• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Myrtales Rhizophoraceae Bruguiera Bruguiera gymnorrhiza : : : : : : : Gambar 1 Buah Lindur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Myrtales Rhizophoraceae Bruguiera Bruguiera gymnorrhiza : : : : : : : Gambar 1 Buah Lindur."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buah Lindur (Bruguiera gymnorrhiza)

Buah lindur (B. gymnorrhiza), yang dikenal dengan berbagai nama lokal tumu, tanjang, putut, tongke, dan kandeka merupakan salah satu buah dari tumbuhan mangrove berdaun besar. Ketinggian tumbuhan lindur dapat mencapai 30 m. Pohon lindur memiliki akar papan dan akar lutut, melebar ke samping di bagian pangkal pohon. Kulit kayu memiliki lentisel, permukaannya halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua sampai cokelat. Daun berbentuk elips dengan ujung meruncing, berwarna hijau pada lapisan atas dan hijau kekuningan pada bagian bawahnya dengan bercak-bercak hitam (Glen 2005). Bentuk dan warna buah lindur segar dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Duke et al (2006) klasifikasi buah lindur adalah sebagai berikut :

Kingdom Divisi Kelas Ordo Family Genus Species : : : : : : : Plantae Magnoliophyta Magnoliopsida Myrtales Rhizophoraceae Bruguiera Bruguiera gymnorrhiza

Gambar 1 Buah Lindur.

Buah lindur berwarna hijau dengan kelopak bunga di ujung buah yang berwarna merah, hipokotil buah berbentuk silinder memanjang 12-30 cm dengan diameter 1,5-2 cm. B. gymnorrhiza tersebar di daerah tropis Afrika Selatan dan

(2)

Timur dan Madagaskar, ke Asia Tenggara dan Selatan (termasuk Indonesia dan negara di kawasan Malaysia), sampai timur laut Australia, Mikronesia, Polinesia and kepulauan Ryukyu (Duke et al. 2006). Tanaman lindur mampu membantu menstabilkan tanah, melindungi pantai, dan sebagai habitat aneka fauna. Kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar dan untuk membuat arang. Pepagan (kulit batang) dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit dan pengawet jala ikan yang baik karena mengandung tanin rata-rata antara 28,5–32,2% (Glen 2005). Selain itu penduduk Solomon memanfaatkan papagan untuk menyembuhkan luka bakar. Di pulau-pulau kecil Indonesia digunakan untuk mengobati diare dan demam, sementara di Kamboja dimanfaatkan sebagai anti malaria (Duke et al. 2006). Penduduk di pulau-pulau terpencil memanfatkan daun mudanya sebagai lalap atau sayuran. Bagian dalam hipokotil buah lindur dapat dimakan (manisan kandeka), dicampur dengan gula. Penduduk Indonesia bagian timur memanfaatkan buah lindur sebagai sumber pangan saat musim paceklik tiba (Glen 2005).

2.2 Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi sebagai granula semi kristalin dari bahan polimer. Dalam bentuk aslinya tepung pati merupakan butir-butir kecil yang disebut granula pati. Granula pati mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari jenis patinya (Swinkle 1985). Granula pati tersusun atas tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin dan bahan antara yang merupakan komponen minor berupa lemak dan protein.

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas di bawah suhu gelatinisasi. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan (1,4)-D-glukosa sedangkan amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% berat total (Winarno 2008). Konsentrasi amilosa berpengaruh terhadap karakteristik gel yang terbentuk. Gel yang mengandung banyak amilosa mempunyai karakteristik mekanik film yang dihasilkan lebih baik dibandingkan dengan gel yang kaya akan amilopektin (Leloup et al. 1991).

(3)

Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Pati dapat diproses dengan cara ekstraksi yang terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia misal perubahan warna. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui 2005).

