• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Tembang

2.1.1. Klasifikasi dan morfologi

Menurut www.fishbase.org, klasifikasi ikan tembang (Gambar 1) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Clupeiformes Famili : Clupeidae Subfamili : Incertae sedis Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriata (Cuvier and Valenciennes 1847)

Nama umum : Fringle-scale sardinella, fringe-scale sardine

Nama lokal : Tembang, tamban, tamban sisik, tanyang (Saanin 1984)

Gambar 1. Ikan tembang (Sardinella fimbriatta Cuv. and Val., 1847) Sumber : Dokumentasi pribadi

Ikan tembang memiliki mata tidak berkelopak keras dan tidak mempunyai duri. Sirip punggung terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku-buku dan berbelah. Ikan tembang bersisik tidak bersungut, sirip punggung tidak keras, sirip perut jauh ke belakang di muka sirip dubur. Perut bersisik tebal, sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, mulut lebar tajam, serta bergerigi. Bentuk badan ikan tembang pipih dengan bagian duri di bagian bawah badan. Tapis insang halus berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah. Panjang baku antara 3.0-3.6 kali tinggi tubuh. Warna tubuh biru kehijauan

(2)

pada bagian atas, putih perak pada bagian bawah. Sirip-sirip pucat kehijauan serta tembus cahaya (www.pipp.dkp.go id).

Menurut Saanin (1984), ikan tembang (S. fimbriata) memiliki ciri-ciri rangka terdiri dari tulang benar dan bertutup insang. Kepala simetris, badan tidak seperti ular, dan seluruh sisik tidak terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor tidak bercincin, dan hidung tidak memanjang ke depan. Pipi atau kepala tidak berkelopak keras dan tidak berduri. Sirip punggung terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku-buku dan berbelah. Bersisik, tidak bersungut, dan tidak berjari-jari keras pada tulang punggung. Tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit, tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, dan sirip dada senantiasa sempurna. Perut sangat pipih dan bersisik tebal yang bersiku. Sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk mulut terminal (posisi mulut terletak dibagian depan ujung hidung), tajam serta bergerigi. Gigi lengkap pada langit-langit, sambungan tulang rahang, dan lidah.

Tinggi badan 25-34% dari panjang standar, total scute 29-33, tulang tapis insang 54-82, dan terdapat tanda hitam di bagian sirip dorsal. ikan ini menyerupai ikan sardinella dari spesies yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa. Perbedaannya terletak dari jumlah scute, ikan Sardinella gibbosa memiliki scute yang lebih banyak yaitu lebih dari 32 dan tulang tapis insang yang lebih sedikit yaitu 41-68 (FAO 1974).

2.1.2. Distribusi dan makanan

Ikan tembang termasuk ikan pelagis yang hidup di lautan terbuka, lepas dari dasar perairan. Zona kedalaman sampai 100-150 meter, yaitu zona yang masih dapat ditembus cahaya disebut zona epipelagik (Nybakken 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan di perairan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan di dalam spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, kebiasaan makanan, ketersediaan makanan, arus, air dan angin (Hanson 1991 in Rosita 2007).

Ikan tembang adalah ikan yang hidup di permukaan dan hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada areal yang luas sehingga sering tertangkap bersama ikan lemuru pada kedalaman 200 meter. Larva dan telur ikan tembang

(3)

ditemukan di daerah mangrove/bakau. Saat kecil ikan ini masih ada yang hidup di daerah mangrove dan mulai memasuki daerah yang memiliki kadar garam sedang (5‰-30‰). Ketika dewasa spesies ini bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak ditemuka di daerah dekat pantai sampai menuju ke arah laut (www.fishbase.org). Menurut Gunarso (1985) in Rosita (2007) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan bergerombol, antara lain sebagai tempat perlindungan dari predator, tempat mencari makan dan menangkap mangsa, pemijahan, bertahan dari musim dingin, untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar.

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sedangkan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat, dan cara makanan yang diperoleh. Banyak spesies ikan yang dapat menyesuaikan diri dengan persediaan makanan dalam perairan berhubungan dengan musim. Dalam suatu daerah luas untuk suatu spesies yang hidup terpisah-pisah dapat berbeda makanannya, bukan untuk satu ukuran saja melainkan untuk semua ukuran ikan (Effendie 2002).

