ANALISIS PERSEPSI DAN PARTISIPASI MASYARAKAT
PESISIR DALAM PEMANFAATAN TUMBUHAN MANGROVE
SEBAGAI PANGAN ALTERNATIF UNTUK MENGHADAPI
KETAHANAN PANGAN
Eka Fitriah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Website: www.syekhnurjati.ac.id E-mail : [email protected]
Abstrak
Salah satu potensi sumber daya alam yang terdapat di lingkungan perairan pantai adalah tumbuhan mangrove. Masyarakat umum belum begitu mengetahui akan potensi hutan mangrove terutama sebagai penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Masyarakat Desa Ambulu kecamatan Losari Kabupaten Cirebon selama ini belum optimal memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan alternatif. Tujuan Penelitian ini mengetahui persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir Desa Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon dalam memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan, mengetahui kandungan gizi dari tumbuhan mangrove sabagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan, mengetahui fokus pemberdayaan yang diharapkan oleh masyarakat pesisir Desa Ambulu dalam memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif. Penelitiaan merupakan studi kasus dengan desain studi lapangan (Field research). Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meliputi teknik interview/ wawancara, teknik dokumentasi, serta teknik observasi. teknik analisis deskriptif yang terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu; reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan/verifikasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di desa Ambulu, pada umumnya menganggap bahwa hutan mangrove mempunyai banyak manfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Keberadaan tumbuhan mangrove di desa ambulu dapat berperan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai, tempat berkembang biak ikan, udang dan kepiting (Nursery ground), selain itu dapat dimanfaatkan juga untuk kayu bakar, bahan bangunan dan tumbuhan seperti bakau dan avicennia dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan. Masyarakat desa ambulu yang memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan sekitar 5%. Partisipasi masyarakat desa Ambulu dalam pengelolaan kawasan mangrove cukup baik, terdapat kelompok pengawas mangrove (Pokwasma) yang sudah terlatih. Masyarakat dan pokwasma berperan serta aktif dalam menanam, merawat, menjaga kelestarian hutan mangrove di desa Ambulu. Kandungan gizi tumbuhan mangrove antara lain mengandung karbohidrat yang tinggi, lemak, protein dan kadar air sehingga dapat dijadikan pangan alternatif. Diperlukan suatu pemberdayaan berbasis masyarakat melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan keterampilan dan pendampingan kepada masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pemberdayaan untuk menjaga, memelihara dan melestarikan tumbuhan mangrove.
Kata Kunci : Tumbuhan Mangrove, Pangan Alternatif, Ketahanan pangan
LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki dan pemenuhan kebutuhan pangan harus dilaksanakan secara adil dan merata berdasarkan
kemandirian dan tidak bertentangan
dengan keyakinan masyarakat seperti yang diamanatkan oleh UU No. 7 tahun 1996
tentang Pangan. Upaya pemenuhan
kebutuhan pangan harus terus dilakukan mengingat peran pangan sangat strategis,
yaitu terkait dengan pengembangan
kualitas sumber daya manusia, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga ketersediaanya harus dalam jumlah yang cukup, bergizi, seimbang, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Saat ini jumlah penduduk Indonesia telah mencapai lebih dari 250 juta jiwa dengan laju 1.8 % per tahun yang mengakibatkan kebutuhan pangan terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan bagi penduduk di seluruh wilayah pada setiap saat sesuai dengan pola makan dan keinginan bukanlah pekerjaan yang mudah
karena pada saat ini fakta menunjukkan bahwa pangan pokok penduduk Indonesia bertumpu pada satu sumber karbohidrat yang dapat melemahkan ketahanan pangan
dan menghadapi kesulitan dalam
pengadaannya. Masalah pangan dalam negeri tidak lepas dari beras dan terigu yang ternyata terigu lebih adoptif daripada pangan domestik seperti gaplek, beras jagung, sagu atau ubijalar, meskipun di
beberapa daerah penduduk masih
mengkonsumsi pangan tradisional tersebut (Widowati, 2003). Potensi sumber daya wilayah dan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memberikan sumber pangan yang beragam, baik bahan pangan sumber karbohidrat, protein maupun lemak sehingga strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya wilayah dan sumber pangan spesifik.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan perairan terluas. Hingga kini negara kita memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Dengan garis pantai sepanjang itu, maka
dapat digambarkan bahwa penduduk
Indonesia yang bermukim di daerah pesisir saat ini diperkirakan mencapai 140 juta jiwa atau sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal dan bermukim di daerah pesisir, bahkan di pesisir pantai utara Jawa,
ada sekitar 600.000 nelayan yang
menggantungkan hidupnya dari hasil laut di sekitar tempat tinggalnya. Sudah menjadi hal yang umum jika masyarakat di perkampungan nelayan dikenal sebagai masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah dan hidup dibawah garis kemiskinan. Sebagian masyarakat nelayan menggantungkan hidupnya dari hasil laut padahal ada satu potensi di sekitar mereka yang bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan mereka dalam hal pangan. Potensi tersebut adalah hutan mangrove yang lebih dikenal sebagai hutan bakau.
Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang terletak di tepi Pantai Utara Jawa
yang memiliki keragaman ekosistem
seperti ekosistem estuaria, ekosistem
padang lamun, dan ekosistem mangrove. Desa Ambulu merupakan salah satu desa pesisir di Kecamatan Losari Kabupaten
Cirebon yang memiliki potensi
sumberdaya hutan mangrove yang cukup
luas dengan keanekaragaman jenis
tumbuhan mangrove yang beragam
(Dislakan, 2011). Mata pencaharian
penduduknya adalah nelayan, petani garam
dan pengelola tambak dengan
kesejahteraan keluarga kategori keluarga Pra sejahtera dan keluarga sejahtera I (BPS Kab. Cirebon, 2011).
