• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Armada Nelayan. Panen. Pasar. Keuntungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Armada Nelayan. Panen. Pasar. Keuntungan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Sistem Perikanan Tangkap

Sistem perikanan tangkap tersusun oleh tiga komponen utama yaitu subsistem alam (biologi dan lingkungan perairan), subsistem manusia dan subsistem pengelolaan, diantara ketiga komponen utama tersebut memiliki berbagai bentuk interaksi yang kompleks (Charles 2001).

Dinamika sistem perikanan tangkap mencakup aspek sumberdaya ikan, armada perikanan, dan komunitas nelayan. Sumberdaya ikan dikendalikan melalui dinamika populasi di alam berupa proses reproduksi dan kematian. Armada perikanan bervariasi dalam dinamika modal, seperti investasi kapal dan alat tangkap baru yang mengalami depresiasi sepanjang waktu. Penangkapan secara langsung akan mengurangi jumlah stok sumberdaya ikan, tetapi disisi nelayan hasil tangkapan merupakan keuntungan yang dapat digunakan untuk menambah modal kembali ( Hermawan 2006). Lebih lanjut Charles (2001) menggambarkan interaksi multi-dimensional antara subsistem perikanan tangkap sebagai hubungan kesatuan sistem perikanan tangkap, seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Deskripsi sistem perikanan tangkap yang menunjukkan dinamika sumberdaya ikan, armada (modal) dan nelayan (Charles 2001).

Ikan Armada Nelayan

Dinamika Populasi Ikan Dinamika Modal Dinamika Tenaga Kerja Panen Pasar Keuntungan Pasca Panen Kondisi Pasar Ekosistem Lingkungan Biofisik Rumah tangga Lingkungan Sosial

(2)

2.1.1 Sumberdaya Ikan

Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (UU RI No. 31 Tahun 2004). Komponen yang menyusun subsistem komunitas ikan meliputi (1) organisme secara individual, (2) populasi, dan komunitas biologi, masing-masing pada suatu tingkat organisasi yang berbeda, dapat diperlakukan sebagai sistem organismik. Meskipun sumberdaya ikan dapat pulih/diperbaharui/memperbaharui (renewable, replenishable), tetapi juga bersifat dapat rusak (depletable/exhaustible). Faktor yang mengatur stok sumberdaya ikan adalah recruitment, pertumbuhan, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan (Widodo dan Suadi 2006).

Menurut Nikijuluw (2002), sumberdaya ikan terdiri dari beberapa jenis atau kelompok jenis, yaitu: ikan pelagis (ikan yang hidup di kolom perairan dengan mobilitas tinggi), ikan demersal (ikan yang hidup di dasar perairan dengan mobilitas rendah dan tinggi), dan ikan sedentari (ikan yang dasar perairan dengan mobilitas sangat rendah dan lambat).

Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya senang bergerombol baik dengan kelompoknya maupun jenis ikan lain. Ikan ini bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line) dan perenang cepat. Ikan pelagis dikelompokan menjadi dua, yaitu: 1) ikan pelagis besar yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 100–250 cm (ukuran dewasa), seperti tuna (Thunnus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp.), tongkol (Euthynnus spp.), setuhuk (Xiphias spp.) dan lamadang (Coryphaena spp.); dan 2) ikan pelagis kecil yaitu ikan pelagis yang mempunyai ukuran 5–50 cm (ukuran dewasa), seperti kembung (Rastreliger sp.), layang (Decapterus sp.), jenis-jenis selar (Selaroides sp. dan Atele sp.), lemuru (Sardinella sp.) dan teri (Stolephorus sp.) (Bakosurtanal 1998).

Produktivitas sumberdaya ikan tertinggi berasal dari daerah perairan pantai. Ekosistem perairan pantai ini diperkirakan menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Begitu juga produksi perikanan Indonesia 70% berasal dari perikanan pantai dengan skala dan struktur usaha, alat tangkap, dan nelayan yang beragam (Garcia dan Moreno 2001).