2.3 Edible Film

Edible Film adalah suatu lapisan tipis dan kontinu, terbuat dari

bahan-bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (coating) atau diletakkan antara komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap transfer massa (misalnya, kelembaban, oksigen, lipid dan zat terlarut) (Hui, 2006). Fungsi edible film adalah sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Bahan – bahan yang biasa digunakan dalam pembentukan edible film adalah protein, polisakarida, lemak, waxes dan turunannya (Canes et al. 1998). Komponen utama penyusun edible film dapat digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu hidrokoloid, lipid, dan komposit (gabungan hidrokoloid dan lipid). Hidrokoloid dapat berupa protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lain. Lipid yang umum digunakan antara lain lilin (waxes), gliserol, dan asam lemak. Edible film dengan komponen campuran komposit dapat berupa film emulsi lipid hidrokoloid atau beberapa bilayer film dengan satu muka film hidrofilik dan muka lain yang hidrofobik (Donhowe dan Fennema 1994).

Ruan et al. (1998) menyatakan bahwa film dari bahan dasar lipid mempunyai laju transmisi uap air dan kekuatan mekanik yang rendah, sedangkan protein dan karbohidrat bersifat kuat tapi laju transmisi uap airnya tinggi. Komposit film yang merupakan gabungan dari protein dan lipid atau gabungan dari karbohidrat dan lipid, mempunyai laju transmisi yang lebih rendah dibandingkan film dengan bahan dasar protein dan karbohidrat, tapi memiliki kekuatan mekanik yang lebih kuat dibandingkan dengaan film yang berbahan dasar lipid. Iwata et al. (2000) menyatakan protein sebagai komponen penyusun 5

(4)

edible film memiliki banyak kelebihan diantaranya protein mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan tubuh, dan edible film yang dihasilkan dari bahan dasar protein dapat digunakan untuk mengurangi kehilangan kelembaban, membatasi absorpsi O2, dan mengurangi perpindahan lemak.

Menurut Gennadios (1990) keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan edible film dibandingkan dengan penggunaan pengemas tradisional non-edible adalah:

(1) edible film dapat langsung dikonsumsi bersama produk yang dikemas sehingga

tidak ada sampah kemasan;

(2) jika edible film tidak dapat dikonsumsi, maka film masih dapat didegradasi oleh bakteri sehingga mengurangi polusi lingkungan;

(3) edible film dapat meningkatkan sifat-sifat organoleptik produk pangan karena

didalamnya dapat ditambahkan flavor, pewarna, dan pemanis;

(8) edible film cocok digunakan untuk mikroenkapsulasi flavor pangan dan

leaving agent;

(9) edible film dapat dipakai bersama-sama non-edible sebagai lapisan dalam

untuk mencegah migrasi komponen kimia berbahaya ke dalam makanan. Pada umumnya edible film yang terbuat dari polisakarida (hidrokoloid) mempunyai sifat penghambatan terhadap gas yang lebih baik daripada terhadap uap air (Baldwin et al. 1995). Edible film yang larut dalam air memiliki penghalang lebih buruk dibandingkan dengan edible film yang larut dalam pelarut selain air. Hal ini terjadi karena uap air tidak dapat larut dengan cepat pada edible

film yang larut dalam pelarut selain air. Menurut Krochta et al. (1994),

permeabilitas dipengaruhi oleh sifat kimia bahan, struktur polimer, kondisi uji, dan sifat dari bahan yang akan berdifusi. Untuk memperbaiki sifat tersebut biasanya polisakarida dikombinasikan dengan beberapa pangan fungsional yaitu resin, platicizer, surfaktan, minyak, lilin dan emulsifier yang memiliki fungsi memberikan permukaan yang halus dan mencegah kehilangan uap air (Krochta et al.1994).

