• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Karang"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Klasifikasi ikan karang menurut Kuiter (1992), sebagai berikut : Phylum : Cordata

Klas : Osteichtyes

Ordo : Perciformes

Famili : Lutjanidae, Scaridae, Pomacentridae, dst Genus : Lutjanus, Scarus, dst

Spesies : Lutjanus johni, dst

Menurut Adrim (1993) diacu oleh Nasution (2001) mengelompokkan ikan karang dalam tiga kategori yaitu :

(1) Kelompok ikan target, yaitu ikan yang mempunyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae;

(2) Kelompok ikan indikator, yaitu ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya satu famili yang termasuk kelompok ikan indikator yaitu famili Chaetodontidae.

(3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogontidae.

Menurut Terangi (2004), pengelompokan ikan karang berdasarkan peranannya terdiri dari :

(1) Ikan target adalah ikan yang merupakan target penangkapan atau dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mullidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae;

(2) Ikan indikator dikenal sebagai ikan penentu terumbu karang karena erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang seperti famili Chaetodontidae (kepe-kepe).

(3) Ikan lain (Mayor familiy) adalah ikan yang terdapat dalam jumlah yang banyak dan banyak dijadikan sebagai ikan hias air laut seperti famili Caesionidae, Scaridae, Pomacentridae, Apogonidae, dan lain-lain.

(2)

2.2 Karakteristik Ikan Karang 2.2.1 Ikan target

Dalam Terangi (2004), di kemukakan karakteristik dari berbagai famili ikan karang sebagai berikut :

1) Serranidae

Famili ini biasanya dikenal dengan sebutan grouper, rock cods, coral trout, kerapu, sunu, lodi. Terdiri dari beberapa sub famili seperti Anthiniinae (anthias), Ephinephelinae, Gramministinae (soapfish) dan Pseudogrammitinae (podges). Biasanya hidup soliter (jarang ditemukan berpasangan), dan bersembunyi di gua-gua atau di bawah karang. Ukuran panjang sampai 2 m dengan berat mencapai 200 kg. Tergolong karnivora pemakan ikan, udang dan crustacea. Beberapa spesies dari famili ini diantaranya Anyperodon leucogramminicus, Cephalopholis miniata, Epinephelus quoyanus dan Plectropomus maculates. Subfamili Anthiinae disebut basslets, sea-perch, nona manis. Biasanya berukuran kecil, mempunyai warna terang, merah, orange, kuning dan biru. Hidup pada daerah tubir di terumbu karang dan jauh dari pantai atau daerah yang mempunyai kadar garam tinggi dan selalu bermain di atas celah-celah karang.

2) Lutjanidae

Famili ini dikenal dengan sebutan snappers, seabass, kakap, jenahan, jambihan dan samassi. Hidup di perairan dangkal sampai laut dalam. Bentuk tubuh memanjang, agak pipih, badan tinggi dan mempunyai gigi taring. Warna merah, putih kuning kecokelatan dan perak. Sebagian hidup bergerombol dan sebagai predator ikan, crustacea dan plankton feeders. Bentuk berbeda antar yang dewasa dengan yang kecil. Contoh Lutjanus kasmira, L. biguttatus, L. sebae, dan Macolor niger.

3) Lethrinidae

Famili ini dikenal dengan sebutan emperor, asual, asuan, gotila, gopo, ketamba lencam, mata hari, ramin dan sikuda. Sering ditemukan di daerah berpasir dan patahan karang (rubbel) pada daerah tubir, warna tubuh

(3)

bervariasi antar jenis, tetapi ada beberapa jenis dapat berubah dengan cepat hampir mirip dengan Lutjanidae tapi memiliki kepala agak runcing, panjangnya bisa mencapai 1 meter. Cara makan karnivora dengan memakan bermacam hewan di pasir dan patahan karang (rubbel).

4) Acanthuridae

Famili ini dikenal dengan sebutan surgeons, botana, maum, marukut, kuli pasir. Duri berbisa terdapat pada pangkal ekor berjumlah 1 dan 2, sangat tajam seperti pisau operasi, kulit tebal dengan sisik halus. Termasuk golongan herbivora dan hidup di daerah karang dangkal, contoh : Naso vlamingii, Zebrasoma scopes.

5) Mullidae

Famili ini dikenal dengan sebutan goatfishes, biji nangka, kambing-kambing.

Warna umumnya merah, kuning dan keperak-perakan, mempunyai jenggot (barbell), dan mencari makan di dasar perairan atau pasir. Contoh : Parupeneus bifasciatus, Upeneus tragula.

6) Siganidae

Famili ini dikenal dengan sebutan rabbit fishes, baronang, cabe, lingkis, samadar. Tubuh lebar dan pipih ditutupi sisik halus, warna bervariasi, pada punggung terdapat bintik-bintik putih, coklat, kelabu atau keemasan, duri-duri sirip berbisa, beracun menyebab perih bila tertusuk durinya dan ukuran berkisar 30 - 45 cm. Makanan umumnya rumput laut dan alga.

7) Haemullidae

Famili ini dikenal dengan sebutan sweetlips, tiger, grunts, bibir tebal. Ditemukan pada gua-gua karang, kulit halus dan licin, warna dan bentuk tubuh berubah dalam pertumbuhan. Ukuran medium sampai 90 cm. Contoh : Plectrorincus orientalis.

8) Labridae

Khusus genus Cheilinus, Choerodon dan Hemigymnus, ketiga genus ini dinamakan wrasses raksasa karena mempunyai ukuran agak besar (medium

(4)

size 20 -130 cm), aktif pada waktu siang hari (diurnal), ikan yang sulit untuk didekati (pemalu), sering ditemukan pada air yang bersih dan pada tubir karang di kedalaman 10 – 100 m. Makanannya moluska, bulu babi, udang kecil dan invertebrata. Contoh: Thallasoma sp, Cheilinus undulatus, Epibulus insidiator, Choerodon anchorago, Cheilinus fasciatus, Labroides sp.

9) Nemipteridae

Famili ini dikenal dengan sebutan spinecheeks, monocle-bream, pasir-pasir, aloumang, ijaputi, palosi pumi dan ronte. Berwarna terang, sering ditemukan pada dasar perairan berpasir dan patahan-patahan karang (rubble), kelihatan selalu diam, tapi bila terusik berenang dengan cepat. Agresif pemakan invertebrata, ikan kecil, udang, kepiting dan cacing (Benthic feeders), hidup soliter dan bergerombol dan bersifat diurnal dan malam beristirahat di antara karang - karang. Ada perbedaan antara kecil dengan yang telah dewasa. 10) Priacanthidae

Famili ini dikenal dengan sebutan big eyes, belanda mabuk, mata besar. Ciri-cirinya bermata besar umumnya merah, sebagian hidup di laut dalam dan pada siang hari bersembunyi di gua-gua karang. Untuk identifikasi di bawah air sulit karena antar spesies mirip, sebaiknya diambil spesimen.

11) Carangidae

Famili ini dikenal dengan sebutan gabua, putih, kue. Termasuk ikan perenang cepat, tergolong ikan pelagis, biasanya hidup bergerombol (schooling), bersifat karnivora (waktu kecil makan zooplanton), dengan ukuran tubuh bisa mencapai 2 meter.

12) Sphraenidae

Famili ini dikenal dengan sebutan baracuda, alu-alu. Termasuk perenang cepat, hidup bergerombol (schooling), dan giginya tajam.

(5)

2.2.2 Ikan indikator 1) Chaetodontidae

Famili ini dikenal dengan sebutanbutterfly, daun-daun, kepe-kepe. Umumnya berpasangan, sebagian hidup bergerombol, ukuran tubuh kurang dari 6 inchi, tubuh bulat dan pipih, dan gerakan lamban atau lemah gemulai. Cara makan di atas karang seperti kupu-kupu. Warna tubuh umumnya cemerlang dari kuning, putih dengan tompel hitam dan pola bergaris pada mata. Makanan polip karang, algae, cacing dan invebterata lain. Aktif di siang hari (diurnal) dan mata selalu ditutupi strip hitam.

2.2.3 Ikan famili utama (mayor) 1) Pomacentridae

Famili ini dikenal dengan sebutan damselfish, betok laut, dakocan. Mempunyai banyak genus. Badan pipih dan nampak dari samping bulat. Ikan kecil terbanyak di terumbu karang. Makanan plankton, invetebrata, dan alga. Sebagian ada yang bersimbiosis dengan anemon (Amphiprion). Contoh : Cromis sp, Pomacentrus sp, Abudefduf sp, Dascyllus sp dan Amphiprion sp 2) Caesionidae

Famili ini dikenal dengan sebutan fusilier, ekor kuning, sulih, suliri, sunin. Genus Caesio berenang cepat, warna umumnya biru, kuning bagian belakang dan perak. Sering ditemukan di luar karang (tubir karang). Makanannya zooplankton. Contoh: Pterocaesio sp, dan Caesio sp.

3) Scaridae

Famili ini dikenal dengan sebutan parrotfishes, kakaktua, bayam. Gigi hanya dua atas dan bawah (seperti kakak tua), warna kebanyakan biru dan hijau, sering ditemukan bergerombol, kadang-kadang ditemukan sedang memakan karang keras dan sulit untuk diidentifikasi karena banyak yang mirip. Sering mencari makan di perairan dangkal waktu pasang tinggi.

(6)

4) Holocentridae

Famili ini dikenal dengan sebutan squirrel, swanggi, baju besi, sirandang, murjan, olelo, mahinai. Hidup di bawah gua-gua karang, biasanya berpasangan, kadang-kadang juga bergerombol, kulit dan sisik keras, kepala dan sirip berbisa dan banyak yang mirip antar spesies. Warna tubuh merah, perak dan mempunyai tompel dan garis.

