• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Praktik kedokteran memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Praktik kedokteran memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Praktik kedokteran memiliki peran penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan pengobatan yang dilakukan oleh para dokter. Dalam konteks ini, dokter sebagai orang yang diyakini dapat memecahkan masalah secara klinis, menjalankan praktek kedokteran setelah dilatih untuk menguraikan sekelompok gejala dan tanda-tanda fisik ke dalam pola penyakit yang dapat dikenali secara logis (Irvin, 2003). Begitu kompleksnya ilmu dan praktek kedokteran pada gilirannya diikuti dengan meningkatnya berbagai tuntutan profesi terhadap kualitas pelayanan dokter. Di satu sisi, dokter dituntut dapat memberikan pelayanan yang komprehensif sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran dan atau kedokteran gigi. Selain itu, dokter juga dituntut untuk mengikuti semakin kompleksnya perkembangan berbagai jenis obat-obatan yang diproduksi oleh perusahan farmasi dan perkembangan jenis penyakit yang diderita masyarakat. Di sisi lain, mainstreaming gagasan good governance juga merasuk ke dalam praktek kedokteran. Hal yang disebut terakhir ini, pada gilirannya menuntut perubahan, dan perubahan ini harus dikerangkai dalam suatu regulasi yang jelas dan efektif. Wilayah keahlian yang digeluti komunitas dokter ini pada gilirannya berbenturan dengan pengaturan yang sifatnya tidak pandang bulu: kesamaan hak dan kewajiban didepan hukum.

Jelasnya, demi optimalnya praktek kedokteran dokter menuntut otonomi dan kebebasan. Bagi para dokter, kepercayaan terhadap otonomi dan kebebasan klinis sepanjang masih dalam bingkai profesi kedokteran sangatlah diperlukan dokter. Hanya saja, perlu ditegaskan bahwa perlunya hal itu adalah justru demi kepentingan terbaik bagi pasiennya. Bagi para dokter dan dokter gigi

(2)

dalam menjalankan profesinya, ada permasalahan unik yaitu mereka senantiasa dihadapkan pada ketidakpastian klinis dan cara pengambilan keputusan klinis cenderung dilakukan oleh dokter secara individual. Sikap pragmatis dan kebutuhan untuk memperoleh kepercayaan diri dokter dapat mempengaruhi bagaimana cara seorang dokter mengambil keputusan klinis dan bagaimana cara mengantisipasi apabila menghadapi kemungkinan kesalahan dalam pengambilan keputusan klinis. Jelasnya, dokter selalu dituntut profesional dalam menjalankan praktik kedokteran yang dilandasi pada kompetensi sebagai dokter. Dokter yang kompeten tidak hanya profesional dalam pengetahuan dan keterampilan, namun seorang dokter juga dituntut memiliki sikap yang baik kepada pasiennya dengan senantiasa mencerminkan nilai kemanusiaan, keramahtamahan, dan kesopanan (Irvin, 2003).

Memang, profesionalitas seorang dokter sangat berhubungan dengan kompetensinya. Dalam praktik yang berlangsung selama ini, standarisasi kompetensi ini masih ditopang oleh self-regulation profesi. Sebagaimana ditegaskan oleh Freidson (1994), tegaknya profesionalisme dokter dalam menjalankan praktik kedokteran ditopang oleh kepatuhannya pada kode etik profesi. Ini adalah pilar penting dari self-regulatory practice para dokter. Self-regulatory practice ini ditegaskan pula oleh (Parson, 2006) yang menyatakan bahwa profesionalisme seorang dokter ditandai oleh kemampuan dan wewenang dokter dalam mendefinisikan dan mengontrol kinerja mereka. Hanya saja, ini bukan berarti bahwa dokter tidak memerlukan kerangka kebijakan dan rambu-rambu hukum yang jelas untuk memastikan hal itu menjamin kualitas pelayanan dokter dan pada saat yang sama menjamin juga profesionalitas dokter itu sendiri. Rambu-rambu yang saat ini berlaku adalah Undang-undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

