10 1. Pengertian Perilaku Merokok
Perilaku merokok adalah suatu aktivitas menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar (Amstrong, 1990). Menurut Sitepoe (2000) perilaku merokok didefinisikan sebagai aktivitas membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik langsung menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap yang dihisap melalui mulut disebut mainstream smoke, sedangkan asap rokok yang terbentuk pada ujung rokok yang terbakar serta asap rokok yang dihembuskan ke udara oleh perokok disebut sidestream smoke. Sidestream smoke atau asap sidestream mengakibatkan seseorang menjadi perokok pasif.
Menurut Aula (2010) perilaku merokok merupakan suatu fenomena yang muncul dalam masyarakat, dimana sebagian besar masyarakat sudah mengetahui dampak negatif merokok, namun bersikeras menghalalkan tindakan merokok. Menurut Levy (1984) perilaku merokok adalah suatu aktifitas yang dilakukan seseorang berupa mambakar dan menghisap rokok ke dalam tubuh serta dapat menimbulkan asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa perilaku merokok adalah suatu aktivitas menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh dan menghembuskannya kembali keluar.
2. Aspek Perilaku Merokok
Menurut Aritonang (1997) aspek-aspek perilaku merokok, yaitu: a. Fungsi merokok
individu menjadikan merokok sebagai penghibur bagi berbagai keperluan, menunjukkan bahwa memiliki fungsi yang begitu penting bagi kehidupannya. Dalam kehidupan sehari-hari Fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami si perokok, seperti perasaan yang positif maupun perasaan negatif. Bagi perokok, dengan merokok membantu untuk mencari inspirasi/ ide, menghilangkan rasa kantuk, mengakrabkan suasana.
b. Intensitas merokok
Intensitas perilaku merokok adalah keadaan, tingkatan atau banyak sedikitnya aktivitas seseorang dalam membakar tembakau dan menghisapnya dalam kurun waktu tertentu. Klasifikasi perokok berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap yaitu:
1) Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari
2) Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok dalam sehari 3) Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok dalam sehari c. Tempat merokok
Tipe perokok berdasarkan tempatnya yaitu: 1) Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik
a) Kelompok homogeny (sama-sama perokok), secara bergerombol perokok menikmati kebiasaannya. Umumnya perokok masih menghargai orang lain, karena itu perokok menempatkan diri di smoking area.
b) Kelompok yang heterogeny (merokok di tengah orang-orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit dan lain-lain).
2) Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi
a) Kantor atau di kamar tidur pribadi Perokok memilih tempat-tempat seperti ini yang sebagai tempat-tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh rasa gelisah yang mencekam.
b) Toilet Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi.
d. Waktu merokok
Perilaku merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang dingin, setelah dimarahi orang tua dan lain-lain.
Twiford & Soekaji (dalam Sulistyo 2009) menyatakan bahwa setiap individu dapat menggambarkan setiap perilaku menurut tiga aspek berikut:
a. Frekuensi
Sering tidaknya perilaku muncul mungkin cara yang paling sederhana untuk mencatat perilaku hanya dengan menghitung jumlah munculnya
perilaku tersebut. Frekuensi sangatlah bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana perilaku merokok seseorang muncul atau tidak. Dari frekuensi dapat diketahui perilaku merokok seseorang yang sebenarnya sehingga pengumpulan data frekuensi menjadi salah satu ukuran yang paling banyak digunakan untuk mengetahui perilaku merokok seseorang. b. Lamanya berlangsung
Waktu yang diperlukan seseorang untuk melakukan setiap tindakan (seseorang menghisap rokok lama atu tidak). Jika suatu perilaku mempunyai permulaan dan akhir tertentu, tetapi dalam jangka waktu yang berbeda untuk masing-masing peristiwa, maka pengukuran lamanya berlangsung lebih bermanfaat lagi. Aspek lamanya berlangsung ini sangatlah berpengaruh bagi perilaku merokok seseorang, apakah seseorang dalam menghisap rokoknya lama atau tidak.
c. Intensitas
Banyaknya daya yang dikeluarkan oleh perilaku tersebut. Aspek ini digunakan untuk mengukur seberapa dalam dan seberapa banyak seseorang menghisap rokok. Dimensi intensitas mungkin merupakan cara yang paling sebjektif dalam mengukur perilaku merokok seseorang. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang (1997) yaitu; fungsi merokok, intensitas merokok, tempat merokok dan waktu merokok. Sedangkan aspek-aspek perilaku merokok menurut Twiford & Soekaji (dalam Sulistyo, 2009) yaitu; frekuensi, lamanya berlangsung dan intensitas.