5) Pomacanthidae

Famili ini dikenal dengan sebutan anggel, injel, betmen, napoleon, anularis. Warna mencolok dan cantik dengan ukuran tubuh dewasa antara 30 - 39 cm. Warna dan bentuk tubuh berubah selama pertumbuhan. Hidup soliter (sendiri) dan berpasangan. Hampir mirip dengan kepe-kepe, tapi lebih tebal dan di bawah tutup insang berduri dan makanannya alga dan spongs. Contoh: Centropyge sp, Pomachantus sp.

6) Apogonidae

Famili ini dikenal dengan sebutan cardinal, beseng, belalang, seriding, capungan. Banyak ditemukan pada ranting karang, bulu babi dengan ukuran tubuh kecil antara 5 -15 cm, agak buntek, sirip-sirip transparan, warna kuning, merah, coklat, putih transparan sebagian berbintik dan bergaris. Contoh : Apogon cyanosoma, Cheilodipterus artus.

7) Scorpaenidae

Famili ini dikenal dengan sebutan scorpion, lepu, linga-linga, lapo. Ikan ini penuh dengan duri yang berbisa 3 - 5 duri, bergerak lambat. Termasuk ikan predator, menangkap ikan yang lewat di depanya. Makanannya udang, kepiting, ikan-ikan kecil, warna umumnya cokelat, merah, putih, hitam dan kuning. Di Indo-Pasifik ada 80 genus, dari 350 spesies dan semua memiliki duri beracun.

8) Balistidae

Famili ini dikenal dengan sebutan triger, cepluk, papakulu, pakol, mendut, gogot. Kulit tebal, bentuk seperti bola ruqby, mulut kecil dengan gigi yang kuat, hidup soliter, jika malam hari bersembunyi di lubang-lubang karang.

(7)

Makanan kepiting, moluska, bulu babi, sponge, hydroids, coral dan algae. Bagi penyelam harus hati-hati, karena ada spesies yang menyerang penyelam ketika ikan itu sedang bertelur dan sirip keras dan kaku.

9) Aulostomidae

Famili ini dikenal dengan sebutan shimpfish, pisau-pisau. Ditemukan bergerombol pada karang bercabang, berenang secara vertikal, dan juvenil bermain pada bulu babi.

10) Phempheridae

Famili ini dikenal dengan sebutan keeled sweeper.Warna umumnya cokelat

kekuningan, bentuk tubuh sepeti segi tiga dan spesies kebanyakan mirip. Ditemukan pada gua-gua karang dan ukuran tubuh antara 15 - 25 cm.

11) Tetraodontidae

Famili ini dikenal dengan sebutan puffers, Ostraciidae disebut boxfhise dan Monacanthidae disebut leather jackets. Ada yang punya mata palsu, bentuk tubuh agak runcing, dan fleksibel bisa seperti balon. Hidup soliter dan aktif pada waktu malam, memiliki organ racun dan perenang lambat dan potensial bagi predator. Habitat beragam seperti lumpur, pasir dan karang.

12) Zanclidae

Famili ini dikenal dengan sebutanmorish idol. Hidup pada terumbu karang, berhidung panjang dan sirip dorsal panjang, warna tubuh kuning dan belang hitam.

13) Ephippidae

Famili ini dikenal dengan sebutan batfishes, platak. Bentuk seperti kelelawar, perenang lambat/tenang. Makanan algae, invertebrata (ubur-ubur) dan plankton .

(8)

2.3 Pola Distribusi dan Kebiasaan Makan Ikan Karang 2.3.1 Pola distribusi ikan karang

Beberapa studi mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehadiran ikan (struktur komunitas dan kelimpahan ikan) di suatu komunitas terumbu karang antara lain : tinggi rendahnya presentase tutupan karang hidup, zona habitat dan peubah fisik seperti arus, kecerahan dan suhu (Bell dan Galzin, 1985 diacu oleh Tamimi dan Bengen, 1993).

Distribusi ikan karang dikelompokan menjadi 2 bagian antara lain (1) distribusi vertikal ikan karang; dan (2) distribusi harian ikan karang. Menurut Harmelin-Vivien (1979) diacu oleh Marschiavelli (2001) mengemukakan bahwa ikan-ikan karang dapat dikelompokkan berdasarkan distribusi vertikal sebagai berikut :

(1) Spesies ikan karang yang hidup di dalam sedimen seperti famili Gobiidae, Ophichtidae, Trichonotidae, dst;

(2) Spesies ikan karang yang hidup di permukaan sedimen, seperti famili Torpedinidae, Nemipteridae, Bothidae, Soleidae, Mullidae, Sydnathidae, dst;

(3) Spesies ikan karang yang hidup di dalam gua-gua karang, seperti famili Serranidae, Apogonidae, Holocentridae, Pomacanthidae, Malacanthidae, dst; (4) Spesies ikan karang yang hidup di permukaan terumbu karang, seperti

famili Pomacentridae, Bleniidae, Synodonthidae, Monacanthidae, dst; (5) Spesies ikan karang yang hidup di sekitar terumbu karang, seperti famili

Labridae, Chaetodontidae, Scaridae, Acanthuridae, Balistidae, Zanclidae, dst;

(6) Spesies ikan karang yang hidup di kolom air, seperti famili Tylosuridae, Carangidae, Sphyraenidae, Clupeidae, dst.

Pola distribusi harian ikan karang dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu ikan-ikan diurnal dan nokturnal. Ikan diurnal (ikan siang) merupakan kelompok terbesar di ekosistem terumbu karang. Termasuk kelompok ikan diurnal adalah famili Pomacentridae, Labridae, Acanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Pomacanthidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan

(9)

Gobiidae. Mereka makan dan tinggal di permukaan karang serta memakan plankton yang lewat di atasnya. (Allen dan Steene 1990 diacu oleh Syakur 2000).

Pada malam hari ikan-ikan diurnal akan masuk dan berlindung di dalam terumbu dan digantikan oleh ikan-ikan nokturnal (ikan malam). Pada malam hari mereka keluar mencari makan, dan di siang hari ikan-ikan ini masuk ke gua-gua atau ke celah-celah karang. Termasuk ikan nokturnal seperti famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Muraenidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae. Selain ikan diurnal dan nokturnal, jenis ikan lain yang sering melintasi ekosistem terumbu karang seperti famili Scombridae, Sphyraenidae, Caesionidae, dan ikan hiu.Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan sifat dan habitat hidup dapat dilihat pada Tabel 1.

(10)

Tabel 1 Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan sifat dan habitat hidup

KelompokiIkan Sifat Hidup Habitat hidup

No Famili

Target Indikator Mayor Soliter Bergerombol Berpasangan Dalam sedimen Permukaan sedimen Dalam gua-gua Permukaan terumbu Sekitar terumbu Kolom air 1 Gobiidae + 2 Ophichtidae + 3 Trichonotidae + 4 Torpedinidae + 5 Nemipteridae + + + 6 Bothidae + 7 Soleidae + 8 Mullidae + + 9 Sydnathidae + 10 Serranidae + + 11 Apogonidae + + 12 Holocentridae + + + 13 Pomacanthidae + + + + 14 Malacanthidae + 15 Pomacentridae + + 16 Bleniidae + 17 Synodonthidae + 18 Monacanthidae + 19 Labridae + + 20 Chaetodonthidae + + + + 21 Scaridae + + + 22 Acanthuridae + + 23 Balistidae + + + 24 Zanclidae + + 25 Tylosuridae + 26 Carangidae + + + 27 Sphyraenidae + + 28 Clupeidae + 29 Ostraciontidae 30 Tetraodontidae + + 31 Canthigasteridae 32 Haemulidae +

(11)

Tabel 1 (Lanjutan)

KelompokiIkan Sifat Hidup Habitat hidup

No Famili

Target Indikator Mayor Soliter Bergerombol Berpasangan Dalam sedimen Permukaan sedimen Dalam gua-gua Permukaan terumbu Sekitar terumbu Kolom air 33 Priacanthidae + 34 Muraenidae 35 Scorpaenidae + 36 Synodontidae 37 Carcharhinidae 38 Lamnidae 39 Sphraenidae + 40 Lutjanidae + + 41 Cirrhitidae 42 Scombridae 43 Caesionidae + 44 Ephippidae + 45 Diodontidae 46 Palinuridae 47 Diogonidae 48 Xanthidae 49 Siganidae + 50 Lethrinidae + 51 Aulostomidae + + 52 Phempheridae + 53 Kyphopsidae

Sumber : Terangi (2004); Harmelin-Vivien (1979) diacu oleh Marschiavelli (2001) Keterangan : + : tergolong

(12)

2.3.2 Kebiasaan makan ikan karang

Terangi (2004), mengatakan bahwa pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan sebagai berikut :

(1) Ikan diurnal (aktif pada siang hari) seperti famili Holocentridae, Chaetodontidae, Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Bleniidae, Balistidae, Pomacanthidae, Monachantidae, Ostracionthidae, Tetraodontidae, Canthigasteridae, dan beberapa dari suku Mullidae;

(2) Ikan nokturnal (aktif pada malam hari) seperti famili Holocentridae, Apogonidae, Haemulidae, Priacanthidae, Muraenidae, Serranidae dan beberapa dari suku Mullidae; dan

(3) Ikan crepuscular (aktif diantara) seperti famili Sphyraenidae, Serranidae, Carangidae, Scorpaenidae, Synodontidae, Carcharhinidae, Lamnidae, Spyraenidae, dan beberapa dari Muraenidae.

Menurut Pentury et al. (1995), mengatakan bahwa berdasarkan cara makannya, ikan karang dapat dikelompokkan menjadi pemakan benthos (benthic feeder), benthos dan midwaters feeders (famili Pomadasydae), serta pemakan plankton ( plankton feeder). Selanjutnya menurut waktu makan maka ikan karang dapat digolongkan menjadi ikan yang mencari makan pada siang hari (diurnal)

dan ikan yang mencari makan pada malam hari (nokturnal). Menurut Mc Connaughey dan Zottoli (1983) diacu oleh Syakur (2000) mengemukakan

ikan yang tergolong herbivora adalah ikan yang aktif di siang hari (diurnal), sedangkan ikan karnivor umumnya mencari makan pada malam hari (nokturnal).

