• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis)."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Kuniran

2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855

Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies merupakan langkah awal yang akan menentukan langkah kajian selanjutnya. Jika langkah awal ini tidak akurat maka tingkat akurasi pada langkah selanjutnya akan lebih menyimpang dan seterusnya akan makin jauh dari nilai yang sebenarnya. Identifikasi jenis ikan akan mengarah kepada identifikasi “unit stok” yang juga merupakan prasyarat bagi dilakukannya pengkajian stok (Badrudin, Djamali, dan Sumiono 2001).

Ikan kuniran Upeneus moluccensis merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk badan memanjang sedang, pipih samping dengan penampang melintang bagian depan punggung, serta ukurannya tubuhnya yang mencapai 20 cm. Klasifikasi ikan kuniran menurut www.fishbase.org adalah sebagai berikut:

Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Mullidae Genus : Upeneus

Spesies : Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Nama FAO : Goldband goatfish

Nama Lokal : Biji Nangka, Kuniran

(2)

2.1.2 Karakter Biologi dan Distribusi

Ikan kuniran memiliki badan yang memanjang. Tinggi badan hampir sama dengan panjang kepala dan lengkung kepala bagian atas agak cembung. Sungut dengan ujung tidak melewati atau mencapai bagian belakang keping tulang penutup insang bagian depan. Maxilla mencapai atau hampir mencapai garis tegak bagian depan mata. Panjang sirip perut/ventral adalah 2/3 dari panjang sirip dada/pektoral. Kepala dan badan bagian atas berwarna merah terang sampai keunguan, bagian bawah putih keperakan dengan strip memanjang mulai dari belakang mata sampai dasar ekor bagian atas. Sungut berwarna putih keunguan. Sirip punggung/dorsal pertama dengan ¾ strip keputihan. Sirip punggung/dorsal yang kedua dengan 2-3 keputihan. Ujung bagian atas sirip ekor dengan 6-7 garis melintang. Ujung tepi sirip ekor/caudal bagian bawah berwarna keputihan. Hidup di perairan dengan dasar berlumpur, dapat mencapai ukuran 20 cm, serta tersebar luas di Indo-Pasifik Barat (Peristiwady 2006).

Kedalaman optimum ikan famili Mullidae adalah antara 40 – 60 m, sebagai perbandingan kedalaman ikan demersal adalah 41 – 60 m (Widodo 1990 in Sjafei dan Susilawati 2001). Berdasarkan hasil survey Indonesia dan Taiwan yang menggunakan trawl ganda di perairan laut Jawa bagian barat dan Laut Cina Selatan diperoleh data tentang penyebaran beberapa jenis ikan demersal yaitu mempunyai daerah penyebaran merata dari kedalaman 20 – 90 m, seperti ikan kurisi, kuniran, dll. Tipe substrat juga mempengaruhi kondisi kehidupan ikan famili Mullidae untuk dapat berkembang dengan baik. Ikan kuniran hidup di perairan dengan substrat berlumpur atau lumpur bercampur dengan pasir, namun ada juga ikan kuniran yang mencari makan hingga ke daerah karang (Burhanuddin et all 1984 in Sjafei dan Susilawati 2001). Keadaan lain yang berpengaruh adalah salinitas. Salinitas optimum bagi ikan demersal sekitar 33 PSU termasuk dari famili Mullidae. Famili tersebut yang hidup di perairan laut jawa dapat hidup dalam salinitas antara 31 – 33 PSU.

2.2 Alat Tangkap Ikan Kuniran

Alat tangkap jaring dogol atau cantrang merupakan alat tangkap jenis pukat kantong yang digunakan untuk menangkap ikan dasar atau demersal. Pukat kantong

(3)

(seine net) adalah alat penangkap ikan dari bahan jaring yang dibentuk berkantong dan dioperasikan dengan cara menyaring kolom air. Berbeda dengan pukat tarik (trawl), pukat kantong dioperasikan dengan cara ditarik oleh manusia atau bantuan mesin dengan kondisi kapal yang diam. Jenis alat penangkap ikan yang termasuk kelompok ini antara lain adalah payang untuk menangkap ikan pelagis, dogol/cantrang untuk menangkap ikan demersal, pukat pantai untuk menangkap ikan disekitar pantai, dan lampara untuk menangkap ikan pelagis. Alat ini dioperasikan dengan cara melingkari segerombolan ikan disuatu perairan, kemudian jaring ditarik ke arah kapal/perahu/pantai (Diniah 2008).

Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan kuniran. Pada umumnya nelayan lebih sering menggunakan alat tangkap ini dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap dogol untuk menangkap ikan kuniran. Alat ini terdiri dari sayap kanan dan sayap kiri, tali selambar, tali ris atas, tali ris bawah, badan, pelampung, pemberat, kantong, dan dilengkapi dengan alat bantu yaitu roller (Musbir et all 2008). Jenis kapal yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 5-6 GT.

Gambar 3 Alat tangkap Cantrang.

Sumber: www.perpustakaandinaskelautandanperikanan.blogspot.com

2.3 Sebaran Frekuensi Panjang

Data komposisi kelompok umur merupakan data yang digunakan pada semua metode pendugaan stok. Data komposisi kelompok umur pada perairan beriklim

(4)

sedang biasanya diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian tubuh ikan yang keras, yaitu sisik dan otolith. Lingkaran-lingkaran ini terbentuk karena adanya fluktuasi yang kuat dalam berbagai kondisi dari musim panas ke musim dingin dan sebaliknya (Sparre dan Venema 1999).

Analisis frekuensi panjang total ikan merupakan salah satu cara dalam pendugaan stok spesies tropis. Analisis diperoleh dari metode numerik yang dikembangkan, sehingga memungkinkan data frekuensi panjang dapat dimasukkan atau diubah ke dalam komposisi kelompok umur. Analisis sidik frekuensi panjang digunakan untuk menentukan kelompok umur dari kelompok-kelompok panjang tertentu sehingga analisis tersebut bermanfaat dalam pemisahan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre dan Venema 1999). Penentuan kelompok umur harus menggunakan contoh yang banyak dengan selang waktu yang lebar. Penentuan kelompok umur diperoleh dari hasil tangkapan awal sehingga dapat diketahui kelompok umur pertama.

2.4 Pertumbuhan

Pada tingkat individu dan populasi, pertumbuhan didefinisikan sebagai proses perubahan ukuran (panjang, berat, atau volume) pada periode waktu tertentu (level individu). Sedangkan untuk level populasi, pertumbuhan adalah proses perubahan jumlah individu/biomassa pada periode waktu tertentu (Effendie 2002). Jadi untuk menghitung pertumbuhan diperlukan data panjang atau berat dan umur atau waktu (Effendie 1979). Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu suhu air, kandungan oksigen terlarut, ammonia, salinitas, dan fotoperiod (panjang hari). Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan faktor lainnya seperti kompetisi, jumlah, dan kualitas makanan, umur, serta tingkat kematian dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Faktor dalam yang pada umumnya sangat sulit dikontrol antara lain adalah keturunan, umur, parasit, dan penyakit (Effendie 2002).

Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan penentuan ukuran tubuh sebagai suatu fungsi umur. Penentuan komposisi kelompok umur ikan pada kawasan yang beriklim sedang dapat diperoleh melalui perhitungan terhadap

(5)

lingkaran-lingkaran tahunan pada bagian tubuh ikan yang keras, seperti sisik dan otolith (Sparre dan Venema 1999). Hal tersebut sangat sulit dilakukan pada wilayah beriklim tropis, sehingga untuk menduga pertumbuhan pada umumnya menggunakan analisis kuantitatif.

2.5 Hubungan Panjang Bobot dan Faktor Kondisi

Pendugaan dalam pertumbuhan terdapat dua model, yaitu model yang berhubungan dengan bobot dan model yang berhubungan dengan panjang (Effendie 1979). Model-model tersebut menggunakan persamaan matematik untuk menggambarkan suatu pertumbuhan.

Data panjang dan bobot dapat digunakan untuk analisis pola pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang bobot ikan dimanfaatkan untuk mengetahui berat ikan melalui panjangnya serta menjelaskan pola pertumbuhannya. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang (Effendie 1979).

Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan . Hasil analisis hubungan panjang bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b) yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Pola pertumbuhan yang bersifat allometrik terbagi menjadi dua yaitu allometrik positif dan allometrik negatif. Pertumbuhan allometrik positif (b>3) menyatakan pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan allometrik negatif (b<3) menyatakan pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot. Pertumbuhan allometrik merupakan perubahan yang bersifat sementara misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad.

Faktor yang mempengaruhi pola pertumbuhan ikan yaitu terdiri dari faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam terdiri dari keturunan, jenis kelamin, umur,

(6)

parasit, dan penyakit. Pada umumnya faktor dalam sulit untuk dikontrol. Sedangkan faktor luar yaitu seperti makanan, kondisi lingkungan perairan, dan suhu perairan serta waktu dan kapal penangkapan (Effendie 2002).

