• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 2.1.1 Pengertian

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya (Smetzler & Bare, 2002).

2.1.2 Faktor risiko terjadi PPOK

PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mukus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosio ekonomi, nutrisi dan komorbiditas (Potter & Perry, 2005).

a. Genetik

PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan

(2)

telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin inhibitor.

b. Pertumbuhan dan perkembangan paru

Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya

c. Stres oksidatif

Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres oksidasi pada paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-paru. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang penting terhadap patogenesis PPOK

d. Jenis kelamin

Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan

(3)

pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang merupakan perokok saat ini

e. Infeksi

Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun

f. Status sosio ekonomi dan nutrisi

Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik

indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut berhubungan erat dengan status sosio ekonomi

g. Komorbiditas

Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive

Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi

(4)

2.1.3 Patofisiologi PPOK

Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit respiratori terminal. Terdapat dua kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata (Corwin, 2009).

Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos (Corwin, 2009).

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar (sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular) dan emfisema periasinar (perilobular) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada

(5)

emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi (Corwin, 2009).

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok (Corwin, 2009).

Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah

leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan

growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu

ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor ß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada (Corwin, 2009).

(6)

Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad

menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal (Corwin, 2009).

2.2 Kualitas Tidur 2.2.1 Pengertian

Tidur adalah tidur berasal dari kata bahasa Latin “somnus” yang berarti

alami periode pemulihan, keadaan fisiologi dari istirahat untuk tubuh dan pikiran. Tidur adalah status perubahan kesadaran ketika persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun (Nurul, 2007).

Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan periodik (Lanywati, 2001). Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar yang dialami seseorang yang dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Guyton, 2001). Tidur dikarakteristikkan dengan aktivitas fisik yang minimal, tingkat kesadaran yang bervariasi, perubahan proses fisiologi tubuh, dan

(7)

penurunan respon terhadap stimulus eksternal merupakan keadaan yang tenang, relaks tanpa tekanan emosional dan bebas dari kegelisahan (Nurul, 2007).

Enam ciri yang dialami seseorang berkaitan dengan istirahat, yaitu (Nurul, 2007) :

a. Merasa bahwa segala sesuatu dapat diatasi. b. Merasa diterima.

c. Mengetahui apa yang sedang terjadi.

d. Bebas dari gangguan dan ketidaknyamanan.

e. Mempunyai rencana-rencana kegiatan yang memuaskan. f. Mengetahui adanya bantuan sewaktu memerlukan. 2.2.2 Fisiologi tidur

Aktivitas tidur diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu

Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS

di bagian atas batang otak diyakini memiliki sel-sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran; memberi stimulus visual, pendengaran, nyeri, dan sensori raba; serta emosi dan proses berpikir. Pada saat sadar RAS melepaskan katekolamin, sedangkan pada saat tidur terjadi pelepasan serum serotonin dari BSR (Nurul 2007).

2.2.3 Ritme sirkadian

Setiap makhluk hidup memiliki bioritme (jam biologis) yang berbeda. Pada manusia, bioritme ini dikontrol oleh tubuh dan disesuaikan dengan faktor lingkungan (cahaya, kegelapan, grafitasi dan stimulus elektrodinamik). Bentuk bioritme yang paling umum adalah ritme sirkadian yang melengkapi siklus selama

(8)

24 jam. Dalam hal ini, fluktuasi denyut jantung, tekanan darah, temperatur tubuh, sekresi hormon, metabolisme dan penampilan serta perasaan individu bergantung pada ritme sirkadiannya. Tidur adalah salah satu irama biologis tubuh yang sangat kompleks. Sinkronisasi sirkadian terjadi jika individu memiliki pola tidur-bangun yang mengikuti jam biologisnya: individu akan bangun pada saat ritme fisiologis dan psikologis paling tinggi atau paling aktif dan akan tidur pada saat ritme tersebut paling rendah (Nurul, 2007).