Menurut hasil penelitian Iskandar dan Mawardi (1996) mengemukakan ikan-ikan yang termasuk ikan-ikan diurnal (D) seperti famili Pomacentridae, Caesionidae, Synodontidae, Ephippidae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Labridae, Scaridae, Acanthuridae dan Diodontidae, sedangkan tergolong ikan nokturnal seperti famili Lutjanidae, Holocentridae, Palinuridae, Diogonidae dan Xanthidaae dan jenis ikan yang bersifat rangkap diurnal dan nokturnal dari famili Cirrhitidae, Serranidae, dan Holocentridae dari genus Pterois sp.

Aktivitas makan dari ikan diurnal dimulai sejak penetrasi cahaya matahari cukup menerangi kolom perairan di sekitar terumbu karang. Di pagi hari aktivitas ikan belum begitu tinggi, akan tetapi semakin siang semakin tinggi aktivitasnya.

(13)

Sebaliknya pada sore hari saat penetrasi cahaya mulai berkurang maka aktivitas makan pun berkurang dan di saat menjelang matahari terbenam ikan-ikan tersebut mulai menghilang menuju tempat persembunyian. Aktivitas ikan nokturnal mencari makan dimulai saat hari mulai gelap. Ikan-ikan tersebut digolongkan sebagai ikan soliter di mana aktivitas makan dilakukan secara individu, gerakannya lambat cenderung diam dan arah gerakannya tidak begitu luas serta lebih banyak menggunakan indera perasa dan penciuman (Iskandar dan Mawardi, 1996). Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan tingkat tropik dan aktivitas makan dapat dilihat pada Tabel 2.

2.4 Habitat Ikan Karang

Keterkaitan ikan terhadap terumbu karang karena bentuk pertumbuhan terumbu menyediakan tempat yang baik dan sebagai sumber makanan dengan keragaman jenis hewan atau tumbuhan (Nagelkerken, 1981 diacu oleh Wijoyo, 2002).

Choat dan Bellwood (1991) diacu oleh Syakur (2000) membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang, disimpulkan ada tiga bentuk hubungan antara lain :

(1) Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator (pemangsa) terutama bagi ikan masih muda;

(2) Interaksi dalam mencari makanan meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup di karang termasuk algae;

(3) Interaksi tak langsung akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen.

Interaksi antara ikan karang dengan habitat karang sangat erat kaitannya tergantung dari kondisi terumbu karang. Kerusakan terumbu karang akan mengakibatkan menurunnya populasi ikan di perairan karang.

(14)

Menurut Helviana (1998) membuat penelitian terhadap struktur komunitas ikan karang di Pulau Siberut pada kedalaman 3 m dan 10 m disimpulkan bahwa jumlah jenis (taksa) ikan karang pada kedalaman 3 m lebih sedikit jika dibandingkan dengan kedalaman 10 m. Hal ini disebabkan oleh rendahnya penutupan karang hidup pada kedalaman 3 m. .

(15)

Tabel 2 Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan tingkat tropik dan aktivitas makan

KelompokiIkan Periode aktivitas mencari makan Tingkat tropik No Famili

Target Indikator Mayor Siang (Diurnal)

Antara (Crespuscular)

Malam (Nocturnal)

Herbivora Omnivora Plankton feeders Pemakan crustcea dan ikan Piscivora Pemakan lain-lain 1 Gobiidae + + + 2 Ophichtidae 3 Trichonotidae 4 Torpedinidae 5 Nemipteridae 6 Bothidae 7 Soleidae + 8 Mullidae + + + + 9 Sydnathidae + 10 Serranidae + + + + + + 11 Apogonidae + + + 12 Holocentridae + + + + + + 13 Pomacanthidae + + + + 14 Malacanthidae + 15 Pomacentridae + + + + + + 16 Bleniidae + 17 Synodonthidae 18 Monacanthidae + + 19 Labridae + + + + 20 Chaetodonthidae + + + 21 Scaridae + + + 22 Acanthuridae + + + + + + 23 Balistidae + + + + 24 Zanclidae + 25 Tylosuridae 26 Carangidae + + + + + + 27 Sphyraenidae + + 28 Clupeidae 29 Ostraciontidae + + + 30 Tetraodontidae + + 31 Canthigasteridae + + + 32 Haemulidae + + 33 Priacanthidae + + + 34 Muraenidae + + + + 35 Scorpaenidae + + + + +

(16)

Tabel 2 (Lanjutan)

KelompokiIkan Periode aktivitas mencari makan Tingkat tropik No Famili

Target Indikator Mayor Siang (Diurnal)

Antara (Crespuscular)

Malam (Nocturnal)

Herbivora Omnivora Plankton feeders Pemakan crustcea dan ikan Piscivora Pemakan lain-lain 36 Synodontidae + + + + + 37 Carcharhinidae + + 38 Lamnidae + + 39 Sphraenidae + + + + 40 Lutjanidae + + + + + + 41 Cirrhitidae + + 42 Scombridae + + 43 Caesionidae + + 44 Ephippidae + + + 45 Diodontidae + + + 46 Palinuridae + 47 Diogonidae + 48 Xanthidae + 49 Siganidae + + + 50 Lethrinidae + + + 51 Aulostomidae + + 52 Phempheridae + 53 Kyphopsidae + + + 54 Sparidae + + 55 Gerridae + 56 Fistulariidae + 57 Sciaenidae + + 58 Pempheridae + 59 Grammistidae + + 60 Grammidae +

Sumber : Allen dan Steene (1990); Syakur (2000), Terangi (2004); Iskandar dan Mawardi (1996); Keterangan : + : tergolong

(17)

Keberadaan ikan di terumbu karang tergantung pada makanannya, karena itu ada keterkaitan yang tidak seimbang terhadap hubungan antara predator dan mangsanya (White, 1987). Keberadaan ikan-ikan karang sangat dipengaruhi oleh kondisi/kesehatan terumbu karang biasanya ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hutomo, 1986 diacu oleh Wijoyo, 2002).

Terumbu karang terdiri dari berbagai habitat seperti daerah berpasir, berbatu, ada yang membentuk daratan, lereng, tebing dan gua-gua. Habitat-habitat tersebut mempengaruhi jenis-jenis ikan yang berasosiasi di dalamnya. Pada karang glomerate seperti Porites sp umumnya tanpa celah

yang dalam, banyak terdapat ikan pemakan polip (polypgrazer) seperti ikan pakol (Balistidae) dan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Karang cabang seperti Acropora sp merupakan tempat berlindung bagi ikan kecil seperi ikan gobi dan ikan betok laut berenang keluar mencari zooplankton sebagai makanannya dan segera kembali ke terumbu.

2.5 Alat Tangkap Bubu

2.5.1 Bentuk dan konstruksi bubu

Perangkap (trap) adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan. Alat ini bersifatnya pasif, dibuat dari anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan netting), anyaman kawat (wire netting), kere bambu (bamboo’s screen), misalnya bubu (fish pot), sero (guiding barriers), dan lain-lain. Alat penangkap tersebut baik secara temporer, semi permanen, maupun permanen di pasang (di taman) di dasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Ikan-ikan atau sumberdaya perikanan laut lainnya tertangkap atau terperangkap karena terangsang adanya umpan atau tidak (Subani dan Barus,1989).

Menurut Sainsbury (1986), membagi bubu (pot) secara umum dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian yaitu offshore pot fishing dan inshore potting. Pot (trap) di konstruksi dari beberapa material yang berbeda termasuk kayu, kawat, plastik, plastik dibungkus dengan kawat dan jaring. Disainnya tergantung dari setiap lokasi. Pot dirancang untuk memudahkan ikan masuk dan sulit untuk keluar. Selanjutnya menurut Brandt (1984) penangkapan ikan dengan bubu adalah

(18)

keinginan agar ikan mau masuk ke dalam tempat atau jebakan, di mana ikan masuk tanpa ada paksaan karena ingin mencari tempat berlindung, terpikat oleh umpan, terkejut atau digiring oleh nelayan

Bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang dan bentuk lainnya. Bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan menjadi target tangkapan, tetapi meskipun yang dijadikan target tangkapan sama, terkadang bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya. Berbeda dengan alat tangkap lain, bentuk bubu tidak ada keseragaman di antara nelayan di satu daerah dengan di daerah lainnya atau di satu negara dengan negara lainnya (Martasuganda, 2003). Dalam JICA (2001) dikemukakan bahwa bentuk bubu ada bermacam-macam tipe seperti tipe cone, retangular, semi-retangular, half-ball, arrow-head, Z type, cylinder, scoop, circular, heart, triangular, barrel dan jar.

Bagian-bagian bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan sebagai rongga tempat ikan terkurung. Mulut bubu berbentuk corong dan merupakan pintu tempat ikan dapat masuk tetapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan tempat pengambilan hasil tangkapan (Subani dan Barus,1989).

Bubu merupakan salah satu alat tangkap pasif bersifat statis dan keefektifannya sangat tergantung pada jenis pikatan yang dipakai. Dalam usaha penangkapan bubu, biasanya untuk menarik ikan masuk ke bubu di pasang umpan tetapi ada pula bisa tanpa umpan. Jenis umpan yang digunakan dapat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan dan komposisi jenis ikan yang tertangkap (Furevik, 1994 diacu oleh Ferno dan Olsen, 1994).

Menurut High dan Beardsley (1970), Ferno dan Olsen (1994) mengemukakan bahwa ikan dapat tertarik pada bubu bukan saja karena umpan tetapi dari berbagai alasan lain seperti pergerakan secara acak, pemakaian bubu sebagai tempat tinggal atau tempat berlindung, keingintahuan ikan, tingkah laku sosial antar spesies, atau karena pemangsaan. Beberapa hal tersebut di atas merupakan suatu mekanisme yang dapat memberikan masukan untuk efisiensi bubu tanpa umpan.