Kemampuan edible film dalam melindungi pangan dapat ditingkatkan dengan penambahan zat antioksidan dan antimikroba pada film.Edible film dapat menambah flavor, nutrisi (carrier), dan lain-lain pada produk pangan yang 6

(5)

dikemas untuk meningkatkan kualitas pangan. Selain itu dengan penggunaan

edible film dapat memberikan penampakan produk yang dikemas menjadi halus,

berwarna, tidak berminyak, tidak lengket dan tidak terjadi pemudaran warna pada permukaan produk (Kroctha 2002).

Menurut Donhowe dan Fannema (1994), beberapa metode dalam pembuatan edible film/coating adalah:

(1) Dipping

Metode ini merupakan aplikasi dari coating. Produk yang akan di-coating dicelupkan ke dalam larutan yang akan digunakan sebagai bahan coating. Metode ini sudah digunakan, diantaranya sebagai pengemas/pelapis pada produk daging, sayur, dan buah-buahan.

(2) Spraying

Metode ini menggunakan larutan bahan yang akan di-coating dengan cara disemprotkan, kemudian dikeringkan sehingga lapisan dapat menempel pada produk dengan baik.

(3) Casting

Casting atau penuangan, merupakan metode yang digunakan dalam

pembuatan edible film. Metode ini diawali dengan pembuatan larutan bahan pembentuk film, kemudian dituangkan dalam cetakan dengan ketebalan tertentu, yang kemudian dilanjutkan dengan pengeringan. Setelah kering film diangkat dari cetakan dan siap untuk diaplikasikan. Dengan metode ini ketebalan film dapat dikontrol sehingga dihasilkan film dengan ketebalan yang lebih rata.

2.4 Plasticizer

Plasticizer adalah bahan organik dengan bobot molekul rendah yang

ditambahkan dengan maksud memperlemah kekakuan film (Gennadios 2002).

Plasticizer memiliki titik didih yang tinggi dan jika ditambahkan ke dalam suatu

materi dapat mengubah sifat fisik maupun sifat mekanik materi tersebut. Penggunaan plasticizer dapat mengurangi gaya intermolekul sepanjang rantai polimer, sehingga meningkatkan fleksibilitas edible film tetapi mengakibatkan turunnya permeabilitas film tersebut. Bahan ini larut dalam tiap-tiap rantai polimer 7

(6)

sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas, suhu kristalisasi, atau suhu pelelehan dari suatu polimer (Sperling 1992). Kester dan Fannema (1989) menyatakan bahwa plasticizer dapat ditambahkan pada pembuatan edible coating, untuk mengurangi kerapuhan, meningkatkan fleksibilitas, dan ketahanan film terutama jika disimpan pada suhu rendah.

Jenis plasticizer yang biasanya ditambahkan antara lain; gliserin, gliserol, trietil glikol, asam lemak, dan monogliserin yang diasetilisasi. Salah satu

plasticizer yang digunakan dalam penelitian ini adalah gliserol. Plasticizer ini

merupakan senyawa alkohol polianhidrat dengan tiga gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan nama

kimia 1,2,3-propanatriol. Berat molekul gliserol adalah 92,10 dan titik didih sebesar 204 °C (Winarno 2008). Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada hidrofilik film. Penambahan gliserol akan mengahasilkan film yang lebih fleksibel dan halus. Menurut Gontard et al.(1993) gliserol dapat meningkatkan permeabilitas film terhadap uap air karena sifat gliserol yang hidrofilik. Gliserol mempunyai sifat mudah larut dalam air, meningkatkan kekentalan larutan, mengikat air dan menurunkan aw (Lindsay 1985). Selain itu gliserol juga bersifat humektan dan bagian dari aksi plasticizing yang berasal dari kemampuannya untuk menahan air pada film tersebut (Kristanoko 2000).

