• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT NEUROTISISME DENGAN STRES PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT NEUROTISISME DENGAN STRES PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT NEUROTISISME

DENGAN STRES PADA GURU

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh : EMA SAFITRI

SUKARTI

Rr. INDAHRIA SULISTYARINI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

JOGJAKARTA

(2)

NASKAH PUBLIKASI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT NEUROTISISME DENGAN STRES PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Telah Disetujui Pada Tanggal

______________________

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Pembantu

(3)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT NEUROTISISME DENGAN STRES

PADA GURU SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Ema Safiri Sukarti

Rr. Indahria Sulistyarini

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara tingkat neurotisisme dengan stres. Asumsi awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara tingkat neurotisisme dengan stres pada guru. Semakin tinggi tingkat neurotisisme, semakin tinggi tingkat stres. Sebaliknya semakin rendah tingkat neurotisisme, semakin rendah tingkat stres.

Subjek dalam penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri, berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, meliputi guru laki-laki dan perempuan. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode quota

sampling. Adapun skala yang digunakan adalah Skala Neurotisisme merupakan

modifikasi dari skala IPIP NEO (International Personality Item Pool) yang mengacu pada aspek yang dikemukakan oleh Costa & McCrae (1995) dan Skala Stres yang dibuat sendiri oleh peneliti yang mengacu aspek yang dikemukakan oleh Taylor (1995).

Metode Analisis data yang dilakukan dalam penelitian inimenggunakan program SPSS versi 11.0 untuk menguji apakah ada hubungan antara Tingkat Neurotisisme dengan Stres. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0.657; p = 0.000 (p < 0.01), artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara Tingkat Neurotisisme dengan Stres. Jadi hipotesis penelitian diterima.

(4)

Pengantar

Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan topik bahasan yang sangat menarik pada beberapa tahun terakhir di Negara Indonesia. Banyak kalangan yang menyatakan bahwa mutu pendidikan di Indonesia selama ini kurang memuaskan. Adanya penilaian seperti tersebut di atas terhadap dunia pendidikan, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini menjadi topik utama dalam perayaan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2002 dengan pencanangan Gerakan Nasional Peningkatan Mutu Pendidikan oleh Depdiknas (Utami, 2002).

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem pendidikan, antara lain : aspek kurikulum, manajemen pendidikan, tenaga kependidikan, strategi dan metode pendidikan (Hasan, 2003). Guru sebagai tenaga kependidikan diharapkan mampu memenuhi standar profesional guru sebagaimana diungkapkan oleh beberapa ahli. Hasan (2003) mengemukakan bahwa persyaratan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21, yaitu : (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) ketrampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.

(5)

Peran guru pada setiap jenjang pendidikan sangat penting artinya, begitu halnya peran guru Sekolah Menengah Pertama, karena guru Sekolah Menengah Pertama harus menghadapi anak didik yang memasuki masa remaja sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Guru diharapkan mampu membimbing anak didiknya dalam melalui masa remajanya. Oleh karena itu, guru dengan kepribadian yang matang dan berkembang akan lebih mudah dalam proses membimbing anak didik.

Sebaliknya, menurut pandangan H.J. SriyantoGuru SMU Kolese de Britto Yogyakarta yang berpendapat bahwa citra profesi guru saat ini tampak adanya kemerosotan. Salah satu penyebab merosotnya citra profesi guru adalah rendahnya kualitas dan kompetensi guru. Kompetensi guru yang dinilai rendah ini dapat berupa kompetensi personal, sosial, maupun profesional yang masih belum memadai. Ini dapat dilihat dari kurangnya kematangan emosional dan kemandirian berpikir, lemahnya motivasi dan dedikasi, serta lemahnya penguasaan bahan ajar dan cara pengajaran yang kurang efektif

(http://www.kompas.co.id.07/01/03).