Dari penjabaran aspek-aspek perilaku merokok dari beberapa pendapat ahli di atas, peneliti akan menggunakan aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang sebagai indikator untuk penyusunan skala, yaitu meliputi; fungsi merokok, intensitas merokok, tempat merokok dan waktu merokok, karena aspek-aspek tersebut lebih rinci sehingga diharapkan dapat mengungkapkan data lebih dalam tentang perilaku merokok. Dari studi pustaka yang dilakukan peneliti, aspek-aspek perilaku merokok menurut Aritonang juga banyak digunakan dalam penelitian yang digunakan sebagai skala untuk mengukur perilaku merokok seperti penelitian Sinapar (2015), Santoso (2015), , Perwitasari (2006).
3. Faktor-faktor Perilaku Merokok
Subanada (2004) menyatakan faktor-faktor yang menyebabkan perilaku merokok:
a. Faktor Psikologis
Merokok dapat menjadi sebuah cara bagi individu untuk santai dan kesenangan, tekanan-tekanan teman sebaya, penampilan diri, sifat ingin tahu, stres, kebosanan dan ingin kelihatan gagah merupakan hal-hal yang dapat mengkontribusi mulainya merokok. Selain itu, individu dengan gangguan cemas bisa menggunakan rokok untuk menghilangkan kecemasan yang mereka alami. Menurut Yoder & Staudohar (1982) mengatakan bahwa jika pencetus stres antara lain permasalahan yang terjadi ditempat kerja, stres tersebut digolongkan sebagai stres kerja. Menurut Anwar (1990) stres kerja adalah suatu perasaan yang menekan
atau rasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya.
b. Faktor Biologis
faktor genetik dapat dapat mempengaruhi seseorang untuk mempunyai ketergantungan terhadap rokok. faktor lain yang mungkin mengkontribusi perkembangan kecanduan nikotin adalah merasakan adanya efek bermanfaat dari nikotin. Proses biologinya yaitu nikotin diterima reseptor asetilkotin-nikotinik yang kemudian membagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasakan nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan sorotin. Meningkatnya sorotin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi. Hal inilah yang menyebabkan perokok sangat sulit meninggalkan rokok, karena sudah ketergantungan pada nikotin. Ketika ia berhenti merokok rasa nikmat yang diperolehnya akan berkurang.
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan berkaitan dengan penggunaan tembakau antara lain orang tua, saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, reklame tembakau, artis pada reklame tembakau di media. Orang tua memegang peranan terpenting, selain itu juga reklame tembakau
diperkirakan mempunyai pengaruh yang lebih kuat daripada pengaruh orang tua atau teman sebaya, hal ini mungkin karena me
mpengaruhi persepsi remaja terhadap penampilan dan manfaat rokok. Menurut Ronald (2013), faktor-faktor perilaku merokok dapat dibagi dalam beberapa golongan sekalipun sesungguhnya faktor-faktor itu saling berkaitan satu sama lain :
a. Faktor Genetik
Beberapa studi menyebutkan faktor genetik sebagai penentu dalam timbulnya perilaku merokok dan bahwa kecenderungan menderita kanker, ekstraversi dan sosok tubuh piknis serta tendensi untuk merokok adalah faktor yang diwarisi bersama-sama. Studi menggunakan pasangan kembar membuktikan adanya pengaruh genetik, karena kembar identik, walaupun dibesarkan terpisah, akan memiliki pola kebiasaan merokok yang samabila dibandingkan dengan kembarnon-identik. Akan tetapi secara umum, faktor turunan ini kurang berarti bila dibandingkan dengan faktor lingkungan dalam menentukan perilaku merokok yang akan timbul.
b. Faktor Kepribadian (personality)
Banyak peneliti mencoba menetapkan tipe kepribadian perokok. Tetapi studi statistik tak dapat memberi perbedaan yang cukup besar antara pribadi orang yang merokok dan yang tidak. Oleh karena itu tes-tes kepribadian kurang bermanfaat dalam memprediksi apakah seseorang akan menjadi perokok. Individu agaknya bernafsu sekali untuk cepat berhak seperti orang dewasa. Di perguruan tinggi individu biasanya memiliki
prestasi akademik kurang, tanpa minat belajar dan kurang patuh pada otoritas. Asosiasi ini sudah secara konsisten ditemukan sejak permulaan abad ini. Dibandingkan dengan yang tidak merokok, individu lebih impulsif, haus sensasi, gemar menempuh bahaya dan risiko dan berani melawan penguasa. individu lebih mudah bercerai, beralih pekerjaan, mendapat kecelakaan lalu lintas, dan enggan mengenakan ikat pinggang keselamatan dalam mobil. Banyak dari perilaku ini sesuai dengan sifat kepribadian extrovert dan antisosial yang sudah terbukti berhubungan dengan kebiasaan merokok.