2.5 Karagenan

Karegenan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri atas ester, kalium, magnesium, natrium, dan kalsium sulfat dengan galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer dengan ikatan glikosidik α-1,3 dan β-1,4 (Angka dan Suhartono 2000). Karagenan dibuat dari rumput laut yang dikeringkan, rumput laut diayak untuk menghilangkan kotoran-kotoran seperti pasir dan kemudian dicuci. Sumber karagenan yang umum dijumpai adalah Kappaphycus cottonii, Eucheuma

spinosum, Gigartina sp. Melalui perlakuan dengan larutan basa selulosa dalam

karagenan akan terpisah (Angka dan Suhartono 2000). Larutan karagenan yang didapat dipekatkan melalui evaporasi, kemudian dikeringkan dan dipisahkan lagi menurut spesifikasinya. Penggunaan karagenan dalam jumlah yang lebih besar 8

(7)

menyebabkan kemampuan mengikat air yang lebih baik sehingga memberikan matrik gel yang dapat meningkatkan sifat mekanik dari pengemas. Menurut Carriedo (1994), gel yang dihasilkan dari karagenan dapat digunakan dalam pelapisan makanan. Dalam bidang industri karaginan berfungsi sebagai stabilisator , thickener (bahan pengental), pembentuk gel dan lai-lain. Karagenan dapat diperoleh dari hasil pengendapan rumput laut yang dihancurkan dengan alkohol, pengeringan dengan alat (drum dryer) dan dengan proses pembekuan.

Beberapa sifat yang berperan penting dalam karagenan antara lain; kelarutan, stabilitas pH, pembentukan gel, dan viskositas. Karagenan larut dalam air, kelarutannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tipe karagenan, pengaruh ion, suhu, komponen organik larutan, dan pH. Semua karagenan larut dalam air panas terutama pada suhu >70 °C. Dalam air dingin hanya lamda-karagenan, garam sodium dari kappa-karagenan, dan iota-karagenan yang dapat larut (Gliksman 1983).

2.6 Pemeriksaan Histologi Tumbuhan

Jaringan merupakan sekelompok sel yang mempunyai asal, struktur, dan fungsi yang sama (Nugroho et al. 2006). Ilmu yang mempelajari struktur internal tanaman disebut histologi tanaman. Histologi tumbuhan umumnya dikaji melalui teknik mikroskopis. Kajian objektif untuk mengidentifikasi histologi pada tanaman diukur dalam gambaran mikroskopis. Morfologi sel digambarkan dengan ukuran sel dan bentuk dan dengan ketebalan dinding sel (Guillemin et al. 2004).

Metode umum untuk mempelajari jaringan diantaranya metode beku, metode seloidin, metode parafin, metode pananaman rangkap. Metode parafin banyak digunakan karena hampir semua matriks jaringan dapat dipotong baik bila menggunakan metode ini. Kelebihan metode parafin diantaranya irisan dapat jauh lebih tipis dibandingkan dengan menggunakan metode beku atau metode seloidin. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin (Suntoro 1983).

Metode pembuatan preparat terlebih dahulu dilakukan sebelum mempelajari hitologi tanaman. Metode pembuatan preparat dapat dibagi menjadi 9

(8)

tiga macam yaitu preparat segar, preparat utuh (whole mount) dan preparat yang dilakukan dengan proses penanaman (embedding). Pembuatan preparat segar dilakukan dengan pembuatan sayatan tipis melintang dan diletakkan pada gelas objek kemudian diwarnai. Pembuatan preparat utuh merupakan metode pembuatan preparat sampel secara utuh biasanya untuk tanaman dengan ukuran kecil. Tahapan untuk preparat ini terdiri atas fiksasi bertahap, penggunaan silol berseri, pewarnaan, inkubasi, dehidrasi dan perekatan ke gelas preparat kemudian dilakukan penutupan. Proses pembuatan preparat embedding terdiri atas gelatin

embedding, parafin embedding, nitrocellulose embedding, double embedding, dan

embedding pada plastik (Keirnan 1990, diacu dalam Kristiono 2009).