Sebagaimana peringatan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Dr. Ari Tri Soegito MM kepada peserta Pelatihan Nasional Pengembangan Pelatih Baca dan Tulis bagi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tahun 2003 di Semarang yang menyatakan bahwa guru jangan sekali-kali mengeluarkan pernyataan kasar kepada anak didiknya. Pernyataan yang kasar dari seorang guru itu bisa membunuh kreativitas muridnya

(6)

Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa tuntutan profesionalisme guru dari segi kematangan emosi yang merupakan bagian dari kepribadian yang mantap merupakan salah satu faktor penting dalam proses peningkatan mutu pendidikan nasional yang masih sangat membutuhkan perhatian dan pembinaan. Padahal individu yang berprofesi sebagai guru selain mempunyai tuntutan profesionalisme dalam proses mendidik siswa, juga mempunyai tuntutan atau tanggung jawab dalam peranannya di dalam keluarga maupun masyarakat. Tuntutan tersebut merupakan bagian dari pribadinya sebagai makhluk sosial yang dituntut untuk dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Selain sebagai makhluk sosial, individu juga sebagai makhluk pribadi yang mempunyai karakteristik atau keunikan tersendiri.

Sehingga, dalam perannya sebagai makhluk sosial maupun makhluk pribadi adakalanya sebagian individu tidak mampu menyesuaikan diri terhadap tuntutan yang ada. Ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada dapat menimbulkan tekanan-tekanan psikologis (psychological

stress). Stres merupakan suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun

psikologis (Chaplin, J. P. 2001). Stres terjadi jika individu dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai mengancam, kesehatan fisik dan psikologisnya. Peristiwa tersebut dinamakan stresor, dan reaksi individu terhadap peristiwa tersebut dinamakan respon stres, hal ini dituturkan oleh Atkinson (1993). Salah satu stresor yang dapat menyebabkan stres dalam diri individu adalah kepribadian. Kepribadian yang melekat dalam diri seseorang mempengaruhi proses timbulnya stres (Zuckerman & Bolger, 1995).

(7)

Individu yang mempunyai dimensi kepribadian neurotisisme menurut Costa & McCrae (John & Pervin, 2001) akan cenderung mempunyai emosi yang tidak stabil dan diliputi perasaan negatif, seperti cemas / khawatir (anxiety), sedih (sadness), sensitif (irritability), dan gugup / gelisah (nerveous).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunthert, Cohen, & Armeli (1999) dikatakan bahwa dimensi kepribadian neurotisisme yang melekat dalam diri individu akan mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Hal ini didukung oleh Magnus, dkk; Ormel & Wohlfarth (Gunthert, Cohen, & Armeli, 1999) yang menyatakan bahwa individu dengan kecenderungan neurotisisme akan mengalami peristiwa-peristiwa negatif dalam kehidupannya yang angkanya cenderung naik.

Individu yang cenderung neurotisisme akan mudah merasa cemas / khawatir dalam menyikapi tugas baru yang harus dilakukannya. Kekhawatiran ini dapat menimbulkan rasa sedih ataupun gelisah jika ternyata ia belum mampu melaksanakan tugas baru tersebut. Apalagi pribadinya yang cenderung sensitif, maka bila individu tersebut berinteraksi dengan individu lain atau lingkungan sosialnya, yang mungkin dapat terjadi adalah ketidakcocokan atau ketidaksesuaian terhadap lingkungan sosialnya tersebut. Hal ini dapat tampak dari perilakunya yang menunjukkan ketidaksenangan terhadap individu lain, misalnya mengomel, menyindir, atau perkataan yang dapat menyakiti perasaan individu lain. Selain berhubungan dengan lingkungan sosial individu juga tidak akan lepas dari tuntutan kehidupan yang tidak berkaitan dengan individu lain, misalnya pekerjaan, fasilitas-fasilitas umum, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Jika individu tidak mampu untuk menyesuaikan diri

(8)

terhadap lingkungan sosialnya ditambah lagi dengan tuntutan kehidupan baik dari pekerjaan maupun tuntutan pribadi, kemungkinan dapat menimbulkan stres. Respon stres yang ditunjukkan oleh tiap individu berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Individu yang cenderung ekstravert dan emosinya kurang stabil, maka respon yang tampak adalah kemarahan. Sebaliknya individu yang intravert dan emosinya tidak stabil, maka respon yang akan muncul adalah diam dengan memendam permasalahan. Sehingga semakin banyak permasalahan yang dipendam tanpa adanya penyelesaian, maka semakin lama individu tersebut akan merasakan ketidaknyamanan yang berkepanjangan yang pada akhirnya dapat mengarah pada munculnya depresi.

Jika stres ini dialami oleh individu yang berprofesi sebagai guru tentunya akan mempengaruhi kinerjanya yang mempunyai tanggung jawab dalam proses pencetakan insan-insan berkualitas. Kompetensi dan profesionalisme yang dimiliki oleh setiap guru berperan penting dalam proses peningkatan mutu pendidikan bangsa ini.