(3)

Diundangkannya Undang Undang Praktik Kedokteran, diharapkan tidak hanya menjadi acuan dalam melindungi budaya kerja dokter yang selama ini bersifat self-regulatingnamun juga menjadi kualitas layanan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian atas implementasi UU 29/2004 Tentang Praktik Kedokteran. Kajian tentang implementasi ini menarik untuk dilakukan mengingat, dalam peraturan perundang-undangan yang sebelumnya, misalnya Undang Undang Kesehatan 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan hanya secara implisit mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran. Dalam kerangka kebijakan ini regulasi praktik kedokteran belum terstruktur secara rinci, dan masih menyisakan kelemahan. Praktik kedokteran dianggap cukup dikontrol pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, dan organisasi profesi pada penyelenggaraan praktik kedokteran. Tidak perlu sanksi hukum atau kriminalisasi dokter untuk mengawalnya. Para perumus UU 29/2004 menjustifikasi bahwa bahwa perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dirasakan belum memadai. Sehubungan dengan hal ini, cukup alasan untuk mengantisipasi adanya respons negatif para dokter manakala UU 29/2004 diimplementasikan. Oleh karena itulah, kajian implementasi perlu dimulai dari telaah terhadap respons dokter.

Selama periode pra-pemberlakuan UU 29/2004, standarisasi praktek kedokteran masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan pemerintah, dan pada saat yang sama, porsi pengaturan tentang profesi dokter pun dirasa masih kurang. Di satu sisi ada harapan agar UU 29/2004 terimplementasi dengan baik. Apalagi, rambu-rambu etika kedokteran yang diharapkan dapat digunakan untuk mengendalikan perilaku dokter ternyata tidak lagi mampu mengendalikan perilaku dokter dalam menjalankan profesinya (Trisnantoro, 2006b, Trisnantoro, 2006a). Hal ini akan berakibat fatal, sebagaimana telah terjadi di tempat lain. Sebagaimana telah dinyatakan

(4)

oleh Stasey (2000), bahwa lemahnya regulasi praktik kedokteran di Inggris juga telah menimbulkan berbagai berbagai kritik baik dari masyarakat dan para ahli termasuk dokter terutama setelah munculnya kasus Bristol tahun 1999 dan Shipman tahun 1995-1998 (Stacey, 2000).

Telaah implementasi UU 29/2004, khususnya dari segi respons dokter, sangat diperlukan mengingat, regulasi praktik kedokteran perlu berkesesuaian dengan situasi, kondisi, kemampuan dan keinginan yang akan dicapai oleh pemerintah, masyarakat dan profesi dokter. Self-regulatory practiceyang berlaku dalam komunitas kedokteran bisa menghalangi kesediaannya untuk responsif terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Karena itulah, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh (Soderlund and Tangcharoensathien, 2000), perlu diupayakan agar pengembangan regulasi berjalan selaras dengan kebutuhan pengguna pelayanan kesehatan dan kemampuan serta pengalaman pemerintah.

Kajian implementasi UU 29/2004 ini memfokuskan diri pada respons dokter. Hal ini didasari pertimbangan sebagai berikut. Undang-undang ini, disamping menjamin otonomi dan kebebasan dokter, juga mengemban semangat pendisiplinan. Sebagaimana disebutkan di atas, undang-undang ini mengatur sanksi pidana bagi pelanggaran standar praktik kedokteran. Sehubungan dengan hal ini, perlu ditegaskan di sini bahwa, istilah regulasi dimaknai secara ketat sebagai kebijakan yang berhubungan dengan perilaku (Dunn, 2000). Regulasi mutu pelayanan kesehatan dirancang untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan terus menerus dan keselamatan pasien (patient safety) kepada masyarakat melalui kegiatan; lisensi, sertifikasi, dan akreditasi (Irvin, 2003, Utarini and Jasri, 2004). Penentuan standar kompetensi bagi dokter merupakan dasar pemberian kewenangan kepada dokter dan /atau dokter gigi

(5)

untuk memberikan pelayanan kedokteran atau pelayanan kedokteran gigi yang tercermin dalam pemberian ijin praktik dokter oleh pemerintah.