(3)

Sumberdaya ikan adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat

renewable resources dan common property resources (Gordon 1954). Pengertian sifat renewable adalah dapat dipulihkan, ini memberikan implikasi bahwa manusia dapat memanfaatkan sumberdaya ikan dengan hati-hati sehingga aliran manfaatnya akan ada sepanjang tahun. Adapun pengertian common property

adalah hak kepemilikan bersama atas sumberdaya ikan sehingga setiap orang sebagai pemegang hak properti memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Dengan kata lain tidak ada kebebasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Nikijuluw 2002).

Menurut Nikijuluw (2002) terdapat tiga sifat khusus pada sumberdaya alam milik bersama termasuk sumberdaya ikan, yaitu:

1) Eskludabilitas, berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya yang dimaksud semakin sulit dan mahal karena sifat sumberdaya ikan terus bergerak di lautan luas. Hal ini menimbulkan kebebasan pemanfaatan sumberdaya tersebut oleh siapa saja sedangkan pengawasan oleh otoritas manajemen menjadi sulit.

2) Substracabilitas, suatu kondisi bagi seseorang untuk menarik manfaat dan keuntungan yang dimiliki orang lain, walaupun telah ada kerjasama di antara

stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kompetisi bahkan dapat mengarah ke konflik pemanfaatan sumberdaya.

3) Indivisibilitas, fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun pembagian secara administratif dapat dilakukan.

2.1.2 Armada Perikanan Tangkap

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan (UU RI No 31 Tahun 2004). Sedangkan Perikanan tangkap

(4)

didefinisikan sebagai perikanan yang berbasis usahanya berupa penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005).

Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005).

Armada perikanan tangkap merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan. Dengan kata lain, armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Sedangkan unit penangkapan didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan terdiri dari perahu/kapal penangkapan dan alat penangkapan yang di gunakan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005).

UU RI No. 31 Tahun 2004, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksploitasi perikanan. Berdasarkan fungsinya kapal perikanan, meliputi: kapal penangkapan ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan kapal operasi penangkapan ikan.

Menurut Ditjen Perikanan Tangkap DKP (2005), klasifikasi armada perikanan tangkap terdiri atas:

1) Armada penangkapan ikan skala kecil adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu tanpa motor, atau menggunakan perahu motor tempel, atau kapal motor berukuran < 5 GT.

2) Armada penangkapan ikan skala menengah adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal motor berukuran 5 – 30 GT. 3) Armada penangkapan ikan skala besar adalah armada penangkapan ikan

(5)

Perikanan tangkap di Indonesia masih dicirikan oleh perikanan skala kecil seperti terlihat pada komposisi armada penangkapan nasional yang masih didominasi oleh usaha perikanan skala kecil sekitar 85%, dan hanya 15% dilakukan oleh perikanan skala besar. Struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor sekitar 50%, perahu motor tempel 26% dan kapal motor 24%. Armada kapal motor ini didominasi oleh kapal motor berukuran dibawah 5 GT sekitar 72%, kapal motor berukuran 5 – 10 GT sekitar 14% dan kapal motor berukuran diatas 10 GT berkisar 14% (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Dominasi jumlah armada dibawah 10 GT memperlihatkan perikanan skala kecil sangat berperan dalam perikanan nasional.

Kebijakan pembangunan perikanan tangkap diarahkan untuk (1) menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri dalam negeri; (2) rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dalam rangka menghidupkan industri dalam negeri dan keberpihakan kepada perusahaan dalam negeri dan nelayan lokal; dan (3) penerapan pengelolaan perikanan (fisheries management) secara bertahap berorientasi kepada kelestarian lingkungan dan terwujudnya keadilan (Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005). Kebijakan pertama mencerminkan peran perikanan tangkap yang diharapkan, sehingga kebijakan tersebut bersifat tujuan pembangunan perikanan; kebijakan kedua mencerminkan pendekatan yang diterapkan, yaitu strategi untuk memperbaiki kinerja armada penangkapan ikan dan keberpihakan kepada stakeholder domestik; sedangkan kebijakan yang ketiga mencerminkan strategi untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries).