Jenis dan jumlah makanan yang dapat dikonsumsi untuk satu spesies ikan biasanya tergantung kepada umur ikan, tempat, dan waktu. Dalam satu spesies ikan di suatu perairan mungkin makanannya berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan. Jadi perubahan makanan spesies ikan adalah hal wajar sehingga makanan dapat berubah. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan makanan ikan antara lain penyebaran organisme makanan dan ketersediaan makanan (Effendie 2002)

Menurut Pradini (1998) in Rosita (2007) ikan tembang seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Menurut Robiyanto (2006) makanan utama ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah pada bulan Juli-Desember adalah Bacillariophyceae, makanan pelengkap terdiri dari kelompok Crustacea, serta makanan tambahannya berupa Ciliata dan Dinophyceae. Dari jenis makanan yang dimakan, maka ikan tembang tergolong omnivora cenderung herbivora.

(4)

2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang

Ikan tembang di Teluk Banten ditangkap dengan menggunakan alat tangkap bagan. Menurut Yuliana (2009) nelayan bagan tancap menuju daerah penangkapan menggunakan jasa kapal motor angkutan. Kapal motor ini berfungsi untuk mengantarkan nelayan ke bagan nya masing-masing mengangkat hasil tangkapan dan menbawa bahan untuk pembuatan atau perbaikan bagan tancap.

Bagan tancap yang terdapat di Teluk Banten merupakan suatu bangunan panggung yang terbuat dari bambu yang ditancapkan di dasarkan perairan dan dilengkapi dengan waring, tali temali dan lampu petromak. Umumnya pada konstruksi bagan tancap terdapat alat bantu roller yang digunakan untuk mempermudah dalam hauling. Produktivitas ikan tembang dengan unit penangkapan bagan tancap di Perairan Karangantu tahun 2007 sebesar 7.84 kg/trip (Yuliana 2009).

Menurut Subani (1972) in Hutomo et al. (1987) berdasarkan bentuk, macam, dan cara penggunaannya, bagan dibagi ke dalam dua golongan yaitu :

a. Bagan tetap merupakan suatu bentuk bagan yang tidak dapat dipindah-pindahkan. Alat ini terdiri dari anjang-anjang yang berfungsi sebagai rumah bagan, daun bagan yang berbentuk bujur sangkar. Jaring diberi bingkai dari bambu berukuran 7.5 x 7.5 m. Penggunaan tenaga cukup dua orang karena alat ini mudah dioperasikan. Alat ini biasanya dipasang pada kedalaman sekitar 8-15 meter dan masih dekat dengan pantai/daratan.

b. Bagan gerak (perahu) adalah suatu bentuk bagan yang dapat dipindah-pindahkan di tempat- tempat yang di anggap baik serta tidak mengganggu alur kapal-kapal besar. Perbedaan alat ini dengan bagan tetap adalah pada rumah bagan. Bagan gerak dapat beranjang-anjang atau tanpa anjang. Bagan gerak memiliki beberapa jenis yaitu bagan rakit, bagan perahu beranjang, bagan perahu, dan bagan morotai.

2.3. Analisis Frekuensi Panjang

Semua metode pengkajian stok ikan pada intinya memerlukan data masukan komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukan dilakukan konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Oleh karena itu kompromi yang paling baik bagi pengkajian stok

(5)

bagi spesies tropis adalah suatu analisis sejumlah data frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan menentukan umur terhadap kelompok umur-umur tertentu. Tujuannya yaitu memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999).

2.4. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat ke dalam suatu waktu, sedangkan untuk pertumbuhan untuk populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan ikan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002).

2.4.1. Hubungan panjang bobot

Analisa hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk mempelajari pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang dan berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga berat dari panjangnya (Effendie 2002).

Hasil analisis hubungan panjang dan berat akan menghasilkan suatu nilai konstanta b yaitu pangkat yang menunjukan pola pertumbuhan ikan menyebutkan bahwa pada ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya sama dengan pertambahan berat. Sebaliknya pada ikan dengan pertumbuhan pola allometrik (b≠3) pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan pertumbuhan allometrik positif jika b>3, yang menandakan pertumbuhan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panhjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai allometrik negatif apabila b<3, ini menandakan jika pertambahan panjang lebih lebih cepat dibandingkan pertumbuhan berat (Ricker 1970 in Effendie 2002).

(6)

Menurut Syakila (2009) hubungan panjang berat ikan tembang di Teluk Palabuhan Ratu yaitu W=9x10-6 L2.99 dengan kisaran nilai b sebesar 2.86 – 3.12. Dari nilai b yang diperoleh diketahui bahwa ikan tembang memiliki pola pertumbuhan isometrik. Pola pertumbuhan alometrik negatif dimiliki oleh ikan tembang yang berada di Perairan Ujung Pangkah (Rosita 2007). Ikan tembang dari genus yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa memiliki pola pertumbuhan isometrik di tiga daerah yaitu Palabuhanratu, Blanakan, serta Labuan (Hari 2010).