Tinjauan Pustaka

Stres

Menurut Taylor (1995) stres merupakan hasil dari proses penilaian individu berkaitan dengan sumber-sumber pribadi yang dimilikinya untuk menghadapi tuntutan dari lingkungan. Hal ini sejalan dengan pandangan Lazarus & Folkman (Sarafino, 1994; Herwindharti, 1997; Rahayu, 1994) yang menyatakan bahwa stres merupakan suatu bentuk hubungan tertentu antara individu dengan lingkungan yang dinilai sebagai ancaman karena telah melampaui batas-batas

(9)

kemampuan dari sumber-sumber bantuan yang ada pada individu untuk memenuhi tuntutan yang terdapat dalam interaksi tersebut. Menurut Sarafino (1994) ada dua komponen respon dari stres, yaitu respon psikologis yang ditunjukkan dengan perilaku, pola pikir, emosi dan respon fisiologis. Sependapat dengan hal tersebut Taylor (1995) mengatakan bahwa respon stres dapat berupa respon fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku. Jadi stres merupakan suatu keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikis sebagai wujud dari ketidakmampuan dalam usaha penyesuaian diri terhadap tuntutan atau perubahan sosial yang memberikan pengalaman tidak menyenangkan bagi individu karena ia merasa terancam dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ketidakmampuan tersebut dipengaruhi oleh penilaian kognitif yang cenderung negatif terhadap stresor atau tuntutan baik internal maupun eksternal.

Tingkat Neurotisisme

Neurotisisme dijelaskan oleh Chaplin (2001) hampir sama maknanya dengan neurosa, namun R.B. Cattell (Chaplin, 2001) menekankan bahwa sifat-sifat khas neurotis itu bervariasi dan karakteristiknya tidak selalu menunjukkan orang-orang abnormal saja. Hal ini didukung McCrae & John (Heinstrom, 2003) yang menyatakan bahwa istilah neurotisisme tidak berkaitan dengan gangguan psikiatri namun lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai perasaan negatif atau gugup. Menurut Costa & McCrae (John & Pervin, 2001) individu yang mempunyai kecenderungan neurotisisme akan cenderung diliputi perasaan negatif.

Dari beberapa pengertian neurotisisme dapat disimpulkan bahwa neurotisisme merupakan suatu dimensi kepribadian yang ditandai dengan adanya kecenderungan perasaan negatif, seperti kecemasan, permusuhan, dan sedih.

(10)

Individu yang mempunyai tipe kepribadian neurotisisme yang rendah akan cenderung lebih stabil dalam mengontrol emosinya, sedangkan individu yang mempunyai berkepribadian neurotisisme tinggi akan cenderung mengalami ketidakstabilan dalam mengontrol emosinya.

Aspek-aspek Tingkat Neurotisisme

Cemas / khawatir (anxious), Perasaan campuran berisikan ketakutan dan

keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut (Chaplin, 2001).

Sedih (sadness), Kesedihan, kepiluan, kesayuan (Echols & Shadily, 1990).

Sensitif (irritability), Suatu kecenderungan yang mengarah pada kepekaan yang

lebih terhadap suatu perangsang (Chaplin, 2001).

Gugup / gelisah (nerveous), Suatu keadaan gelisah atau resah dengan

emosionalitas yang semakin meninggi, dan tanda-tanda yang jelas kelihatan berupa getaran-getaran otot, ketegangan, dan aktivitas yang berlebihan (Chaplin, 2001).

Jadi neurotisisme merupakan suatu dimensi kepribadian yang ditandai dengan adanya kecenderungan perasaan negatif. Individu yang tingkat neurotisismenya rendah akan cenderung dapat mengontrol emosinya, sebaliknya jika tingkat neurotisismenya tinggi maka akan cenderung kesulitan mengontrol emosinya. Individu yang cenderung neurotisisme akan ditandai dengan adanya rasa cemas (anxiety), sedih (sadness), sensitif (irritability), dan gugup / gelisah (nerveous).

