FENOMENA ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN KEKERASAN (Studi kasus PTP2A provinsi Riau)
Oleh: Aditya Kurniawan, Fakhrizan, Fajar Prianggi, Hesti Pramita, Wulan Junaini
Abstract
Children are the most beautiful gifts given by the creator for married couples. Children are also valuable assets for the nation to come. In Indonesia alone the category of new people is people who receive 0-18 years and are not married. Recently, we often see news in various media about violence or violence committed against children. Forms of violence that often occur in children consisting of physical, verbal, sexual violence, child exploitation, etc. While the truth is that children must get their rights and maintain their growth so that they can become a foundation for their family and nation. But it is very unfortunate that many children in Indonesia have been victims of child crimes so far. The government itself has also enacted a law that affirms those who give responsibility to children and who seizes the rights of children. The impact on injured children is extraordinary, one of which can cause children to become excessively traumatized and difficult to cope with the surrounding environment. In this journal, we will discuss the legal protection of children and what effects children have on the conflict or conflict that befell them.
Keywords: Crime, violence, children, victims
Abstrak
anak anak di Indonesia yang menjadi korban atas kejahatan anak selama ini. Pemerintah sendiri juga telah membuat sebuah peraturan hukum yang tegas bagi siapa saja yang melakukan kekerasan atau kejahatan terhadap anak dan siapa saja yang merampas hak-hak anak. Dampak bagi kekerasan atau kejahatan anak juga sangat luar biasa, salah satunya bisa menyebabkan seorang anak menjadi trauma berlebih dan sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Di dalam jurnal ini akan dibahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak dan dampak apa saja yang dialami oleh anak apabila terjadi kekerasan atau kejahatan yang menimpa dirinya.
Kata kunci : kekerasan,anak,korban
A. Pendahuluan
Anak dianggap sebagai “setengah” manusia atau manusia mini. Dalam masyarakat patriarki, anak ditempatkan sebagai manusia ketiga, setelah laki-laki dewasa dan perempuan dewasa. Di sisi lain, anak sering dipandang sebagai hak milik dan komoditi. Karena itu anak rentan eksploitasi dari kanan kiri, muka belakang, dan jauh-dekat. Artinya, eksploitasi terhadap anak dapat dilakukan oleh siapa saja, dari orang tua/ wali/keluarga,tetangga,masyarakat, hingga Negara.
Upaya untuk mendudukkan anak sebagai manusia otonom yang memiliki
hak asasi, sebagaimana orang dewasa lainnya bukanlah perkara mudah. Bahkan perjuangan untuk mengakui anak sebagai manusia otonom berhak asasi manusia mungkin seumur manusia itu sendiri, walaupun mungkin tidak ada catatan sejarah tentang itu.
of the child) pada tahun 1923, yang merupakan cikal bakal lahirnya potensi oleh majelis umum PBB 20 November 1989. Indonesia sebagai peratifikasi konvensi hak anak (KHA) telah mensahkan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UUPA), 12 tahun kemudian setelah meretifikasi KHA. UUPA mengadopsi KHA yang berarti telah mengakui anak sebagai manusia utuh yang memiliki hak asasi manusia. Pengakuan anak sebagai manusia layaknya orang dewasa sebagai mana tercantum dalam aturan hukum internasional maupun nasional, tidak serta merta membuat anak mendapatkan hak hak nya.
Sudah sekitar 21 tahun yang lalu ketika majelis umum PBB menerima rancangan KHA dan mulai berlaku sebagai hukum internasional pada
tanggal 2 September 1990. Namun, jumlah anak anak didunia yang tidak mendapatkan hak-haknya sangat besar. Bahkan anak-anak yang diekspolitasi oleh orang dewasa termasuk orang tua/ walinya, diperkira kan menunjukkan penurunan secara signifikan.
Kekerasan terhadap anak (KTA) adalah semua bentuk tindakan/ perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, Penyalahgunaan seksual,penelantaran,ekploitasi seksual komersial ataupunpotensial terhadap kesehatan anak,kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang atau martabat anak (WHO, 1999).