(19)

Menurut Furevik (1994), mengemukakan bahwa tingkat selektif alat tangkap bubu dalam penangkapan ikan sangat tergantung dari beberapa parameter antara lain : mesh zise bubu, bentuk dan ukuran pintu masuk, ukuran bubu dan celah pelolosan (escape gap).

2.5.2 Daerah penangkapan ikan untuk tempat pemasangan bubu

Daerah penangkapan adalah semua tempat dimana ikan ada dan alat tangkap dapat dioperasikan (Djatikusumo, 1975 diacu oleh Urbinus, 2000). Menurut Sadhori (1985), ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan ikan, yaitu:

(1) Adanya ikan yang akan ditangkap; (2) Ikan tersebut dapat ditangkap

(3) Penangkapan dapat dilakukan secara berkesinambungan (4) Hasil tangkapan menguntungkan

Penentuan daerah penangkapan untuk pengoperasian bubu tidak begitu rumit dan kurang dipengaruhi oleh faktor oseanografi. Hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah diketahui keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang sebelum operasi penangkapan dilakukan. Informasi ini dapat diperoleh dari data hasil tangkapan atau informasi daerah penangkapan dari instansi terkait atau berdasarkan catatan keberadaan ikan dasar, kepiting atau udang di daerah penangkapan (Martasuganda, 2003).

2.5.3 Pengoperasian alat tangkap bubu

Sainsbury (1986) mengemukakan bahwa bubu dapat dioperasikan satu kali dalam sekali setting, hasil tangkapannya memiliki kualitas yang tinggi tetapi terdapat juga hasil tangkapan sampingan. Operasi penangkapan ikan erat hubungannya dengan tingkah laku ikan sebagai faktor penentu keberhasilan operasi penangkapan ikan. Pengetahuan tentang tingkah laku ikan dapat memperbaiki serta merubah alat maupun metode penangkapan yang memungkinkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan.

(20)

Pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : bubu dasar (ground fishpot), bubu apung (floating fishpot) dan bubu hanyut (drifting fishpot). Menurut cara pengoperasiannya bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu dipasang secara terpisah di mana satu bubu dipasang dengan satu pelampung (single trap) dan beberapa bubu dirangkai menjadi satu dengan menggunakan satu tali utama (long line traps) (Subani dan Barus, 1989).

Menurut Monintja dan Martasuganda (1990) diacu oleh Nasution (2001), keistimewaan bubu sebagai alat tangkap tradisional sebagai berikut:

(1) Pembuatan alat mudah dan murah; (2) Pengoperasian mudah;

(3) Kualitas hasil tangkapan bagus;

(4) Tidak merusak sumber daya, baik secara ekologis maupun teknik; dan (5) Dapat dioperasikan di tempat-tempat di mana alat tangkap lain tidak bisa

beroperasi

Menurut Monintja dan Martasuganda (1990) diacu oleh Nasution (2001) bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu, yaitu :

(1) Tertarik oleh umpan;

(2) Digunakan sebagai tempat berlindung;

(3) Karena sifat thigmotaksis ikan itu sendiri; dan

(4) Digunakan sebagai tempat beristirahat sewaktu ikan bermigrasi.

2.5.4 Hasil tangkapan

Ikan yang menjadi target penangkapan dengan bubu adalah kepiting, udang, shelfish, octopus, ikan demersal, lobster, conger eel dan cuttlefish (JICA, 2001). Hasil tangkapan bubu dasar terdiri dari ikan dasar, ikan karang, udang, kepiting dan sebagainya. Hasil tangkapan ikan karang dengan bubu dasar berupa ikan karang terutama dari famili Pomacentridae, Chaetodontidae, Siganidae, Serranidae Scaridae, Acanthuridae, Lutjanidae, Labridae, dan jenis lainnya.

Menurut Tiyoso (1979 diacu oleh Suci (1993) bahwa fluktuasi hasil tangkapan bubu dapat terjadi karena beberapa alasan seperti:

(21)

(1) Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;

(2) Keragaman ukuran ikan dalam populasi;

(3) Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap ini bersifat pasif dan menetap.

2.5.5 Zona pengaruh di sekitar alat tangkap terhadap tingkah laku ikan Zona pengaruh di sekitar alat tangkap yang mempengaruhi tingkah laku ikan saat operasi penangkapan dilakukan ada tiga macam yaitu : (1) Zone of influence adalah wilayah/area/zona pengaruh alat tangkap terhadap tingkah laku ikan.; (2) Zone of action adalah wilayah/area/zona yang dihasilkan alat tangkap diarahkan ke kumpulan ikan; dan (3) Zone of retention adalah wilayah/area/zona di mana alat tangkap dapat menahan ikan sehingga tidak terlepas (Nikonorov,1975). Letak wilayah/area/zona dari beberapa alat tangkap menurut Nikonorov (1975) dapat dilihat pada Gambar 2.

Keterangan :

I.Tipe kontak alat tangkap : a. gillnets, b. pancing berumpan dan c. pancing tanpa umpan; II. Trapnet; III. Alat tangkap Trawl : d. posisi horisontal, e. posisi vertikal; IV. Fish Pump; V. Alat tangkap melingkar (surrounding gear) : f . pertengahan (midwater), g. di dasar (on the bottom), 1 : Zone of

influence, 2 : Zone of action, 3. zone of retention; 4. field of influence terhadap sumber cahaya, umpan,

dan lain-lain.

(22)

Nikonorov (1975) menggambarkan zona pengaruh dari alat tangkap trapnet dimana zone of influence ditentukan oleh ukuran leader (penaju), zone of action ditentukan oleh pintu masuk trap, dan zone of retention ditentukan oleh kantong (chamber). Untuk menghitung jumlah ikan yang berinteraksi pada zone of influence (leader) sebagai berikut :

Qf0 = c0 S0 Vt t ; (1)

di mana : Qf0 = jumlah ikan yang memasuki zone of influence

c0 = konsentrasi ikan

S0 = area permukaan leader net

Vt = kecepatan renang ikan

t = lama penangkapan

Selanjutnya untuk menghitung kapasitas penangkapan pada trapnet yang ditentukan oleh jumlah ikan (Qf) yang melalui zone of action dari alat tangkap

Qf1 = c1 S1 Vf t ; (2)

di mana : Qf1 = jumlah ikan yang memasuki zone of action c1 = konsentrasi ikan

S1 = area dari leader net

Vf = kecepatan masuknya ikan t = lama penangkapan

maka Qf1 = Qf0 - Qf2 (3)

Oleh karena itu, efisiensi penangkapan dapat dihitung sebagai berikut :

Qf1 Qf2

1 = --- = 1 + --- (4)

Qf0 Qf0

Selanjutnya retaining efficiency dapat dihitung sebagai berikut : Qf = Qf1 - Qf3

Qf Qf3

2 = --- = 1 - --- (5)

Qf1 Qf1

Mengacu pada pendapat Nikonorov (1975) dapat diduga setelah rumpon dan bubu berada di perairan maka kedua benda tersebut akan memberikan respons untuk menarik ikan berkumpul baik di rumpon maupun di bubu. Ikan yang terespons datang mendekati rumpon dan bubu merupakan awal proses tingkah laku terjadi. Proses tingkah laku ikan terjadi karena beberapa alasan antara lain:

(23)

(1) Rangsangan (stimulation) dari luar seperti warna, bentuk benda, bau umpan, suara dan cahaya; (2) Tanggapan dari ikan melalui mata, telinga, penciuman dan linea lateralis; dan (3) Sistem urat syaraf dimana ikan menerima tanggapan dan duteruskan oleh urat syaraf dan ujung urat syaraf ke otak dan diproses di otak, maka otak akan memerintahkan terjadinya gerakan-gerakan pada tumbuh ikan (body movement). Seluruh gerakan tersebut di sebut tingkah laku ikan (fish behaviour) (Syandri, 1988).

Perubahan tingkah laku ikan berhubungan dengan tanggapan ikan dengan

benda-benda yang berada di perairan dan lingkungan sekitarnya awalnya di respons oleh mata ikan. Mata ikan merupakan salah satu organ penting pada

ikan berfungsi untuk melihat benda-benda dalam air baik dalam posisi dekat maupun jauh. Bila ikan sedang istirahat, maka mata ikan hanya mampu melihat benda di depannya saja, dan bila melihat jauh seluruh lensa ditarik kebelakang oleh otot khusus dinamakan retractor lentis (Omma Nney, 1982 diacu oleh Syandri, 1988).

Penglihatan ikan berbeda dengan binatang air lain, dimana ikan dapat melihat ke beberapa jurusan sekaligus. Mata ikan terletak pada kedua sisi kepala, di sebelah kiri (dicatat oleh otak bagian kiri) dan sebelah kanan (dicatat oleh otak bagian kanan) (Rab, 1988 diacu oleh Razak et al. 2005). Khusus bagi ikan karang, mata ikan juga memiliki morfologi yang berbeda. Pada ikan nokturnal, ukuran matanya lebih besar seperti ikan Myripristis sp , sedangkan ikan diurnal seperti Chaetodon lunula ukuran matanya kecil. Perbedaan ukuran itu disebabkan kondisi cahaya yang ada di lingkungan perairan sangat kontras saat siang hari dan malam hari. Pada malam hari intensitas cahaya rendah sehingga adaptasi mata ikan lebih besar, agar mampu menggunakan cahaya dengan intensitas rendah.

Warna yang mampu dilihat ikan karang secara umum adalah warna biru dan sensitif terhadap warna hijau. Ikan karang dari kelompok diurnal ketajaman penglihatan (visual acuity) lebih baik dari pada kelompok ikan nokturnal dan crespuscular karena sel-sel kerucut (cone cell) pada fotoreseptor lebih banyak. Pada ikan nokturnal fotoreseptor mengalami modifikasi dimana kepadatan sel batang (rod cell) antara 106 - 107 per mm2 dan lebih banyak dari ikan diurnal,

(24)

serta ketebalan lapisan fotoreseptor lebih tebal dari ikan diurnal (Sale (ed) 1991 diacu oleh Razak et al. 2005).