(11)

Dinamika Psikologis Tipe Kepribadian Neurotisisme dengan Stres

Setiap individu mempunyai kepribadian yang khas atau unik yang dapat membedakan dengan individu lain. Kepribadian yang melekat dalam diri individu merupakan suatu kecenderungan terhadap suatu dimensi kepribadian tertentu. Ada banyak dimensi kepribadian yang melekat dalam diri tiap-tiap individu. Menurut Eysenck (Feist & Feist, 1998) kepribadian yang ada dalam diri individu merupakan percampuran antara dimensi kepribadian yang satu dengan lainnya, namun ada satu dimensi kepribadian yang dominan atau menonjol dalam diri tiap individu. Sehingga tidak ada individu yang mempunyai dimensi kepribadian yang terbagi dengan rapi saling terpisah dengan dimensi yang lain. Jadi individu yang kepribadian didominasi dimensi neurotisisme dapat cenderung ekstravert atau sebaliknya cenderung introvert.

Jika dimensi kepribadian neurotisisme yang dominan atau memiliki skor neurotisisme tinggi menurut Costa & McCrae (John & Pervin, 2001; Armeli, dkk, 1999) individu akan cenderung diliputi perasaan negatif, seperti cemas / khawatir

(anxiety), sedih (sadness), sensitif (irritability), dan gugup / gelisah (nerveous).

Menurut Howard & Howard (Heinstrom, 2003) neurotisisme merupakan suatu ukuran atau takaran dari pengaruh dan kontrol emosi. Tingkat neurotisisme yang rendah diindikasikan sebagai emosi yang stabil sedangkan tingkat neurotisisme yang tinggi kemungkinan ditandai dengan pengalaman emosi negatif. Kepribadian yang melekat pada diri tiap individu akan mempengaruhi setiap peristiwa yang terjadi dalam dirinya, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gunthert, K. C., Cohen, L. H., dan Armeli, S. (1999) bahwa neurotisisme mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi

(12)

dalam kehidupan seseorang. Peristiwa tersebut dapat berupa sesuatu yang baru, misalnya tugas baru, teman baru, lingkungan baru, kurikulum baru, dan lain sebagainya. Reaksi awal individu neurotisisme ketika mengetahui bahwa dirinya harus menghadapi hal-hal baru dalam kehidupannya adalah munculnya emosi negatif, antara lain : cemas atau khawatir. Jika kekhawatiran ini tidak dapat diselesaikan oleh individu tersebut, maka yang akan dirasakannya adalah kesedihan. Jika individu tersebut terlalu larut dalam kesedihan, maka sensitifitas atau kepekaannya akan meningkat dan perilaku yang tampak adalah kegugupan atau pun gelisah. Jika individu sering tidak mampu mengendalikan emosi negatifnya, sebagaimana tersebut di atas, maka individu tersebut akan cenderung merasa terancam dalam menyikapi tuntutan dari lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik yang sering ditemuinya. Jika individu tidak mampu menghadapi atau menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan yang dianggap sebagai ancaman, maka hal inilah yang dinamakan stres.

Stres manurut Lazarus & Folkman (Sarafino, 1994; Herwindharti, 1997; Rahayu, 1994) merupakan suatu bentuk hubungan tertentu antara individu dengan lingkungan yang dinilai sebagai ancaman karena telah melampaui batas-batas kemampuan dari sumber-sumber bantuan yang ada pada individu untuk memenuhi tuntutan yang terdapat dalam interaksi tersebut.

Salah satu wujud ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan sosialnya adalah munculnya konflik interpersonal. Jika ada individu lain yang menyinggung perasaan individu yang memiliki tingkat neurotisisme tinggi saat mengalami sensitifitas atau kepekaan yang meningkat, maka yang terjadi adalah konflik interpersonal. Penyelesaian terhadap konflik

(13)

interpersonal pada individu neurotisisme akan berbeda-beda. Di satu sisi ada individu neurotisisme yang cenderung menyampaikan ketidaksukaannya pada individu lain tapi dengan cara yang tidak tepat, misalnya marah, memukul, dan lain sebagainya. Sebaliknya, ada individu neurotisisme yang cenderung diam dan memendam permasalahannya dengan individu lain. Permasalahan yang dipendam tanpa adanya penyelesaian akan mengakibatkan individu tersebut mengalami ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan-ketidaknyamanan yang berkepanjangan ini dapat menyebabkan individu tersebut mengalami depresi. Kedua bentuk reaksi terhadap konflik interpersonal tersebut merupakan respon psikologis dari stres. Yang pertama ditunjukkan dalam bentuk kemarahan, sedangkan yang kedua dalam bentuk depresi (akibat dari stres yang tidak pernah terselesaikan).