Paradigma perikanan berkelanjutan ini sangat penting dalam penangkapan ikan ketika populasi ikan menjadi semakin terbatas dan wilayah pengelolaan perikanan mengalami kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan (overexploited). Perikanan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan ketersediaan stok ikan, guna menjamin aset sumberdaya ikan yang minimal sama untuk generasi mendatang.

(6)

2.1.3 Nelayan

Nelayan didefiniskan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (UU RI No 31 Tahun 2004). Pengertian lebih luas, nelayan adalah orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo dan Suadi 2006).

Charles (2001) membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: 1) Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan

hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.

2) Nelayan asli (native/indegenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersil walaupun dalam skala yang lebih kec il.

3) Nelayan rekreasi (recreation/sport fisher), yaitu orang yang secara prinsip melakukan penangkapan ikan hanya untuk sekedar kesenangan atau olah raga. 4) Nelayan komersil (commercial fishers), yaitu kelompok/orang yang menangkap ikan untuk tujuan komersil. Kelompok ini terdiri dari nelayan skala kecil/artisanal dan nelayan skala besar/industri.

Lebih lanjut Charles (2001) menyatakan, usaha perikanan secara umum dibagi dua yaitu usaha perikanan skala kecil/artisanal dan usaha perikanan skala besar (industri). Usaha perikanan skala kecil/artisanal adalah penangkapan ikan untuk komersil tetapi tingkatnya masih rendah dan usaha perikanan industri adalah penangkapan ikan untuk komersil dengan armada dan modal yang intensif.

Karakteristik perikanan skala kecil berdasarkan technico-sosio-economic,

dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional (Smith 1979). Adapun ciri-ciri dari perikanan tradisional adalah sebagai berikut:

1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.

2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.

4) Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin.

(7)

6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada tingkat sedang sampai sangat rendah.

7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut.

8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama keluarganya.

9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.

Nelayan dapat dibagi berdasarkan daya jangkau armada penangkapan dan juga lokasi penangkapan, nelayan dibagi tiga, yaitu: (1) perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil; (2) perikanan lepas pantai untuk ukuran kapal 30 GT; dan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar diatas 100 GT (Widodo dan Suadi 2006).

Hampir sekitar 85% nelayan di Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar perairan pantai ( Ditjen Perikanan Tangkap DKP 2005; Wiyono 2005). Kontribusi nelayan skala kecil sangat besar dalam produksi perikanan tangkap, namun nelayan skala kecil masih diidentikan dengan kemiskinan. Hal ini menunjukkan usaha perikanan skala kecil masih tidak efiesien, dimana upaya penangkapan melebihi ketersediaan dari sumberdaya yang ada (Wiyono dan Wahju 2006).

2.2 Penangkapan Berlebih (Overfishing)

Pada umumnya sumberdaya ikan masih dianggap bersifat open access yakni pemanfaatannya secara terbuka oleh siapa saja dan kapan saja, sehingga menimbulkan persaingan antar nelayan, persaingan teknologi dan modal. Proses persaingan tersebut dalam perairan open access akan menimbulkan tangkap lebih secara ekonomis (economic overfishing), karena pemanfaatan perikanan tidak terkontrol. Kondisi ini akan berlanjut sampai melampaui suatu titik profit total maksimum sehingga terjadi overcapacity (melampaui kapasitas kemampuan menanggung dan mengakomodasi tekanan eksploitasi), investasi berlebihan (

(8)

over-capitalization) dan tenaga kerja berlebihan (over-employment) (Widodo dan Suadi 2006).