Masyarakat umum belum begitu mengetahui akan potensi hutan mangrove sebagai penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat. Namun bagi masyarakat yang tinggal dan berinteraksi dengan hutan mangrove dalam kehidupan sehari-hari, sudah paham akan manfaat mangrove
sebagai sumber cadangan pangan.
Pengelolaan dan pengembangan kawasan pesisir khususnya pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga sangat tergantung kepada persepsi dan partisipasi masyarakat, sebab masyarakat sekitar merupakan pengguna sumber daya yang secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan tersebut. Masyarakat harus merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian sumber daya secara berkelanjutan, maka untuk mencapai tujuan ini diperlukan dukungan kualitas sumber daya manusia, kapasitas kelembagaan sosial ekonomi dan budaya yang optimal dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat pesisir secara tradisional sudah sejak dulu telah memanfaatkan
mangrove sebagai pengganti nasi.
Masyarakat meyakini bahwa buah
tumbuhan mangrove bisa dimakan dan tidak beracun karena secara logika buah ini sering dimakan oleh satwa yang hidup didalamnya misalnya kera, burung dan ular pohon. Sebagai contoh, masyarakat di
pesisir muara angke Jakarta dan
Balikpapan sudah biasa memanfaatkan buah mangrove sebagai pengganti nasi.
Caranya dengan merebus buah mangrove sampai empuk kemudian dimakan dengan parutan kelapa. Untuk menghilangkan rasa pahit, buah mangrove tersebut ditaburi dengan nira dari pohon kelapa atau nipah yang banyak terdapat di sekitar pantai.
Bahkan masyarakat disana telah
menganggap buah mangrove yang lebih dikenal dengan sebutan buah aibon yang artinya buah kayu sebagai komoditi
agrobisnis andalan masa mendatang
sehingga perlu dukungan kajian ilmiah untuk mendukung pengembangannya.
Adanya penemuan pemanfaatan
buah-buah mangrove menjadi aneka
makanan dan minuman adalah hal yang
sangat menggembirakan dan dapat
dijadikan sebagai alternatif bagi
masyarakat dalam menghadapi krisis pangan. Dengan sedikit kreasi dan inovasi, buah dari tumbuhan mangrove yang
dulunya dikatakan sampah dan tak
memiliki nilai ekonomis, kini dipandang sebagai tumbuhan yang memiliki nilai jual karena dapat diolah menjadi keripik, selai, dodol, syrup dan ditepungkan untuk dibuat aneka kue. Dengan adanya usaha-usaha seperti ini diharapkan masyarakat lebih tergerak untuk turut menjaga hutan
mangrove dari kerusakan sehingga
ekosistem mangrove bisa berfungsi
sebagaimana mestinya.
Masyarakat Desa Ambulu selama ini belum optimal memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan alternatif. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang analisis persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir dalam memanfaatkan tumbuhan mangrove
sebagai pangan alternatif untuk
menghadapi ketahanan pangan sebagai studi kasus untuk menentukan arah dan fokus pemberdayaan masyarakat pesisir Desa Ambulu.
A. Perumusan masalah
Persepsi merupakan keadaan
integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif
berpengaruh dalam proses persepsi.
Persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir terhadap fungsi dan manfaat tumbuhan mangrove berpengaruh terhadap pola pemanfaatan tumbuhan mangrove terlebih memanfaatkannya sebagai salah satu pangan alternatif. Persepsi yang rendah
karena faktor kurangnya pendidikan
berpengaruh terhadap partisipasi mereka dalam memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif dengan dibuat beraneka macam produk makanan yang bernilai ekonomis. Masyarakat pesisir masih kurang mendapatkan pengetahuan dan pelatihan sehingga mereka kurang berdaya dalam memanfaatkan sumber daya alam dari kawasan mangrove.
Berdasarkan uraian masalah diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi dan partisipasi
masyarakat pesisir desa Ambulu
Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon
dalam pemanfaatan tumbuhan
mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan ?
2. Bagaimanakah kandungan gizi
tumbuhan mangrove sehingga dapat
dijadikan pangan alternatif untuk
menghadapi ketahanan pangan ?
3. Bagaimana fokus pemberdayaan yang diharapkan oleh masyarakat pesisir desa Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten
Cirebon dalam memanfaatkan
tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan ?
B. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. mengetahui persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir Desa Ambulu
Kecamatan Losari Kabupaten
Cirebon dalam memanfaatkan
Tumbuhan Mangrove sebagai
pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan.
2. mengetahui kandungan gizi dari
pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan
3. mengetahui fokus pemberdayaan
yang diharapkan oleh masyarakat
pesisir Desa Ambulu dalam
memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan C. Urgensi penelitian
Urgensi penelitian ini, adalah : 1. Bagi masyarakat
- memberikan gambaran persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir terhadap
pemanfaatan tumbuhan mangrove
sebagai pangan alternatif dalam
menghadapi ketahanan pangan
- memberikan pemahaman kepada
masyarakat tentang pemanfaatan
mangrove sebagai pangan alternatif - memberikan gambaran tentang fokus
pemberdayaan yang diharapkan oleh
masyarakat berkaitan dengan
pemanfaatan mangrove sebagai pangan alternatif dalam menghadapi ketahanan pangan
2. Bagi peneliti
- Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi peneliti tentang persepsi
dan partisipasi masyarakat dalam
memanfaatkan mangrove sebagai
pangan alternatif
- Untuk pengembangan ilmu peneliti yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat di kawasan mangrove
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian Mamoribo (2003), pada masyarakat kampung Rayori, Kabupaten
Biak memberikan informasi bahwa
masyarakat telah memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis
Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue. Penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai atau sekitar hutan mangrove secara tradisional pun ternyata telah mengkonsumsi beberapa jenis buah
mangrove sebagai sayuran, seperti
Rhizopora mucronata, Acrosticum aerum
(kerakas) dan Sesbania grandiflora (turi).
Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut
Lindur dikonsumsi dengan cara
mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba
(pedada) diolah menjadi sirup dan permen. Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu.
Primyatanto (2010), meneliti tentang perlaku perusakan lingkungan masyarakat pesisir dalam perspektif Islam menyatakan
bahwa faktor timbulnya perusakan
lingkungan wilayah pesisir di akibatkan salah satunya karena tingkat pendidikan yang rendah dan kurangnya pengetahuan
penduduk terutama nelayan tentang
pentingnya menjaga lingkungan wilayah pesisir. Pemahaman Agama yang kurang juga mempengaruhi sifat dari masyarakat yang lebih memilih merusak lingkungan
wilayah pesisir daripada menjaga,
walaupun adanya kegiatan keagamaan hanya terfokus pada hubungan antara tuhan dan manusia bukan terhadap tuhan, manusia dan kepada lingkungan sekitar.
Penelitian Maryuningsih (2013),
tentang persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir pada pengolahan dan pemanfaatan hasil laut untuk kesejahteraan keluarga di Desa Karangreja Kecamatan Suranenggala
Kabupaten Cirebon. Hasil penelitian
menunjukkan Persepsi dan partisipasi nelayan dan pembudidaya ikan di Desa Karangreja dalam memanfaatkan dan mengolah hasil laut dipengaruhi beberapa faktor, yaitu strata sosial, pendidikan, latar belakang keluarga, tingkat perekonomian, pengetahuan terhadap hukum, pengetahuan terhadap agama, dan kearifan lokal. Kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan bukan berasal dari bagaimana mereka memanfaatkan dan mengolah hasil laut tetapi dari mengirimkan istri/anak ke luar
negeri menjadi TKW sehingga dibutuhkan pemberdayaan berbasis masyarakat dimana pemberdayaan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Diperlukan dukungan
menyeluruh dalam usaha meningkatkan
kesejahteraan keluarga, baik dari
pemerintah daerah, pihak pemerintah desa, perbankan dan masyarakat desa Karangreja itu sendiri.
KAJIAN TEORI
1. Mangrove dan pengelolaannya
Secara umum hutan mangrove
didefinisikan sebagai tipe hutan yang
tumbuh pada daerah pasang surut
(terutama pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana, et al., 2003). Hutan mangrove merupakan eksosistem utama pendukung kehidupan masyarakat pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia makanan bagi biota laut, penahan abrasi pantai, penahan gelombang pasang dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, hutan mangrove juga bisa berfungsi untuk menyediakan kebutuhan pangan penduduk di sekitarnya.
Bengen (2000) menyatakan hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi
pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daerah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) dipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri
atas api-api (Avicenia sp), pedada
(Sonneratia), bakau (Rhizophora sp),
lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain.
Luas ekosistem mangrove di
Indonesia mencapai 75% dari total
mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia.
Keunikan yang dimiliki ekosistem
mangrove di Indonesia adalah memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia. Semakin menurunnya jumlah luasan hutan mangrove dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup tinggi. Masyarakat pesisir sebagai masyarakat
yang berinteraksi langsung dengan
ekosistem mangrove sangat dirugikan dengan semakin menurunya kawasan hutan
mangrove. Oleh karena itu sudah
seharusnya masyarakat pesisir ikut
dilibatkan dalam usaha rehabilitasi
kawasan mangrove karena mereka adalah masyarakat yang paling dekat dan setiap saat berinteraksi dengan hutan mangrove (Dahuri, 2003).
Potensi sumber daya pesisir dan laut jika dimanfaatkan secara optimal dapat
mensejahterakan masyarakat, terutama
masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir,
terutama nelayan tradisional, pada
kenyataannya termasuk pada masyarakat miskin dan tertinggal diantara kelompok masyarakat lainnya. Kondisi ini tercermin dari masih banyaknya kemiskinan yang dijumpai pada masyarakat nelayan dan kualitas sumberdaya manusia yang masih rendah (Dahuri, 2003).
Syukur, dkk (2007), menyatakan
bahwa pengelolaan mangrove didasarkan atas tiga tahapan yaitu : isu ekologi dan
sosial ekonomi, kelembagaan dan
perangkat hukum serta strategi
pelaksanaan rencana. Isu ekologi meliputi
tampak ekologis intervensi manusia
terhadap ekosistem mangrove. Berbagai
dampak kegiatan manusa terhadap
ekosistem mangrove harus diidentifikasi baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dikemudia hari. Dalam hal ini, pengelolaan hutan mangrove terdapat 3 (tiga) komponen yang saling berkaitan yaitu : (1) Potensi sumberdaya hutan mangrove. (2) Masyarakat disekitar hutan
mangrove (petani tambak) dan (3)
tersebut merupakan komponen yang
dinamis. Sehingga dalam kebijakan
pengelolaan mangrove melalui pelibatan
masyarakat lebih proaktif kearah
pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi.
Keberhasilan pengelolaan mangrove
dapat dioptimalkan melalui strategi
pengelolaan hutan mangrove berbasis
masyarakat yang mengandung arti
keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam. Mengelola disini mengandung arti, masyarakat ikut memikirkan, merencanakan, memonitor dan mengevaluasi sumberdaya ekosistem hutan mangrove dan manfaat sumberdaya tersebut secara berkelanjutan dengan
memperhatikan kelestarian ekosistem
tersebut (Bengen, 2002).
