1 PENGARUH OLAH TANAH DAN MULSA JERAMI PADI TERHADAP
AGREGAT TANAH DAN PERTUMBUHAN SERTA HASIL JAGUNG
Elita Agus Manalu1), Arsyad2), dan Suryanto2)
Fakultas Pertanian Universitas Jambi elitamanalu115@gmail.com
1)Alumni Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jambi 2)Dosen Fakultas Pertanian Universitas Jambi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui dan mempelajari pengaruh olah tanah dan mulsa jerami padi terhadap agregat tanah dan pertumbuhan serta hasil jagung. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, kabupaten Muara Jambi, Jambi dari bulan Mei 2016 sampai dengan Agustus 2016. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan dan 4 kelompok. Perlakuannya adalah P0 : kontrol (olah tanah konvensional), P1 : olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 30%, P2 : olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 60%, P3 : olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 90%, P4 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 30%, P5 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 60%, P6 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 90%. Analisis data menggunakan sidik ragam pada taraf kepercayaan α : 5%. Hasil penelitian diperoleh bahwa bahwa olah tanah dan mulsa jerami padi belum mampu memperbaiki bobot volume (BV) dan total ruang pori (TRP), persen agregat terbentuk, tetapi dapat memperbaiki kemantapan agregat, tinggi tanaman dan hasil jagung. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa olah tanah dan mulsa jerami padi dengan penutupan mulsa 90% sudah mampu memperbaiki kemantapan agregat, tinggi tanaman dan hasil jagung.
__________________________________________________________ kata kunci: Ultisol, olah tanah, mulsa jerami, jagung.
PENDAHULUAN
Ultisol merupakan salah satu ordo tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo et al., 2004). Ditinjau dari
segi luasnya Ultisol memiliki potensi yang besar untuk pengembangan lahan pertanian lahan kering. Menurut Suripin (2004) dalam pemanfaatannya Ultisol memiliki kendala fisik yaitu memiliki tekstur liat, bahan organik rendah, kemantapan agregat dan daya pegang
2 air rendah yang menyebabkan Ultisol
memiliki produktivitas rendah. Salah satu usaha untuk memperbaiki kualitas fisik tanah Ultisol adalah dengan penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik dapat dilakukan dengan penggunaan mulsa dan pengolahan tanah yang tepat, yaitu pengolahan tanah yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Olah tanah konservasi adalah pengolahan tanah yang tidak sering membalikkan dan sedikit merusak tanah dengan tujuan menciptakan kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhan akar. Pengolahan tanah konservasi adalah setiap bentuk pengolahan tanah dan sistem penanaman yang menutupi 30% atau lebih permukaan tanah dengan sisa tanaman.
Menurut Rachman et al.
(2004), hal yang menentukan keberhasilan Olah Tanah Konservasi (OTK) adalah pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup. Ditambahkan Arsyad (2010) mulsa yang digunakan sebaiknya bahan mulsa yang relatif lambat melapuk, karena semakin lama mulsa melapuk maka akan semakain lama permukaan tanah tertutupi dan semakin efektif melindungi tanah dari kerusakan. Menurut Damaiyanti
et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan mulsa organik seperti mulsa jerami padi merupakan pilihan alternatif yang tepat karena mulsa jerami padi merupakan mulsa organik sisa tanaman yang dapat memperbaiki kesuburan tanah, bahan organik tanah, struktur tanah dan
secara langsung akan
mempertahankan agregasi serta porositas tanah.
Menurut penelitian Susanti
(2003) menyatakan bahwa
pemanfaatan jerami padi sangat penting sebagai mulsa organik, karena jerami ini mengandung hara N, P, K, sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik/kimia. Jerami padi merupakan sisa hasil panen dan sumber bahan organik
yang ketersediaannya cukup
melimpah setelah kegiatan panen dilakukan.
Kesesuaian pengolahan
tanah, penggunaan mulsa organik dan jenis tanaman akan dapat mempengaruhi hasil tanaman. Tanaman jagung merupakan salah
satu tanaman yang dapat
dibudidayakan di lahan marginal baik dengan pengolahan tanah atau tidak. Jagung adalah bahan pangan yang penting sebagai penghasil karbohidrat kedua setelah beras. Di Provinsi Jambi juga menunjukkan tingkat produksi jagung terus meningkat setiap tahunnya, dapat dilihat pada tahun 2014 hanya sebesar 43.617 ton meningkat di tahun 2015 menjadi 50.589 ton (BPS, 2015).