Faktor kondisi secara kuantitatif dibutuhkan untuk melihat kondisi ikan yang berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhinya pada kurun waktu tertentu. Adanya perubahan faktor lingkungan secara periodik akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006). Menurut Lagler (1961) in Effendie (1994), faktor kondisi merupakan keadaan yang menyatakan kegemukan atau kemontokan ikan dalam bentuk angka. Faktor kondisi dapat naik turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya bagi ikan betina. Menurut Patulu (1963) in Effendie (1994) nilai faktor kondisi ikan berfluktuasi dengan ukuran ikan tersebut. Peningkatan nilai faktor kondisi terdapat pula pada waktu ikan mengisi gonadnya dengan cell sex dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan (Effendie 1994). Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ketersediaan makanan akan mempengaruhi faktor kondisi. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000).

2.6 Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Berbeda halnya dengan peningkatan stok, penurunan terhadap stok atau biomassa yang tereduksi terjadi karena adanya mortalitas. Mortalitas adalah tingkat kematian atau penurunan jumlah stok yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas alami merupakan suatu penurunan jumlah stok yang disebabkan oleh kematian ikan dengan berbagai faktor, seperti penyakit, predasi, maupun persaingan makanan dan ruang serta yang lainnya namun faktor yang terbesar untuk mempengaruhi mortalitas alami adalah predasi. Sedangkan mortalitas penangkapan merupakan penurunan jumlah stok yang diakibatkan oleh aktivitas penangkapan (King 1995). Semakin tingginya aktivitas penangkapan maka akan membuat tekanan terhadap sumberdaya ikan. Hal tersebut membuat sumberdaya ikan akan terancam. Oleh karena itu aktivitas penangkapan

(7)

harus dikendalikan dan dikontrol dengan cara mengurangi laju eksploitasi penangkapan.

Laju eksploitasi penangkapan merupakan aktivitas penangkapan secara pengurasan sumberdaya yang berkorelasi dengan waktu. Ketika suatu sumber daya terus dieksploitasi (seperti ikan kuniran), maka ketersediaan stok dari ikan tersebut lama kelamaan akan habis. Stok ikan yang mengalami tekanan penangkapan yang berlebihan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan (growth overfishing), yaitu ikan muda telah ditangkap sebelum ikan tersebut memiliki kesempatan untuk tumbuh mencapai suatu ukuran yang dikehendaki. King (1995) mengemukakan bahwa spesies yang dieksploitasi akan berdampak pada tereduksinya ikan-ikan dewasa sehingga ikan dewasa tersebut lebih dulu ditangkap oleh aktivitas penangkapan sebelum sempat untuk bereproduksi (recruitment overfishing). Sehingga hal tersebut mengakibatkan tidak adanya rekruitmen yang masuk ke dalam stok dan pada akhirnya stok akan menipis sehingga lama kelamaan stok akan habis. Jika dalam suatu sumberdaya ikan mengalami kedua kondisi tersebut maka sumberdaya ikan tersebut mengalami biology overfishing. Meskipun penangkapan yang ditingkatkan akan menaikan jumlah ikan yang ditangkap, tetapi rata-rata berat ikan akan menurun secara tetap dan sebagai akibatnya berat total hasil tangkapan akan menurun pula (Djamali, Sumadhiharga, dan Widodo 2001). Oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan yang mengatur jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan agar stok sumberdaya ikan tetap lestari. Salah satu alat yang digunakan untuk memperhitungkan survival dan mortalitas adalah pengetahuan mengenai umur ikan dalam populasi yang termaksud (Effendie 1979).

2.7 Model Produksi Surplus

Model pengkajian stok yang paling sederhana adalah model-model produksi (production models), yang memperlakukan suatu populasi ikan sebagai suatu kesatuan tunggal yang dipengaruhi oleh hukum-hukum sederhanadari peningkatan dan penurunan biomassa. Model-model ini memungkinkan untuk dibuat analisis bila tersedia informasi yang sangat sedikit, yaitu terutama data hasil tangkapan (catch), kelimpahan, dan jumlah upaya penangkapan (fishing effort) (Djamali, Sumadhiharga, dan Widodo 2001). Tujuan dari penggunaan model-model produksi

(8)

surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu upaya penangkapan yang menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang berkelanjutan tanpa berpengaruh terhadap produktivitas jangka panjang dari stok, yaitu yang dinamakan hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield, MSY) (Widodo 2001).