c. Faktor Sosial
Beberapa penelitian telah mengungkap adanya pola yang konsisten dalam beberapa faktor sosial penting. Faktor ini terutama menjadi dominan dalam memengaruhi keputusan untuk memulai merokok dan hanya menjadi faktor sekunder dalam memelihara kelanjutan kebiasaan merokok. Kelas sosial, teladan dan izin orangtua, jenis sekolah, dan usia meninggalkan sekolah semua menjadi faktor yang kuat, tetapi yang paling berpengaruh adalah jumlah teman-teman yang merokok. Diantaranya menyatakan “tidak ada” temannya yang merokok, dibandingkan dengan jumlah 62 persen perokok dikalangan individu yang menjawab “semua” pada jumlah teman yang merokok. Ilustrasi lain dari pengaruh sosial ini ditunjukkan oleh perubahan dalam pola merokok dikalangan wanita berusia di atas 40 tahun. Bukan saja jumlah perokok semakin banyak, tetapi perokok mulai merokok pada usia lebih muda. Masa kini, terutama
pada wanita muda, pola merokok wanita sudah menyerupai pada laki-laki. Perubahan ini sejalan dengan perubahan peran wanita dan sikap masyarakat terhadap wanita yang merokok.
d. Faktor Kejiwaan (psikodinamik)
Dua teori yang paling masuk akal adalah bahwa merokok itu adalah suatu kegiatan kompensasi dari kehilangan kenikmatan oral yang dini atau adanya suatu rasa rendah diri yang tidak nyata. Freud yang juga merupakan pecandu rokok berat, menyebut bahwa sebagian anak-anak terdapat peningkatan pembangkit kenikmatan di daerah bibir yang bila berkelanjutan dalam perkembangannya akan membuat seseorang mau merokok. Ahli lainnya berpendapat bahwa merokok adalah semacam pemuasan kebutuhan oral yang tidak dipenuhi semasa bayi. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebagai pengganti merokok pada individu yang sedang mencoba berhenti merokok.
e. Faktor Sensorimotorik
Buat sebagian perokok, kegiatan merokok itu sendirilah yang membentuk kebiasaan tersebut, bukan efek psikososial atau farmakologiknya. Sosok sebungkus rokok, membukanya, mengambil dan memegang sebatang rokok, menyalakannya, mengisap, mengeluarkan sambil mengamati asap rokok, aroma, rasa dan juga bunyinya semua berperan dalam terciptanya kebiasaan ini.
f. Faktor Farmakologis
Nikotin mencapai otak dalam waktu singkat, mungkin pada menit pertama sejak dihisap. Cara kerja bahan ini sangat kompleks. Pada dosis 24 sama dengan yang di dalam rokok, bahan ini dapat menimbulkan stimulasi dan rangsangan di satu sisi tetapi juga relaksasi disisi lainnya. Efek ini tergantung bukan saja pada dosis dan kondisi tubuh seseorang, tetapi juga pada suasana hati (mood) dan situasi. Oleh karena itu bila kita sedang marah atau takut, efeknya adalah menenangkan.Tetapi dalam keadaan lelah atau bosan, bahan itu akan merangsang dan memacu semangat. Dalam pengertian ini nikotin berfungsi untuk menjaga keseimbangan mood dalam situasi stres.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Subanada (2004) perilaku merokok dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: (1) psikologis meliputi: sifat ingin tahu, stres, stres kerja, kebosanan dan ingin kelihatan gagah; (2) faktor lingkungan meliputi: pengaruh orang tua yang merokok, pengaruh saudara kandung maupun teman sebaya yang merokok, reklame tembakau dan artis pada reklame tembakau di media; (3) dan faktor biologis meliputi: faktor genetik. Ronald (2013) menyatakan bahwa perilaku merokok dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor kepribadian, faktor sosial, faktor kejiwaan, faktor sensori motorik, dan faktor farmakologis.