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gunthert, K. C., Cohen, L. H., dan Armeli, S. (1999) dikatakan bahwa individu yang berdimensi kepribadian neurotisisme lebih banyak mempunyai stresor dalam berhubungan interpersonal dan cenderung mempunyai penilaian primer dan sekunder yang negatif. Bertambahnya penilaian primer dan sekunder yang cenderung negatif, maka individu tersebut akan cenderung mengalami distres. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bolger & Schilling (Gunthert, K. C., Cohen, L. H., dan Armeli, S., 1999) yang menyatakan bahwa individu dengan tingkat neurotisisme tinggi cenderung mengalami stres dalam berhubungan dengan individu lain.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa individu yang berdimensi kepribadian neurotisisme akan cenderung mengalami stres karena memiliki

(14)

karakteristik mudah merasa cemas, merasa sedih, sensitif, dan merasa gugup atau gelisah.

Hipotesis

Berdasarkan pengertian secara teoritis dan dinamika psikologis yang telah dijelaskan di atas, maka hipotesis pada penelitian ini yakni ada hubungan antara tingkat neurotisisme dengan stres pada guru Sekolah Menengah Pertama.

Metodologi Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri, berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, meliputi guru laki-laki dan perempuan yang mengajar di Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, antara lain adalah SMPN 1 Ngaglik, SMPN 3 Ngaglik, SMPN 4 Ngaglik.

Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan 2 skala, yaitu Skala Stres dan Skala Tingkat Neurotisisme. Skala stres merupakan alat ukur yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek dari Taylor (1995) yang berjumlah 42 aitem. Sedangkan Skala tingkat neurotisisme terdiri dari 39 aitem merupakan modifikasi dari skala IPIP NEO (International Personality Item Pool) gambaran dari NEO PI-R (NEO Personality Inventory-Revised) karya Paul T. Costa, Jr., Ph.D. dan Robert R. McCrae, Ph.D. berdasarkan aspek Costa & McCrae (1995).

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu menggunakan korelasi product moment dari PEARSON dengan program SPSS for Windows versi 11.0.

(15)

Hasil Penelitian

Tabel Deskripsi Statistik Data Penelitian

Deskripsi Statistik Data Penelitian

Variabel Hipotetik Empirik

Xmin Xmax Mean SD Xmin Xmax Mean Stres 42 168 105 21 71 111 93.02 Tingkat Neurotisisme 39 156 97.5 19.5 77 107 92.73

Kriteria Kategorisasi Stres

Kriteria Kategorisasi Stres

Kategorisasi Norma Jumlah Subjek %

Tinggi X = 126 0 0% Sedang 84 = X < 126 58 93.55 %

Rendah X < 84 4 6.45 %

Kriteria Kategorisasi Tingkat Neurotisisme

Kriteria Kategorisasi Tingkat Neurotisisme

Kategorisasi Norma Jumlah Subjek % Tinggi X = 117 0 0% Sedang 78 = X < 117 60 96.77 % Rendah X < 78 2 3.23 %

Uji asumsi meliputi uji normalitas dan uji linearitas yang merupakan syarat sebelum melakukan pengetesan nilai korelasi. Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.00 for Windows.

Uji normalitas. Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah setiap variabel

terdistribusi secara normal. Uji normalitas dilakukan pada variabel stres dan tingkat neurotisisme dengan menggunakan teknik One Sample

Kolmogorov-Smirnov Test pada program SPSS 11.00 for Windows. Berdasarkan hasil analisis

(16)

atau p > 0.05) dan sebaran skor variabel Tingkat Neurotisisme adalah normal (KS-Z = 0.845 ; p = 0.472 atau p > 0.05).

Uji linearitas. Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui linearitas hubungan

antara variabel Stres dan Tingkat Neurotisisme dengan menggunakan teknik

means linerity pada SPSS 11.00 for Windows. Berdasarkan hasil analisis diperoleh

hasil linier (F linearity = 45.49549 ; p = 0.000 atau p < 0.05).

Kedua data variabel telah memenuhi syarat uji normalitas dan uji linearitas, yaitu skor kedua variabel berdistribusi normal dan mempunyai hubungan yang linear. Maka uji hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson.