Regulasi praktik kedokteran ditandai dengan disahkannya undang-undang praktik kedokteran dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan dokter. Untuk menegaskan hal itu, UU No.29/2004 memberi perlindungan hukum baik kepada masyarakat maupun kepada dokter. Hal ini sejalan pandangan Trisnantoro, bahwa aturan kerja profesi dokter tidak memberi toleransi terjadinya error dan diperlukan aturan yang jelas dan tegas bagi dokter (Trisnantoro, 2005, Trisnantoro, 2006b). Kehadiran UU Praktik Kedokteran menuntut para dokter untuk mampu meningkatkan profesionalismenya dan melengkapi diri dengan keterampilan komunikasi yang baik, catatan medis yang memadai sesuai dengan standar pelayanan medik, ikut asuransi bila dipandang perlu serta mengerti ilmu hukum, khususnya hukum kedokteran (Soetedjo, 2006). Kalau dibahasakan secara lebih generik, Undang-undang No.29 Tahun 2004 mengemban misi mewujudkan good clinical governance sebagai spirit praktik kedokteran. Pencapaian misi tersebut ditentukan oleh bagaimana respons dokter dan kesiapan pemangku kepentingan dalam implementasi Undang Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, baik secara administratif maupun secara fungsional untuk mewujudkan ”clinical governance”. Oleh karena itulah fokus kajian ini adalah respons dokter.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan praktis, maka lokus kajian ini dibatasi hanya di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara. Kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Utara masih relatif rendah kualitasnya termasuk di Kota Medan. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan merupakah salah satu faktor meningkatnya kecenderungan minat masyarakat pergi berobat ke Malaysia dan Singapura (Utara, 2007, PEMPROVSU, 2005). Meningkatnya

(6)

kecenderungan minat masyarakat untuk pergi berobat ke negara tetangga tersebut menyiratkan dua hal; pertama, masyarakat lebih suka pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan kedua, pelayanan kesehatan lebih dikuasai oleh mekanisme pasar.

Pilihan untuk memulai kajian dari Kota Medan Provinsi Sumatra Utara juga digerakkan oleh pengamatan awal bahwa, dengan diundangkannya UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran telah mencuat respons menarik dari para dokter, khususnya mereka yang berpraktik di Kota Medan. Mereka menyatakan bahwa sebagian dari pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional dokter terutama tentang pembatasan jumlah tempat praktik dan sanksi hukum pidana praktik kedokteran. Pembatasan jumlah tempat praktik maksimal 3 tempat sebagaimana diatur di dalam Pasal 37 Ayat (2) telah direspons sebagian besar dokter terutama bagi dokter yang sudah terbiasa menjalankan praktik di banyak tempat. Respons mereka bahwa kebijakan tersebut telah memasung hak konstitusionalnya dalam menjalankan profesinya untuk melakukan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan, belum meratanya pendistribusian dokter di setiap fasilitas pelayanan rumah sakit di Kota Medan, dan ketersediaan jumlah dokter spesialis tertentu seperti dokter spesialis bedah anak, dokter spesialis bedah tulang, dan dokter spesialis urologi.