Overfishing atau tangkap lebih dapat diartikan sebagai suatu jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu (Fauzi 2005). Berdasarkan karakteristiknya

overfishing dapat dikelompokan menjadi empat tipe, yaitu:

1) Recruitment overfishing, situasi dimana populasi ikan dewasa ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi melakukan reproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi.

2) Growthoverfishing, situasi dimana stok yang ditangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat

yield per recruit yang maksimum.

3) Ekonomic overfishing, jika rasio biaya input dan harga output terlalu besar atau jumlah input yang digunakan lebih besar dari pada input yang dibutuhkan untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum. 4) Malthusian overfishing, terjadi jika nelayan skala kecil yang umumnya miskin

dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan, dengan menghadapi hasil tangkapan yang menurun.

Selanjutnya Widodo dan Suadi (2006) menambahkan dua tipe overfishing

lagi , yaitu:

1) Biological overfishing, kombinasi dari growth dan recruitment overfishing

akan terjadi jika tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat MSY. Pencegahan terhadap tipe overfishing ini meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan ikan.

2) Ecosystem overfishing, dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis suatu stok ikan sebagai akibat dari upaya penangkapan berlebih, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Tipe overfishing ini menimbulkan pergantian dari ikan bernilai ekonomi tinggi kepada ikan kurang bernilai ekonomi.

Secara sederhana overfishing dapat dideteksi dengan melihat hasil tangkapan per satuan upaya (Catch Per Unit Effort/CPUE) yang semakin menurun. Adanya penurunan CPUE mencerminkan bahwa kegiatan pemanfaatan

(9)

sumberdaya ikan semakin tidak efisien dan semakin terbatasnya sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan nelayan. Indikasi ketidak-efisienan dapat dilihat dari semakin banyaknya energi, dana dan waktu yang dikerahkan untuk memperoleh ikan serta semakin kecilnya individu ikan yang tertangkap dan penurunan total produksi perikanan (King 1995; Gordon 1954).

Overfishing telah menjadi masalah serius terhadap perikanan dunia, kelebihan pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut menimbulkan over exploitation

dan economic waste yang sangat besar (FAO 1998). Gejala overfishing juga telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia, seperti Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa dan Bali. Overfishing tidak hanya menyebabkan penurunan sejumlah stok ikan tetapi juga menimbulkan krisis ekologi, ekonomi dan sosial di wilayah utama perikanan khususnya daerah pantai (Nikijuluw 2002). Begitu pula perairan Kabupaten Bangka yang merupakan bagian perairan pantai timur Sumatera, potensi perikanan ikan tenggiri (ikan pelagis) sedang menghadapi gejala overfishing baik secara biologi maupun ekonomi. Upaya penangkapan aktual rata-rata ikan tenggiri (ikan pelagis) mencapai 798 trip per bulan, telah melebihi kondisi maximum sustainable yield (MSY) sebesar 491 trip per bulan dan kondisi maximum ekonomi yield (MEY) sebesar 381 trip per bulan (Febrianto 2008).

Pemecahan masalah overfishing merupakan suatu tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu melibatkan stakeholder. Pemberian subsidi pada sektor perikanan tanpa memperhatikan jumlah stok ikan bukan merupakan solusi yang tepat, karena pemberian subsidi tersebut akan menambah kapasitas penangkapan ikan tetapi stok ikan relatif tidak bertambah. Konsekuensinya akan menimbulkan masalah kapasitas berlebih, yang berkaitan dengan overfishing (Fauzi 2005).