Arsyad (2010),
mengemukakan bahwa pengolahan tanah konservasi relatif lebih menguntungkan untuk pertanian jangka panjang, di antaranya memelihara atau memperbaiki sifat fisik tanah seperti (memperbaiki struktur tanah, kandungan bahan organik, meningkatkan ketersediaan air, memperbaiki infiltrasi), mengurangi kerusakan lingkungan, serta dapat meningkatkan hasil tanaman.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah
dilaksanakan di Desa Mekar Jaya,
Kecamatan Sungai Gelam,
kabupaten Muara Jambi, Jambi. Analisis tanah dilakukan di
3 Laboratorium Fisika dan Kesuburan
Tanah, Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Untuk analisis tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Universitas Jambi dan Laboratorium Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Waktu pelaksanaan penelitian selama 3 bulan, yaitu dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2016.
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan 4 kelompok sehingga terdapat 28 petak percobaan. Perlakuan yang diberikan adalah mulsa jerami padi. Adapun perlakuannya sebagai berikut : P0 : kontrol (olah tanah konvensional), P1 : olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 30%, P2 : olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 60%, P3 : olah tanah minimum +dosis mulsa jerami padi 90%, P4 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 30%, P5 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 60%, P6 : olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 90%. Ukuran
petakan 4 m × 3 m dengan jarak tanam 75 × 20 cm sehingga terdapat 80 tanaman jagung dalam satu petakan. Jarak antar perlakuan 0,5 m dan jarak antar kelompok 1 m. Panen jagung dilakukan pada 90 hari setelah tanam.
Sampel tanah diambil sebelum panen. Variabel tanah yang diamati yaitu kandungan bahan organik, bobot volume tanah, total ruang pori, agregat terbentuk, kemantapan agregat tanah, tinggi tanaman dan hasil tanaman jagung. Data yang diperoleh kecuali data pertumbuhan tanaman di analisis secara statistik pada taraf α 5%. Selanjutnya untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Tanah Sebelum
Perlakuan
Hasil analisis tanah sebelum pemberian perlakuan olah tanah dan mulsa jerami padi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Sebelum Perlakuan
Sifat Tanah Hasil Kriteria
Persentase agregat terbentuk (%) 49,73 Kurang stabil
Kemantapan agregat (%) 41,44 Kurang stabil
Bahan organik (%) C-Organik (%) 3,73 2,14 Rendah Sedang
Bobot volume (g cm-3) 1,30 Sedang
Total ruang pori (%) Kadar Air (%) pH 42,18 16,95 5,49 Rendah Masam Berdasarkan hasil analisis
tanah sebelum pemberian perlakuan Tabel 1 menunjukkan bahwa tanah Ultisol menunjukkan sifat fisika yang kurang baik, hal ini dapat dilihat dari nilai bobot volume
sedang (1,30 gr/cm3), total ruang pori sebesar 42,18% yang termasuk
dalam kategori rendah dan
kemantapan agregat tanah sebesar 41,44%. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tersebut cukup padat karena kepadatan dapat ditunjukkan dari
4 nilai bobot volume sedang dan total
ruang pori rendah. Pada tanah yang padat akan sulit meneruskan air atau sukar untuk ditembus akar tanaman.
2. Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi terhadap Kandungan Bahan Organik, Bobot Volume dan Total Ruang Pori
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh olah tanah dan mulsa jerami padi pada olah tanah minimum berbeda nyata terhadap kandungan bahan organik tanah (Tabel 2), sedangkan olah tanah dan pemberian mulsa jerami pada olah tanah konvensional dan olah tanah intensif tidak berpengaruh nyata. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah pada olah tanah minimum (satu kali pencangkulan) kondisi permukaan tanahnya yang sedikit kasar, sehingga apabila terjadi hujan memudahkan air masuk kedalam tanah dan ketersediaan bahan
organik pada masing-masing
perlakuan mengalami dekomposisi secara bertahap (Rusman, 1992).
Pada olah tanah intensif dan konvensional, keadaan tanahnya lebih gembur tapi hanya bersifat sementara dan seiring berjalannya waktu akan menyebabkan tanah semakin padat akibat pengolahan tanah yang dilakukan. Tanah yang padat akan mengakibatkan terjadinya aerasi tanah dan terganggunya interaksi mikroorganisme dalam tanah, seperti peredaran udara tanah
menjadi buruk, pernapasan
mikoorganisme didalam tanah akan terganggu, yang akan mengakibatkan
menurunnya aktivitas
mikroorganisme didalam tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2004), yang menyatakan bahwa makin baik aerasi tanah akibat pengolahan tanah maka proses dekomposisi bahan organik berjalan cepat akibatnya bahan organik tanah semakin menurun terutama bila tanah diolah secara intensif.