Respons yang segera mengemuka adalah terhadap pembatasan jumlah tempat praktik dokter. Pembatasan tersebut telah menimbulkan dampak kepada kemampuan pemilik atau pengelola fasilitas pelayanan rumah sakit swasta untuk menyediakan tenaga dokter spesialis yang terbatas jumlahnya dibandingkan dengan peningkatan jumlah pembangunan fasilitas rumah sakit yang ada di Medan. Hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan Agustus 2006 di seluruh rumah sakit swasta di kota Medan diperoleh informasi bahwa

(7)

peraturan pembatasan jumlah tempat praktik dokter menimbulkan kesulitan bagi rumah sakit swasta untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter spesialis dan sub-spesialis. Kesulitan tersebut dikarenakan dokter spesialis dan sub-spesialis telah mulai mempertimbangkan prospek ekonomi dalam menentukan tempat penyelenggaraan praktik kedokteran baik praktik pribadi maupun praktik di fasilitas pelayanan rumah sakit. Menurut Permana dalam Seminar Nasional ke VI PERSI, minat dokter dalam menentukan tempat menyelenggarakan praktik kedokteran dipengaruhi oleh: a) pasar pelayanan kesehatan, b) lokasi, c) ijin praktik, d) institusi yang menarik, lengkap, dan strategis, dan e) reputasi institusi rumah sakit (Permana, 2004).

Hasil studi pendahuluan di Subdin Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan kota Medan, diperoleh informasi bahwa dampak pembatasan jumlah tempat praktik dokter mulai terasa di Kota Medan. Menurut Kepala Subdin Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Medan mengatakan bahwa pada pertengahan Juli 2006 ada sekitar 20% dokter terutama bagi dokter spesialis yang memiliki tempat praktik lebih dari 3 tempat praktik tidak lagi memperpanjang surat ijin praktiknya (SIP) dan terpaksa harus ditutup.

Kuatnya tradisi self-regulating dalam praktik kedokteran, pencantuman sanksi hukum pidana di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran telah dikecam keras oleh dokter praktik di Kota Medan. Pencantuman sanksi pidana tersebut dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap profesi dokter dan dapat menimbulkan beban psikologis bagi dokter yaitu perasaan cemas dalam menjalankan praktik kedokteran. Pencantuman sanksi pidana tersebut dianggap mereka telah mempersamakan profesi dokter dengan pelaku tindak pidana pada umumnya.

Berdasarkan respons dokter yang berpraktik di Kota Medan dikaitkan dengan tujuan Undang Undang Praktik Kedokteran Pasal 3 poin c bahwa

(8)

Undang Undang Praktik Kedokteran memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi. Respons dokter tersebut tentu akan dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi praktik kedokteran di Kota Medan. Menurut Winter’s (2003) yang dikutip oleh Berg (2004) dalam tulisannya Implementing Chicago’s Plan toTransform Public Housing menyebutkan bahwa salah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah respons kelompok target kebijakan dan perubahan dalam masyarakat (Berg, 2004).

Kehadiran Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagai lembaga baru yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Undang Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UUPK) juga telah direspons oleh dokter yang berpraktik di Kota Medan. Kedua lembaga tersebut dianggap belum tersosialisasi secara intens sehingga mereka belum mengetahui dan memahami tentang fungsi, tugas dan wewenangnya. Kehadiran lembaga tersebut juga dianggap sebagai penambahan beban administrasi yang harus dipenuhi oleh dokter untuk dapat menjalankan praktik kedokteran. Penambahan beban tersebut yaitu kewajiban bagi dokter untuk mengikuti ujian kompetensi yang diselenggarakan oleh Kolegium Kedokteran atau Kolegium Kedokteran Gigi untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi tersebut adalah salah satu syarat untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR) yang diterbitkan oleh KKI. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman dokter praktik di Kota Medan karena KKI dan MKDKI belum intens melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran di Kota Medan. Peran KKI yang dirasakan oleh dokter yang berpraktik di Kota Medan masih sebatas melakukan registrasi terhadap dokter praktik.