Kekerasan sangat dekat dengan kehidupan anak.sejak usia sangat dini anak anak sudah dikenalkan pada bentuk bentuk kekerasan mulai dari yang
verbal, fisikal, hingga seksual. Pengalaman anak anak berhadapan dengan kekerasan yang dialami, pelaku kekerasan, tempat kejadian, dan sebab sebab terjadinya suatu kejahatan. Kekerasan dialami oleh anak dirumah atau lingkungan keluarga, disekolah,
Pelaku kekerasan yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap anak adalah orang orang yang dekat
dengan anak. Analisis media yang
dilakukan oleh lemabaga perlindungan anak (LPA). Sedangkan dari sisi jenis kelamin kekerasan yang dialami anak perempuan beda dengan anak laki laki.
Anak perempuan lebih sering mengalami kekerasan seksual hingga berdampak kehamilan, sedangkan anak laki-laki lebih sering dialami secara fisik dan anak laki-laki juga mengalami kekerasan seksual (Arna et al., 2005).
Berdasarkan laporan P2TP2A provinsi Riau selama 6 bulan (Januari-Juni 2018) menunjukkan bahwa kekerasan seksual Pelecehan, Pencabu-lan, PercobaanPerkosaan, men empati urutan teratas, disusun
kemudian kekerasan fisik. Dirumah atau dilingkungan keluarga, pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang yang seharusnya bertangg ung jawab untuk melindungi anak-anak. Mereka adalah ibu, ayah, kakak,
kakek,nenek,paman, bibi, dan keluarga dekat lainnya didalam lingkungan keluarga, anak-anak biasanya dipukul,
dijambak,dijitak, dicubit, ditendang, disulut rokok diikat, dan sebagainya. Anak-anak juga
mengalami kekerasan psikis seperti dikurung didalam kamar-kamar mandi, tidak diberi makan, dicaci, dimaki, dianggap bodoh, dan sebagaiya. Kekerasan seksual, mulai dicolek sebagian tubuh tertentu hingga pemerkosaan juga terjadi dilingkungan keluarga. Tradisi menjodohkan dan
mengawinkan anak perempuan sejak usia dini yang biasa disebut masa penjodohan juga disebut pemaksaan penjodohan juga masih terjadi ditingkat keluarga di Indonesia. Kekerasan anak juga berbasis tradisi yang sampai saat ini di praktikkan didaerah Papua adalah pemotong ruas jari pada saat orang tua
KASUS JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI PEMERKOSAAN 11 8 9 12 5 8
PELECEHAN SEKSUAL
9 6 3 2 1 2
PERCOBAAN PEMERKOSAAN
5 7 1 1 1 3
PENCABULAN 1 - - 9 - 8
KEKERASAN FISIK
meninggal dunia dan menjual beli anak (Arna et al., 2005).
Kasus kekerasan pada anak sesungguhnya ditengarai cukup besar terjadi didalam masyarakat. Namun, mencari dan menemukan angka yang benar dalam masyarakat dapat dipastikan sangat sulit sebab data yang terekam selalu jauh dari sedikit daripada angka yang sebenarnya terjadi dalam kehidu pan sehari-hari dimasyarakat.
Kecilnya angka pelaporan tindak kekerasan yang menimpa anak-anak disebabkan oleh faktor budaya, paradigm, dan presepsi juga keenggan an korban unuk tidak terjebak pada birokrasi sistem peradilan.
Sekalipun demikian, terjadi peningka tan kekerasan terhadap anak. Data ini diperoleh dari laporan dan pengaduan/ masyarakat yang masuk ke laporan Kepolisian Daerah Riau. Oleh karena itu meningkatnya aktifitas kekerasan seksual terhadap anak sangat perlu untuk dianalisis pelaku yang melaku kan kekerasan terhadap anak.
