• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - RACHMI GLADIAWATI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - RACHMI GLADIAWATI BAB II"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka 1. Hipertensi

Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan penyakit tekanan darah tinggi

adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen

dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh (Sustrani,

2006). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik lebih

dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolic lebih dari atau sama

dengan 90 mmHg (JNC VII, 2003). Klasifikasi hipertensi pada orang dewasa:

Table 2.1. Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee VIII (JNC) 8

Klasifikasi Tekanan Darah

Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥160 Atau ≥100

Sumber: JNC 8, 2014

Table 2.2. Klasifikasi hipertensi hasil konsensus perhimpunan hipertensi Indonesia

Klasifikasi Tekanan Darah

Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi tahap 2 ≥160 Atau ≥100

Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 ≥ 90

Sumber: Depkes RI, 2006

Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi

hipertensi primer (essensial) yang tidak diketahui penyebabnya, hipertensi lain

dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus yang

dikenal sebagai hipertensi sekunder (non essensial) (Depkes RI, 2006).

Hipertensi primer terjadi lebih dari 90% kasus. Penyebabnya multifaktorial

meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan

terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap

vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor

lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan

(2)

Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam

kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal),

hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Gunawan,

2007). Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder yang

paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan

darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan

menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi

penyakit lain yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam

penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II

dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang

peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung

angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin

(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang

terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan

rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada

ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH,

sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga

menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron

dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki

peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya

dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan

cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan

(3)

Faktor resiko terjadinya hipertensi dikelompokan menjadi dua faktor, yaitu

faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi dan yang dapat dimodifikasi.

a. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

1) Jenis kelamin

Gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, di mana pria lebih banyak

yang menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita, dengan rasio sekitar

2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Hal ini karena pria diduga

memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan darah

dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki menopause,

prevalensi hipertensi pada wanita meningkat (Depkes RI, 2006)

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein

(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam

mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen

dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia

premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi

sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari

kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut

berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang

umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar et al, 2005).

2) Umur

Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan bertambahnya umur,

risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar. Hal tersebut disebabkan oleh

perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih

sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai akibat

adalah meningkatnya tekanan darah sistolik (Depkes RI, 2006).

3) Genetik

Faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu

mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium

(4)

risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang

tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade et al, 2003).

b. Faktor yang dapat dimodifikasi

1) Stres

Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon adrenalin

akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa mengakibatkan jantung

memompa darah lebih cepat sehingga tekanan darah pun meningkat (Dinkes

RI, 2006).

2) Obesitas

Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan

antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi

insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem

reninangiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal (Cortas et al, 2008).

3) Olah raga

Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi.

Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan

otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin

keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan yang

mendesak arteri (Cortas et al, 2008). Olah raga yang teratur dapat membantu

menurunkan tekanan darah dan bermanfaat bagi penderita hipertensi ringan

(Dinkes RI, 2006). Olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan

perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih

otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan

pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu (Nuraini, 2015).

4) Asupan garam

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di

dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan

intraseluler ditarik ke luar sehingga terjadi peningkatan volume cairan

ekstraseluler. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut

menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada

(5)

2. Konseling Kefarmasian

Konseling kefarmasian merupakan salah satu bentuk pelayanan kefarmasian

dilakukan oleh apoteker untuk memberikan edukasi pengobatan dengan cara tatap

muka atau wawancara, yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman pasiaen dalam pengobatan (Depkes RI, 2006). Konseling berperan

besar bagi keberhasilan pengobatan hipertensi, yang dibuktikan oleh penelitian

terdahulu bahwa intervensi apoteker bermanfaat dalam meningkatkan kepatuhan

dan pencapaian target tekanan darah pasien hipertensi (Wasilin, 2011). Melalui

konseling, apoteker dapat mengidentifikasi dan mengatasi masalah terkait obat,

memberdayakan pasien untuk menerapkan manajemen perilaku diri yang positif,

peningkatan kepuasan pasien dan dapat mengoptimalkan kualitas perawatan

pasien. Konseling yang efektif akan membuat pasien mengerti tentang penyakit

dan pengobatan yang sedang dijalani dan meningkatkan kepatuhan minum obat

(Puspitasari, 2009).

Tujuan konseling kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker yaitu (Depkes

RI, 2006)

1) Tujuan umum

a) Meningkatkan keberhasilan terapi

b) Memaksimalkan efekterapi

c) Meminimalkan resiko efek samping

d) Meningkatkan cost effectiveness

e) Menghormati pilihan pasien dalam memilih terapi

2) Tujuan khusus

a) Meningkatkan hubungan kepercayaan antara pasien dengan apoteker

b) Menunjukan perhatian dan kepedulian kepada pasien

c) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan obatnya

d) Membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan penyakitnya

e) Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

f) Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem

g) Meningkatkan kemampuan pasien untuk memecahkan maslah sendiri

dalam hal terapi

(6)

i) Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat sehingga

dapat mencapai tujuan pengobatan dan meingkatkan mutu pengobatan

pasien

3. Intervensi Al-Quran dalam Konseling

Menurut Ahmad Mubarak, konseling Islam adalah usaha memberikan

bantuan kepada seseorang atau sekelompok orang yang sedang mengalami

kesulitan lahir dan batin menjalankan tugas-tugas hidupnya dengan menggunakan

pendekatan agama, yakni dengan membangkitkan kekuatan getaran batin (Iman)

didalam dirinya untuk mendorongnya mengatasi masalah yang dihadapi (Lubis,

2007).