(9)

Pemberlakukan UU 29/2004 mensyaratkan adanya mindset tertentu, dan perubahan mindset ini kiranya tidak bisa berlangsung secara cepat. Dalam konteks ini, pro-kontra terhadap kebijakan yang melibatkan perubahan mindset adalah hal yang wajar. Hanya saja, hal itu bukan berarti UU 29/2004 akan terimplementasi dengan sendirinya. Seiring perjalanan proses implementasi, kesiapan dan kesediaan untuk mengikuti perubahan yang diperlukan, adalah keniscayaan.

1.2 Permasalahan Penelitian

Sebagaimana dijelaskan pada latar belakang, maka permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1 Seberapa besar respons dokter pada Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan peran yang dilakukan oleh penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), berpengaruh terhadap kepatuhan dokter dalam mengimplementasikannya di Kota Medan? 1.2.2 Bagaimana kesiapan pemangku kepentingan dalam proses implementasi

Undang Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Studi ini ingin menilai hasil pelaksanaan kebijakan UU Praktik Kedokteran di Kota Medan tahun 2007–2011 di berbagai pihak yang terlibat. Penilaian hasil pelaksanaan kebijakan yang difokuskan kepada:

1.3.1 Mengkaji seberapa besar respons dokter pada Undang-undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan peran yang dilakukan oleh penegak hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pengaruhnya terhadap kepatuhan dokter dalam mengimplementasikannya di Kota Medan?

(10)

1.3.2 Mengkaji kesiapan pemangku kepentingan dalam proses implementasi Undang Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran di Kota Medan

1.4 Manfaat penelitian

1.4.1. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk pengembangan Undang Undang Praktik Kedokteran

1.4.2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah daerah untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang praktik kedokteran.

1.4.3. Sebagai pengembangan konsep kebijakan sistem pelayanan kesehatan khususnya konsep kebijakan praktik kedokteran.

1.4.4. Sebagai pengembangan konsep manajemen dokter spesialis berdasarkancorporate clinical governancedi rumah sakit.

1.4.5. Sebagai pengembangan kompetensi peneliti dalam penelitian kebijakan, utamanya Undang Undang Praktik Kedokteran.

1.4.6. Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang ingin mengembangkan kebijakan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

1.5 Keaslian Penelitian

UU No. 29 tahun 2004 adalah sebuah kebijakan baru yang mengatur kembali praktik kedokteran (reorientasi praktik kedokteran),yang secara efektif diimplementasikan, 29 April 2007. Beberapa peneliti yang telah melakukan penelitian yang berhubungan dengan UU No. 29 tahun 2004 pada umumnya mengkaji dari sudut pandang disiplin ilmu hukum antara lain: Ayuningtyas (2006), Marthin (2006), Wibisono (2006),

Ayuningtyas (2006), menulis kajian berjudul Heterogenitas Pelanggaran Menurut Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran (UU No. 29 Tahun 2004).

(11)

Studi ini memberi perhatian pada beberapa pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh dokter. Desain studi ini menggunakan desain penelitian ilmu hukum. Hasil studi menunjukkan bahwa ada empat pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh seorang dokter dalam menjalankan praktik kedokteran yaitu pelanggaran etik, pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum, sebagaimana tercermin dan isi ketentuan Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Keberadaan Undang-Undang Praktik Kedokteran dirasa kurang cukup untuk memberikan perindungan hukum bagi pasien atas hubungannya dengan dokter, sehingga peran peraturan perundang-undangan diluar Undang-Undang Praktik Kedokteran sangat diperlukan antara lain KUHP dan KUH Perdata.

Sejalan dengan kajian di atas, Marthin (2006), meneliti tentang Pertanggungjawaban Hukum Terhadap Dokter Yang Melakukan Kesalahan Dalam Penerapan Ilmu Kedokteran. Studi ini menguraikan etika medik. Studi ini menggunakan desain penelitian ilmu hukum. Hasil studinya menunjukkan bahwa ketentuan hukum yang relevan bagi dokter yang melakukan kesalahan dalam praktik, terutama dalam penerapan ilmu kedokteran adalah ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan juga ketentuan yang terdapat dalam KUHP, khususnya mengenai perbuatan yang menimbulkan kematian atau luka yang dikarenakan kealpaan/kekhilafannya.