Tabel 2. Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi terhadap Bahan Organik Tanah, Bobot Volume, Total Ruang Pori
Perlakuan BO % BV gr/cm3 TRP %
P0 : kontrol (olah tanah konvensional) 11.19 b 1.20 a 46.75 a P1 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 30 % 12.17 ab 1.21 a 49.75 a P2 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 60% 12.69 ab 1.28 a 47.70 a P3 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 90 % 12.01 ab 1.28 a 46.93 a P4 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 30 % 10.75 b 1.27 a 47.35 a P5 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 60 % 13.76 a 1.27 a 46.68 a P6 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 90 % 11.33 b 1.28 a 46.98 a
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%
Tabel 2 menunjukkan bahwa pengaruh olah tanah dan mulsa jerami padi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap bobot
volume tanah antar perlakuan dan
Hal ini disebabkan karena
pengolahan tanah yang terlalu intensif dan pukulan butiran hujan
5 sehingga tanah menjadi padat dan
pori-pori tanah belum
memperlihatkan perbedaan yang nyata. Sejalan dengan pendapat Sarief (1989) bahwa bobot volume tanah merupakan perbandingan antara massa padatan tanah dengan volume tanah, sedangkan total ruang pori atau porositas tanah merupakan bagian volume tanah yang ditempati oleh udara dan air yang sangat dipengaruhi oleh bahan organik tanah. semakin besar massa padatan suatu jenis tanah, semakin besar pula nilai bobot volume, serta semakin rendah nilai total ruang pori tanah tersebut. Semakin tinggi bahan organik tanah maka nilai bobot volume menjadi rendah dan total ruang pori menjadi tinggi. Hardjowigeno (2007) menambahkan bahwa apabila kandungan bahan organik tinggi maka porositas tanah tinggi.
Pada Tabel 2 juga
menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap total ruang pori pada masing-masing perlakuan. Hal ini dikarenakan bobot volume tanah berkaitan dengan besarnya jumlah padatan dan pori di dalam tanah. Semakin besar volume padatan tanah berarti semakin kecil total ruang pori
tanah dan kandungan bahan
organiknya semakin kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Agus et al. (2006) yang menyatakan bahwa tanah dengan total ruang pori yang tinggi cenderung mempunyai bobot volume yang rendah sebaliknya tanah yang mempunyai total ruang pori yang rendah cenderung mempunyai bobot volume yang tinggi. Ditambahkan oleh pendapat Sarief (1989) yang menyatakan bahwa total ruang pori tanah
berbanding terbalik dengan bobot volume tanah serta adanya pengaruh pukulan butir hujan terhadap penghancuran agregat tanah dan pergerakan air tanah yang membawa partikel tanah yang telah terpisah yang akhirnya menyumbat pori tanah dapat menyebabkan peningkatan bobot volume tanah dan penurunan total ruang pori tanah (Rachman et al., 2004).
3. Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi Terhadap Agregat Terbentuk dan Kemantapan Agregat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeruh olah tanah dan mulsa jerami padi tidak berpengaruh nyata pada agregat terbentuk (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan olah tanah
dan mulsa jerami padi
memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata terhadap persen agregat terbentuk. Terjadinya pengaruh tidak nyata terhadap persen agregat terbentuk tanah karena suplai kandungan bahan organik pada
setiap perlakuan sehingga
kemampuannya dalam membentuk granulasi butir-butir tanah (agregat terbentuk) menjadi berbeda tidak nyata. Kandungan bahan organik setelah diberikan perlakuan memang berpengaruh nyata namun diduga kandungan bahan organik tidak langsung mensuplai kedalam tanah, karena proses pelapukan mulsa jerami padi menjadi bahan organik pada tanah membutuhkan waktu
yang cukup lama sehingga
menyebabkan persen agregat
6 Tabel 3. Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi terhadap Agregat
Terbentuk dan Kemantapan Agregat Perlakuan Agregat Terbentuk % Kemantapan Agregat % P0 : kontrol (olah tanah konvensional)
P1 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 30% P2 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 60% P3 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 90% P4 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 30% P5 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 60% P6 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 90%
49.99 a 51.97 a 52.25 a 52.44 a 51.26 a 51.77 a 51.85 a 53.99 b 60.95 a 61.23 a 61.75 a 56.41 ab 59.57 a 60.51 a
Ket: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Sejalan dengan hasil
penelitian Kartasapoetra dan Sutedjo (2005) yang menyatakan bahwa secara umum agregasi tanah ditentukan oleh aktivitas dan jumlah bahan organik di dalam tanah.Hal ini disebabkan kemungkinan bahan organik yang disuplai dari olah tanah dan mulsa jerami padi merupakan perekat dalam pembentukan agregat, selain itu mikroba tanah mendorong pembentukan granulasi tanah. Sejalan dengan pendapat Arsyad (2010) yang menyatakan pelapukan bahan organik akan mempergiat
mikroorganisme tanah yang
aktivitasnya dapat meningkatkan agregasi tanah dan butir-butir tanah menjadi agregasi yang stabil. Semakin banyak agregat yang terbentuk maka tanah akan semakin
gembur dan semakin mudah
melewatkan air.
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai kemantapan agregat tanah yang lebih rendah terdapat pada perlakuan P0 (olah tanah konvensioanal tanpa mulsa). Hal ini diduga olah tanah konvensional tidak ditutupi mulsa yang menyebabkan pori makro dalam tanah tersumbat oleh kegemburan tanah akibat butiran air hujan yang mengakibatkan pecahnya agregat tanah. Peranan mulsa disini
sangat penting karena mulsa mampu menghadapi gaya perusak seperti pukulan butiran hujan yang akan berpengaruh terhadap kemantapan agregat. Kemantapan agregat tanah tergantung dari kemampuan tanah dalam menghadapi gaya perusak yang berasal dari luar seperti pukulan butiran hujan. Pembentukan agregat yang mantap dipengaruhi oleh berbagai bahan sementasi tanah, baik koloid organik maupun koloid anorganik (Handayani, 2000).
Kemantapan agregat tanah
sangat dipengaruhi dengan
pemberian mulsa dan juga
dipengaruhi oleh pengolahan tanah. Pengolahan tanah yang dilakukan pada olah tanah konvensional ini dilakukan dengan sangat intensif, yaitu tanah benar-benar dalam keadaan sangat gembur. Pengolahan tanah yang secara intensif inilah yang mengakibatkan kemantapan agregat tanah pada olah tanah konvensioanl ini menjadi rendah. Dimana, pengolahan tanah yang secara intensif mengakibatkan kondisi struktur dan agregat tanah menjadi rusak sehingga tanah mengalami aerasi yang cepat dan mengakibatkan pemadatan pada tanah. Sejalan dengan pendapat Safuan (2002) bahwa tanah yang
7 diolah tanpa mulsa bila setiap musim
diolah akan menjadi padat. Hal ini ditunjukkan dengan bobot volume yang tinggi sehingga mengakibatkan penyumbatan pori makro tanah.
Persen agregat terbentuk dan kemantapan agregat tidak terlepas dari peran mulsa dalam melindungi tanah dari gaya perusak agregat tanah. Pengolahan tanah tanpa disertai dengan penutupan mulsa tidak akan dapat menciptakan agregat yang mantap karena mulsa mampu menahan laju erosi tanah yang dapat mengganggu proses pembentukan agregat. Efektivitas penutupan mulsa juga dapat mendukung dalam peningkatan kemantapan agregat, karena mulsa dapat melindungi tanah dari tumbukan butir hujan secara langsung yang dapat menyebabkan kepadatan tanah dan rusaknya agregat tanah. Kartasapoetra dan Sutedjo (2005) menambahkan bahwa kemantapan agregat tanah sangatlah penting artinya bagi usaha-usaha pertanian. Agregat-agregat yang mantap dengan ruang-ruang pori
yang cukup akan menjamin
penyebaran udara dan air dalam tubuh tanah secara optimal, yaitu keadaan yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
4. Pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jagung
Pengaruh olah tanah dan mulsa jerami padi terhadap
pertambahan tinggi tanaman
disajikan dalam Gambar 1.
Pertumbuhan tanaman yang baik dan
optimum mengindikasikan bahwa tanah tersebut memiliki sifat fisik yang mendukung untuk pertumbuhan tanaman, yaitu memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, bobot volume yang rendah serta memiliki ruang pori yang tinggi, persen agregat terbentuk dan kemantapan agregat tanah yang tinggi pula (Alibasyah, 2001).