Adapun faktor yang dipilih dalam penelitian ini ialah faktor psikologis yang di dalamnya terdapat stres. Menurut Sopiah (2011) stres ada dua macam yaitu eustres dan distres yang muncul sebagai akibat reaksi seseorang terhadap
pekerjaan dan lingkungan kerjanya disebut stres kerja. Peneliti menjadikan stres kerja sebagai variabel prediktor karena individu yang mengalami stres kerja akan mempengaruhi perilakunya terhadap sesuatu, baik terhadap pekerjaannya sendiri maupun relasi dengan orang lain, bahkan terhadap kesehatan diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Kussrini (2014) yang menyatakan ada hubungan signifikan antara stres kerja dengan perilaku merokok pada wanita karir. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara stres kerja dengan perilaku merokok ada hubungan yang positif. Hal tersebut berarti semakin tinggi stres kerja maka cenderung semakin tinggi pula perilaku merokok pada wanita yang bekerja. Hanya saja di penelitian Kussrini (2014) tidak dijelaskan secara teoritis dinamika stres kerja sehingga mempengaruhi perilaku merokok, sedangkan dipenelitian ini akan diteliti secara biopsikologis bagaimana dinamika stres kerja mempengaruhi perilaku merokok.
B. Stres Kerja 1. Pengertian Stres Kerja
Menurut Anwar (1990) stres kerja adalah suatu perasaan yang menekan atau rasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya. Yoder dan Staudohar (1982) mendefinisikan stres Kerja adalah suatu tekanan akibat bekerja juga akan mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari lingkungan pekerjaan tempat individu tersebut berada. Stres kerja juga ialah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang, dan apabila stres terlalu besar maka akan dapat menganggu kemampuan seseorang tersebut
untuk menghadapi lingkungannya dan pekerjaan yang akan dilakukannya (Handoko 1997).
Marc, J.S (2003) mengatakan stres kerja sebagai sebuah respon terhadap hilangnya kendali terhadap kinerja kita. Selanjutnya stres kerja diartikan sebagai tekanan yang terjadi ketika kita harus mengerjakan sesuatu yang tidak ingin kita kerjakan. Beehr and Newman (1978) mengartikan stres kerja sebagai sebuah kondisi yang terjadi sebagai hasil interaksi antara pegawai dengan pekerjaan mereka dan dikarakteristikan atau ditandai oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas maka peneliti menyimpulkan stres kerja adalah suatu perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaannya.
2. Aspek Stres Kerja
Secara umum, seseorang yang mengalami stres pada pekerjaan akan menampilkan gejala-gejala yang meliputi 3 aspek, yaitu : fisiologis (Physiological), psikologis (Psychological) dan Perilaku (Behavior) (Robbins, 2003).
a. Fisiologis (Physiological) memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada kondisi dan metabolisme tubuh seperti kelelahan, mengantuk, sakit kepala dan gangguan pencernaan.
b. Psikologis (Psychological) memiliki indikator yaitu: terdapat ketidakpuasan hubungan kerja, tegang, cemas, mudah marah dan kebosanan.
c. Perilaku (Behavior) memiliki indikator yaitu: terdapat perubahan pada produktivitas, ketidakhadiran dalam jadwal kerja, perubahan pada selera makan, meningkatnya konsumsi rokok dan alkohol, berbicara dengan intonasi cepat, mudah gelisah dan susah tidur.
Menurut Beehr & Newman (1978) memaparkan tiga aspek stres kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Psikologis
Ditandai dengan adanya kecemasan, ketegangan, bingung, mudah tersinggung, kelelahan mental, depresi, komunikasi yang tidak efektif dan kebosanan.
b. Fisiologis
Perubahan fisiologis ditandai dengan adanya gejala seperti merasa letih/lelah, pusing, gangguan tidur, kelelahan secara fisik, meningkatnya denyut jantung.
c. Perilaku
Ditandai dengan absensi, menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman dan gelisah.