2.2.4 Siklus tidur

Selama tidur, individu melewati tahap tidur Non Rapid Eye Movement

(NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Siklus tidur yang komplek normalnya berlangsung, selama 1,5 jam, dan setiap orang biasanya melalui 4 hingga 5 siklus selama 7 sampai 8 jam tidur. Siklus tersebut dimulai dari tahap NREM yang berlanjut ke tahap REM. Tahap NREM I – III berlangsung selama 30 menit, kemudian diteruskan ke tahap IV selama kurang lebih 20 menit. Setelah itu, individu kembali ke tahap III dan II selam 20 menit. Tahap I REM muncul sesudahnya dan berlangsung selama 10 menit (Nurul, 2007).

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur

Menurrut Nurul (2007) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur seseorang antara lain:

a. Penyakit

Penyakit dapat menyebabkan nyeri atau distress fisik yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Individu yang sakit membutuhkan waktu tidur yang

(9)

banyak daripada biasanya. Di samping itu siklus bangun-tidur selama sakit dapat mengalami gangguan.

b. Lingkungan

Lingkungan dapat membantu sekaligus menghambat proses tidur. Tidak adanya stimulus tertentu atau adanya stimulus yang asing yang dapat menghambat upaya tidur.

c. Kelelahan

Kondisi tubuh yang lelah dapat mempengaruhi pola tidur seseorang. Semakin lelah seseorang, semakin pendek siklus REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya siklus REM akan kembali memanjang.

d. Gaya hidup

Individu yang sering berganti jam kerja harus mengatur aktivitasnya agar bisa tidur dalam waktu yang tepat.

e. Stres emosional

Anxietas (kegelisahan) dan depresi seringkali mengganggu tidur seseorang. Kondisi anxietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin darah melalui stimulus saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus REM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.

f. Stimulan dan alkohol

Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP (Sistem Saraf Pusat) sehingga dapat mengganggu pola tidur. Sedangkan konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menganggu siklus tidur REM. Ketika pengaruh alkohol telah hilang, individu sering mengalami mimpi buruk.

(10)

g. Diet

Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya terjaga disaat malam hari.

h. Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh. Akibatnya, perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam hari.

i. Medikasi

Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Hiptonik dapat mengganggu tahap III dan IV tidur NREM, betabloker dapat menyebabkan

insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik (misalnya, meperidin hidroklorida

dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan seringnya terjaga di malam hari.

j. Motivasi

Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan lelah seseorang. Sebaliknya, perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk terjaga sering kali dapat mendatangkan kantuk

2.2.5 Dampak kualitas tidur yang buruk

Kurang tidur atau kualitas tidur yang buruk dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain (Nurul, 2007) :

a. Efek fisiologis, karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stress

b. Efek psikologis, dapat berupa gangguan memori, gangguan berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan lain-lain.

(11)

c. Efek fisik/somatik, dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi dan sebagainya.

d. Efek sosial, dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati hubungan sosial dan keluarga.

e. Kematian orang yang tidur kurang dari lima jam semalam memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang mengindiksi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang terdapat pada insomnia. Selain itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang yang normal

2.2.6 Penilaian kualitas tidur

Tidur yang berkualitas merupakan hal yang esensial khususnya bagi para pekerja. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian terhadap kualitas tidur seseorang khususnya bagi orang dewasa dan usia produktif sehingga dapat membantu sebuah perusahaan untuk menentukan shift kerja yang baik bagi pekerjanya. Menurut Wicken, (2004) (dalam Setyawati, 2007) Penilaian kualitas tidur dilakukan dengan menggunakan sebuah metode yang bernama PSQI (The Pittsburgh Sleep Quality Index). PSQI sendiri ialah suatu metode penilaian yang berbentuk kuesioner yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan gangguan tidur orang dewasa dalam interval satu bulan. Dari penilaian kualitas tidur dengan menggunakan metode PSQI ini akan didapatkan outputan berupa Sleeping Index.

(12)

Sleeping Index merupakan suatu skor atau nilai yang didapatkan dari pengukuran kualitas tidur seseorang yang pengurkurannya dicari dengan cara mengisi kuesioner PSQI dengan pembobotan tertentu. Index atau nilai tersebut yang nantinya akan menggambarkan seberapa baikkah kualitas dari tidur seseorang.