Gambar 1 menunjukkan
bahwa seiring dengan pertambahan umur tanaman, laju pertumbuhan tanaman mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan pengaruh olah tanah dengan penutupan mulsa yang lebih banyak dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti peningkatan kandungan bahan organik, ruang pori, persen agregat terbentuk, kemantapan agregat tanah, dan menurunkan bobot volume tanah. Hal ini didukung oleh pendapat Rukmana (2010) bahwa jagung membutuhkan tanah yang cukup
subur, berstruktur remah,
mempunyai aerasi dan drainase yang baik.
Gambar 1 menunjukkan
bahwa perlakuan olah tanah minimum dengan dosis mulsa 90% memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu 193, 44 cm dan diikuti oleh olah tanah minimum dengan dosis mulsa 60%, 30%, olah tanah intensif 90%, 60%, 30% dan olah tanah konvensional.
8
Gambar 1. Grafik pertambahan tinggi tanaman Jagung akibat pengaruh Olah Tanah dan Mulsa Jerami Padi
Fauzan (2002) menjelaskan bahwa salah satu tujuan pemberian mulsa jerami padi adalah untuk menghambat penguapan yang cukup tinggi khususnya pada daerah-daerah tropis. Menurut Kumalasari et al. (2005), bahwa mulsa jerami mampu mengurangi pertumbuhan gulma dan
dapat menjaga kestabilan
kelembaban dalam tanah sehingga mendorong aktifitas mikroorganisme
tanah tetap aktif dalam
mendekomposisi bahan organik untuk mensuplai kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan pada pertumbuhan organ vegetatif tanaman. Untuk lebih jelasnya pengaruh pemberian takaran mulsa jerami padi terhadap tinggi tanaman
disajikan pada Gambar 1.
Tabel 4. Pengaruh Olah Tanah dan Milsa Jerami Padi terhadap bobot biji kering jagung
Perlakuan
Bobot Biji Kering Kacang Tanah
(kg/petak) P0 : kontrol (olah tanah konvensional)
P1 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 30 % P2 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 60% P3 : Olah tanah minimum + dosis mulsa jerami padi 90 % P4 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 30 % P5 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 60 % P6 : Olah tanah intensif + dosis mulsa jerami padi 90 %
1,97 f 7,30 b 9,50 c 10,64 a 3,39 e 5,25 d 6,70 c
Ket : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%. 0 50 100 150 200 250 P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6
Tin
gg
i T
an
aman
Perlakuan
Grafik Tinggi Tanaman
Minggu ke- MST-2 Minggu ke- MST-3 Minggu ke- MST-4 Minggu ke- MST-5 Minggu ke- MST-6 Minggu ke- MAT-7
9 Tabel 4 menunjukkan hasil
jagung pada perlakuan P1, P2, P3 (olah tanah minimum dengan dosis
mulsa 30%, 60%, dan 90%)
merupakan hasil jagung yang lebih
tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang lainnya. Hal ini diduga olah tanah minimum dapat memperbaiki sifat fisik tanah melalui pengolahan tanah dan pemberian mulsa. Mulsa yang diberikan dapat menjaga kelembapan dan suhu tanah. Pemanfaatan jerami padi sangat penting sebagai mulsa organik, karena jerami ini mengandung hara N, P, K, sehingga mengurangi penggunaan pupuk anorganik/kimia. Peningkatan hasil jagung juga disebabkan oleh meningkatnya kandungan bahan organik tanah dan penambahan hara P, dimana hara P berfungsi untuk mempengaruhi hasil jagung (Susanti, 2003).
Tabel 4 menunjukkan bahwa hasil jagung pada perlakuan P0 (olah tanah konvensional tanpa mulsa) merupakan hasil jagung terendah. Hal ini disebabkan pengolahan tanah konvensional (dua kali pencangkulan dan satu kali garu) tanpa penutupan mulsa kurang mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, disamping itu juga disebabkan tingkat agregat terbentuk yang rendah (Tabel 3), yang juga menyebabkan pemadatan tanah. Terjadinya pemadatan tanah disebabkan berkurangnya kandungan bahan organik pada tanah yang mengakibatkan pembentukan agregat tanah menjadi tidak baik. Hal ini menjadi pengaruh bagi pertumbuhan tanaman, dimana pertumbuhan dan perkembangan akan terhambat dan berakibat pada penurunan hasil panen (Safuan, 2002).