Dari kedua pendapat ahli di atas dapat diperoleh kesimpulan yang sama antara pendapat Robbins (2003) dengan pendapat Beehr & Newman (1978). Menurut Robbins (2003) stres kerja mempunyai tiga aspek yaitu: fisiologis (physiologica), psikologi (psychological) dan perilaku (behavior). Dan menurut Beehr & Newman (1978) memaparkan tiga aspek stres kerja, yaitu: psikologis, fisiologis dan perilaku. Peneliti memilih menggunakan aspek stres
kerja menurut Robbins (2003) dikarenakan di dalam penjelasan aspek stres kerja terdapat indikator-indikator aspek stres kerja yang lebih lengkap dan jelas seperti adanya perubahan kondisi dan metabolisme tubuh pada aspek fisiologis menurut Robbins sedangkan pada Beehr & Newman tidak ada. Aspek menurut Robbins (2003) juga banyak dipakai oleh beberapa peneliti seperti: Zulaifah (2008), Timangratuogi (2012).
C. Hubungan antara stres kerja dan perilaku merokok pada wanita yang bekerja
Junita (2011) menyatakan bekerja merupakan sebuah pilihan bagi wanita di dunia ini. Bahkan, banyak wanita yang berusaha untuk menjadi wanita karier/ bekerja dan ibu rumah tangga dengan baik. Namun, menjalani sebuah peran saja (seperti memilih untuk hidup sebagai wanita karier atau menjadi ibu rumah tangga) membuat wanita kelelahan dan merasa stres. Apalagi menjalani kedua peran sekaligus. Survei, yang dilakukan American Psychological Association (2011) pada 1.501 orang pekerja, menunjukkan bahwa kecil kemungkinan bagi wanita untuk meningkatkan pencapaian karier. Pasalnya, hingga saat ini wanita merasa hasil kerja mereka kurang dihargai, dan memperoleh gaji yang lebih rendah daripada laki-laki. Wanita juga kerap mengalami ketegangan di tempat kerja, sedangkan pria tidak benar-benar mengalami masalah ini dalam skala besar. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu stres kerja bagi para wanita.
Adnan (2013) menemukan bahwa ada hubungan antara stres kerja dengan perilaku merokok karena adanya perubahan emosi selama merokok. Diharapkan dengan memanajemen stres kerja dapat mengurangi perilaku merokok
(Nainggolan, 2009). Stres kerja adalah kondisi tegang dimana sumber ketegangan berasal dari pekerjaan, yang terdiri dari 3 aspek, yaitu: Fisik, psikologis dan perilaku (Robbins, 2003).
Aspek fisik (physiological), aspek utama dari aspek ini berkaitan dengan perubahan pada kondisi pada tubuh, metabolisme tubuh, kelelahan dan mengantuk (Robbins, 2003). Fraser (1985) menuliskan buku ketika orang mengalami stres kerja akan memunculkan pusing kepala dan badan terasa lemas/ kelelahan dan mengantuk karena permasalahan dalam pekerjaan. Pekerja merasa pusing karena otak mengalami kelelahan yang disebabkan tidak mendapatkan pemecahan atau ide terhadap permasalahan yang dipikirkan. Adnan (2013) mengatakan karyawan yang merasa lelah diakibatkan tidak mendapatkan ide atau inspirasi akhirnya merokok untuk mendapatkan inspirasi atau ide. Penelitian Sarafino (dalam Megarini, 2007) juga mengatakan bahwa perilaku merokok dapat meningkatkan konsentrasi karena kelelahan, menghalau rasa kantuk seseorang memilih merokok. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi fisik karyawan mempengaruhi salah satu aspek perilaku merokok yaitu fungsi merokok.
Menurut Djauzi (2009) jika individu mengalami stres kerja menyebabkan produksi hormon adrenalin akan terganggu sehingga tubuh merasakan kelelahan dan tidak dapat melakukan aktifitas pekerjaan. Selain itu juga otak akan langsung merespon untuk mengeluarkan hormon kortisol yang dapat membuat seseorang merasa sangat lapar dan malas. Ketika individu merokok nikotin yang terkandung dalam rokok mudah terserap ke dalam darah kemudian akan merangsang kelenjar adrenal yang bekerja untuk melepaskan hormon adrenalin yang berfungsi
membantu tubuh untuk mengeluarkan tenaga luar biasa ketika harus beraksi cepat dan mengatasi kelelahan. Hal tersebut dapat mengakibatkan adrenal burnout karena terbiasa memaksa kelenjar adrenalinnya bekerja keras sehingga tidak mampu lagi berfungsi sebagaimana mestinya sehingga ketika efek dari nikotin tersebut hilang individu akan merokok kembali untuk memicu kelenjar adrenal memproduksi adrenalin (Neal, 2006).