2. Pemanfaatan mangrove sebagai bahan pangan
Salah satu contoh pemanfaatan non
kayu adalah pengolahan buah mangrove menjadi bahan makanan. Contoh makanan dari mangrove adalah :
a. Buah pedada (Soneratia Spp.) dapat dibuat syrup, selai, dodol, permen dan lain-lain.
b. Buah api-api (Avicenia Spp.) dapat dibuat keripik, bahan tepung pembuatan kue basah dan lain-lain.
c. Nipah (Nypa fruticans) sebagai bahan bahan baku minuman (es buah) dan
buahnya bisa langsung dimakan
(Kusmana, 2003).
Beberapa jenis buah mangrove yang
bisa diolah menjadi bahan pangan
diantaranya adalah mangrove jenis
Avicennia alba dan Avicennia marina atau yang lebih dikenal masyarakat dengan naman api-api lebih cocok untuk dibuat keripik karena ukurannya kecil seperti kacang kapri dan rasanya gurih serta renyah seperti emping melinjo. Sonneratia sp dapat dibuat tepung dan dapat diolah menjadi beraneka ragam kue, seperti kelepon, bolu, kue kering, dodol, sirup dan makanan lezat lainnya. Adapun Rhizopora mucronata atau biasa disebut bakau
perempuan yang tingggi buahnya sekitar 70 sentimeter serta Rhizopora apiculata
(bakau laki) yang tingginya sekitar 40 sentimeter, lebih cocok dibuat sayur asam karena rasanya segar. Sonneratia alba
yang biasa disebut pedada yang buahnya seperti granat nanas, lebih cocok untuk dibuat permen karena rasanya asam. Nypa frutican lebih cocok untuk dibuat kolak.
Buah Aibon (Bruguiera sp)
merupakan komoditi alternatif pengganti beras dan ubi yang akan digunakan jika
sewaktu-waktu terjadi gagal panen.
Komposisi buah aibon (mangrove) jika dibandingkan dengan singkong, ubi jalar, beras dan sagu, maka komposisi buah
aibon lebih menyerupai singkong,
kandungan karbohidratnya hampir sama, yaitu 92 %. Buah aibon memiliki prospek sangat baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan alternatif pengganti beras, terutama bagi masyarakat di sekitar pesisir pantai, juga sebagai penyedia karbohidrat maupun sebagai bahan baku industri. Satu
kendala yang dihadapi adalah jika
dibandingkan dengan komoditi lain
misalnya beras atau ubi, pengolahan buah mangrove cukup rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Akibatnya masyarakat sudah jarang yang memanfaatkan untuk makanan (Sudarmadji, 2001).
3. Persepsi dan Partisipasi masyarakat Pengertian persepsi dari kamus psikologi adalah berasal dari bahasa Inggris, perception yang artinya : persepsi, penglihatan, tanggapan; adalah proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui
indera-indera yang dimilikinya; atau
pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera.
Persepsiadalah proses yang
menyangkut masuknya pesan atau
informasi kedalam otak manusia. Persepsi
merupakan keadaan integrated dari
individu terhadap stimulus yang
diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif
berpengaruh dalam proses persepsi. Persepsi dan partisipasi masyarakat di
sekitar hutan mangrove mempunyai
peranan yang tidak kalah pentingnya bagi kelestarian hutan mangrove.
Partisipasi dapat secara individual maupun kelompok masyarakat. Partisipasi didefinisikan sebagai kerjasama antara
rakyat dengan pemerintah dalam
merencanakan, melaksanakan,
melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan (Soetrisno, 1995). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UU No. 23/1997) Pasal 6 ayat (1) : setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa hak dan kewajiban setiap orang
sebagai anggota masyarakat untuk
berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik terhadap
perencanaan maupun tahap-tahap
perencanaan dan penilaian.
Partisipasi adalah proses yang
muncul dari masyarakat serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata
apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya yaitu: (1) adanya kemauan, (2) adanya kemampuan, dan (3) adanya kesempatan untuk berpartisipasi. Menurut Wazir et all. (1999) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi,
perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan
tanggungjawab bersama.
Nasdian (2004) memaknai partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat
menegaskan kontrol secara efektif.
Partisipasi tersebut dapat dikategorikan:
Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol
oleh orang lain. Kedua, partisipasi
merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. 4. Ketahanan Pangan
Menurut Maxwell , et all (1992), ketahanan pangan didefinisikan sebagai akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat
(secure access at all times to sufficient food for a healthy life). Menurut
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996,
ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sub sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu ketersediaan, akses, dan penyerapan pangan, sedangkan status gizi merupakan outcome dari ketahanan pangan.
PP No. 68/2002 tentang ketahanan
pangan dijelaskan bahwa untuk
mewujudkan penyediaan pangan
pemerintah harus: (a) mengembangkan sistem produksi pangan yang berumpu pada sumber daya, kelembagaan dan
budaya lokal; (b) mengembangkan
efisiensi sistem usaha pangan; (c)
mengembangkan teknologi produksi
pangan ; (d) mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan, serta ; (e) mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif.