B. PEMBAHASAN DEFINISI
KEKERASAN ANAK
terhadap anak adalah (child abuse) adalah semua bentuk perlakuan men yakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercaya an, atau kekuasaan. (Faqih dalam Daisy Widiastuti dan Rini Sekartini, 2005: 106) Secara teoritis, kekerasan terhadap anak (child abuse) didefinisikan sebagai perlakuan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Contoh paling jelas dari tindak kekerasan yang dialami anak-anak adalah pemukulan atau penyerangan secara fisik berkali-kali sampai terjadi luka atau goresan. Namun demikian perlu disadari bahwa child abusesebetulnya tidak hanya berupa
yang obyeknya adalah anak sebagai sasaran perilaku kekejaman sesorang yang menimbulkan sakit dan penderitaan pada fisik, psikis, maupun sosial anak, bahkan dapat menimbulkan cacat atau bahkan dapat menghilangkan nyawa anak. Kekera san pada anak biasanya dilakukan oleh orang tua, keluarga, tetangga sekitar rumah, atau orang tua asuh anak. Kekerasan pada anak biasanya dalam bentuk kata-kata kasar, pemukulan, eksploitasi tenaga anak untuk bekerja, penelantaran, dan kekerasan dalam bentuk seksual. Kekerasan merujuk pada tindakan agresi danpelanggaran(penyiksaan,pemerkosan, pemukulan, dan lain-lain) yang menye bab kan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menya kiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kencederungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi ketika seseorang mengguna kan kekuatan, kekuasaan, dan posisinya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan, kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan
bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi, penelantaran dan perlakuan buruk, eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual beli anak. Sedangkan Child Abuse
adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya,misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Bentuk Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Menurut Bentuk-bentuk kekera san pada anak dapat diklasifikasikan dalam 4 macam, yaitu:
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan psikis/emosi 3. Kekerasan seksual
4. Kekerasan sosial (penterlantaran)
lima macam bentuk kekerasan tersebut sangat terkait. Kekerasan fisik yang dialami anak, akan mempengaru hi jiwanya. Demikian juga kekerasan psikis anak,akan mempengaruhi perkembangan tubuhnya. Apalagi kekerasan seksual, akan mengakibat kan kekerasan fisik sekaligus kekera san psikis.
A. Kekerasan Fisik pada Anak
Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak.
Kekerasan anak secara fisik dapat berupa penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu, yang menimbul kan luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Kekerasan fisik dapat berbentuk luka, atau dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika
Macam-macam kekerasan fisik, antara lain:ditampar,ditendang, dianiaya, dipukul/ditinju,diinjak,dicubit, dijambak, dicekik, didorong, digigit, dibenturkan, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas, diancam dengan benda tajam, dll
B. Kekerasan Psikis
Bentuk kekerasan psikis, antara lain: dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehen daki,dibentak,dimarahi,dihardik,
diancam, dipaksa bekerja menjadi pemulung,dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu rumah tangga, dipaksa mengemis, dll.
C. Kekerasan seksual
Kekerasanseksual adalah apabila anak disiksa/ diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain.
Secara rinci, bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak: diperkosa disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudara nya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, pelecehan seksual lainnya, dijual pada mucikari, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang.
D. Kekerasan Sosial Mencakup Penelan-taran Anak dan Eksploitasi Anak.
Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sedangkan eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkemban gan fisik, psikis dan status sosialnya.
Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik pabrik yang mem -bahayakan.
pada tubuh anak, dan kekerasan seksual. Kekerasan emosi yaitu penolakan dari orang-orang yang dekat secara emosional dengan anak untuk memberi kan perhatian, cinta, dan kasih sayang pada anak, sehingga membuat perasaan anak tidak bahagia, sedih, tertekan, dendam, benci, dan tidak suka pada orang tersebut.
Kekerasan verbal atau kekerasan dengan kata-kata yaitu seseorang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak mengeluarkan kata-kata kasar atau kata yang tidak disenangi, menyakitkan, atau kata-kata yang mengecewakan perasaan anak, sehing ga anak kecewa dan sedih serta mencurahkan kesedihan nya dengan tangisan, atau kemarahan dan dendam di hatinya. Selanjutnya bentuk kekerasan lainnya adalah kekerasan fisik atau kekerasan yang ditujukan pada tubuh anak, sehingga dapat melukai atau membuat cacat atau bahkan dapat menghilangkan nyawa anak. Kekerasan pada anak bersifat fisik ini dilakukan dengan pemukulan dengan bantuan alat, penamparan pipi, mencubit, melukai anak dengan alat-alat ber
bahaya, merendam dan menyiram anak dengan air dan cara-cara berbahaya lainnya yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang yang mempunyai hubungan dekat dengan anak.
KEKERASAN TERHADAP ANAK BERKAITAN DENGAN
VIKTIMOLOGI
pelanggaran yang terjadi dan meng hukum individu atau oknum terbukti melakukan pelanggaran HAM. Selain itu masyarakat juga perlu mengerti tentang HAM dan turut menegakkan HAM mulai dari lingkungan sosial tempat mereka tinggal hingga nantinya akan terbentuk penegakan HAM tingkat nasional. Adapun contoh dari pelangga ran HAM di Indonesia adalah kekerasan terhadap anak. Anak sering menjadi korban dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan orang dewasa, baik itu orang tua atau keluarga terdekatnya. Terdapat empat tipe utama kekerasan pada anak (child abuse) yaitu kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran. Angka kejadian kekerasan pada anak (child abuse atau CA) sendiri memang belum terungkap semua. Biasanya kejahatan ini tersembunyi di mana ketika ayah, ibu atau anggota keluarga di rumah melakukan kekerasan dan menganggap ini hal biasa, atau takut akan melapor kan karena dianggap membuka aib.
Terkuaknya kasus-kasus yang ada, rata-rata setelah luka pada tubuh anak ketika dibawa berobat atau anak
tersebut meninggal. Kekerasan pada anak dapat terjadi karena berbagai faktor atau mungkin saja beragam kejadian tersebut terakumulasi dan dengan adanya faktor pencetus sedikit saja, mereka lantas melakukan kekerasan. Pencetus yang sering terjadi salah satunya adalah tangisan anak yang tanpa henti dan kenakalan anak. logo-kompasiana.
pemerintah menangani pelanggaran pelanggaran yang terjadi dan meng hukum individu atau oknum terbukti melakukan pelanggaran HAM. Selain itu masyarakat juga perlu mengerti tentang HAM dan turut menegakkan HAM mulai dari lingkungan sosial tempat mereka tinggal hingga nantinya akan terbentuk penegakan HAM tingkat nasional.
Adapun contoh dari pelanggaran HAM di Indonesia adalah kekerasan terhadap anak.
Anak sering menjadi korban dari tindakan sewenang - wenang yang dilakukan orang dewasa, baik itu orang tua atau keluarga terdekatnya. Ter dapat empat tipe utama kekerasan pada anak (child abuse) yaitu kekerasan fisik, seksual, psikis dan penelantaran. Angka kejadian kekerasan pada anak (child abuse atau CA) sendiri memang belum terungkap semua. Biasanya kejahatan ini tersembunyi di mana ketika ayah, ibu atau anggota keluarga di rumah melakukan kekerasan dan menganggap ini hal biasa, atau takut akan melaporkan karena dianggap membuka aib. Terkuak nya kasus-kasus yang ada, rata-rata
setelah luka pada tubuh anak ketika dibawa berobat atau anak tersebut meninggal. Kekerasan pada anak dapat terjadi karena berbagai faktor atau mungkin saja beragam kejadian tersebut tera kumulasi dan dengan adanya faktor pencetus sedikit saja, mereka lantas melakukan kekerasan. Pencetus yang sering terjadi salah satunya adalah tangisan anak yang tanpa henti dan kenakalan anak. tahun terakhir banyak pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekera san pada anak, dan beberapa di Antara nya bahkan sampai meninggal dunia.