Wibisono (2006), menelaah tentang Pertanggungjawaban Pidana Dokter Atas Kesalahan Dalam Memberikan Pelayanan Medis. Studi ini memfokuskan pada sisi hukum yaitu bagaimanakah kesalahan dokter, baik yang berupa kesengajaan maupun kealpaan dalam memberikan pelayanan medis terhadap pasien untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Bagaimana prosedur untuk dapat menyatakan bahwa seorang dokter melakukan kesalahan baik yang berupa kesengajaan maupun kealpaan dalam memberikan

(12)

pelayanan medis untuk dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian ilmu hukum. Hasil studi ini adalah kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis terhadap pasien dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan. Bentuk kesalahan dokter yang delik dolus (kesengajaan) misalnya abortus tanpa indikasi medis, melakukan eutanasia, membocorkan rahasia kedokteran. Kesalahan dokter yang merupakan delik culpa (kealpaan) misalnya tidak cermat dan tidak hati-hati dalam memberikan pelayanan medis. Tolak ukur untuk dapat menentukan kealpaan dokter tersebut adalah dari standar profesi dan standar prosedur operasional. Prosedur untuk dapat menyatakan dokter melakukan kesalahan dalam memberikan pelayanan medis dapat melalui tiga jalur, yaitu pidana, perdata, dan etik kedokteran. Prosedur untuk memintakan pertanggungjawaban dokter secara etik memakai ketentuan yang ada dalam UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dengan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Penelitian mengenai cara kerja berbasis standar saat ini telah banyak dilakukan peneliti lain. Berdasarkan beberapa studi di atas, yang membedakan dengan peneliti lakukan adalah studi ini memfokuskan pada kajian implementasi kebijakan menggunakan desain penelitian kebijakan dengan metode campuran (mixed Method). Metode kuantitatif memakai uji statistik dengan unit analisisnya adalah dokter dan dokter gigi yang berpraktik di kota Medan. Metode kualitatif menggunakan model interaktif (Miles and Huberman, 1984). Lokasi penelitian mengambil lokasi di kota Medan. Berdasarkan uraian di atas, sepanjang pengetahuan peneliti, studi ini belum pernah dikerjakan oleh peneliti lain sehingga penelitian ini menjadi orisinil.

Referensi

Dokumen terkait

Basis data Oracle adalah basis data relasional yang terdiri dari kumpulan data dalam suatu sistem manajemen basis data RDBMS.Perusahaan perangkat lunak Oracle

Arsitektur ini dibangun untuk memudahkan proses transformasi informasi dari teknologi standar ke teknologi awan Metoda yang digunakan adalah metoda transisi dan

Diharapkan dengan adanya penelitian tentang minat siswa dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan ini, siswa dapat mengikuti mata pelajaran

Jika penjualan BBM kita hitung dengan asumsi pendapatan perhari paling sepi-sepinya bisa menjual sebanyak 100 liter / hari, data tersebut kami ambil langsung

Secara umum, keterpajanan asap rokok pada populasi yang tidak merokok (perokok pasif) mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kejadian PPOK, dengan nilai OR:

Pengabdian masyarakat ini bertujuan untuk membantu usaha mikro pembuatan tempe dalam mengetahui pendapatan dan pengeluaran selama masa pandemi Covid-19 dengan

Daerah tempat kapal melempar sauh di luar pelabuhan digunakan sebagai tempat penungguan sebelum kapal bisa masuk ke dalam pelabuhan, baik karena sedang menunggu

Pengamat yang berada di bumi sesungguhnya mengalami gerak rotasi dari barat ke timur, sehingga benda-benda diluar bumi (matahari, bulan dan bintang) kelihatan barat ke