5. Kondisi Objektif Desa Ambulu
Berdasarkan letak geografis
Kabupaten Cirebon berada pada posisi 6030’-7000’ Lintang Selatan dan 1080
40-108048’ Bujur Timur. Bagian Utara
merupakan dataran rendah dan bagian barat daya merupakan dataran tinggi, yaitu kerang gunung Ciremai. Wilayah Pesisir pantai Kabupaten Cirebon sepanjang 54 km. Desa Ambulu merupakan salah satu
desa pesisir di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon yang memiliki luas wilayah 1210,52 Ha dengan jumlah penduduk 7848 yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3912 dan perempuan sebanyak 3936. Jumlah KK sebanyak 2670. Mata pencaharian penduduk desa Ambulu terdiri dari nelayan, petambak bandeng dan garam, petani bawang merah, buruh,
peternak unggas, pemilik usaha
pengupasan rajungan dan TKI. Sepanjang 8 km garis pantai losari merupakan kawasan hutan mangrove dan 828 hektar lahan dibangun tambak bandeng dan tambak garam. Desa Ambulu memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove yang
cukup luas dengan jenis tumbuhan
mangrove yang beragam. Jenis tumbuhan mangrove yang banyak dijumpai di desa
Ambulu antara lain jenis Rhizophora
mucronata (bakau), Avicenia marina dan
Avicenia alba (api-api), Bruguiera sp
(buah lindur), Seisbania glandiflora (Turi). Kawasan mangrove yang terdapat di Desa
Ambulu dijadikan sebagai kawasan
konservasi mangrove di wilayah kabupaten Cirebon.
METODE PENELITIAN
1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian di Desa Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon. Waktu penelitian pada bulan Juni - September 2014.
2. Jenis Penelitian
Penelitiaan merupakan studi kasus dengan desain studi lapangan (Field research). Pendekatan penelitian deskriptif
kualitatif yang menggambarkan apa
adanya tentang variabel, gejala, dan keadaan persepsi, partisipasi masyarakat pesisir Desa Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon dalam memanfaatkan
tumbuhan mangrove sebagai pangan
alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan. Hasil analisis data dinyatakan
dalam deksripsi fenomena bukan
diperhitungkan angka statistik. Jenis
penelitian ini merupakan cara yang tepat untuk mengungkapkan dan memaknai persepsi, partisipasi masyarakat pesisir
Desa Ambulu Kecamatan Losari
Kabupaten Cirebon dalam memanfaatkan
tumbuhan mangrove sebagai pangan
alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan.
3. Subjek dan Objek Penelitian Subjek Penelitian
Subjek penelitian dapat ditemukan dengan cara memilih Informan untuk
dijadikan “Key Informan” di dalam
pengambilan data di lapangan (Sukardi, 1995: 7-8). Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah (1) Nelayan, (2) Petani garam, (3) Pengelola tambak beserta Anggota keluarganya (4) Tokoh masyarakat (5) Aparat pemerintah Objek Penelitian
Adapun yang menjadi objek
penelitian dalam penelitian ini adalah
fenomena yang menjadi topik dari
penelitian ini yaitu tentang persepsi,
partisipasi masyarakat pesisir Desa
Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon dalam memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan sejumlah teknik pengumpulan data yang meliputi
teknik interview/ wawancara, teknik
dokumentasi, serta teknik observasi. 5. Keabsahan data
Untuk itu penelitian ini juga
diarahkan untuk dapat memenuhi kriteria sebagai berikut; 1) Kredibilitas; a) Triangulasi, b) Pembicaraan dengan kolega (peer debrieving). c) Pemanfaatan bahan referensi, d) Mengadakan member check. 2) Transferabilitas; a) Dependabilitas dan Konfirmabilitas, b) Merekam dan mencatat selengkap mungkin hasil wawancara, observasi, maupun studi dokumentasi sebagai data mentah untuk kepentingan selanjutnya. c) Menyusun hasil analisis dengan cara menyusun data mentah
kemudian merangkum atau menyusunnya kembali dalam bentuk deskripsi yang sistematis, d) Membuat lampiran atau kesimpulan sebagai hasil sintesis data dan e) Melaporkan seluruh proses penelitian sejak dari survei dan penyusunan desain hingga pengolahan data sebagaimana digambarkan dalam laporan penelitian. 6. Tehnik Analisis Data
Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif deskriptif, teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif yang terdiri dari tiga alur kegiatan, yaitu; reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan/verifikasi.
7. Prosedur Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini ada beberapa tahapan yang peneliti lakukan yang meliputi :
a. Tahap Orientasi
Tahap orientasi merupakan
penelitian awal untuk memperoleh
gambaran permasalahan yang lebih
lengkap untuk menetapkan fokus
penelitian. Sebelum pelaksanakan
penelitian di lapangan, peneliti terlebih
dahulu mempersiapkan persyaratan
administratif sebagai tahap awal untuk dapat memasuki lapangan penelitian, surat
pengantar penelitian dari kampus,
permohonan izin dari kepala desa Ambulu Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, informasi responden dan data pribadinya. b. Tahap Eksplorasi
Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan data yang berkenaan dengan fokus dan tujuan penelitian, setelah segala persyaratan perizinan terpenuhi. Setelah itu secara intensif peneliti mengumpulkan data dan informasi yang dilakukan melalui wawancara masyarakat pesisir beserta keluarganya. Wawancara dalam rangka untuk memperoleh data dan
informasi ini ditempuh melalui
kesepakatan antara peneliti dan responden dengan tujuan agar maksud kedalaman dari penelitian dapat tercapai dengan baik. Setiap hasil wawancara selanjutnya dibuat
deskripsi berdasarkan sub topik
pertanyaan. Hal ini dimungkinkan untuk
mempermudah proses analisis data
ditambah dengan dokumen pendukung pada waktu penelitian lapangan.
c. Tahap Member Check.