Konseling berbasisi Al-Quran merupakan bentuk pelayanan terhadap manusia

sehubungan dengan tujuan diturunkannya Al-Quran, yang terdapat pada Quran

Surat Ibrahim ayat 1

ِدْيِمَحْلا ِزْي ِزَعْلا ِطا َر ِصًٰلِا ْمِهِّب َر ِنْذِاِب ۙ. ِر ْىُّىلاًَلِا ِت ٰمُلُّظلا َهِم َساَّىلا َج ِرْخُتِل َكْيَلِا ُهٰىْل َزْوَا ٌبٰتِك ٰرٓلا” Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.

Maksud dari ayat tersebut yaitu manusia pada umumnya telah tertimpa

berbagai masalah dengan terus berusaha mencari jalan keluar. Sehingga meurut

Rosyidan konseling berbasis Al-Quran menjadi salah satu jalan keluar dalam

pemecahan masalah pada manusia. Al-Quran memiliki empat fungsi, yang

disebutkan dalam QS. Yunus ayat 57

َر َو يًدُه َو ِروُدُّصلا يِف اَمِل ٌءاَفِش َو ْمُكِّب َر ْهِم ٌةَظِع ْىَم ْمُكْتَءاَج ْدَق ُساَّىلا اَهُّيَأ اَي

َهيِىِمْؤُمْلِل ٌةَمْح ”

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Ayat tersebut menegaskan bahwa ada empat fungsi Al-Qur’an, yaitu:

pengajaran, obat, petunjuk dan rahmat. Penerapan terhadap empat fungsi ini,

dapat diaplikasikan dalam konseling kefarmasian berbasis Al-Quran dengan

upaya pemberian bantuan kepada pasien yang mengalami masalah pengobatan

(7)

4. Program Pengelolaan Penyakit Kronis (PROLANIS)

Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) adalah sistem pelayanan

kesehatan yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS kesehatan dalam

rangka memelihara kesehatan bagi peserta BPJS yang menderita penyakit kronis

sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya kesehatan

yang efektif dan efisien. Tujuan PROLANIS yaitu mendorong peserta

penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator

75% peserta terdaftar yang berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi

penyakit. (BPJS, 2014).

Berdasarkan BPJS Kesehatan (2014) dalam Panduan Praktis PROLANIS

kegiatan PROLANIS meliputi:

a. Konsultasi Medis

Konsultasi dengan tenaga kesehatan seperti dokter dan apoteker

mengenai pekembangan penyakit kronis yang di derita. Jadwal konsultasi

pasien Prolanis disepakati bersama antara peserta dengan Faskes Pengelola.

b. Edukasi Kelompok

Edukasi Klub Risti (Klub Prolanis) yaitu kegiatan untuk meningkatkan

pengetahuan kesehatan dalam upaya memulihkan penyakit dan mencegah

timbulnya kembali penyakit serta meningkatkan status kesehatan bagi peserta

PROLANIS. Sasaran dari edukasi kelompok Prolanis yaitu terbentuknya

kelompok peserta (Klub) PROLANIS minimal 1 Faskes Pengelola 1 Klub.

Pengelompokan diutamakan berdasarkan kondisi kesehatan Peserta dan

kebutuhan edukasi.

c. Reminder melalui SMS Gateway

Reminder SMS Gateway adalah kegiatan untuk memotivasi peserta agar

melakukan kunjungan rutin kepada Faskes Pengelola melalui pengingatan

jadwal konsultasi ke Faskes Pengelola tersebut, dengan sasaran

tersampaikannya reminder jadwal konsultasi peserta ke masing-masing

(8)

d. Home Visit

Home Visit merupakan kegiatan pelayanan dengan melakukan kunjungan

ke rumah Peserta PROLANIS untuk pemberian informasi/edukasi kesehatan

diri dan lingkungan bagi peserta PROLANIS dan keluarga. Sasaran Home

visit PROLANIS yaitu

1) Peserta baru terdaftar

2) Peserta tidak hadir terapi di Dokter Praktek Perorangan/ Klinik/

Puskesmas 3 bulan berturutturut.