menjadi korban kekerasan seksual dari orang terdekat mereka seperti orang tua kandung/tiri/angkat, guru, paman, kakek dan tetangga. Data statistik tersebut, ditambah dengan data-data tentang jumlah kasus penculikan anak, kasus perdagangan anak, anak yang terpapar asap rokok, anak yang menjadi korban peredaran narkoba, anak yang tidak dapat mengakses sarana pendidikan, anak yang belum tersentuh layanan kesehatan dan anak yang tidak punya akta kelahiran, memperjelas gambaran muram tentang pemenuhan hak-hak anak Indonesia. Kenakalan anak adalah hal yang paling sering menjadi penyebab kemarahan orang tua, sehingga anak menerima hukuman dan bila disertai emosi maka orangtua tidak segan untuk memukul atau melakukan kekerasan fisik. Bila hal ini sering dialami oleh anak maka akan menimbulkan luka yang mendalam pada fisik dan batinnya. Sehingga akan menimbulkan kebencian pada orang tuanya dan trauma pada anak. Akibat lain dari kekerasan anak akan merasa rendah harga dirinya karena merasa pantas mendapat hukuman sehingga menurunkan prestasi anak
disekolah atau hubungan sosial dan pergaulan dengan teman-temannya menjadi terganggu, hal ini akan mempengaruhi rasa percaya diri anak yang seharusnya terbangun sejak kecil. Apa yang dialaminya akan membuat anak meniru kekerasan dan bertingkah laku agresif dengan cara memukul atau membentak bila timbul rasa kesal didalam dirinya. Akibat lain anak akan selalu cemas, mengalami mimpi buruk, depresi atau masalah-masalah disekolah. Derivasi kekerasan bukan lagi dominasi jalanan, atau di negara penuh konflik dengan rasio kemiskinan yang tinggi. Di beberapa wilayah Indonesia, keluarga juga terkadang menjadi pemicu obsesif akan tingkah laku kekerasan pada anak. Keluarga sebagai tempat teraman yang semestinya menyediakan perasaan aman yang paling dasar bagi anak, berubah menjadi tempat dengan lingkaran kekerasan yang menakutkan. Berdasar kan data Komnas
kasus yang ada. Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85% atau sebanyak 12 kasus. Ibu tiri (2 kasus atau 0,98%), ayah tiri (2 kasus atau 0,98%). Bahkan berdasarkan riset dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebutkan, perempuan ternyata lebih banyak melakukan kekerasan terhadap anak dengan prosentase sebesar 60 persen dibanding laki-laki. Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tersendiri bagi kelangsungan generasi penerus bangsa, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mencegah serta mengurangi kekerasan terhadap anak.
Keberadaan Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulih kan kembali fisik, psikis dan sosial anak.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.
Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persi-dangan, pada kenyataannya ada beberapa pelaku yang mengaku bahwa pernah mengalami tindakan pelecehan seksual ketika pelaku masih berusia anak.
CONTOH KASUS KEKERASAN TERHADAP ANAK
Tahun 2018, Tomohon Koleksi 68 Kasus Kekerasan Anak Tingkat kenyamanan dan keamanan anak di Kota Tomohon perlu diperhatikan. Pasalnya, meski mencatatkan penurunan dari jumlah kejadiannya, jalannya kelangsun-gan hidup anak masih dihantui
Baik fisik, seksual hingga verbal. Tahun 2018 lalu, ada kurang lebih 68 kasus kekerasan menimpa anak-anak di Kota Bunga.
Dikatakan Kepala Dinas Pemberdaya an Perempuan dan Per lindungan Anak (P3A) Daerah Kota Tomohon dr. Olga Karinda, berbagai kasus menyangkut kehidupan anak-anak terjadi sepanjang tahun lalu. "Mulai dari kekerasan fisik, mental, penelantaran (lengkap lihat grafis, red) dan lain-lain," ungkap Karinda.
Kata dia, upaya menekan angka kekerasan tersebut. Mencari dilakukan pihaknya, dengan menggandeng sejumlah organisasi. Baik swasta maupun bentukan atas inisiasi Dinas P3A Kota Tomohon. "Ada satgas dan organisasi yang langsung kita terjun kan untuk berkoordinasi dengan pihak penegak hukum. Ada pendampingan bagi anak-anak putus sekolah, korban keluarga yang tidak harmonis hingga korban penelantaran," sebutnya. Semen tara itu Akademisi sekaligus Aktivis Perlindungan Anak DR. Ruth Umbase, M.Hum mengatakan, berdasar kan penelitian di lapangan. Mayoritas pelaku
kekerasan adalah orang dekat dari korban. Ataupun murni karena minimnya pengawasan anak, utamanya di luar rumah dan jam sekolah. "Bisa diperhatikan lebih lagi, dengan siapa anak kita bermain dan bergaul. Karena predator anak itu ada di mana-mana. Khusus untuk anak usia remaja, diupayakan sedari dini untuk diedukasi soal pendidikan seks, jangan malu dan tabu lagi. Ini tugas dan tanggungjawab kita sebagai orang tua," serunya.