Tahap ini merupakan tahap akhir dalam pelaksanaan penelitian, yaitu untuk
memverifikasi dengan mengecek
keabsahan atau kebenaran data dan informasi yang telah terkumpul. Tujuan kegiatan ini dilaksanakan agar hasil penelitian ini lebih dapat dipercaya, dan pengecekan informasi atau data dilakukan setiap kali peneliti selesai wawancara, yaitu ditempuh dengan mengkonfirmasikan catatan-catatan hasil wawancara dengan
para responden setiap kali selesai
wawancara dilakukan. Untuk mendukung dan memantapkan lagi terhadap data dan informasi yang telah diperoleh maka
dilakukan pula observasi dan studi
dokumentasi serta “triangulasi” kepada responden maupun sumber data lain yang berkompeten. Oleh karena itu, waktu
pelaksanaan member check dilakukan
seiring dengan tahap eksplorasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden yang terdiri dari (1) Nelayan, (2) Petani garam, (3) Pengelola tambak beserta Anggota keluarganya (4) Tokoh masyarakat (5) Aparat pemerintah tentang
persepsi dan partisipasinya dalam
pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai
pangan alternatif, diketahui bahwa
tumbuhan mangrove sampai dengan saat ini masih lebih banyak dimanfaatkan oleh masyaraka sebagai penghasil kayu baik untuk kebutuhan bahan baku bangunan, memenuhi kebutuhan bahan baku arang, tiang pancang dan sebagainya. Selain itu lahan dari hutan mangrove saat ini telah banyak dikonversi baik untuk kebutuhan lahan budidaya (tambak) maupun untuk perumahan, peternakan maupun industri. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya pemahaman dari masyarakat maupun pihak
pengembang dan pemegang kebijakan tentang fungsi lain dari hutan mangrove.
Salah satu fungsi hutan mangrove yang masih sangat sedikit sekali diketahui oleh masyarakat umum adalah sumberdaya tanaman mangrove sebagai salah satu bahan baku makanan alternative. Informasi tentang pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai bahan baku makanan jarang sekali dipublikasikan. Masyarakat desa Ambulu pada tahun 2012 telah mendapatkan sosialisasi dari Dinas perikanan dan kelautan (Diskanla) kabupaten Cirebon tentang pemanfaatan mangrove sebagai
pangan alternatif akan tetapi tidak
dilanjutkan dengan kegiatan pelatihan dan pendampingan, sehingga baru sebatas pengetahuan saja belum diaplikasikan
dalam kehidupan keseharian untuk
memanfaatkan tumbuhan mangrove
tesebut sebagai bahan pangan. Hanya beberapa orang saja yang pernah mencoba mengolah tumbuhan mangrove untuk bahan pangan dengan cara merebusnya dan dicampur kelapa dan mencoba membuat keripik tetapi karena keterampilan yang
dimiliki untuk mengolah tumbuhan
mangrove ini masih sangat minim, maka masyarakat tidak melanjutkan kegiatan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan dan menginformasikan
adanya manfaat tumbuhan mangrove di bidang pangan dan mengkaji bagaimana cara pengolahan tumbuhan mangrove agar menjadi bahan pangan alternatif yang siap dikonsumsi serta cara pembudidayaan. Tumbuhan mangrove mempunyai zat karbohidrat yang tinggi sehingga dapat diolah menjadi tepung, sirup, dan dodol sebagai sumber pangan alternatif. Selain
itu ada jenis bakau yang dapat
mengekskresikan garam, yaitu jenis
Avicennia marina. Manfaat yang didapat ialah masyarakat lebih mengenal dan dapat mengoptimalkan fungsi tumbuhan bakau, adanya sumber pangan alternatif, serta
meningkatkan kesejahteraan ekonomi
masyarakat sekitar. Selanjutnya,
diharapkan penelitian ini diterapkan untuk
kawasan desa Ambulu dalam pemanfaatan tumbuhan bakau sebagai bahan pangan, dan diproduksi secara mandiri agar lebih dikenal dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Pengelolaan dan pengembangan
kawasan pesisir khususnya pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga sangat tergantung
kepada persepsi dan partisipasi
masyarakat, sebab masyarakat sekitar merupakan pengguna sumber daya yang secara langsung berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan
tersebut. Masyarakat harus merasa
memiliki dan bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian sumber daya secara
berkelanjutan, maka untuk mencapai
tujuan ini diperlukan dukungan kualitas
sumber daya manusia, kapasitas
kelembagaan sosial ekonomi dan budaya yang optimal dalam kehidupan masyarakat.
Persepsi masyarakat terhadap
tumbuhan mangrove di kawasan desa
Ambulu, pada umumnya masyarakat
menganggap bahwa hutan mangrove
mempunyai banyak manfaat bagi
lingkungan dan masyarakat. Keberadaan tumbuhan mangrove di desa ambulu dapat berperan untuk mencegah terjadinya abrasi pantai, tempat berkembang biak ikan, udang dan kepiting (Nursery ground), tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan juga untuk kayu bakar, bahan bangunan dan tumbuhan seperti bakau dan avicennia
dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan.
Masyarakat desa ambulu yang
memanfaatkan tumbuhan mangrove
sebagai bahan pangan belum banyak
sekitar 5% sedangkan mayoritas
masyarakat belum mengetahui bahwa buah mangrove dapat diolah menjadi bahan pangan dan tidak beracun.
Masyarakat mempunyai pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam menempatkan penghormatan manusia terhadap alam, dan itu merupakan nilai
positif untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Masyarakat desa ambulu menempatkan lingkungan sebagai bagian
dari mereka yang tidak terpisahkan.
Adanya budaya nadran sebagai
penghormatan terhadap lingkungan laut, dan sebagai penghormatan terhadap tanah leluhur, menjadikan mereka menjaga ekosistem mangrove.
Pengelolaan mangrove didasarkan atas tiga tahapan yaitu : isu ekologi dan
sosial ekonomi, kelembagaan dan
perangkat hukum serta strategi
pelaksanaan rencana. Isu ekologi meliputi
tampak ekologis intervensi manusia
terhadap ekosistem mangrove. Berbagai
dampak kegiatan manusia terhadap
ekosistem mangrove harus diidentifikasi baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi dikemudian hari, sehingga dalam kebijakan pengelolaan mangrove melalui pelibatan masyarakat lebih proaktif kearah pemberdayaan masyarakat dalam bentuk partisipasi
Partisipasi masyarakat desa Ambulu dalam pengelolaan kawasan mangrove cukup baik, dimana terdapat kelompok pengawas mangrove (Pokwasma) yang sudah terlatih. Pokwasma ini pengurusnya terdiri dari 10 orang yang berperan serta aktif dalam menanam, merawat, menjaga kelestarian hutan mangrove dan menjadi penggerak masyarakat di desa Ambulu agar selalu menjaga kelestarian mangrove.