Dalam kaitan dengan penglihatan ikan karang untuk melihat makanan di sekelilingnya ditentukan juga oleh sinar ultra violet. Sinar ultra violet ini dapat membantu ikan untuk melihat makanan khusus ikan karang pemakan zooplankton. Adanya sinar ultra violet yang dapat dilihat oleh ikan menyebabkan warna zooplankton berwarna hitam dan dapat dilihat dalam air sehingga ikan karang dapat mengenalinya (Razak et al. 2005)

Selain itu menurut Laevastu dan Hela (1971) diacu oleh Sondita (1986), visibilitas suatu alat tangkap bagi penglihatan ikan mempengaruhi keberhasilan penangkapan ikan. Karena itu kemampuan ikan untuk melihat suatu benda merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Kemampuan ikan untuk melihat suatu benda di kolom air dipengaruh oleh jarak ikan dengan benda, intensitas cahaya lingkungan dan sifat benda itu sendiri. Kemampuan cahaya untuk menembus kolom air berbeda menurut panjang gelombang (Nikonorov, 1975 diacu oleh Sondita, 1986).

Diduga selain visibilitas alat tangkap dan cahaya yang mempengaruhi ikan bisa melihat alat tangkap dan terpengaruh, tentu masih ada beberapa faktor lain seperti schooling ikan termasuk pola renang ada yang soliter, bergerombol dan berpasangan, pola gerak ikan, lapisan renang (swimming layer), radius/jarak ikan dengan alat tangkap, lama waktu ikan berada di sekitar alat tangkap berbeda-beda, serta faktor fisik terutama arus yang dapat merubah arah ruaya ikan.

Gambaran tentang perubahan tingkah laku ikan ketika ikan karang memasuki zone of influence alat tangkap bubu tentu berbeda pada setiap jenis ikan. Ikan karang berbeda dengan jenis ikan lainnya terutama ikan memiliki kelompok tertentu. Secara umum dikenal ada tiga kelompok ikan karang yaitu kelompok famili utama (mayor), target dan indiktor. Masing-masing kelompok ikan ini memperlihatkan pola hidup yang berbeda-beda.

(25)

2.5.6 Tingkah laku ikan mendekati dan memasuki alat tangkap bubu Ketika ikan memasuki bubu berumpan pada awalnya ikan akan mendatangi dan menggigit umpan, tetapi tidak lama kemudian ikan tersebut akan kehilangan ketertarikannya. Pada bubu tidak berumpan, ada perbedaan tingkah laku ikan memasuki bubu di mana squerrelfish dan goatfish memasuki bubu dengan cara bergerombol, tetapi parrotfish, bigeyes memasuki bubu secara individual. Chaetodon sp dan Pseudopeneus sp akan berenang berbalik arah dengan ketakutan bila ada ikan jenis lain yang tertangkap oleh bubu (Furevik, 1994 diacu oleh Ferno dan Olsen, 1994).

Irawati (2002) mengemukakan tentang tingkah laku ikan kerapu macan dalam bak percobaan terlihat bahwa ikan mulai masuk ke dalam bubu setelah beberapa saat bubu berada dalam bak. Waktu yang dibutuhkan oleh ikan untuk masuk ke dalam bubu sangat bervariasi. Saat penelitian diketahui bahwa ada ikan yang langsung masuk ke dalam bubu setelah 1 menit dan hingga pengamatan terakhir sekitar 3 jam ikan tidak pernah masuk ke dalam bubu.

Ikan mendekati bubu dengan berbagai cara antara lain ikan mencoba masuk satu per satu, bergerombol dan ada yang bergerombol lalu mencoba masuk ke bubu. Ikan yang sudah mendekati bubu tersebut kemudian menyusuri dinding bubu dengan menggunakan bagian samping tubuhnya maupun bagian depan mulutnya. Ikan mendekati bubu dari berbagai arah dan beberapa ikan mengelilingi bubu terlebih dahulu baru mulai masuk ke bubu. Setelah menyusuri dinding bubu, ikan ada yang masuk ke bubu tetapi ada juga hanya lewat saja (Irawati, 2002).

Ikan yang tidak masuk ke dalam bubu akan kembali berkumpul dengan ikan lain yang bergerombol di luar bubu. Ikan tidak jadi masuk ke bubu karena beberapa sebab di antaranya karena di dalam bubu ada ikan yang menjadi pesaing, atau jika di alam karena ada ikan pemangsa (predator). Selain itu, karena ikan tersebut mengikuti pergerakan ikan lain yang menjauhi bubu dan ikan tidak masuk ke bubu karena ada ikan lain yang menghalangi jalan masuknya (Irawati, 2002)

Reiliza (1997) mengamati tingkah laku ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus), ikan bendera (Heniochus acuminatus) dan ikan raja gantang (Sargocentron violaceum) terhadap alat tangkap bubu dengan menggunakan

(26)

remotely operated vehicles (ROV) ternyata ketiga jenis ikan tersebut mempunyai tingkah laku yang berbeda. Tingkah laku dari ketiga jenis ikan tersebut sebagai berikut :

(1) Ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus)

Ikan ini selalu berenang berkelompok (minimal 2 ekor). Ikan kepe-kepe datang ke bubu dari arah depan samping kanan atau kiri, tidak pernah datang lurus dari depan bubu. Biasanya ikan ini berenang menentang arus dan terkadang tingkah lakunya di sekitar dan di dalam mulut bubu dipengaruhi oleh arah dan gerakan arus. Tingkah laku ikan kepe-kepe terhadap bubu kawat tipe buton sebagai berikut :

(1) Ikan datang ke bubu lalu menyusuri dinding mulut bubu, bermain di mulut bubu, kemudian masuk ke dalam bubu membutuhkan waktu kurang lebih 20 - 49 detik;

(2) Ikan datang ke bubu menyusuri dinding mulut bubu, kemudian masuk ke bubu membutuhkan waktu kurang lebih 6 – 15 detik;

(3) Ikan datang ke bubu menyusuri dinding mulut bubu dan bermain di dalam mulut bubu, kemudian keluar dari bubu menyusuri dinding mulut bubu membutuhkan waktu kurang lebih 18 – 22 detik;

(4) Ikan datang ke bubu lalu menyusuri dinding mulut bubu, kemudian berbelok dan langsung keluar dari bubu membutuhkan kurang lebih waktu 5 – 15 detik.

(2) Ikan bendera (Heniochus acuminatus)

Ikan ini berenang berkelompok ( 2 – 3 ekor) dengan gerakan naik turun (tidak mendatar). Ikan ini sangat menyukai karang yang terdapat di atas bubu dan bermain-main di situ. Tingkah laku ikan bendera terhadap bubu sebagai berikut: (1) Ikan datang ke karang yang ada di atasnya, lalu masuk ke mulut bubu,

kemudian pergi membutuhkan waktu kurang lebih 39 - 43 detik;

(2) Ikan datang langsung ke dalam mulut bubu, lalu masuk ke dalam bubu, membutuhkan waktu kurang lebih 14 – 16 detik;

(3) Ikan datang ke bubu, bermain-main di mulut bubu, lalu keluar dan pergi, membutuhkan waktu kurang lebih 39 – 50 detik.

(27)

(3) Ikan raja gantang (Sargocentron violaceum)

Ikan ini bergerak lambat. Gerakannya pada saat masuk ke dalam bubu adalah melingkar dan arah putarannya dipengaruhi oleh arus. Tingkah laku ikan raja gantang terhadap bubu sebagai berikut :

(1) Ikan mendatangi bubu dari arah depan dengan gerakan melingkar yang berlawanan dengan arah arus, masuk ke dalam mulut bubu dan berhenti di ujung mulut bubu (hanya bergerak berputar-putar berlawanan arah arus), membutuhkan waktu kurang lebih 49,5 detik;

(2) Ikan mendatangi bubu dari arah depan dengan gerakan melingkar yang berlawanan dengan arah arus, masuk ke dalam mulut bubu dan masuk ke dalam bubu, membutuhkan waktu kurang lebih 50,5 detik.

2.5.7 Tingkah laku ikan di dalam bubu

Jenis ikan yang berbeda memiliki tingkah laku di dalam bubu yang berbeda-beda pula. butterflyfish (Chaetodon sp), goatfish/biji nangka (Parupeneus sp), squerrelfish (Sargocentron sp)dan parrotfish (Scarus sp) berenang mengitari bubu berbeda dengan ikan kerapu yang sesekali melakukan tingkah laku pencarian celah untuk keluar. Ikan cod akan mendorong dinding bubu dan mengitari ruang dalam bubu. Aktivitas ikan di dalam bubu juga dipengaruhi oleh aktivitas ikan di luar bubu. Ikan kerapu dan parrotfish mengejar mangsanya ke dalam bubu, emperors dan ikan kakap memasuki bubu ketika ikan mangsanya berada dalam bubu tersebut (Furevik, 1994 diacu oleh Ferno dan Olsen, 1994).

Berdasarkan hasil penelitian Irawati (2002) terlihat bahwa ikan kerapu macan setelah masuk ke bubu biasanya mencari tempat bersembunyi dan berdiam

diri (istirahat) ataupun bergerombol bersama ikan lain yang sudah masuk ke dalam bubu sebelumnya. Ikan banyak beristirahat di antara mulut dan dinding

bubu yang membentuk suatu sudut. Ikan ini akan bergerak cukup aktif di dalam bubu bila belum menemukan tempat yang tepat untuk beristirahat dan bergerombol, karena ruang dalam bubu terbatas, ikan sering bergerombol dalam posisi saling bertumpuk satu sama lain. Selain beristirahat dan bergerombol, ikan di dalam bubu juga berkejaran, bergerak mengitari ruang di dalam bubu, dan bergerak mengitari mulut bubu.