2.3 Kapasitas dan Kapasitas Berlebih (Excess Capacity)

Kapasitas didefinisikan sebagai jumlah keluaran (output) yang dapat dihasilkan oleh suatu sistem produksi dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, kemampuan suatu unit produksi (input) untuk menghasilkan sejumlah produk (output) pada periode waktu tertentu (Chase et al. 2001). Menurut Pascoe dan

(10)

Herrero (2004), konsep kapasitas dapat diartikan berdasarkan pendekatan teknis (engineering), teknologi, dan ekonomi. Berdasarkan konsep teknologi diartikan sebagai output potensial maksimum yang dapat diproduksi oleh perusahaan atau industri, dengan teknologi, stok kapital dan faktor produksi lainnya tanpa keterbatasan faktor produksi dalam jangka pendek. Hal ini ditegaskan Johansen (1968) diacu Kirkley et al. (2001), kapasitas merupakan jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan teknologi, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi.

Kapasitas output didefinisikan sebagai output maksimum yang dapat diproduksi dengan menggunakan faktor produksi variabel (penggunaannya tidak dibatasi) dan faktor produksi tetap (fixed input) pada suatu teknologi tertentu (Johansen 1968 diacu Kirkley et al. 2001). Secara grafis, konsep kapasitas disajikan dalam bentuk kurva produksi (Gambar 3). Dalam bentuk fungsi, kurva produksi dapat dinyatakan dalam persamaan berikut:

Y = g (X,Z) ... (1) Keterangan :

Y = ouput

X = faktor input variable

Z = faktor input tetap

g = menunjukkan bentuk teknologi dalam memproduksi suatu tingkat output maksimum dengan menggunakan sejumlah input.

Ilustrasi Gambar 3, menunjukkan output maksimum (YA) dicapai dengan menggunakan sejumlah input variabel (XA) dan sejumlah Z input tetap pada teknologi tertentu.

(11)

Gambar 3 Kurva fungsi produksi.

Kapasitas penangkapan ikan (fishing capacity) lebih kompleks untuk didefinisikan karena hasil tangkapan (output pada usaha perikanan tangkap) sangat tergantung pada tingkat populasi ikan, semakin besar populasi ikan maka semakin besar hasil tangkapan, dan sebaliknya ( Kirley and Squires 1999). Kapasitas penangkapan (fishing capacity) dapat didefiniskan sebagai jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal pada suatu periode tertentu (musim atau tahunan) pada tingkat biomasa dan struktur populasi, serta pada teknologi tertentu (FAO 1998; Wiyono 2005).

Kapasitas penangkapan ikan telah menjadi pembicaraan utama pada masyarakat perikanan internasional. Hal ini disebabkan banyak terjadi kelebihan kapasitas penangkapan (overcapacity) dan kelebihan input (excees capacity) pada perikanan dunia yang dapat mengancam sumberdaya ikan atau krisis perikanan global (Vestergaard 2005). Menurut Fauzi (2005), kelebihan kapasitas di sektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: (1) tidak sehatnya sektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumberdaya ikan dan lingkungan menjadi lebih persisten; (2) eksploitasi sumberdaya ikan dengan intensif melebihi titik lestarinya agar armada perikanan terus beroperasi pada armada begitu padat, maka pengurangan armada akan sulit dilakukan baik secara politis maupun sosial; dan (3) menimbulkan inefisiensi dan memicu economic

Y=g (X,Z) A Y X Input X Outpu 0

(12)

waste sumberdaya yang ada disamping menimbulkan komplikasi pengelolaan perikanan, terutama dalam situasi akses terbuka (open access).

Kapasitas berlebih diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu. Kapasitas berlebih yang berlangsung terus menerus dalam jangka panjang pada akhirnya akan menyebabkan over fishing, yang ditandai dengan gejala pada suatu sumberdaya ikan, antara lain: (1) hasil tangkapan nelayan yang terus menurun, (2) daerah penangkapan (fishing ground) semakin jauh dan (3) ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil (Widodo 2003). Hal senada dikatakan Murdiyanto (2004), tingkat pemanfaatan berlebih melewati nilai Maximum Sustainable Yield

(MSY) dapat mengakibatkan menurunnya hasil tangkapan per satuan upaya atau

catch per unit effort (CPUE).