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel Stres dengan Tingkat Neurotisisme adalah 0.657 ; p = 0.000 (p< 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara Tingkat Neurotisisme dan Stres, sehingga hipotesis diterima. Berdasarkan hasil analisis diketahui koefisien determinasi (R Square) sebesar 0.43, artinya bahwa sumbangan efektif variabel Tingkat Neurotisisme terhadap variabel Stres adalah sebesar 43 %.

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel Tingkat Neurotisisme dengan variabel Stres pada guru Sekolah Menengah Pertama. Adanya hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) sebesar 0.657 ; p = 0.000 (p< 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat neurotisisme guru, maka akan

(17)

koafisien determinasi (R Square) sebesar 0.43, artinya bahwa sumbangan efektif variabel Tingkat Neurotisisme terhadap variabel Stres adalah sebesar 43 %. Sisanya sebesar 57 % adalah faktor lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi Stres pada guru Sekolah Menengah Pertama, namun faktor lain ini tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Faktor internal lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi persepsi sehingga individu dapat mengalami stres menurut Robbins (1983) adalah nilai-nilai yang dianut oleh individu (value), dan sikap (attitude).

Selain itu, ada faktor eksternal yang juga dapat mempengaruhi stres antara lain lingkungan sosial yang sering ditemui oleh individu, yaitu : keluarga, tempat kerja, dan dari lingkungan fisik di sekitarnya (Lazarus, 1976; Smet, 1994; Sarafino, 1994). Lingkungan fisik yang dapat menyebabkan stres antara lain adalah kesesakan, kebisingan, suhu yang terlalu panas, kecelakaan lalu lintas, bencana alam, dan lain sebagainya (Lazarus, 1976).

Berdasarkan hasil rerata empirik yakni 92.73 (78 = X < 117) subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat neurotisisme yang sedang. Hal ini menunjukkan bahwa guru SMPN sebagai subjek dalam penelitian ini mempunyai kemampuan untuk mengontrol emosi yang sedang, sebagaimana yang dikatakan oleh Howard & Howard (Heinstrom, 2003) bahwa neurotisisme merupakan suatu ukuran atau takaran dari pengaruh dan kontrol emosi. Hal ini berarti dalam diri guru SMPN tersebut tidak terlalu diliputi perasaan negatif, seperti yang dikatakan oleh Costa & McCrae (John & Pervin, 2001; Armeli, dkk, 1999) bahwa individu yang tingkat neurotiisismenya tinggi akan cenderung diliputi perasaan negatif, seperti cemas / khawatir (anxiety), sedih (sadness), sensitif (irritability), dan

(18)

gugup / gelisah (nerveous). Padahal dimensi kepribadian yang melekat pada diri tiap individu akan mempengaruhi setiap peristiwa yang terjadi dalam dirinya, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gunthert, K. C., Cohen, L. H., dan Armeli, S. (1999) bahwa neurotisisme mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang.

Guru SMPN yang mudah merasa khawatir terhadap hal baru ataupun peristiwa yang belum tentu terjadi akan mudah merasa sedih jika kekhawatiran tersebut belum terselesaikan. Jika individu tersebut terlalu larut dalam kesedihan, maka sensitifitas atau kepekaannya akan meningkat dan perilaku yang tampak adalah kegugupan atau pun gelisah. Jika individu sering tidak mampu mengendalikan emosi negatifnya, maka individu tersebut akan cenderung merasa terancam dalam menyikapi tuntutan dari lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik yang sering ditemuinya. Sehingga, individu tidak mampu menghadapi atau menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan yang dianggap sebagai ancaman, maka hal inilah yang dinamakan stres.

Stres manurut Lazarus & Folkman (Sarafino, 1994; Herwindharti, 1997; Rahayu, 1994) merupakan suatu bentuk hubungan tertentu antara individu dengan lingkungan yang dinilai sebagai ancaman karena telah melampaui batas-batas kemampuan dari sumber-sumber bantuan yang ada pada individu untuk memenuhi tuntutan yang terdapat dalam interaksi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini guru SMPN sebagai subjek penelitian memiliki tingkat stres yang sedang hal ini tampak dari hasil rerata empiriknya yaitu 93.02 (84 = X < 126). Jadi individu yang mempunyai tingkat neurotisisme sedang terbukti mengalami stres yang sedang pula.