Aspek psikologis (psychological) berkaitan dengan perasaan tegang, cemas, mudah marah dan kebosanan (Robbins, 2003). Utomo (2011) mengungkapkan ada hubungan positif antara tingkat kecemasan dengan intensitas merokok. Ketika individu merasa cemas akan meningkatkan intensitas merokok dan sebaliknya ketika individu tidak merasa cemas akan mengurangi intensitas merokok. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kondisi psikologis dapat mempengaruhi intensitas merokok yang merupakan aspek dari perilaku merokok.
Menurut Djauzi (2009) ketika individu mengalami stres kerja akan memicu produksi hormon kortisol lebih banyak yang mempengaruhi tekanan darah sehingga individu mudah marah dan cemas. Ketika individu merokok kandungan nikotin dalam rokok akan diserap. Nikotin mempengaruhi keseimbangan kimia pada otak, khususnya dopamine dan norepinephrine, cairan kimia otak yang mengendalikan rasa bahagia dan rileks. Ketika efek nikotin mulai bekerja, maka level mood dan konsentrasipun akan berubah. Nikotin akan membuat perokok merasa bahagia dan rileks. Di saat bersamaan, ketika terjadi ketidakseimbangan kimia di otak akibat jumlah dopamin dan norepinephrine yang berlebihan, otak mencoba untuk menyeimbangkannya. Sistem pertahanan otomatis ini akan
mengeluarkan semacam kimiawi “anti-nikotin”. Cairan kimia anti-nikotin ini membuat seseorang merasa depresi, mood menurun, dan tidak tenang ketika tidak merokok. Keadaan ini menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok untuk kembali meningkatkan mood dan menjadi rileks kembali (Neal, 2006).
Pada aspek perilaku (behavior) ditunjukan dengan tanda perilaku gelisah, berkata dengan intonasi cepat, dan hilangnya konsentrasi (Robbins, 2003). Stuart (1998) menjelaskan bahwa perilaku gelisah diakibatkan karena perasaan cemas. Ketika individu merasa gelisah ketika akan menghadapi presentasi dalam pekerjaannya (dipengaruhi oleh keadaan pada saat itu), individu akan merokok untuk menenangkan diri agar mengurangi rasa gelisah (Wills dalam Megarini, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku individu yang dipengaruhi keadaan pada saat itu dapat mempengaruhi waktu merokok yang merupakan aspek perilaku merokok.
Menurut Djauzi (2009) stres kerja menyebabkan hormon kortisol diproduksi lebih banyak sehingga memicu sistem pencernaan dan membuat individu merasa sangat lapar, dan kehilangan konsentrasi karena harus terus berpikir pada permasalahan yang memicu stres dan menyebabkan kondisi psikis menjadi terasa malas, malas makan, malas beraktifitas, cemas, bosan. Nikotin yang terkandung di dalam rokok membuat Nikotin juga merangsang pelepasan neurotransmitter lain, yaitu glutamat. Glutamat terlibat dalam proses pembelajaran dan daya ingat serta meningkatkan hubungan antara set neuron sehingga individu dapat berkonsentrasi dan produktif, tetapi ketika kandungan nikotin di dalam tubuh menurun maka
individu akan kehilangan daya ingat dan konsentrasinya kembali, sehingga menyebabkan seseorang merokok kembali (Neal, 2006).
Aspek psikologis berkaitan dengan perasaan tegang mudah marah, cemas dan rasa bosan (Robbins, 2003). Ketika karyawan merasakan rasa bosan dan penat terhadap pekerjaan yang menumpuk di kantor, karyawan akan merokok ditempat kerja bahkan di toilet (Wulandari, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek psikologis karyawan mempengaruhi tempat merokok.
Kesimpulan dari penjabaran di atas ialah aspek dari stres kerja yaitu fisik, psikologis, dan perilaku mempengaruhi aspek perilaku merokok yaitu fungsi merokok, intensitas merokok, tempat merokok dan waktu merokok pada karyawan. Semakin tinggi stres kerja maka akan semakin tinggi juga perilaku merokok. Hal ini sejalan dengan penelitian un-Sook Shin & Young-Chae Cho (2015) hasil peneitian menunjukkan semakin tinggi stres kerja perilaku merokok individu akan semakin tinggi pula.
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah ada hubungan positif antara stres kerja dan perilaku merokok pada wanita yang bekerja. Semakin tinggi stres kerja maka akan diikuti semakin tingginya perilaku merokok yang muncul, demikian juga sebaliknya, semakin rendah stres kerja maka akan semakin rendah pula perilaku merokok pada wanita yang bekerja.