Kapasitas berlebih tidak selalu disebabkan oleh teknologi penangkapan modern dengan armada kapal yang besar dan cepat, tetapi kapasitas berlebih dapat terjadi pada perikanan skala kecil. Seperti halnya di Indonesia, peningkatan armada penangkapan ikan skala kecil di perairan pantai telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan kapasitas berlebih dan pengurangan kelebihan jumlah upaya penangkapan (Berkes et al. 2001). Dengan kata lain, kapasitas berlebih terjadi bukan karena secara teknologi namun lebih kepada ketidak-efisienan pengoperas ian perikanan skala kecil yang disebabkan berlebihnya input

perikanan tangkap dibandingkan dengan sumberdaya yang ada (Wiyono dan Wahju 2006).

Pemecahan masalah kapasitas berlebih merupakan tugas yang kompleks, sehingga tidak bisa dipecahkan secara parsial tetapi perlu dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Konsep pengelolaan perikanan berbasis kapasitas penangkapan (capacity utilization dan capacity measurement) merupakan salah satu terobosan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Konsep ini mampu memberikan arahan kebijakan baru tentang revitalisasi dan rekonstruksi pembangunan perikanan tangkap di masa mendatang (Fauzi 2005).

(13)

2.4 Pengukuran Kapasitas Penangkapan Ikan

Ada berbagai metode untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan, namun metode peak to peak dan data envolopment analysis (DEA) cukup dapat diandalkan untuk diaplikasikan terkait ekonomi-teknologi. Metode peak to peak sangat cocok digunakan pada kondisi data bersifat ekstrim, misalnya data tersedia hanya produksi dan jumlah kapal. Sedangkan metode DEA adalah model matematika non-parametrik dengan teknik linier programing berorientasi pada

input dan output yang pertama kali diperkenalkan Charnes, Cooper and Rhodes pada tahun 1978 dan kemudian dikembangkan Fare et al. (1989; 1994) dan disarankan untuk perikanan oleh Kirley dan Squires (1999). Food and Agricultural Organization (FAO) dan International Plan of Action (IPOA) merekomendasikan DEA sebagai alat yang layak untuk mengukur kapasitas penangkapan ikan (Kirley et al. 2001). Model DEA bertujuan mengukur keragaan relatif (Dyson et al. 1990 diacu Fauzi dan Anna 2005).

Model DEA memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pendekatan model ini mampu mengestimasi kapasitas dibawah kendala kebijakan tertentu, seperti misalnya Total Allowable Catch (TAC), pajak, ukuran kapal dan sosio-ekonomi. Keistimewaan DEA lainnya dapat mengakomodasi multiple input dan

multiple output. Hal ini sangat berguna untuk pengkajian di perikanan yang sifatnya multi-spesies dan multi-gear (Kirkley and Squires 1999). Sedangkan keterbatasan DEA berupa kesulitan menemukan pembobotan yang seimbang antara input dan output dan mengalami kesulitan dalam uji hipotesis statistik, seperti stochastic frointer dan fungsi Cobb- Douglas. Kelemahan DEA lainnya adalah ketika sejumlah input (variabel maupun tetap) dan output dikeluarkan dalam analisis akan sangat berpengaruh pada nilai efisiensi perusahaan (Fauzi dan Anna 2005).

Kemampuan DEA untuk mengakomodasi multiple input dan multiple output

pertama kali diajukan oleh Charnes et al. (1978) dengan cara memasukan faktor pembobot dari setiap input dan output yang digunakan, seperti persamaan berikut:

= i io i r ro r o v u v u v u Maxh ( , ) ... (2)

(14)