Dalam PSQI ini terdapat tujuh skor yang digunakan sebagai parameter penilaiannya. Tujuh skor tersebut yaitu : Kualitas tidur, Latensi tidur, Durasi tidur, Kebiasaan tidur, Gangguan tidur, Penggunaan obat tidur (yang berlebihan) dan Disfungsi siang hari selama satu bulan terakhir. PSQI terdiri dari 19 kuesioner untuk penilaian individu, akan digrupkan kedalam 7 komponen skor, yang tiap itemnya dibobotkan dengan bobot seimbang dalam rentang skala 0-3. Ketujuh komponen tersebut pada akhirnya akan dijumlahkan sehingga didapatkan skor global PSQI yang memiliki rentang skor 0-21 dan dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu kualitas tidur baik jika skor antara 0-10 dan kualitas tidur buruk jika skor 11-21, semakin tinggi skor yang didapatkan seseorang menandakan bahwa orang tersebut mengalami kualitas tidur terburuk (Setyawati, 2007). Banyak penelitian tentang gangguan tidur yang menggunakan metode PSQI, hal tersebut dikarenakan PSQI memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan hasil uji pada penelitian sebelumnya didapatkan r hitung > r tabel untuk taraf signifikansi 5% dengan N=20, dimana nilai r hitung yang didapatkan antara 0,567 sampai dengan 0,980 dengan rtabel 0,359. Namun metode PSQI ini juga memiliki kekurangan yaitu pengisian kuesioner PSQI dapat memperoleh hasil yang kurang akurat dikarenakan keterbatasan dan kesulitan klien untuk memahami pertanyaan sehingga perlu untuk dipandu dalam pengisiannya (Utami, 2012).

(13)

2.3 Relaksasi nafas dalam 2.3.1 Pengertian

Relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat meningkatkan kualitas tidur, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Brunner & Suddart, 2002).

Latihan nafas dalam adalah suatu kegiatan dengan memasukkan udara ke dalam paru-paru yang jumlahnya 1 ½ - 2 kali nafas normal. Menurut Smeltzer dan Bare (2002). Latihan pernafasan bertujuan untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien, meningkatkan inflasi alveolar maksimal, meningkatkan relaksasi otot, menghilangkan ansietas, menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna dan mengurangi kerja pernafasan.

2.3.2 Indikasi

Relaksasi nafas dalam di indikasikan pada klien yang akan mengalami gangguan pada kualitas istirahatnya terutama yang memiliki gangguan dalam kualitas tidur (insomnia), klien yang mengalami gangguan ventilasi paru seperti pada penderita PPOK dan klien yang mengalami kecemasan.

2.3.3 Tujuan

Menurut Alimul (2003) dalam Potter dan Perry (2005) tujuan teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk,

(14)

mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional, menurunkan intensitas nyeri, menurunkan tingkat kecemasan serta mampu memperbaiki kualitas tidur seseorang.

2.3.4 Prosedur teknik relaksasi nafas dalam

Bentuk pernafasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut (Potter & Perry, 2005):

a. Atur posisi klien dengan posisi duduk ditempat tidur atau dikursi.

b. Letakkan satu tangan klien diatas abdomen (tepat dibawah iga) dan tangan lainnya pada tengah-tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan abdomen saat bernafas.

c. Keluarkan nafas dengan perlahan dan penuh bersamaan dengan gerakan iga menurun dan kedalam mengarah pada garis tengah.

d. Tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tetutup selama menarik nafas. e. Tahan nafas dalam selama 2 detik.

f. Hembuskan dan keluarkan nafas melalui mulut selama 4 detik

g. Lakukan secara berulang dalam 5 siklus selama 15 menit dengan periode istirahat 2 menit (1 siklus adalah satu kali proses mulai dari tarik nafas, tahan dan hembuskan)

(15)

h. Satu siklus adalah satu proses mulai dari menarik nafas, tahan dan menghembuskan nafas.