Sparre dan Venema 1999 menjelaskan bahwa model produksi surplus merupakan model holistik yang menganggap suatu stok sebagai satu unit yang besar dari biomassa, dimana dalam model ini tidak perlu menentukan kelas umur seperti dalam model analitik. Metode ini menggunakan data hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan persatuan upaya per spesies atau CPUE sebagai masukannya.

Model produksi surplus merupakan suatu model yang menjelaskan tentang pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan yang berkelanjutan. Model ini mengatur tentang upaya tangkap yang diperbolehkan untuk menangkap sumberdaya ikan dengan tidak melebihi batas hasil tangkapan lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Model ini diperkenalkan pertama kalinya oleh Schaefer dan Fox dengan menggunakan konsep hubungan hasil tangkapan dengan upaya penangkapan. Schaefer memperkenalkan model ini dengan konsep mengetahui hasil tangkapan per upaya tangkap atau Catch Per Unit Effort (CPUE) untuk menduga seberapa besar MSY. Berbeda dengan Schaefer, Fox memperkenalkan model ini dengan konsep mengetahui CPUE yang dilogaritmanaturalkan untuk menduga seberapa besar nilai MSY (Sparre dan Venema 1999).

2.8 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Banyaknya sumberdaya ikan baik darat maupun laut di Indonesia dapat menimbulkan persaingan diantara pelaku perikanan dalam proses penangkapan. Hal ini dikarenakan sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common property) dan setiap orang berhak untuk memanfaatkannya (open access). Persaingan yang dilakukan pelaku perikanan terlihat dari usaha yang dilakukan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan penambahan upaya penangkapan. Pengeksploitasian terhadap sumberdaya perikanan yang dilakukan secara

(9)

terus-menerus pada akhirnya menimbulkan konflik antar pelaku perikanan saat sumberdaya ikan yang ada semakin menipis.

Pada prinsipnya pengelolaan perikanan dimaksudkan untuk mengatur intensitas penangkapan agar diperoleh hasil tangkapan yang optimal dari berbagai aspek. Langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan mencakup kegiatan mengumpulkan data dasar mengenai biologi, ekonomi, atau sosial tentang perikanan, selanjutnya mentransfer berbagai data tersebut ke dalam bentuk informasi yang berguna untuk pembuatan berbagai keputusan pengelolaan dan akhirnya menetapkan, melaksanakan, dan memantau pelaksanaan keputusan pengelolaan tersebut (Widodo 2001).

Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan (www.indonesiabch.org), pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses terintegrasi pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya, implementasi, serta penegakan hukum peraturan perundangan di bidang perikanan, dilakukan pemerintahan dan otoritas lain diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati dan tujuan yang telah disepakati. UU Perikanan No. 45 Tahun 2009 pasal 2 menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia salah satunya dilakukan melalui asas pembangunan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan perikanan yang dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa ini dan masa yang akan datang.

Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik. Salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari (Boer dan Aziz 2007).

Referensi

Dokumen terkait

Data sekunder yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode LQ (Location Quotien), SSA (Shift Share Analysis), dan AEZ (Agro Ecology Zone) kemudian dilanjutkan

Biaya tata niaga, sebaran harga dan persentase margin pedagang pengolah beras organik yaitu lembaga kelompok dan beras anorganik yaitu pengolah lebih besar dibandingkan

• Kewenangan pelaksana tugas dalam penyaluran dan pencairan DD ketika terjadi pilkada/des, atau dalam kondisi darurat perlu diatur dalam permendagri terkait keuangan desa. •

Sarwono (2011) Menyatakan bahwa pupuk organik mempunyai banyak kelebihan, apabila dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu pupuk yang memiliki unsur hara yang

Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi ini layak untuk digunakan dalam membantu pembelajaran berhitung di mata pelajaran Matematika khususnya di

Langkah-langkah pengumpulan data menggunakan metode teknik dokumentasi; membaca cerpen Jangan main-main (dengan kelaminmu) secara berulang-ulang, mencatat kalimat yang

Hal tersebut bisa diselesaikan dengan menerapkan data mining, konsep data mining dalam pencarian dokumen menggunakan cosine similarity terdapat beberapa langkah –

bahwa harta benda wakaf itu dapat terdiri terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Yang dimaksud dengan benda tidak bergerak di sini meliputi 1) hak atas tanah