Pokwasma selalu berkoordinasi dan
membuat laporan ke dinas perikanan kelautan dan dinas lingkungan hidup
berkaitan dengan kondisi kawasan
mangrove.
Perilaku atau aktivitas pada
seseorang atau kelompok masyarakat tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Perilaku tersebut
dapat mempengaruhi seseorang, di
samping itu perilaku juga berpengaruh
pada lingkungan. Demikian pula
lingkungan dapat mempengaruhi
seseorang, demikian sebaliknya. Oleh sebab itu, dalam perspektif psikologi,
perilaku manusia (human behaviour)
dipandang sebagai reaksi yang dapat
bersifat sederhana maupun bersifat
kompleks (Azwar, 2003 dalam
Hendratmoko 2010).
Ekosistem mangrove yang terjaga seringkali malah dirusak oleh pemerintah daerah dalam hal ini dinas Pekerjaan Umum (PU) dengan pembangunan sistem drainasi dan saluran pembuangan air, sehingga menebang semua pohon bakau yang ada tanpa menanam kembali bibit mangrovenya. Masyarakat desa ambulu tidak berani merusak mangrove. Mereka hanya mengambil batang pohon yang telah kering untuk digunakan sebagai kayu bakar. Pada saat masyarakat menebang tumbuhan mangrove untuk keperluan bahan bangunan, maka mereka akan menanam kembali lahan yang tumbuhan
mangrove ditebang. Kawasan hutan
mangrove di desa Ambulu sampai
sekarang dijadikan sebagai kawasan
konservasi di kabupaten Cirebon. Pada dasarnya pola hubungan manusia di kawasan pesisir dan laut didasarkan pada
saling ketergantungan yang bersifat
interaktif dan fungsional. Karenanya
masyarakat desa Ambulu masih memegang teguh adat, norma, dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun, maka walaupun ketergantungan mereka terhadap laut cukup besar, tidak menyebabkan
mereka mengeksploitasi laut secara
berlebihan untuk tujuan komersil.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat pesisir, antara lain tingkat pendidikan yang rendah menjadi faktor
dominan, khususnya nelayan
mengakibatkan tidak majemuknya mata pencaharian masyarakat pesisir, tingkat
perekonomian, pengetahuan tentang
lingkungan dan kearifan lokal. Persepsi yang rendah karena faktor kurangnya
pendidikan berpengaruh terhadap
partisipasi mereka dalam memanfaatkan
tumbuhan mangrove sebagai pangan
alternatif dengan dibuat beraneka macam produk makanan yang bernilai ekonomis.
Masyarakat pesisir masih kurang
sehingga mereka kurang berdaya dalam memanfaatkan sumber daya alam dari kawasan mangrove.
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan partisipasi masyarakat desa Ambulu dalam pemanfaatan tumbuhan mangrove sebagai pangan alternatif untuk menghadapi ketahanan pangan antara lain
strata sosial, pendidikan, tingkat
perekonomian, pengetahuan terhadap
lingkungan dan kearifan lokal.
Menurut Sadana (2007), buah bakau jenis Bruguiera gymnorhiza mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu (Sadana, 2007). Dari hasil Penelitian yang dilakukan oleh IPB
bekerjasama dengan Badan Bimas
Ketahanan Pangan Nusa Tenggara Timur,
membuktikan bahwa kandungan
karbohidrat dan kalori buah bakau jenis ini lebih tinggi daripada bahan pokok lainnya.
Berikut perbandingan kandungan
karbohidrat dan kalori antara buah bakau, jagung, dan beras (Fortuna, 2005).
Buah Bruguiera gymnorhiza
mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah Bruguiera gymnorhiza adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg. Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber
karbohidrat yang biasa dikonsumsi
masyarakat seperti beras, jagung singkong
atau sagu. Kandungan energi buah
mangrove ini adalah 371 kalori per 100 gram, lebih tinggi dari beras (360 kalori per 100 gram), dan jagung (307 kalori per 100 gram). Kandungan karbohidrat buah
bakau sebesar 85.1 gram per 100 gram, lebih tinggi dari beras (78.9 gram per 100 gram) dan jagung (63.6 gram per 100 gram) (Fortuna, 2005).
Berdasar uraian sekian banyak buah mangrove yang cocok untuk dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal baru adalah dari jenis Bruguiera gymnorrhiza. Hal ini disebabkan karena spesies ini buahnya mengandung karbohidrat yang sangat
tinggi. Spesies Bruguiera gymnorrhiza
yang mempunyai nama lokal antara lain: lindur (Jawa dan Bali), kajang-kajang (Sulawesi), aibon (Biak) dan mangi-mangi (Papua), berbuah sepanjang tahun dengan pohon yang kokoh dan tingginya mencapai 35 meter. Saat berumur 2 tahun sudah produktif menghasilkan buah. Tumbuh pada lapis tengah antara Avicennia spp
yang di tepi pantai.