2.4.2. Parameter pertumbuhan

Parameter pertumbuhan diduga dengan menggunakan metode Ford Walford. Metode Ford Walford dapat digunakan karena data diambil pada interval waktu tetap. Metode Ford Walford memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk mengestimasi parameter pertumbuhan diantaranya Plot Gulland and Holt dan Chapman. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode NORMSEP (Sparre dan Venema 1999).

Parameter-parameter yang digunakan dalam menduga pertumbuhan yaitu  panjang infinitif (L∞) yang merupakan panjang maksimum secara teoritis, koefisien pertumbuhan (K), dan t0 yang merupakan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (Sparre & Venema 1999). Menurut Syakila (2009) L∞ dari ikan tembang

(Sardinella fimbriata) di Teluk Palabuhan Ratu mencapai 170.2 mm dengan nilai K

sebesar 1.48 pertahun dan t0 adalah -0.40 tahun, sedangkan menurut Hari (2010) ikan tembang dari spesies yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa di tiga daerah yang berbeda yaitu Labuan memiliki nilai L∞ sebesar 203.18 mm dengan K sebesar 0.60, Pelabuhanratu memiliki nilai L∞ sebesar 203.18 mm dengan K sebesar 0.97, dan Blanakan memiliki nilai L∞ sebesar 192.68 mm dengan nilai K sebesar 1.44. Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor genetik yang terbentuk setiap spesies, jumlah pakan, temperatur (temperatur yang tinggi sampai optimum yang menghasilkan pertumbuhan lebih cepat), dan siklus hormonal (Widodo & Suadi 2006).

(7)

2.5. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas merupakan parameter kunci yang digunakan untuk menggambarkan kematian. Mortalitas suatu kohort terdiri atas mortalitas karena penangkapan dan mortalitas alami yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian, predasi, penyakit, dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Menurut Syakila (2009) laju mortalitas total ikan tembang di Teluk Palabuhan Ratu sebesar 8.52, mortalitas alami 1.15, penangkapan 7.38, sehingga laju eksploitasi mencapai sebesar 0.87.

Laju eksploitasi didefinisikan sebagai suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Dengan kata lain laju eksploitasi adalah jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena kematian alami maupun penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0.5.

2.6. Pengkajian Stok Ikan

Konsep dasar dalam mendeskripsikan dinamika suatu sumberdaya perairan yang dieksploitasi adalah stok. Stok diartikan sebagai suatu sub gugus dari suatu spesies di suatu wilayah geografis tertentu yang memiliki parameter pertumbuhan dan mortalitas yang sama (Sparre & Venema 1999).

Dalam menentukan berbagai alternatif terbaik dalam pengelolaan perikanan maka diperlukan pengkajian stok yang merupakan perhitungan statistik dan matematik untuk membuat prediksi kuantitatif dan sejumlah pilihan dan alternatif pengelolaan. Pengkajian stok mencakup estimasi tentang jumlah atau kelimpahan dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta sebab lainnya, dan satu atau lebih referensi mengenai berbagai tingkat laju penangkapan dan tingkat kelimpahan dimana stok dapat tetap lestari (Widodo & Suadi 2006). Menurut Sparre dan Venema (1999) tujuan dari pengkajian stok ikan adalah memberikan saran tentang pemanfaatan optimum sumberdaya hayati seperti ikan dan udang.

(8)

Proses penipisan stok sering diikuti dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, penurunan berat rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur populasi ikan (ukuran serta umur), dan perubahan komposisi spesies ikan (ekologi perairan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan, dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998 in Syakila 2009).

2.7. Model Produksi Surplus

Metode produksi surplus dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan biomassa dan estimasi potensi dari suatu jenis kelompok jenis atau kelompok jenis sumberdaya ikan. Metode ini merupakan metode yang sangat sederhana dan murah biaya karena hanya membutuhkan data tentang hasil tangkapan atau produksi, biasanya tersedia di tempat pendaratan ikan, dan benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisa sumberdaya pelagis besar kecil, krustacea, serta moluska (Widodo et al 1998 in Syakila 2009)

Tujuan penggunaan model produksi surplus untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang menghasilkan suatu hasil tangkapan yang maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi stok secara jangka panjang yang biasa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari (maksimum sustainable yield). Metode ini banyak digunakan di daerah perairan tropis karena dalam penggunaan model ini tidak memerlukan kelas umur dan penerapannya hanya menggunakan hasil tangkapan per upaya (CPUE) (Sparre & Venema 1999).