(19)

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunthert, K. C., Cohen, L. H., dan Armeli, S. (1999) bahwa individu yang mempunyai tingkat neurotisisme tinggi akan lebih mudah mengalami stres karena penilaian primer dan sekundernya yang cenderung negatif.

Walaupun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah terbukti, namun penulis menyadari bahwa dalam pelaksanaan penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Sewaktu proses pengambilan data tidak semua subjek dapat berinteraksi langsung dengan peneliti. Hal ini dikarenakan rutinitas di sekolah pada saat pelaksanaan penelitian begitu padat. Oleh karena itu peneliti tidak dapat secara langsung memotivasi subjek untuk mengisi skala penelitian, akibatnya banyak skala yang tidak dikembalikan oleh subjek.

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara variabel Tingkat Neurotisisme dengan variabel Stres pada guru Sekolah Menengah Pertama. Adanya hubungan antara kedua variabel tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi (r) sebesar 0.657 ; p = 0.000 (p< 0.01). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat neurotisisme guru akan semakin tinggi pula tingkat stresnya. Berdasarkan hasil analisis diketahui koafisien determinasi (R Square) sebesar 0.43, artinya bahwa sumbangan efektif variabel Tingkat Neurotisisme terhadap variabel Stres adalah sebesar 43 %. Sisanya sebesar 57 % adalah faktor lain yang kemungkinan dapat mempengaruhi Stres pada guru Sekolah Menengah Pertama, namun faktor lain ini tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat neurotisisme yang sedang. Hal ini ditunjukkan dari hasil rerata empirik subjek yakni 92.73 (78

(20)

= X < 117). Sedangkan tingkat stres yang dirasakan oleh subjek tergolong sedang juga, tampak dari hasil rerata empiriknya yaitu 93.02 (84 = X < 126). Jadi karakteristik individu yang mempunyai dimensi kepribadian neurotisisme dapat meningkatkan Stres. Sehingga guru SMPN yang tingkat neurotisismenya sedang memiliki tingkat Stres yang sedang pula.

Saran

Saran bagi subjek penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini guru SMPN yang tingkat neurotisismenya sedang memiliki tingkat Stres yang sedang pula, maka subjek penelitian tergolong cenderung mampu mengontrol emosi negatifnya. Peneliti berharap guru-guru mampu mempertahankan kemampuannya untuk mengontrol emosi negatifnya atau akan lebih baik jika dapat memperbaiki kontrol emosi negatif dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Untuk mempertahankan dan memperbaiki kontrol emosi negatif dapat dilakukan dengan cara bersikap tenang, berpikir rasional untuk memperkecil kekhawatiran. Selalu berpikir positif akan membantu individu mengurangi kesedihan dan kepekaan yang berlebihan ketika menghadapi suatu peristiwa. Jika telah mampu bersikap tenang dan berpikir positif, maka kegelisahan yang sering muncul ketika menghadapi suatu masalah akan dapat teratasi. Apabila seorang guru dapat mengendalikan emosi negatifnya menjadi lebih stabil maka akan memperkecil tingkat stres yang dirasakan oleh guru tersebut.

(21)

Saran bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang Stres disarankan untuk lebih menggali dan mengontrol faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan Stres bagi tiap individu yang disesuaikan dengan kebutuhan. Peneliti menyarankan bagi peneliti selanjutnya diharap untuk lebih memperhatikan proses pelaksanaan penelitian agar dapat memperkecil kekurangsempurnaan suatu penelitian.

Saran bagi sekolah tempat penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa guru SMPN yang tingkat neurotisismenya sedang memiliki tingkat stres yang sedang pula. Oleh karena itu, bagi pihak sekolah dan PGRI sebagai organisasi beranggotakan para guru disarankan untuk mempertahankan dan memperbaiki iklim organisasi yang sehat. Hal ini dapat dilakukan dengan tetap menjaga hubungan silaturahmi dan keakraban antar guru, karyawan, kepala sekolah maupun dengan siswa-siswa. Misalnya mengadakan suatu acara dengan permainan-permainan sederhana yang dapat membuat suasana menjadi lebih menyenangkan daripada rutinitas sehari-hari bagi seluruh warga sekolah, sehingga dapat mempererat keakraban, memperkecil kesalahpahaman dan pemikiran negatif antar warga sekolah. Setelah keakraban yang terjalin semakin erat antar warga sekolah, selanjutnya dapat diterapkan untuk saling mengingatkan antara warga sekolah yang satu dengan lainnya untuk bersikap sabar, ikhlas, dan selalu berpikir positif dalam menghadapi suatu peristiwa. Hal ini dapat diawali dengan melakukan pelatihan