Penambahan mulsa dapat meningkatkan hasil tanaman.
Semakin tinggi persentase penutup permukaan tanah oleh mulsa, maka hasil tanaman akan meningkat. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Yuliawati (2002), yang menyatakan bahwa pemberian mulsa jerami padi 5 ton/ha berbeda nyata dengan pemberian mulsa jerami padi 10 ton/ha dan 15 ton/ha. Hal ini disebabkan karena meningkatnya takaran pemberian mulsa semakin besar pula persentase penutupan tanah sehingga lebih efektif mengurangi kehilangan unsur hara dan dapat mencegah terjadinya degradasi tanah.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Sistem olah tanah minimum, olah tanah intensif dan olah tanah konvensional tidak
mempengaruhi agregat
terbentuk, namun olah tanah minimum lebih efektif mempengaruhi kemantapan agregat dibandingkan dengan olah tanah intensif dan olah tanah konvensional.
2. Sistem olah tanah minimum
lebih efektif dalam
meningkatkan pertumbuhan
dan hasil jagung
dibandingkan dengan olah tanah intensif dan olah tanah konvensional.
Saran
Upaya memperbaiki
kemantapan agregat tanah di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Gelam, Kabupaten Muara Jambi dapat dilakukan dengan menerapkan
10 sistem olah tanah minimum yang
disertai dengan mulsa pada permukaan tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus F, R.D. Yustika dan U. Haryati. 2006. Penetapan Berat Volume Tanah dalam Kurnia U, F. Agus, A. Abdurachman dan A. Dariah (editor). Sifat Fisika Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor. Hal 25-34.
Alibasyah M. 2001. Sistem Olah Tanah dan Mulsa Jagung terhadap Stabilitas Agregat dan Kandungan C-organik Tanah Ultisol pada Musim Tanam Ketiga. Fakultas Pertanian Universitas Syiah. Darussalam Banda Aceh. Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah
dan Air. Institut Pertanian Bogor. IPB Press, Bogor. Badan Pusat Statistik. 2015. Data
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2014 Provinsi Jambi. BPS Jambi.
Damaiyanti D, R Nurul, dan A Koesriharti. 2013. Kajian Penggunaan Mulsa Organik pada Pertumbuhan dan Hasil
Tanaman Cabai Besar
(Capsicum annum L.). Fauzan, A. 2002. Pemanfaatan Mulsa
Dalam Pertanian
Berkelanjutan. Pertanian
Organik. Malang. H. 182-187.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah.
Penerbit Akademika
Pressindo. Jakarta.
Handayani S. 2000. Kajian Struktur Tanah Lapisan Olah II Stabilitas Agregat. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Bogor.
Kumalasari NRL, S Abdullah, Jayadi. 2005. Pengaruh
Pemberian Mulsa
Chromolaena (L.) Kings and Robins pada Kandungan Mineral P dan N Tanah Latosol dan Produktivitas Hijauan Jagung (Zea mays
L.). 23:29-36.
Rachman A, A Airyah dan E Husen. 2004. Teknologi konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Rukmana R. 2010. Jagung:
Budidaya, Pascapanen, dan Penganekaragamaan Pangan. Aneka Ilmu, Semarang. Sari CH. 2004. Pengaruh Sistem
Olah Tanah dan Mulsa terhadap Erosi Tanah Ultisol dan Hasil Jagung. Skripsi.
Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Jambi. Sarief, S. 1989. Fisika-Kimia Tanah
Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Subagyo, H., N Suharta dan AB Siswanto. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia.
11 Bogor. Jurnal Sumber Daya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. 21-66. Suripin. 2004. Pelestarian Sumber
Daya Tanah dan Air. Edisi 2. Penerbit Andi, Yogyakarta. Susanti E. 2003. Pengaruh Ketebalan
Mulsa Jerami terhadap Pertumbuhan dan Hasil beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Jurusan
Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian
Universitas Udayana,
Denpasar.
Sutedjo, MM dan AG Kartasapoetra. 2010. Pengantar Ilmu Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.
Jagung di Lahan Kering Kabupaten Lombok Utara.
Dalam Makalah Ilmiah. Mataram.
Yuliawati E. 2002. Pendugaan Erosi Tanah Ultisol yang diberi Mulsa Serbuk Gergaji dan Jerami Padi serta Hasil Jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi.