum 2006 (Depdiknas, 2006) yang menekankan penggunaan masalah yang

sesuai dengan situasi (contextual problem) dalam memulai kegiatan

pembelajaran matematika.

PMR yang mengedepankan situasi dunia nyata sangat erat kaitannya dengan proses berpikir siswa. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Sabandar (2009) bahwa, proses berpikir yang dibangun sejak awal dalam upaya menyelesaikan suatu

(8)

masalah hendaknya berlangsung secara sengaja dan sampai tuntas. Ketuntasan dalam hal ini dimaksudkan bahwa siswa yang menjalani proses tersebut benar-benar telah berlatih dan memberdayakan dan memfungsikan kemampuannya yang ada sehingga ia memahami serta menguasai apa yang dikerjakannya selama proses itu terjadi. Dengan demikian, siswa harus dilatih agar memiliki keterampilan berpikir matematis. Proses berpikir yang digali dalam PMR adalah berpikir kritis dan kreatif matematis kerena berpikir ini sangat penting untuk mengukur kemampuan siswa disamping penilaian lewat tes yang selama ini dilakukan. Hal ini sejalan dengan tiga prinsip dan lima karakter RME yang dikemukakakn oleh Gravemeijer (1994), sehingga RME dipandang sangat tepat dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis.

Kurikulum 2006 mengamanatkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan haruslah mengedepankan karakter budaya lokal. Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dangan bijak dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Megawangi: 2004). Kenyataan di lapangan berdasarkan survei awal di sekolah menunjukkan bahwa kondisi siswa dalam belajar di kelas bersifat klasikal artinya siswa hanya penerima informasi dari guru. Hal ini menyebabkan peneliti memandang penting penerapan nilai-nilai karakter dalam pembelajaran. Nilai-nilai karakter yang berkembang dalam pendidikan tercermin dalam pembelajaran agama, Pancasila, budaya serta dalam Tujuan Pendidikan Nasional (Hasan dkk, 2010).

(9)

Nilai-nilai karakter dimaksud sangat beperan penting dalam pembelajaran matematika karena dapat membentuk sikap dan perilaku yang baik dalam mengikuti pembelajaran khususnya pembelajaran matematika, sehigga diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Di samping itu, pendekatan pembelajaran dengan PMR yang mengedepankan situasi dunia nyata. Hal ini senada dengan pandangan Freudental yang mengemukakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realitas dan matematika merupakan aktivitas manusia (Gravemeijer,1994). Artinya, pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk mengaktifkan siswa haruslah berdasarkan budaya yang menjadi dasar dari aktivitas kehidupan yang dilakukan siswa sehari-hari, sehingga mudah dipahami oleh siswa karena siswa bersentuhan langsung dengan situasi yang terjadi. Budaya pela dan gandong menunjukkan hubungan kekerabatan antara negeri salam dan sarani yang memiliki hubungan persaudaraan yang erat dan saling membantu menyelesaikan masalah dalam masyarakat secara bersama. Misalnya, dalam membangun rumah ibadah (mesjid dan gereja) dan budaya cuci negeri yang mengedepankan nilai-nilai kerja sama dalam kelompok yaitu budaya masohi dan budaya badati. Budaya masohi adalah budaya kerja sama saling membantu dalam menyelesaikan suatu pekerjaan seperti membangun rumah/rumah adat. Sedangkan, budaya badati adalah saling membantu atau menyumbang dalam suatu acara tertentu sehingga beban dipikul secara bersama.

Aspek budaya yang dipaparkan menunjukkan adanya hubungan kerja sama yang sangat erat baik individu atau kelompok yang dilakukan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan ini sangat khas terjadi di Maluku sebab mencerminkan

(10)

kerukunan umat beragama. Aspek ini sangat mengena dengan prinsip dan karakter RME yang mengedepankan kontribusi siswa dan interaktivitas.

Leung (2009) menambahkan bahwa Indonesia dengan keragaman budaya, perlu juga menerapkan etnopedagogik dalam sistem pembelajaran dan budaya pengajaran. "Seharusnya negara dengan budaya khas lebih unggul, karena bisa belajar matematika dalam dua perspektif budaya berbeda dan budaya sendiri.” Berdasarkan pendapat di atas, maka pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan pendekatan budaya, khususnya budaya Maluku yaitu budaya kerja sama dalam budaya pela gandong, masohi, badati dan cuci negeri.

Pemilihan pokok bahasan dilatarbelakangi oleh kaitan pokok bahasan tersebut dengan masalah sehari-hari yang mungkin dialami siswa. Materi geometri dianggap tepat karena materi ini berbicara tentang bangun datar dan siswa dapat mengkonstruksi bangun tersebut lewat benda yang ada di sekitarnya dan yang berkaitan dengan karakter dan budaya yang berkembang di Maluku dan berkaitan dengan dunia nyata sehingga siswa bersentuhan langsung dalam kehidupan hari. Nyata yang dimaksudkan bukan hanya nyata dalam kehidupan sehari-hari semata akan tetapi nyata dalam pikiran siswa, oleh sebab itu kemampuan awal matematika siswa (KAM) sangat berperan penting dalam keberhasilan belajar sebab itu guru harus mempersiapkan siswa dengan pengetahuan prasyarat sebelum nantinya masuk pada materi yang akan diteliti.

(11)

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis siswa yang belajar matematika dengan pendekatan PMR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi masalah dalam pembelajaran matematika dengan pembelajaran matematika realistik (PMR), secara rinci rumusannya adalah sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang menggunakan PMR

lebih baik dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa?

(b) Kemampuan awal siswa?

2. Apakah kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang menggunakan PMR

lebih baik dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa?

(b) Kemampuan awal siswa?

3. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

pembelajarannya menggunakan PMR lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan PMB ditinjau dari:

(a) Keseluruhan siswa? (b) Kemampuan awal siswa?

4. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang

(12)

siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa?

(b) Kemampuan awal siswa?

5. Apakah ada interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal siswa terhadap:

(a) Pencapaian kemampuan beripikir kritis matematis siswa? (b) Pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa? (c) Sikap siswa

6. Apakah terdapat perbedaan karakter siswa yang menggunakan PMR

dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa?

(b) Kemampuan awal matematika siswa?

7. Apakah terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkaji pencapaian kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang

menggunakan PMR lebih baik jika dibandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa.

(b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

(13)

menggunakan PMR lebih baik jika bandingkan dengan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa.

(b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

3. Mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis antara siswa yang

pembelajarannya menggunakan PMR lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan PMB ditinjau dari:

(a) Keseluruhan siswa

(b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

4. Mengkaji peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis antara siswa

yang pembelajarannya menggunakan PMR dengan siswa yang

pembelajarannya menggunakan PMB ditinjau dari: (a) Keseluruhan siswa

(b) Kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

5. Mengkaji eksistensi interaksi antara faktor pembelajaran dan kemampuan awal

siswa terhadap:

(a) Pencapaian kemampuan berpikir kritis matematis siswa. (b) Pencapaian kemampuan berpikir kreatif matematis siswa (c) Sikap siswa.

6. Mengkaji karakter siswa yang menggunakan PMR dibandingkan dengan PMB

ditinjau dari:

(a) Keseluruhan siswa

(14)

7. Mengkaji eksistensi asosiasi antara kemampuan berpikir kritis matematis dan kemampuan berpikir kreatif matematis.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat: 1. Bagi siswa sebagai pengalaman belajar khususnya siswa yang belajar dengan

menggunakan PMR pada materi geometri.

2. Bagi guru, dijadikan sebagai suatu alternatif pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematis, pembinaan budaya dan karekter siswa.

3. Bagi peneliti, menjadi masukkan yang baik guna pengembangan diri dan perubahan pola pembelajaran.

4. Bagi peneliti lain, sebagai referensi untuk melakukan penelitian RME berbasis budaya dalam kaitan dengan berpikir kritis dan kreatif matematis, karakter siswa

5. Bagi pemerintah, sebagai masukan untuk Kementrian Pedidikan dan

Kebudayaan dalam merevisi Kurikulum Pendidikan Matematika 2013 lebih menekankan pada aspek karakter dan budaya terutama budaya kehidupan keseharian siswa atau budaya lokal.

E. Definisi Operasional

1. Pembelajaran Matematika Realistik

Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang mengedepankan konteks dunia nyata dan

(15)

berpedoman pada tiga prinsip dan lima karakteristik dari PMR.

2. Berpikir Kritis Matematis

Berpikir kritis matematis adalah proses kritis meliputi mengidentifikasi, menghubungkan , menganalisis dan memecahkan masalah.

3. Berpikir Kreatif Matematis

Berpikir kreatif matematis adalah proses kreatif yang meliputi kelancaran, keaslian, kelenturan dan elaborasi.

4. Karakter siswa adalah pendapat siswa meliputi sikap religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, sikap cinta damai, bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli sosial, peduli lingkungan dan tanggung jawab.

5. Budaya Maluku

Budaya Maluku adalah budaya kehidupan orang bersaudara yang saling membantu satu sama lain dalam menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa memandang suku, agama, ras dan adat istiadat.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 11 menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan yang diberikan menghasilkan kadar glukosa darah yang tidak berbeda nyata dengan tikus normal pada hari

Pendapat lain mengenai konseling dikemukakan oleh Jones (dalam Prayitno & Erman Amti 2008: 100) konseling merupakan kegiatan di mana semua fakta dikumpulkan

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi fraktur akar gigi anterior berdasarkan umur dan jenis kelamin yang dicabut di Departemen Bedah Mulut

Kegiatan Sasaran Target Vol Kegiatan Rincian Pelaksa naan Lokasi Pelaksa naan Tenaga Pelaksa na Jadwal Biaya I 1 a. ADMEN Manajemen: Sumber Daya Operasional Mutu UKM Promkes

SISTEM INFORMASI DALAM PERENCANAAN..

tersedia di Kantor Perpustakaan, Kearsipan dan Dokumenstasi Kabupaten Nias Utara memadai dan kurang dengan kebutuhan pengguna serta jumlah buku yang dapat dipinjam juga

[r]