(22)

Selain itu, disarankan bagi pihak-pihak yang berinteraksi dengan profesi guru diharap untuk membantu memperkecil munculnya stres pada guru dengan memperhatikan stresor eksternal yang dapat memicu munculnya stres pada guru. Menurut penelitian Munandar (dalam apakabar@clark.net, 1997) stresor eksternal tersebut antara lain adalah pemotongan gaji guru, kenaikan pangkat yang tertunda, siswa perorangan yang berkelakuan buruk terus-menerus, konflik dengan personil sekolah lainnya, lingkungan sekolah yang terlalu bising, dan yang terakhir kurangnya motivasi dan perhatian siswa terhadap pelajaran.

(23)

Daftar Pustaka

Armeli, S., Cohen, L. H., Gunthert, K. C.,. 1999. The Role of Neuroticism in Daily Stress and Coping. Journal of Personality and Social Psychology, 77, No. 5, 1087-1100.

Atkinson, R. L. 1993. Pengantar Psikologi, Edisi Kesebelas, Jilid 2. Interaksara.* Bolger, N., Zuckerman, A. 1995.A Framework for Studying Personality in the

Stress Process. Journal of Personality and Social Psychology, 69, No. 5, 890-902.

Chaplin, J. P. 2001. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Echols, J. M., Shadily, H. 1990. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia.

Hasan, A. M. 2003. Pengembangan Profesionalisme Guru di Abad Pengetahuan.

http://www.yahoo.com. 20 08 04

Heinström, .J. 2003. Five personality dimensions and their influence on information behaviour. Information Research. Vol. 9 No. 1, Herwindharti, L.. 1997. Ciri, Sifat Keprobadian dan Strategi Menghadapi Stres.

Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas

Gajah Mada.

John, O. P., & Pervin, L. A.. 2001. Personality Theory and Research. Eighth Edition. NewYork : John Wiley & Sons, Inc.

Lazarus, R. S.. 1976. Pattern of Adjustment. Third Edition. Tokyo : Mc. Graw Hill.

Sarafino, E. P.. 1994. Health Psychology. Second Edition. Kanada : John Wiley & Sons, Inc.

Smet, B.. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : Grasindo.

Sriyanto, H. J.. 2003. Pudarnya Citra Profesi Guru.

(24)

Taylor, S. E.. 1995. Health Psychology. Third Edition. Singapura : Mc. Graw-Hill. Inc.

Utami. N. A.. 2002. Kualitas dan Profesionalisme Guru. (http://www.pikiran

rakyat.com.15/10/02).

_______. 2003. Pernyataan Kasar Guru Bisa Bunuh Kreativitas Anak Didik.

Gambar

Tabel Deskripsi Statistik Data Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan makalah ini adalah membuat film BST menggunakan metode CSD dengan variasi suhu annealing (800 o C, 850 o C, dan 900 o C) selama 15 jam, di atas substrat silikon

Pemantapan media kultur dilakukan menggunakan stamm kuman yang telah diketahui dan sampel ditanam pada media yang sesuai untuk mengontrol media – media yang baru dibuat

Kerapatan vegetasi dapat diidentifikasi menggunakan algoritma NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), indeks kebasahan dapat diidentifikasi menggunakan algoritma

Dengan demikian jelas bahwa biaya standar merupakan alat yang penting untuk perencanaan dan pengendalian biaya produksi berdasarkan pemikiran bahwa pengendalian

dipersiapkan dan dibantu untuk merencanakan tentang karirnya. Ketika duduk di bangku sekolah menegah, siswa sudah harus diperluas pandangannya bahwa pengotakan karir

Berdasarkan analisis dan pengujian system HMI yang dilakukan pada prototype mesin sizing, maka didapatkan kesimpulan bahwa aplikasi HMI yang didesain dapat

Pertama , yaitu dari sudut tinjauan historisitas kultural pesantren, pesantren merupakan sebuah institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, di mana tradisi pesantren

Pada penelitian ini metode tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai hasil belajar matematika siswa dengan cara memberikan soal tes yang sama pada kedua