Umbase menambahkan, dari rentang usia yang sering jadi korban. Yakni, usia remaja 8-14 tahun, serta sejumlah kasus juga menimpa anak balita. "Pemerkosaan terhadap bayi yang dilakukan pamannya sendiri hingga meninggal. Maka dari itu kita semu harus lebih berhati-hati lagi dan lindungi anak dari konten-konten pornografi." tutupnya
KEKERASAN ANAK MENJADI SUATU TINDAKAN KEJAHATAN
maupu mental. Oleh para ahli, pengerti an kekerasan terhadap anak ini banyak definisi yang berbeda-beda. Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsun gan hidup,martabat atau perkem bangannya, tindakan kekerasan diper oleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Kenapa kekerasan termasuk kejahatan sebab kekerasan sudah diatur di UU indonesia sebagai kejahatan Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.
Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak (korban kejahatan) dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Karena berdasarkan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, pada kenyataannya ada beberapa pelaku yang mengaku bahwa pernah mengalami tindakan pelecehan seksual ketika pelaku masih berusia anak. Oleh karenanya, keberadaan undang-undang ini semoga menjadi harapan baru dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Berikut adalah beberapa poin penting dalam undnag-undang tersebut.
DAMPAK KEKERASAN TERHADAP ANAK
adalah suatu kondisi yang nyata dan sering terjadi dalam kenyataannya, bahkan merupakan kasus yang lebih banyak terjadi daripada yang dilaporkan di permuka an.
Salah satu penyebab kurangnya laporan kekerasan anak daripada yang sebenarnya terjadi adalah karena seringkali kekerasan secara emosional bukanlah merupakan hal yang dilaporkan terjadi, karena dianggap akibatnya tidak senyata kekerasan fisik. Padahal kekerasan fisik maupun ke -kerasan secara emosional yang dialami anak akan mendatangkan akibat yang sama merusaknya bagi perkembangan anak di masa depannya.
Konsekuensinya dapatmen dating kan berbagai dampak negatif bagi perkembangan anak secara psikologis dan secara fisik.
Perkembangan emosi anak usia dini dan tahap perkembangan afektif anak usia dini pun akan sangat terpengaruh. Dampaknya pun bisa mendatangkan trauma yang berke panjangan sehingga anak tidak menikmati masa kecilnya walaupun telah mendapatkan pertolongan yang
tepat. Trauma tersebut juga akan akan terbawa hingga dewasa, karena dampak kekerasan seperti ini biasanya akan menunjukkan dirinya dalam waktu yang lama, dan tidak segera terlihat seketika itu juga.
Saat ini mungkin Anda tidak akan melihat apa akibat kekerasan pada anak, namun dampaknya akan terlihat seiring pertumbuhan usia anak dan juga perkembangan psikologisnya.
Berikut ini adalah beberapa dampak kekerasan pada anak yang perlu diketahui sejak dini agar tidak mengganggu psikologisnya saat beranjak dewasa.
2. Melakukan kekerasan
Akibat dari kekerasan yang dialami bukan hanya menjadi korban semata, namun anak yang juga menjadi korban kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan tersebut. Misalnya, ada penelitian yang mengungkap bahwa perilaku membully justru banyak dilakukan oleh mereka yang dulunya pernah menjadi korban bullying, dan kemungkinan itu sangat tinggi.
3. Rendahnya kepercayaan diri
Kepercayaan diri anak yang rendah seringkali disebabkan oleh ketakutan akan melakukan sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi. Hal ini akan menyebabkan perkemban gan anak terhambat. Anak akan sulit menunjukkan sikap inisiatif dalam memecahkan masalah, bahkan men galami kesulitan bergaul.
4. Mengalami trauma
Kekerasan yang dialami anak akan menimbulkan luka hati dan juga trauma pada anak. Dampaknya dalam kehidupan anak selanjutnya akan sangat besar, salah satunya depresi, stress, dan
gangguan psikologis lainnya yang dapat mengganggu kehidupan sosial serta aktivitas sehari – hari. Anak juga akan menjadi takut tehadap segala bentuk kekerasan, bahkan yang terkecil sekalipun, misalnya suara – suara keras, pembicaraan bernada tinggi, dan lain – lain.