Lakukan langkah ini berulang-ulang hingga klien merasa nyaman dan akhirnya dapat beristirahat (tidur). Efektifitas lama pelaksanaan relaksasi nafas dalam untuk mendapatkan hasil yang maksimal, berdasarkan hasil penelitian Hendraman (2010), tentang pengaruh relaksasi nafas dalam terhadap kualitas tidur lansia dipanti jompo menunjukkan terjadi peningkatan kualitas tidur kearah yang lebih baik setelah diberikan relaksasi nafas dalam, dimana kualitas tidur lansia sebelum diberikan relaksasi nafas dalam sebagian besar buruk yaitu sebesar 88,5%, setelah hari pertama pemberian perlakukan sebagian besar lansia masih memiliki kualitas tidur yang buruk sebesar 63,5%, setelah tiga hari perlakuan kualitas tidur lansia sebagian besar masih buruk sebesar 52,6% dan setelah satu minggu perlakuan terjadi perubahan dimana didapatkan sebagian besar lansia mengalami kualitas tidur yang baik yaitu sebesar 68,9%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan ada pengaruh yang efektif pemberian relaksasi nafas dalam terhadap kualitas tidur lansia dip anti jompo.

2.4 Pengaruh Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Kualitas Tidur Pasien PPOK Gangguan kesehatan mental seperti gejala depresi dan ansietas pada pasien PPOK, menimbulkan gangguan tidur atau sering disebut insomnia. Ada bukti yang menunjukkan bahwa PPOK berhubungan dengan insomnia dan masalah tidur lainnya. Gangguan kualitas tidur dan desaturasi pada pasien PPOK dengan

obstructive sleep apnea (overlap syndrome) memiliki risiko tinggi mengalami hipertensi pulmonal (pulmonary arterial hypertension) akibat hipoksemia.

(16)

mengalami penurunan saturasi oksigen lebih dari 10% sewaktu tidur (Surani, 2009).

Pada keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit sering kali terjadi dua hal yang berlawanan, disatu sisi pasien mengalami peningkatan kebutuhan tidur untuk mempercepat proses pemulihan, sementara disisi yang lain pola tidur pasien yang menjalani rawat inap dapat dengan mudah berubah atau mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat kecemasan akan kondisi sakitnya atau akibat rutinitas rumah sakit (Potter & Perry, 2005).

Relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam dapat memberikan ketentraman hati, berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah, tekanan dan ketegangan jiwa menjadi rendah, detak jantung lebih rendah, mengurangi tekanan darah, ketahanan yang lebih besar terhadap penyakit, tidur lelap, kesehatan mental menjadi lebih baik, daya ingat lebih baik, meningkatkan daya berpikir logis, meningkatkan kreativitas, meningkatkan keyakinan, meningkatkan daya kemauan dan meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain (Bouwhuizen, 2006).

Menurut Bouwhuizen (2006) selain menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat mengurangi tingkat kecemasan dimana kecemasan meupakan salah satu penyebab insomnia, dengan kecemasan yang menurun atau hilang secara tidak langsung kualitas tidur dapat lebih baik.

Referensi

Dokumen terkait

Saran yang dapat diberikan dalam kegiatan ini adalah diperlukan penyuluhan yang berkesinambungan kepada ibu-ibu Dharma Wanita dan guru yayasan Bulog agar lebih memahami

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuatan batu bata pasca pembakaran dengan menggunakan campuran zeolit memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI)

Pada penelitian ini, sistem dibangun dengan konsep Aplikasi Tanya Jawab Question Answering System dengan menggunakan teknologi semantic web sebagai metode penggalian jawaban

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kinerja PT PLN (Persero) Rayon Semarang Tengah belum optimal karena masih mengalami kendala terkait

Halaman inti adalah halaman yang memuat isi keseluruhan artikel ilmiah dari halaman judul sampai dengan halaman akhir daftar pustaka yang jumlahnya minimal 8 (delapan) dan

Di samping kelemahan diatas, data dalam bentuk ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan data analog, sifatnya yang diskret menyebabkannya tidak dipengaruhi oleh

Pada simulasi aliran air proses pengeringan, fluks di lapisan tanah lebih dalam lebih besar dibandingkan dengan fluks di lapisan tanah diatasnya, tanah

dan Chiger, 1985 dalam Hermawan, 2003) Fermentasi reject nanas dilakukan secara kontinyu untuk mengetahui pengaruh laju alir substrat terhadap konsentrasi sel dan kadar