Subject to 1 ≤

i ij i r rj r x v v u ε

i io i r x u u ε

i i io i x u v Keterangan :

vrj = jumlah output r yang diproduksi oleh DMUj

xij = jumlah input i yang diproduksi oleh DMUj

ur = bobot dari outputr

vi = bobot dari inputi

Estimasi rasio memberikan sebuah ukuran efisiensi teknis (TE) dari masing-masing decision making unit (DMU). Akan tetapi terdapat kendala dalam pemecahan persamaan di atas karena berbentuk fraksional. Dengan cara linearisasi maka persamaan diatas dapat dipecahkan dan menghasilkan persamaan seperti berikut:

=

r ro r o v u

w

u

v

Max

, ... (6) Subject to 1 1 =

=I i io ix v ... (7) ur = ε vi = ε Selanjutnya Farë et al. (1994) melakukan variasi pengembangan dari pendekatan linear programming untuk model efisiensi, produktivitas dan kapasitas. Model yang dikembangkan Farë et al. tersebut antara lain input-oriented technical efficiency dan output-oriented technical capacity. Golany dan Roll (1989) diacu Anna (2003), menyatakan bahwa ada tiga tahapan penggunaan DEA yaitu: (1) mendefinisikan dan menyeleksi DMU, seluruh unit dengan tujuan, penggunaan input dan output yang dihasilkan harus , j = 0, 1,2, ..., J ..………. (3)

, r = 1,2, …, R .……… (4)

, i = 1,2, ..., I ………. (5)

, r = 1,2, …, R .……… (8)

(15)

sama; (2) menentukan variabel input dan output DMU; dan (3) mengaplikasikan salah satu model DEA dan menganalisis hasilnya.

2.5 Musim Penangkapan Ikan

Fluktuasi hasil tangkapan dipengaruhi oleh keberadaan ikan, jumlah upaya penangkapan dan tingkat keberhas ilan operasi penangkapan ikan. Respon ikan terhadap musim antar lain akan mendekati atau menjauhi suatu daerah penangkapan, menyebar atau bergerombol dan terjadinya perubahan stok perikanan karena kondisi oceanografi. Respon upaya penangkapan ikan terhadap musim di antaranya kebanyakan ikan yang ditangkap, keadaan cuaca dan keuntungan yang diperoleh. Hasil tangkapan tidak hanya dipengaruhi oleh kelimpahan ikan pada suatu saat, tetapi tergantung juga kepada jumlah unit dan efisiensi unit alat tangkap, lamanya operasi penangkapan dan ketersediaan yang ditangkap (Laevastu dan Favor ite 1988).

Untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisien diperlukan adanya informasi yang tepat, seperti saat musim penangkapan ikan yang baik. Informasi mengenai pola musim penangkapan ikan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksanaan operasi penangkapan. Perhitungan pola musim penangkapan ikan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan bulanan. Pola musim penangkapan dapat dianalisis dengan mengggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving avarage) yang dikemukakan Dajan (1986). Keuntungan menggunakan metode rata-rata bergerak yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan ikan dan dapat menghilangkan trend

atau kecenderungan yang bisa dijumpai pada metode deret waktu. Kelemahan dari metode ini tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir data.

2.6 Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan perlagis di Kabupaten Bangka baru dilakukan oleh Febrianto (2008), dengan fokus penelitian potensi ikan tenggiri dengan menggunakan metode surplus produksi. Hasil

(16)

penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri di perairan Kabupaten Bangka telah melebihi hasil tangkapan lestari (MSY) dan total produksi MEY, sehingga diduga sumberdaya ikan tenggiri telah mengalami gejala overfishing baik secara biologi maupun ekonomi.

Penelitian untuk menghitung kapasitas penangkapan dengan menggunakan model data envelopment analysis (DEA) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya:

1) Tingley et al. (2002), menggunakan model DEA untuk menganalisis kapasitas penangkapan multi-purpose dan multi-gear di English Chanel. Hasil analisisnya menyatakan perhitungan CU dan TE multi output lebih akurat dibandingkan dengan perhitungan single output.