5. Perasaan tidak berguna
Anak- anak yang sering mengalami kekerasan dapat mengembangkan perasaan tidak berguna di dalam dirinya. Bukan hanya itu, namun juga adanya perasaan tidak bermanfaaat dan tidak bisa ditolong akan berkembang dalam kejiwaan anak. Pada akhirnya, anak akan menjadi pendiam, mengucilkan diri dari lingkungannya, dan tidak bergaul dengan teman sebayanya karena merasa hal tersebut lebih nyaman.
6. Bersikap murung
pendiam, pemurung, mudah menangis. Ia juga sama sekali tidak menunjukkan raut wajah yang ceria dalam keadaan yang menyenangkan sekalipun. Ketidak mampuan anak untuk mencari cara menghilangkan beban pikiran dengan efektif lah yang akan menghilangkan perasaan positif dari dirinya.
7. Sulit mempercayai orang lain
Anak yang mengalami kekerasan merasa kehilangan figur orang dewasa yang bisa melindunginya, karena itulah sedikit demi sedikit kepercayaannya kepada orang lain akan mulai terkikis, dan anak akan sulit menaruh kepercayaan dan keyakinan pada orang lain lagi. Ia akan menganggap tidak ada orang yang bisa diandalkan untuk memberikan perlindungan kepadanya, karena itulah maka tidak ada orang yang layak untuk dipercaya oleh anak.
8. Bersikap agresif
Sikap agresif juga dapat ditunjukkan anak korban kekerasan sebagai hasil peniruan dari apa yang disaksikannya sehari – hari. Anak akan belajar bahwa sikap yang penuh kekerasan itu adalah
sikap yang membuat seseorang menjadi kuat.
9. Depresi
Sikap murung anak yang berlanjut lambat laun bisa mengarah kepada depresi. Kehilangan kemampuan untuk merasa bahagia perlahan akan meningkatkan perasaan yang buruk dan depresif sehingga anak akan selalu dipengaruhi oleh perasaan yang negatif, tanpa adanya keinginan untuk berpikir positif untuk meningkatkan semangat di dalam dirinya. Anak juga dapat menderita gangguan kecemasan akut serta depresi kronis.
10. Sulit mengendalikan emosi
Kecenderungan anak yang menderita kekerasan untuk merasa kurang percaya diri dan tidak mempercayai orang dawasa, umumnya tidak dapat mengungkapkan perasaannya dengan benar. Anak kesulitan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya sehingga mengalami kesulitan dalam mengen dalikan atau menunjukkan emosinya sendiri kepada orang lain.
Tekanan akibat kekerasan yang diterima anak juga dapat merusak kemampuan anak untuk berkonsentrasi dan fokus terhadap suatu hal. Misalnya, terhadap kegiatan sekolah dan pelajaran sekolahnya. Bisa saja minat dan bakat anak yang tadinya tampak besar dan menjanjikan akan menghilang secara drastic seiring dengan penurunan kemampuannya untuk berkonsentrasi.
12. Luka, cacat fisik atau kematian Tanda – tanda kekerasan fisik yang dilakukan pada anak bisa berupa memar, bengkak, keseleo, patah tulang, lukaa bakar, perdarahan dalam, luka pada area kelamin, kurangnya kebersihan dan ppenyakit menular seksual serta banyak lagi yang tidak semuanya dapat langsung dilihat dengan jelas. Sudah pasti anak korban kekerasan akan enggan untuk memberi tahu orang lain mengenai hal yang dialaminya.
Biasanya anak takut jika pelaku mengetahuinya, kekerasan yang terjadi akan berlangsung lebih buruk, serta tidak ada orang yang bisa dipercaya.
Kekerasan fisik yang berlangsung dalam waktu lama bisa menyebabkan anak mengalami cacat fisik atau bahkan resiko kematian ketika luka fisiknya telah menjadi sangat parah.
13. Sulit tidur
Tekanan pikiran yang dialami anak akan berlanjut hingga mempengaruhi pola tidur anak. Anak akan mengalami kesulitan tidur dan bahkan bermimpi buruk sebagai hasil dari beban pikiran yang disimpan di bawah sadarnya. Apabila anak kerap bermimpi buruk yang sukar dijelaskan penyebabnya, waspadalah karena bisa saja anak sedang mengalami suatu tinadk kekerasan pada saat itu yang tidak diketahui oleh Anda.