2.7 Persiapan Preparat Dengan Metode Parafin

Hal yang penting dalam persiapan jaringan adalah meningkatkan kemampuan pewarnaan dari bagian-bagian jaringan dan mengubah indeks bias ke arah jarak penglihatan (Humason 1967). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltasi, penanaman, penyayatan, penempelan sayatan, dan pewarnaan.

2.7.1 Fiksasi

Adapun tujuan tahap ini adalah untuk mencegah efek post-mortem pada jaringan, memisahkan fase solid protoplasma dari fase yang mengandung air, mengubah bagian sel menjadi material yang tidak larut selama perlakuan selanjutnya dan melindungi sel dari penyimpangan dan penyusutan. Larutan fiksasi disebut fiksatif. Fiksatif yang digunakan adalah fiksatif Geomori, Susu, Zenker, Helly, Bouin, Formalin, Carnoy dan sebagainya (Humason 1967). Waktu yang dibutuhkan untuk mematikan jaringan dan pengerasan material sangat beragam dan hal tersebut ditentukan oleh karakteristik cairan fiksatif yang digunakan. Salah satu jenis fiksatif yang banyak digunakan adalah (Formalin, Alkohol, Asam asetat glasial) FAA. Formula FAA adalah campuran yang terdiri dari Alkohol (95%) sebanyak 55 cc, Asam asetat glasial sebanyak 5 cc, Formaldehid (37 - 40%) sebanyak 10 cc, dan air sebanyak 35 cc (Sass 1951).

(9)

2.7.2 Dehidrasi (dehydration)

Jaringan yang telah difiksasi akan mempertahankan kandungan air yang tinggi, suatu kondisi yang menjadi penghambat untuk proses selanjutnya, sehingga jaringan perlu didehidrasi. Cairan dalam jaringan dapat menyebabkan jaringan lunak, berisi lumen atau celah cekung dan mudah rusak oleh penyayatan. Penghilangan air dari jaringan biasanya dicapai dalam suatu rangkaian larutan alkohol dengan persentase yang meningkat secara bertahap, yakni 30%, 50%, 70%, 80% dan 95% dan alkohol absolut yang bertujuan untuk mengurangi penyusutan pada jaringan. Jika tahap dehidrasi tidak dilakukan dalam suatu rangkaian, maka dapat dilakukan dengan langkah 30% dan 80% alkohol, dan penggantian tetap 50%. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahap bergantung pada ukuran objek yakni ½ jam hingga 2 jam, 3 jam untuk kasus yang ekstrim. Penggantian kedua dari alkohol absolut harus dapat menghilangkan air dengan sempurana (Humason 1967). Sampel yang difiksasi dengan (Formalin, Alkohol, Asam asetat glasial) FAA mulai didehidrasi dalam alkohol 50% (Sass 1951). Dehidrasi dengan Tertiary Butyl Alkohol (TBA) merupakan metode yang lebih memuaskan. Setiap tingkatan dari dehidrasi TBA membutuhkan waktu minimal 1 jam. Rangkain tersebut kemudian diikuti dengan 100% TBA murni yang dilakukan sebanyak 3 kali (Johansen 1940).

2.7.3 Penjernihan (clearing), infiltasi, penanaman (embedding) dengan metode parafin

Hidrokarbon benzene, toluene dan xylene merupakan reagen, umumnya digunakan untuk tujuan penjernihan. Jika selama penjernihan, zat penjernih (benzene, toluene dan xylene) menjadi keruh menunjukkan bahwa air masih ada dalam jaringan dan jaringan tidak terdehidrasi dengan sempurna. Hal ini dapat dilakukan pengulangan ke dalam alkohol absolut. Penjernihan menghilangkan atau menjernihkan jaringan yang tidak tembus cahaya menjadi transparan (Humason 1967).