2) Kirley et al. (2003), menggunakan model DEA output oriented untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Semenanjung Malaysia. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih sebesar 249.194 pounds dan direkomendasikan sebanyak 10 kapal tidak efisien sehingga perlu ditarik dari perairan tersebut.

3) Fauzi dan Anna (2005), menggunakan model DEA single output oriented

untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil di pesisir DKI Jakarta. Hasil penelit iannya menunjukkan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih pada perikanan bubu, muroami dan pancing, sehingga diperlukan intervensi pengurangan input untuk alat tangkap tersebut.

4) Sularso (2005), menggunakan model DEA single output output oriented

untuk menganalisis alternatif pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perikanan pukat udang di Arafura saat itu telah mengalami overfishing, sehingga direkomendasikan alternatif pengelolaan berupa penutupan musim penangkapan, pengurangan jumlah kapal dan pengaturan kuota.

5) Wiyono dan wahyu (2006), menggunakan model DEA single output oriented

untuk menganalisis kapasitas perikanan skala kecil pantai dengan studi kasus unit perikanan pancing ulur di perairan Pelabuhanratu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kapasitas penangkapan pancing ulur tidak optimal dan telah terjadi kapasitas berlebih.

(17)

6) Desniarti (2007), menggunakan model DEA single output untuk menganalisis kapasitas perikanan pelagis di pesisir Provinsi Sumatera Barat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah melebihi MSY, sedangkan pemanfaatan ikan pelagis besar masih kurang dari produksi optimal.

7) Efendi (2007) dan Huf iadi (2008), menggunakan model DEA input oriented

untuk menganalisis kapasitas perikanan pukat cincin di perairan Laut Jawa. Hasil penelitian keduanya menunjukkan kondisi perikanan pukat cincin di Laut Jawa telah mengalami kapasitas berlebih dan overfishing. Perbedaan kedua penelitian ini, pada penelitian Efendi hanya menggunakan single output sedangkan Hufiadi menggunakan DEA single dan multi output.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis tingkat kapasitas unit penangkapan ikan skala kecil menurut musim di perairan pantai timur Kabupaten Bangka. Metode yang digunakan adalah model DEA output oriented dengan perhitungan single dan multi output. Penelitian ini juga mengkaji pola musim penangkapan ikan yang diduga turut berpengaruh terhadap tingkat kapasitas unit penangkapan ikan skala kecil.

Gambar

Gambar 2  Deskripsi  sistem perikanan  tangkap  yang menunjukkan dinamika  sumberdaya ikan, armada (modal) dan nelayan (Charles 2001)
Gambar 3 Kurva fungsi produksi.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

SKRIPSI EKSISTENSI PASAL 50 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA.. mengajukan permohonan &#34;Hak Menguji&#34; kepada Mahkamah Konstitusi atas. pasal 50 undang-undang

Dengan adanya pendistribusian database nama host dan alamat IP, maka tiap organisasi yang memiliki jaringan di dalam domain tertentu hanya bertanggung jawab terhadap database

a) Pengembangan terbatas atas praktik akuntansi yang ada untuk pengeluaran eksplorasi dan evaluasi. b) Entitas yang mengakui aset eksplorasi dan evaluasi untuk menilai apakah

Pengujian aktivitas antioksidan ekstrak Selaginella dilakukan dengan memberikan ketiga jenis ekstrak Selaginella yang berbeda dan cekaman oksidatif pada mencit yaitu tidak

1. Tim pemetaan mutu yang ada di BP-PAUD dan Dikmas secara proaktif perlu mencari data Lembaga PAUD dan Dikmas yang dibutuhkan untuk kegiatan pemetaan mutu

1) Bakteri dengan kode isolat 3R tumbuh di atas permukaan medium, bentuk koloni circular , elevasi low convex , tepi entire dan struktur dalam finely granular. Bentuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami implikasi ekologi dari over-ekploitasi terhadap degradasi biota yang bernilai ekonomi dan kerusakan akibat penggunaan