Pemanfaatan buah mangrove sebagai bahan makanan hanyalah sebagian kecil dari manfaat mangrove untuk masyarakat. Manfaat yang lebih penting adalah dampaknya terhadap kelestarian hutan
mangrove itu sendiri. Usaha-usaha
rehabilitasi hutan mangrove yang
dilakukan oleh pemerintah dengan
berbagai macam programnya tidak akan berhasil tanpa melibatkan masyarakat pesisir secara langsung mulai perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan. Kelestarian hutan mangrove ini penting, karena akar mangrove yang menjalar ke mana-mana menjadi habitat berbagai jenis biota perairan pantai seperti ikan, udang, kepiting dan kerang. Rusaknya hutan mangrove akan menyebabkan hilangnya berbagai jenis biota pantai yang tentu akan mengganggu kesetimbangan lingkungan,
paling tidak pendapatan nelayan
berkurang. Pada sisi lain hutan mangrove juga berfungsi untuk menahan intrusi air laut yang terus merasuk ke daratan serta menahan abrasi di sepanjang pantai.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya akan mengubah persepsi dan partisipasi mereka menjadi lebih baik, lebih aktif dalam memanfaatkan dan mengolah tumbuhan mangrove untuk dijadikan bahan pangan
alternatif dan dapat juga untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Bahkan masyarakat desa Ambulu sangat tertarik dan antusias jika ada kegiatan pelatihan keterampilan dan pendampingan kepada masyarakat dalam pemanfaatan tumbuhan mangrove untuk dijadikan pangan alternatif.
Peran pemerintah untuk menjadikan
lingkungan pesisir tetap terpelihara
kekayaan sumberdaya khususnya
mangrove, antara lain; melakukan
pembinaan di masyarakat, memberikan penyuluhan, pelatihan kepada masyarakat,
menyampaikan informasi tentang
pentingnya memelihara, menjaga kawasan mangrove dan pemanfaatan tumbuhan
mangrove sebagai bahan pangan.
Menggerakkan peran serta masyarakat setempat tentang pentingnya menjaga
lingkungan kawasan mangrove dan
pemanfaatan tumbuhan mangrove, melalui
pendidikan; menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup khususnya wilayah pesisir dan diharapkan dengan diadakan kegiatan
tersebut masyarakat dapat lebih
mengetahui peranan penting dari tumbuhan mangrove.
Adapun peran serta masyarakat
meliputi; menjaga kelestarian dan
perlindungan terhadap sumberdaya
lingkungan; memelihara kelestarian fungsi dari lingkungan hidup itu sendiri dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dengan cara memberikan informasi yang baik dan sesuai dengan
tingkat pendidikan dalam
menyampaikannya agar dapat diterima dan di terapkan oleh masyarakat setempat.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya akan mengubah persepsi dan partisipasi mereka menjadi lebih baik, lebih aktif dalam memanfaatkan dan mengolah tumbuhan mangrove sebagai
pangan alternatif untuk menghadapi
ketahanan pangan dan juga untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dari pemanfaatan potensi hutan mangrove. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Persepsi masyarakat terhadap
tumbuhan mangrove di kawasan desa Ambulu, pada umumnya masyarakat menganggap bahwa hutan mangrove mempunyai banyak manfaat bagi lingkungan dan masyarakat, antara lain dapat berperan untuk mencegah
terjadinya abrasi pantai, tempat
berkembang biak ikan, udang dan kepiting (Nursery ground), tumbuhan mangrove dapat dimanfaatkan juga untuk kayu bakar, bahan bangunan dan tumbuhan seperti bakau dan
avicennia dapat dikonsumsi sebagai
bahan pangan. Masyarakat desa
ambulu yang memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai bahan pangan belum banyak sekitar 5%. Partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan
kawasan mangrove cukup baik,
masyarakat dan pokwasma berperan serta aktif dalam menanam, merawat, menjaga kelestarian hutan mangrove di desa Ambulu agar selalu menjaga kelestarian mangrove.
2. Kandungan gizi tumbuhan mangrove
antara lain mengandung karbohidrat yang tinggi, lemak, protein dan kadar air. Kandungan energi dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan utama seperti beras,
jagung, sagu sehingga dapat dijadikan pangan alternatif.
3. Diperlukan suatu pemberdayaan
berbasis masyarakat melalui kegiatan penyuluhan, pelatihan keterampilan dan pendampingan kepada masyarakat
dalam pemanfaatan tumbuhan
mangrove sebagai pangan alternatif
yang dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga dan
pemberdayaan untuk menjaga,
memelihara dan melestarikan
tumbuhan mangrove. DAFTAR PUSTAKA
Ayunita Dian dan Trisnani Dwi H. 2012.
Analisis persepsi dan partisipasi
Masyarakat pesisir pada pengelolaan KKLD Ujung Negoro Kab. Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117 – 124 ISSN : 1829-9946 Badan Pusat Statistik Kab Cirebon. 2010.
Kab. Cirebon dalam Angka. Cirebon Regency in figure 2011. Katalog BPS : 1403.3209
Bengen. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya
Alam Pesisir. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Sipnosis. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Dahuri, HR, J.Rais, S.P Ginting, dan M. J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta
Dahuri. 2003. Keanekaragaman Hayati: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan kab. Cirebon. 2011. Laporan tahunan DISLAKAN tahun 2011.
Kusmana, C. 2003. Manajemen Hutan
Mangrove di Indonesia.
Laboratorium Ekologi Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Mardijono. 2008. Persepsi dan Partisipasi
nelayan terhadap Pengelolaan
kawasan konsservasi Laut Kota Batam. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Nazir M. 2005. Metode Penelitian.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Prihandoko, Amri Jahi, Darwis S. Gani,
dkk. 2011. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Nelayan
Artisanal dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan di pantai utara Provinsi Jawa Barat. Jurnal Makara Sosial Humaniora Vol 15, No. 2. Desember 2011: 117-126 Santoso, N. 2000. Pola Pengawasan
Ekosistem Mangrove. Makalah
Disampaikan pada Lokakarya
Nasional. Pengembangan Sistem
Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000 : Jakarta.