2.7.4 Penyayatan (sectioning) dan penempelan sayatan

Material siap disayat apabila parafin telah membeku. Blok jaringan dipotong dengan pisau tajam. Panjang blok kurang dari 2 cm dan dimensi blok 11

(10)

dibedakan dengan bentuk seperti empat persegi panjang. Blok parafin ditanamkan di atas blok kayu. Faktor yang mempengaruhi penyayatan adalah kualitas parafin, infiltrasi yang tepat, orientasi penempelan material, kekakuan penempelan, suhu, kekerasan atau kerapuhan material. Pemotongan dilakukan dengan menggunakan mikrotom ( Sass 1951).

2.7.5 Pewarnaan (staining)

Sebelum sayatan dapat diwarnai parafin harus dihilangkan dengan menggunakan xilol. Slide ditempatkan pada rak dan dimasukkan dalam wadah xilol selama 5 menit, xilol hendaknya dapat menutupi slide. Slide kemudian dipindahkan dalam campuran etanol absolut dan xilol dengan jumlah yang sama. Pemindahan selanjutnya dilakukan ke dalam campuran alkohol absolut dan eter selama 5-10 menit. Slide lalu diangin-anginkan hingga sayatan menunjukan tanda keputih-putihan. Slide kemudian dimasukkan dalam serangkaian alkohol, dimulai dengan 95%, 70%, 35% masing-masing 5 menit (Johansen 1940).

Toluidine blue merupakan salah satu zat warna yang tergolong dalam

golongan pewarna kationik yang bersifat basa. Sel mast akan teramati cukup jelas pada pewarnaan toluidine blue dibandingkan dengan pewarnaan lainnya misal

alcian blue dan alcian blue-safranin (Agung dan Kazutaka 2011). Zat pewarna ini

dapat bereaksi spesifik untuk komponen-komponen penyusun sel tumbuhan.

Toluidine blue biasanya digunakan untuk mengidentifikasi sel mast dan pengujian

kandungan lignin. Selain itu juga digunakan untuk mengidentifikasi makromolekul karbohidrat. Penggunaan pewarna ini biasanya untuk pewarnaan bagian jaringan semi tipis yang berukuran 0,5 sampai 1pM. Pewarnaan toluidine blue dilarutkan ke dalam buffer McIlvaine pada pH 4,0. Setelah diwarnai preparat dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan. Setelah selesai dilakukan pewarnaan kemudian slide ditetesi dengan Canada Balsam dan ditutup dengan cover slip. Canada Balsam digunakan untuk merekatkan objek dengan slide dan cover glass agar objek tidak berpindah-pindah. Preparat kemudian siap untuk diamati dengan mikroskop (Agung dan Kazutaka 2011).

Referensi

Dokumen terkait

purposive sampling dengan kriteria perusahaan yang minimal dua kali terdaftar dalam index LQ-45, telah menerbitkan laporan keuangan terus menerus dari tahun 2005

Meskipun ekofeminisme setuju bahwa bubungan antara perempuan dengan alam adalah penyebab utama seksisme dan naturisme, mereka tidak bersepakat dalam hal apakah hubungan

Hal ini sedikit berbeda dengan penulis yang akan melakukan penelitian tentang model Pembelajaran Berbasis Proyek, selain meneliti tentang pengaruh terhadap

Hasil penelitian dengan menggunakan uji nonparametrik Mann-Whitney menunjukkan p- value 0,001 dan karena p-value 0,001 < 0,05 (α) maka Ho ditolak yang berarti ada

Berdasarkan diagram 1.2 didapat bahwa aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pengajaran langsung pada kompetensi melakukan

Berdasarkan pemahaman saudara, setujukah bahwa penerapan Akuntansi Sumber Daya Manusia selain memenuhi persyaratan Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU), juga telah

Teori Akuntansi Sebagai Penalaran Logis adalah suatu proses pemikiran atau penalaran, dengan menggunakan konsep-konsep yang relevan sebagai landasan, untuk

Pertimbangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah masyarakat paling terdekat dengan lokasi bank BRI Syariah kantor cabang pembantu Surade, masyarakat yang