(28)

Berdasarkan hasil penelitian Irawati (2002) terlihat bahwa ikan kerapu macan setelah masuk ke bubu biasanya mencari tempat bersembunyi dan berdiam

diri (istirahat) ataupun bergerombol bersama ikan lain yang sudah masuk ke dalam bubu sebelumnya. Ikan banyak beristirahat di antara mulut dan dinding

bubu yang membentuk suatu sudut. Ikan ini akan bergerak cukup aktif di dalam bubu bila belum menemukan tempat yang tepat untuk beristirahat dan bergerombol. Karena ruang dalam bubu terbatas, ikan sering bergerombol dalam posisi saling bertumpuk satu sama lain. Selain beristirahat dan bergerombol, ikan di dalam bubu juga ada yang berkejaran, bergerak mengitari ruang di dalam bubu, dan bergerak mengitari mulut bubu.

Menurut Irawati (2002), pola pergerakan ikan di dalam bubu sebagai berikut: (1) ikan bergerak mengitari ruangan dalam bubu, gerak berputar ini biasanya searah atau berlawanan jarum jam; (2) ikan bergerak bolak-balik dalam bubu; (3) ikan bergerak ke dalam ruangan bubu dengan berbagai arah setelah ikan memasuki bubu melalui celah pelolosan; (4) ikan bergerak ke segala arah; dan (5) ikan mengitari mulut bubu. Posisi ikan bergerombol di dalam bubu yaitu dekat celah pelolosan; di antara bagian mulut dan dinding bubu membentuk sudut; di sudut ruangan dalam bubu serta beristirahat (berdiam diri) dalam keadaan menyebar. Selanjutnya pergerakan ikan akibat interaksi antara ikan di dalam dan di luar bubu yaitu bergerak ke suatu arah yang sama; ikan di dalam bubu berkumpul di semua sudut dan ikan di luar bubu berkumpul di sekitar sudut bubu; ikan berkumpul di sekitar celah pelolosan; serta ikan bergerak dari dasar bak menuju ke atas lalu ke bawah dan dilakukan oleh ikan di dalam maupun di luar bubu secara bersamaan.

Menurut Reiliza (1997), ikan kepe-kepe terlihat panik setelah terperangkap di dalam bubu, gerakannya lebih cepat dan mencari-cari tempat untuk keluar, karena merasa terkurung dan ruang geraknya terbatas. Ikan kepe-kepe berenang lincah di dalam bubu dari sudut kiri ke sudut kanan, atau sebaliknya dengan gerakan mendatar. Gerakan renang lincah dan mendatar menyebabkan ikan kepe-kepe dapat meloloskan diri setelah terperangkap kurang lebih 2 jam di dalam bubu. Gerakan ikan bendera setelah terperangkap di dalam bubu lebih cepat

(29)

gerakannya sebelum terperangkap dan terlihat panik. Ikan ini berenang di dalam bubu dari salah satu sudut bubu ke mulut bubu dengan waktu 5 detik.

Menurut Reiliza (1997), gerakan renang naik turun menyebabkan sampai akhir pengamatan tidak ada ikan yang meloloskan diri dari bubu. Pengurangan penutupan karang ternyata berpengaruh terhadap tingkah laku ikan bendera, untuk mendatangi bubu hanya dalam waktu singkat saja lalu pergi. Ikan raja gantang masuk ke dalam bubu berenang lambat, tidak menunjukkan kepanikan dan cenderung diam di dasar bubu. Gerak ikan ini di dalam bubu sama dengan gerakannya di ujung mulut bubu, yaitu hanya berputar-putar melawan arus dan membutuhkan waktu untuk satu kali berputar 8,5 detik. Ikan raja gantang termasuk ikan nokturnal. Ikan raja gantang masuk ke bubu yang bagian atasnya ditutupi karang. Pada saat penutupan karang dikurangi, ikan ini tidak memberikan respons di depan bubu, tetapi berenang ke gundukan karang yang berbentuk atap di samping bubu dan berlindung di situ.

2.6 Rumpon 2.6.1 Tipe rumpon

Rumpon (Fish Aggregating Device/FADs) merupakan alat pemikat ikan digunakan untuk mengonsentrasikan ikan, sehingga operasi penangkapan ikan dapat dengan mudah dilakukan. Inovasi teknologi penangkapan ikan karang dengan bubu bersama rumpon belum banyak digunakan oleh masyarakat nelayan di Indonesia.

Menurut Lionberger dan Gwin (1983) diacu oleh Mardikanto (1993) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai sesuatu yang dimulai baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya perubahan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, atau dapat mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya

(30)

perbaikan-perbaikan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.

Sebutan rumpon berbeda pada berbagai daerah di Indonesia seperti di Jawa (tenda), Madura (ojen), Sumatra Barat (rabon), Sumatra Timur dan Utara (unjan dan tuasan), sedangkan di Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, NTT dan Ambon menyebutnya rompong (Subani dan Barus, 1988).

Tipe-tipe/jenis-jenis rumpon yang dikembangkan saat ini di kelompokkan sebagai berikut :

(1) Berdasarkan posisi pemikat atau pengumpul (aggregating) rumpon dapat dibagi menjadi rumpon permukaan lapisan tengah dan rumpon dasar.

(i) Rumpon permukaan lapisan tengah

Rumpon permukaan lapisan tengah terdiri dari rumpon perairan dangkal dan rumpon perairan dalam. Rumpon laut dangkal umumnya dipasang atau di tanam pada kedalaman antara 30 –75 m atau kurang dari 100 m. Rumpon ini biasanya digunakan untuk menangkap ikan-ikan pelagis kecil yang tertangkap dengan alat tangkap payang dan pukat cincin (purse seine). Rumpon laut dalam disebut juga payaos atau rompong Mandar dipasang pada kedalaman lebih dari 600 m, bahkan sampai 1500 m. Penggunaan rumpon ini untuk menangkap ikan-ikan pelagis besar terutama tuna, cakalang dan jenis ikan lainnya yang memiliki nilai ekspor. Payaos mempunyai bentuk lebih istimewa, pelampungnya terdiri dari 60 – 100 batang bambu disusun menjadi satu sehingga membentuk rakit. Tali pemberat (tali yang menghubungkan antara pelampung dan pemberat dapat mencapai 1000 – 1500 m, bahkan lebih terbuat dari pintalan rotan atau bahan lainnya. Pemberat berkisar antara 1000 – 3500 kg dari batu-batuan atau dari cor semen. Sebagai atraktor dipasang daun kelapa. Payaos digunakan untuk penangkapan payang, pukat cincin, huhate, rawai vertikal maupun pancing.

(ii) Rumpon perairan dasar

Rumpon perairan dasar merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut. Biasanya digunakan

(31)

sebagai alat bantu penangkapan dalam menangkap ikan-ikan yang hidup di dasar perairan (ikan demersal) terutama ikan karang.

(2) Berdasarkan kriteria permanensi maka rumpon dapat dibagi atas :

(i) Rumpon yang di jangkar namun dapat berpindah-pindah (dinamis). Rumpon ini dipasang bisa diangkat-angkat dengan berat pemberat antara 25 –35 kg.

(ii) Rumpon yang di jangkar secara tetap (statis). Rumpon ini tidak bisa diangkat-angkat bersifat tetap dengan berat pemberat 75 – 100 kg.

(3) Berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan , rumpon dibagi atas:

(i) Rumpon tradisional umumnya digunakan oleh nelayan tradisional. Komponen rumpon ini terdiri dari pelampung, tali jangkar, jangkar/pemberat serta pemikat dari daun kelapa. Rumpon ini dipasang pada kedalaman 300 – 2000 m.

(ii) Rumpon modern umumnya digunakan oleh perusahaan swasta maupun BUMN. Komponen rumpon terdiri dari pelampung terbuat dari plat besi atau drum, tali jangkar terbuat dari kabel baja (steel wire), tali sintesis dan dilengkapi dengan swivel (kili-kili), pemberat terbuat dari cor semen, sedangkan pemikat terbuat dari bahan alami (daun kelapa) dan bahan sintesis seperti ban, pita plastik dan sebagainya.

Dalam SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/1/97 dijelaskan ada 3 jenis rumpon antara lain: (1) rumpon perairan dasar merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut, (2) rumpon perairan dangkal, merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman sampai 200 m, dan (3) rumpon perairan dalam, merupakan alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman di atas 200 m.

2.6.2 Konstruksi rumpon

Rumpon secara umum terdiri dari 3 komponen yaitu pemikat ikan, jangkar dan tali penambat yang menghubungkan pemikat ikan dengan jangkar. Bahan pemikat (atraktor) yang digunakan adalah daun kelapa (Subani, 1989 diacu oleh Effendie, 2002). Selanjutnya menurut Preson (1982) diacu oleh Monintja et al.

(32)

(1990) mengemukakan bahwa disain FAD terdiri dari tiga komponen utama yakni : (1) anchor; (2) mooring live; dan (3) aggregator.

Bahan untuk jangkar (anchor) kini banyak digunakan adalah drum yang diisi dengan semen konkrit, bahan untuk mooring live yang baik adalah polypropyleen, sedangkan bahan aggregator dari ban bekas, daun kelapa atau tali plastik (Boy and Smith 1984 diacu oleh Monintja et al. (1990). Ketiga komponen tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar efisien dan efektif.

Zulkarnain (2002) mengemukakan alat pemikat (atraktor) merupakan salah satu kemampuan utama pada rumpon. Atraktor juga merupakan bagian terpenting dari rumpon. Hal ini karena atraktor berfungsi sebagai alat pemikat atau pengumpul ikan sesungguhnya.

Menurut Tim Pengkaji Rumpon Fakultas Perikanan IPB (1987) diacu oleh Zulkarnain ( 2002), persyaratan umum atraktor adalah : (1) mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan, (2) tahan lama, (3) mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal, (4) melindungi ikan-ikan kecil, (5) bentuknya silinder dengan posisi arah ke bawah, dan (6) terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama dan murah. Selanjutnya menurut Monintja, et al. (1990) mengatakan berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menilai prospek penggunaan rumpon antara lain : (1) ketersediaan bahan baku rumpon, (2) daya tahan rumpon terhadap berbagai kondisi perairan, dan (3) kemudahan operasi penangkapan ikan.