Penentuan potensi sumberdaya ikan di perairan indonesia pada umumnya menggunakan metode produksi surplus dari Schaefer dan Fox yang menitikberatkan pada perbandingan hasil tangkapan yang dikaitkan dengan intensitas penangkapan. Selain itu metode yang digunakan dalam mengestimasi stok ikan yaitu metode swept

area, metode penandaan (tagging), metode akustik perairan, dan metode semi

(9)

2.8. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan

Suatu sumberdaya ikan dikatakan telah dimanfaatkan secara berlebih (over

eksploited) bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu

melampaui tigkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY.

Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total allowable catch) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Aziz 1995). TAC merupakan 80 % dari potensi lestari, penetapan tersebut dalam rangka sikap hati-hati akan kelangsungan dan kelestarian sumberdaya tersebut. Sebetulnya sampai 100% dari potensi lestari yang ada masih diperbolehkan untuk ditangkap, namun untuk menghindari kemungkinan yang dapat timbul dari penangkapan berlebihan, sekaligus sebagai antisipasi dari beberapa faktor biologi, ekologi, dan ekonomi (Imran 2000).

Pada tahun 1996 Direktorat Jenderal Perikanan bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI dan Fakultas perikanan IPB melakukan evaluasi buku potensi sumberdaya ikan di Indonesia. Evaluasi ini menghasilkan dugaan potensi sumber daya ikan laut Indonesia sebesar 6,35 juta ton/tahun (Boer et al. 2001). Menurut Gulland (1983) in Boer et al. (2001) tingkat pemanfaatan yang aman adalah 90% dari besarnya potensi lestari.

2.9. Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan adalah proses yang terintregrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, dan implementasinya dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam konteks menjamin kelangsungan produktivitas sumber dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 in Widodo & Suadi 2006). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah menjamin bahwa mortalitas penangkapan tidak melampaui kemampuan populasi untuk bertahan dan tidak mengancam atau merusak kelestarian dan produktivitas dari populasi ikan yang dikelola (Widodo & Suadi 2006).

(10)

Secara umum, tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial, dimana tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan meliputi :

(1) menjaga spesies target berada di tingkat atau di atas tingkat yang diperlukan untuk menjamin produktivitas yag berkelanjutan.

(2) meminimalkan dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan atas non target (hasil tangkapan sampingan).

(3) memaksimalkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan.

(4) memaksimumkan kesempatan kerja bagi mereka yang tergantung pada perikanan bagi kelangsungan kehidupan (tujuan sosial).

Sedangkan menurut Gulland (1977) in Nikijuluw (2002) pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti :

(1) pembatasan alat tangkap ikan (2) penutupan daerah penangkapan ikan (3) penutupan musim penangkapan ikan

(4) pemberlakuan kuota penangkapan ikan yang dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan ikan

(5) pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran operasi penangkapan (6) penetapan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan untuk setiap kapal

Menurut Retting (1992) in Nikijuluw (2002) manajemen sumberdaya perikanan dapat dilakukan dengan cara pembatasan jumlah ikan yang ditangkap, pendekatan tidak langsung dalam mengalokasikan kegiatan penangkapan ikan seperti penutupan musim, penutupan daerah, dan pembatasan jumlah alat tangkap, perizinan terbatas, pendekatan yang bersifat moneter seperti royalti, dan hak kepemilikan atas sumberdaya ikan yang dapat berupa hak ulayat dan alokasi total tangkapan yang diperolehkan (Total Allowable Catch atau TAC).

Gambar

Gambar 1. Ikan tembang (Sardinella fimbriatta Cuv. and Val., 1847)  Sumber : Dokumentasi pribadi

Referensi

Dokumen terkait

1) Pelayanan pada industri perikanan. Tempat berlabuh kapal perikanan. Tempat pendaratan ikan hasil tangkapan.. Tempat untuk memperlancar kegiatan-kegiatan kapal perikanan.

Pengertian hasil tangkapan didaratkan adalah jumlah ikan dari satu atau lebih spesies ataupun hewn air lainnya yang tertangkap oleh suatu kegiatan operasi penangkapan dan

Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi

Fekunditas dan diameter telur yang diamati berasal dari ikan yang mencapai tahap perkembangan TKG III sampai IV dan sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil

Fungsi pelabuhan perikanan ditinjau dari berbagai kegiatan khusus adalah sebagai tempat untuk berlabuh dan bertambatnya kapal yang hendak bongkar muat hasil tangkapan ikan

51/Kpts/IK.250/1/97 dijelaskan ada 3 jenis rumpon antara lain: (1) rumpon perairan dasar merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan

surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu upaya penangkapan yang menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang berkelanjutan tanpa berpengaruh

3 Jumlah mata pancing dan ketersediaan umpan Jumlah mata pancing yang digunakan pada saat setting operasi penangkapan ikan dilakukan sangat berkaitan dengan peluang tertangkapnya