3) Peserta dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan berturut-turut

(PPDM)

4) Peserta dengan Tekanan Darah tidak terkontrol 3 bulan berturut-turut

(PPHT)

5) Peserta pasca opname

5. Cost Effectivenes Analysis (CEA)

Menurut Tjiptoherijanto (1994) CEA adalah cara memilih untuk menilai

program yang terbaik bila beberapa program berbeda namun tujuannya sama.

Sedangkan menurut Probandari (2007) CEA adalah salah satu bentuk evaluasi

ekonomi yang membandingkan rasio biaya dan efektifitas dari beberapa alternatif

intervensi atau program. Karakteristik penting dalam CEA meliputi (Gani dan

Nanjin, 1996):

a. Mempunyai suatu tujuan yang sama.

b. Setiap alternatif harus dapat dibandingkan.

c. Biaya dan efek hasil dari setiap alternatif harus dapat diukur.

Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengaplikasian CEA (Probandaro, 2007):

a. Ketersediaan sistem informasi yang kurang mendukung bagi ketersediaan

data-data untuk evaluasi dari sudut pandang biaya dan efektifitas program.

b. Variasi instumen yang dipakai masih terdapat perbedaan pendapat tentang

aspek-aspek yang diukur didalamnya sehingga melahirkan dia instrument

yang berbeda.

c. Penggunaan analisis statistic dalam publikasi tentang evaluasi ekonomi

kesehatan dipandang belum mempunyai kualitas yang memadai.

(9)

B. Kerangka Konsep

Cost effectiveness analysis digunakan untuk menilai program mana yang

lebih cost effective. Penelitian ini akan menghitung biaya pengobatan pasien

hipertensi PROLANIS yang mendapatkan intervensi Al-Quran dalam konseling

kefarmasian dan konseling kefarmasian usual care. Sehingga dapat diketahui

program konseling kefarmasian yang lebih efektif dengan membandingkan nilai

Average Cost Effectiveness Ratio (ACER)dari kedua program konseling tersebut.

ACER merupakna perbandingan antara total biaya yang harus dikeluarkan

baik secara langsung/ efektivitas penurunan tekanan darah dari setiap jenis

pengobatan hipertensi. Total biaya pengobatan bulanan = (rata-rata biaya obat

antihipertensi) + (rata-rata biaya konseling) + (rata-rata biaya pengecekan tekanan

darah) + (rata-rata biaya obat lain). Semakin kecil nilai Average Cost

Effectiveness Ratio (ACER), maka semakin cost effective program tersebut.

Kerangka konsep dari penelitian ini adalah:

(10)

C. Hipotesis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pratiwi et al (2015) tentang “Pengaruh Teknik Relaksasi Benson dan Murottal Al-Quran terhadap Tekanan Darah pada Penderita Hipertensi Primer”, dengan hasil uji t dependent mean

tekanan darah sistol pretest dan posttest intervensi pada kelompok eksperimen

menunjukkan nilai p value sebesar 0,000 dan mean tekanan darah diastol pretest

dan posttest intervensi pada kelompok eksperimen menunjukkan nilai p value

sebesar 0,001, berarti nilai p value < α (0,05), artinya Ha diterima, sehinnga dapat

diambil hipotesin:

H0 : Tidak ada perbedaan tekanan darah yang signifikan antara kelompok

intervensi Al-Quran dalam konseling kefarmasian dengan program

konseling kefarmasian usual care.

Ha : Terdapat perbedaan tekanan darah yang signifikan antara kelompok

intervensi Al-Quran dalam konseling kefarmasian dengan konseling

kefarmasian usual care.

Keterangan:

H0 diterima jika: p value > α (0,05)

Gambar

Table 2.1. Klasifikasi hipertensi menurut Joint National Committee VIII (JNC) 8
Gambar 2.1. Kerangka konsep

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dimensi dan pola aliran drainase Jalan Hang Tuah Kota Duri Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis.. TINJAUAN

x Waktu kerja relai di outgoing Kudus 5 maupun Kudus 6 lebih cepat dibanding waktu kerja di incoming 2 Kudus dengan selisih waktu ( grading time ) semakin jauh

Analisis wacana Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian pada teks ke arah analisis yang komprehensif, bagaimana teks berita itu diproduksi,

Terkait dengan teori agency, hubungan manajemen laba dengan ukuran perusahaan dijelaskan bahwa agen (manajemen) perusahaan kecil cenderung akan menaikkan laba di dalam

Pengukuran persepsi menggunakan Skala Likert yang dibedakan atas empat skala sebagai berikut: Skala 1 sangat tidak tepat (STT), Skala 2 tidak tepat (TT), Skala 3 tepat (T),

Pengaruh Audit Tenure, Rotasi Audit, Audit Fee terhadap kualitas audit dengan Komite audit sebagai variabel moderasi (Studi Pada Perusahaan Sektor Keuangan yang Terdaftar

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

a) Harus dipisahkan fungsi-fungsi operasi dan penyimpanan dari fungsi akuntansi. b) Suatu fungsi tidak boleh diberi tanggung jawab penuh untuk melaksanakan