Monintja et al. (1990) mengemukakan bahwa manfaat yang dapat diharapkan dengan penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan adalah : (1) mengurangi waktu dan bahan bakar dalam pengintaian ikan, (2) meningkatkan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan, dan (3) meningkatkan mutu hasil tangkapan yang ditinjau dari spesies dan komposisi ukuran. Selanjutnya menurut Direktorat Jenderal Perikanan, 1995 diacu oleh Imawati (2003) mengemukakan beberapa keuntungan dalam penggunaan rumpon yakni memudahkan pencarian gerombolan ikan, biaya eksploitasi dapat dikurangi dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan kecil.

(33)

2.6.3 Peranan rumpon sebagai alat pemikat ikan

Menurut Gunarso (1985) bahwa cara mengumpulkan ikan dapat dilakukan melalui beberapa cara di antaranya dengan rangsangan kimia, rangsangan terhadap penglihatan, pendengaran, penciuman, menggunakan aliran listrik dan rangsangan dengan menyediakan tempat berlindung. Pada prinsipnya penangkapan ikan dengan alat bantu rumpon di samping berfungsi untuk mengumpulkan ikan, pada dasarnya agar gerombolan ikan tersebut mudah tertangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki.

Menurut Asikin (1985) diacu oleh Yusfiandayani (2004) mengatakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon disebabkan oleh (1) sebagai tempat bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon bagi beberapa jenis ikan; (2) sebagai tempat berpijah bagi beberapa jenis ikan tertentu; dan (3) sebagai tempat berlindung bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat fototaksis negatif.

Samples dan Sproul (1985) diacu oleh Yusfiandayani (2004) mengatakan bahwa tertariknya ikan di sekitar rumpon karena (1) sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu; (2) sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu; (3) sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu; (4) sebagai tempat berlindung dari predator dari ikan-ikan tertentu; dan (5) sebagai tempat titik acuan navigasi (meeting point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.

Prinsip penangkapan dengan alat bantu rumpon di samping berfungsi untuk mengumpulkan ikan, pada hakikatnya adalah agar kawanan ikan tersebut mudah tertangkap dengan alat tangkap yang dikehendaki. Diduga ikan tertarik di sekitar rumpon berfungsi sebagai tempat berlindung dan mencari makanan (Subani, 1986 diacu oleh Effendie, 2002). Selanjutnya menurut Soemarto (1962) diacu oleh Yusfiandayani (2004) mengatakan bahwa dalam area rumpon terdapat plankton yang merupakan makanan ikan lebih banyak bila dibandingkan di luar rumpon.

De San (1982) diacu oleh Monintja et al. (1990) mengemukakan bahwa posisi penempatan FAD terbaik adalah : 1) tempat yang dikenal sebagai lintasan ruaya ikan; 2) daerah upwelling, fronts dan gerakan Eddy; 3) dasar perairan datar;dan 4) tidak terlalu dekat dengan karang.

(34)

2.6.4 Tingkah laku ikan di rumpon

Menurut Jusfiandayani (2004) mengemukakan bahwa kawanan ikan mulai menempati kolom air di sekitar rumpon dari kedalaman antara 1 – 10 m, setelah itu jumlah ikan semakin banyak hingga kedalaman 20 m. Jenis-jenis ikan yang banyak dan paling sering terlihat seperti ikan selar (Carangidae) dan kembung (Rastrelliger sp). Kedua jenis ikan ini berenang secara berkelompok di sekitar rumpon, sedangkan ikan kembung sering terlihat berada pada jarak yang relatif lebih jauh dari rumpon. Sebaran vertikal dan tingkah laku kedua jenis ikan yang teramati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Posisi dan aktivitas ikan yang teramati saat pengamatan bawah air dalam studi tentang mekanisme berkumpul ikan pelagis kecil di sekitar rumpon dan pengembangan perikanan di perairan Pasauran, Propinsi Banten

No Jenis ikan Kedalaman air

(m) Posisi relatif terhadap rumpon Aktivitas ikan

1 Selar (Carangidae) 1 – 20 m Di atas dan di

depan atraktor Berenang, bergerak naik dan turun, mencari makan dengan menyaring air dan menyentuh daun/ bahan atraktor

2 Kembung

(Rastrelliger sp)

5 – 20 m Di depan dan di samping atraktor

Makan dengan cara menyaring air, berenang bergerak naik

dan turun

Rumpon selain dimanfaatkan untuk aktivitas mencari makan, berlindung dan berasosiasi bagi schooling ikan. Ternyata rumpon juga bisa dimanfaatkan oleh biota lain, seperti cumi-cumi memanfaatkan atraktor rumpon untuk meletakkan telur-telurnya.

Schooling ikan selar dan kembung umumnya aktif, bergerak naik turun di sepanjang atraktor rumpon, mulai dari kolom air dekat permukaan ke bawah. Pada saat arus lemah (< 2 knot), kawanan ikan berenang ke atas arus, yaitu berada di muka rumpon sesuai dengan arah datangnya arus air. Pada kondisi arus yang lebih kuat (> 2 knot), ikan-ikan umumnya berenang di belakang rumpon. Pada kondisi arus kuat ikan yang terlihat di sekitar rumpon sangat sedikit, kemungkinan ikan ini berenang pada kedalaman yang lebih dalam. Pada saat arus air relatif kuat, kawanan ikan kembung dan selar cenderung berenang di belakang rumpon

(35)

atau di posisi yang lebih dalam, saat berada di belakang rumpon, kedua jenis ikan tersebut umumnya mengarahkan mukanya menentang arus (Jusfiandayani, 2004).

Menurut Barretto dan Miclat (1988) spesies ikan karang yang terekruit pada terumbu karang buatan terbuat dari bambu selama 14 bulan ada 36 famili terdiri dari ikan yang menetap (resident) (30 %), ikan yang menetap sementara (transient) (18 %) dan ikan yang berkunjung sebentar (visitor) (52 %), tertera pada Tabel 4.

Tabel 4 Spesies ikan karang yang terekruit pada terumbu karang buatan terbuat dari bambu dan klasifikasi ekologinya

Klasifikasi

Resident Non-resident Famili Spesies

Resident transient visitor

Acanthuridae Acanthurus mata +

Apogonidae Apogon aurus +

A. kiensis +

A. notatus +

Apogon sp. 1 +

Apogon sp. 2 +

Apogon sp. 3 +

Bleniidae Meiacanthus grammistes +

Plagiotremus rhynorhynchos +

Bothidae Bothus sp +

Caesionidae Caesio caerulaureus +

C. cuning +

Pterocaesio chrysozonus +

P. pisang +

Callionymidae Callionymus sp +

Carangidae Gnathanodon speciousus +

Selaroides leptolepis +

Centriscidae Aeoliscus strigatus +

Chaetodontidae Heniochus acuminatus +

Cirrhitidae Cirrhitichthys aprinus +

C. falco +

Clupeidae Sardinell sp +

Dasyatidae Dasyatis kuhlii +

Emmelichtyidae Emmelichthys sp +

Ephippidae Platax orbicularis +

P. teira +

Gerridae Gerres filamentosus +

Gerres sp +

Haemulidae Pletorhynchus pictus +

Kyphosidae Kyphosus vaigiensis +

Labridae Cheilinus celebicus +

C. diagramma +

Coris gaimardi +

Labroides dimidiatus +

Thallassoma quinquevittata +

T. lunare +

Leiognathidae Gazza minute +

(36)

Tabel 4 (Lanjutan)

Klasifikasi

Resident Non-resident Famili Spesies

Resident transient visitor

L. equulus +

Lethrinidae Lethrinus miniatus +

Lutjanidae Lutjanus biguttatus +

L. caeruleovittatus + L. decussatus + L. erythropterus + L. fulfiflamma + L. lineolatus + L. rivulatus + L. russeli + L. spilurus + Pinjalo sp. +

Monacanthidae Aluterus scriptus +

Paraluteres prionurus +

Monacanthidae sp. 1 +

Mullidae Parupeneus barberinus +

P. Pleurospilos +

Upeneus moluccensis +

U. tragula +

U. vittatus +

Nemipteridae Pentapodus macrurus +

Pentapodus sp +

Scolopsis ciliatus +

Scolopsis sp. 1 +

Scolopsis sp. 2 +

Ostraciontidae Ostracion sp +

Plotosidae Plotosus lineatus +

Pomacentridae Abudefduf vagiensis +

Neopomacentrus azysrom +

N. cyanomos +

N. nemurus +

Scorpaenidae Pterois volitans +

Serranidae Cephalopholis pachyecentro +

Epinephelus oreolatus +

E. macrospilos +

E. malabaricus +

Siganidae Siganus canaliculatus +

S. javus +

S. virgatus +

Sphyraenidae Sphyraena jello +

S. obtusata +

Syngnathidae Solenostomus paradoxus +

Synodontidae Synodus variegatus +

Teraponidae Terapon jarbua +

T. puta +

Tetraodontidae Arothron immaculatus +

A. nigropunctatus +

Canthigaster bennetti +

C. solandri +

Tripterygiidae Tripterygion so +

Sumber : Barretto dan Miclat (1988) Keterangan : + : tergolong

(37)

2.6.5 Penggunaan rumpon (FAD) untuk meningkatkan efisiensi penangkapan bubu

Menurut Iskandar dan Diniah (1996) bahwa bubu berumpon dapat memberikan hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan dengan bubu tanpa rumpon. Hal ini dapat dimengerti karena bubu merupakan alat tangkap pasif, sehingga agar ikan masuk ke bubu perlu dilakukan hal-hal yang dapat menarik perhatian ikan, salah satunya perlu kombinasi dengan rumpon.

Penggunaan rumpon untuk bubu memberikan manfaat yang sangat besar terutama berkaitan dengan tingkah laku ikan. Adanya rumpon dapat menarik perhatian ikan untuk berlindung ataupun karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri. Rumpon juga dapat mendatangkan plankton yang akan mengundang ikan pemakan plankton untuk mendekati rumpon, sehingga di sekitar rumpon akan ditemukan ikan-ikan kecil. Adanya ikan kecil mengundang ikan besar untuk datang terutama dari ikan predator untuk memangsanya sehingga membuat ikan besar terjebak masuk ke bubu (Iskandar dan Diniah,1996).

Cara mendisain bubu berumpon yaitu setiap bubu di pasang pelepah daun

kelapa sebanyak 10 potong berfungsi sebagai rumpon, kemudian diikat di sekeliling bubu hingga menjadi bubu berumpon. Metode pengoperasian bubu

menggunakan sistem terpisah atau tunggal dan dipasang pelampung. Bubu dioperasikan di dasar perairan dengan posisi berselang seling antara bubu tanpa rumpon dan bubu berumpon. Pintu bubu dipasang menghadap ke arah pantai dan lama perendaman di perairan antara 5 – 7 hari. Setting dan hauling dilakukan bergantian secara berurutan berdasarkan posisi bubu terpasang. Pada setiap kali hauling hasil tangkapan setiap bubu diambil dan ditempatkan pada wadah terpisah, kemudian dilakukan pencatatan jumlah, berat dan panjang ikan hasil tangkapan (Iskandar dan Diniah,1996).

Hasil tangkapan bubu berumpon terdiri dari 7 jenis ikan yaitu ikan kakap, kerapu, cumi-cumi, kepiting, buntal, gogot dan kuwe, sedangkan bubu tanpa umpon hanya 3 jenis ikan terdiri dari ikan kakap, kerapu, cumi-cumi. Hasil tangkapan bubu berumpon didominasi oleh ikan kakap sebanyak 38,34 %, sedangkan bubu tanpa rumpon didominasi oleh cumi-cumi sebanyak 40 % (Iskandar dan Diniah, 1996)

(38)

Menurut Iskandar dan Diniah (1996) bahwa komposisi jenis hasil tangkapan ikan dengan bubu tanpa rumpon dan bubu berumpon ternyata berbeda, di mana bubu berumpon mempunyai komposisi jenis hasil tangkapan lebih banyak dari bubu tanpa rumpon. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa penggunaan bubu berumpon dapat meningkatkan jumlah dan berat hasil tangkapan mencapai lebih dari 200 %. Oleh karena itu, pengoperasian bubu berumpon dapat dimasyarakatkan kepada para nelayan pengguna bubu. Namun demikian untuk mengetahui posisi pemasangan bubu dan ukuran bubu yang optimal dapat dilakukan penelitian lanjutan.

Selanjutnya Wahyuni (1995) mengemukakan bahwa hasil tangkapan ikan karang yang tertangkap dengan alat tangkap bubu kawat tipe buton berumpon dipasang secara vertikal pada lapisan permukaan, pertengahan dan di dasar perairan diperoleh total hasil tangkapan dari 22 kali hauling sebanyak 343 individu ikan karang. Jenis ikan karang yang diperoleh ada 20 spesies/jenis. Jenis ikan karang yang dominan tertangkap di lapisan permukaan perairan adalah sersan mayor (Abudefduf vaigiensis) sebanyak 83 individu dari famili Pomacentridae. Pada lapisan pertengahan didominasi oleh ikan Piso piso (Aeoliscus strigatus) sebanyak 56 individu dari famili Centristidae dan pada lapisan dasar perairan didominasi oleh ikan ekor kuning (Caesio crythrogaster) sebanyak 74 individu dari famili Caesionidae.

Menurut Wahyuni (1995), dalam pengoperasian bubu berumpon apalagi dipasang secara vertikal dengan posisi digantung, maka perlu memperhatikan reaksi ikan terhadap gerakan bubu. Ternyata pengoperasian bubu yang dipasang secara vertikal dengan cara digantung pada tiga lapisan ke dalam baik pada permukaan, pertengahan maupun di dasar perairan bersama rumpon permukaan ternyata bubu yang dipasang pada lapisan permukaan dan pertengahan mempunyai kelemahan-kelemahan dari bubu yang dipasang di dasar perairan. Bubu yang dipasang di dasar perairan lebih stabil, sedangkan bubu yang dipasang di permukaan dan pertengahan dengan posisi tergantung karena ada gerakan air, maka bubu akan bergerak-gerak, sehingga ikan tertarik melihat warna bubu dan mendekati alat tangkap tersebut. Akan tetapi peluang ikan untuk masuk ke mulut bubu pada lapisan permukaan dan pertengahan sangat kecil.

(39)

2.7 Karakteristik Perifiton

Menurut Odum (1971), perifiton adalah komunitas organisme hidup menempel di atas atau di permukaan sekitar substrat yang tenggelam. Substrat tersebut dapat berupa batu-batuan, kayu, tumbuhan air yang tenggelam dan kadang kala hewan air.

Wetzel (1979), berdasarkan tipe substrat tempat melekat, maka perifiton dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

(1) Epilithic adalah perifiton yang menempel pada batu;

(2) Epipelic adalah perifiton yang menempel pada permukaan sedimen; (3) Epiphytic adalah perifiton yang menempel atau hidup pada permukaan

daun atau batang tumbuhan;

(4) Epizoic adalah perifiton yang menempel pada permukaan tubuh hewan; (5) Epidendritic adalah perifiton yang menempel pada kayu; dan

(6) Epipsamic adalah perifiton yang menempel pada permukaan pasir.

Menurut Wetsel (1982), mengemukakan bahwa komunitas perifiton umumnya terdiri dari algae mikroskopis bersifat sessil, satu sel maupun alga filamen terutama dari jenis diatom, jenis-jenis algae Conjugales, Cyanophyceae, Euglenophyceae, Xanthophyceae dan Crysophyceae.

Perkembangan perifiton dapat dipandang sebagai akumulasi yaitu peningkatan biomassa dengan bertambahnya waktu akumulasi merupakan hasil kolonisasi dengan proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor kimia dan fisik perairan ( Kaufman diacu oleh Soedharma et al. 1995). Selanjutnya menurut Ruttner (1974) diacu oleh Yuspardianto (1998) perkembangan perifiton menuju kemantapan ditentukan oleh keadaan substrat. Substrat dari benda hidup sering bersifat sementara karena adanya proses pertumbuhan dan kematian. Setelah tumbuh cepat kemudian mantap, selanjutnya mengalami kematian dan pembusukan. Setiap saat pada substrat hidup terjadi perubahan lingkungan sebagai akibat respirasi dan asimilasi sehingga mempengaruhi komunitas perifiton. Pada substrat berupa benda mati akan lebih bersifat mantap (permanen) meskipun pembentukan komunitas lambat, namun akan lebih mantap tidak mengalami rusak atau mati.

(40)

Menurut Ruttner (1974) diacu oleh Soedharma et al. (1995), tipe substrat sangat menentukan kolonisasi dan komposisi perifiton berkaitan erat dengan kemampuan dan alat penempelnya. Kemampuan menempel pada substrat menentukan eksistensinya terhadap pencucian arus atau gelombang. Kolonisasi adalah suatu proses penempatan atau penghunian suatu daerah atau tempat oleh suatu organisme, sedangkan suksesi merupakan suatu proses pergantian dan suatu atau kelompok jenis organisme oleh yang lainnya dengan komposisi dan struktur yang berbeda ( D’Itri, 1985).

Wetzel (1982) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perifiton antara lain (1) sinar matahari; (2) suhu; (3) kecepatan arus. Jenis-jenis algae yang menempel pada umumnya mendominasi perairan berarus kuat. Berkurangnya kecepatan arus akan meningkatkan keragaman organisme yang melekat, sedangkan dari segi biomassa dan produksi perifiton, akumulasi biomassa lebih cepat pada perairan berarus cepat tetapi total biomassa cenderung seimbang baik pada perairan berarus cepat maupun lambat; dan (4) unsur hara.

Gambar

Tabel 1 Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan sifat dan habitat hidup
Tabel 2 Pola tingkah laku ikan karang berdasarkan tingkat tropik dan aktivitas makan
Gambar 2  Zona/area pengaruh alat tangkap.
Tabel  3  Posisi dan aktivitas ikan yang teramati saat pengamatan bawah air dalam  studi tentang mekanisme berkumpul ikan pelagis kecil di sekitar rumpon   dan pengembangan perikanan di perairan Pasauran, Propinsi Banten
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan, semakin memadai lokasi perusahaan, dan semakin optimal fasilitas

Kepala Sekolah TK Pertiwi Talakbroto mengatakan bahwa pola asuh orang tua pada TK Pertiwi Talakbroto bisa dikatakan baik hanya saja pengetahuan orang tua tak sebanding

Istilah – istilah Sesaji dalam Tradisi Julen Giling Tebu PTP Nusantara IX PG Tasikmadu Kabupaten Karanganyar (Kajian Etnolinguistik), ” Skripsi : Program Studi Sastra

Dengan adanya pendistribusian database nama host dan alamat IP, maka tiap organisasi yang memiliki jaringan di dalam domain tertentu hanya bertanggung jawab terhadap database

Hasil penelitian menunjukan kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran IPS dengan menggunakan metode jigsaw pada siklus I diperoleh skor 3,32 dengan NDWHJRUL ³EDLN´ GDQ

Merujuk pada studi Elmeskov, InterCAFE (International Center for Applied Finance and Economics) tahun 2008 melakukan studi tentang persistensi pengangguran yang terjadi di

Kata lebay yang adalah salah satu kosa kata pada bahasa gaul Debby Sahertian digunakan dalam komunikasi antarpribadi dalam komunitas ini untuk menggambarkan salah satu

dapat dilihat bahwa tingkat persentase penetasan siste relatif sama bahkan menurun artinya penggunaan larutan ini tidak memberikan pengaruh yang baik, hal