14. Gangguan kesehatan dan partum buhan
mengalami gangguan penglihatan pendengaran, gangguan berbahasa, men-galami perkembangan otak yang terbelakang.
15. Memiliki kebiasaan buruk
Stres yang dirasakan anak sejak kecil dapat membawanya memiliki kebiasa an buruk yang dilakukan untuk mengalih kan pikirannya dari stres tersebut Misalnya, merokok, mengguna kan obat – obatan terlarang, ketergan tungan alkohol memilih lingkungan pergaulan yang buruk, melakukan seks bebas, dan banyak lagi yang dilakukan sejak usia dini apabila tidak ada pertolongan untuk anak korban kekerasan.
16. Kecerdasan tidak berkembang
Kekerasan dapat menekan proses tumbuh kembang anak. Perkembangn IQ anak akan cenderung menjadi statis dan bahkan tingkat IQ bisa mengalami penurunan. Perkembangan kognitif anak pun akan memburuk dan tidak seperti yang seharusnya. Dengan kata lai, kondisi kecerdasan anaak akan terhambat dengan kekerasan yang dialami anak secara terus menerus.
17. Menyakiti diri sendiri atau bunuh diri Anak – anak yang mengalami kekerasan tidak dapat membela diri ataupun mencari pertolongan kepada orang lain. Ketidak mampuan mereka untuk mencari pertolongan tersebut akan menggiring anak kepada situasi dimana mereka sanggup menyakiti diri sendiri sebagai tindakan meminta tolong. Misalnya, mengiris dirinya sendiri dngn maksud menimbulkan luka fisik. Atau bahkan melakukan percobaan bunuh diri karena sudah merasa sangat putus asa.
kondisi anak, mengetahui bagai -mana depresi dalam psikologi, ciri – ciri depresiberat, tanda–tandadepresi
sebenarnya untuk mencari tanda – tanda yang tidak biasa agar anak terhindar dari masalah kekerasan tersebut.
REGULASI TENTANG KEKERASAN ANAK
UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memuat tindak pidana yang dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang dalam memeriksa perkara anak yang berhadapan dengan hukum melakukan tindak kekerasan atau penyiksaan terhadap anak. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) sebagaimana tersebut di bawah ini :
Pasal 80
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”.
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak, mempertegas perlunya pem beratan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak.
kejahatan yang sama. Karena berdasar kan fakta yang terungkap pada saat pelaku kejahatan terhadap anak (terutama pelaku kejahatan seksual) diperiksa di persidangan, pada kenyataan nya ada beberapa pelaku yang mengaku bahwa pernah men galami tindakan pelecehan seksual ketika pelaku masih berusia anak.
Oleh karenanya, keberadaan undang-undang ini semoga menjadi harapan baru dalam melakukan perlindungan terhadap anak. Berikut adalah
beberapa poin penting dalam undnag-undang tersebut.
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamindan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 76 E UU
Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
C. ANALISIS KASUS
KEKERASAN TERHADAP ANAK
DALAM PERSPEKTIF TEORI
EVOLUSIONER OLEH ( Andez, 2006 )
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental. Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak.
Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
masyarakat formal yang bertemu di luar rumah.
Sedangkan Yusuf.C.D 2003 merumuskan Berdasarkan Konsep
Deviant Career mengacu kepada sebuah tahapan ketika sipelanggar aturan (penyimpang) memasuki atau telah menjadi devian secara penuh (outsider). Kai T. Erikson dalam Becker (9 Januari 2005) menyatakan bahwa penyimpangan bukanlah suatu bentuk perilaku inheren, tetapi merupakan pemberian dari anggota lingkungan yang mengetahui dan menyaksikan tindakan mereka baik langsung maupun tidak langsung. Konsep ini secara tidak lansung di dukun oleh Teori Pembelajaran Sosial (Social
Learning Theory): menurut teori ini, kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh faktor situasional dan kontekstual. Faktor
Kontekstual misalnya berupa karakteristik individu/pasangan, stres, kekerasan dalam keluarga atau kepribadian yang agresif. Sedangkan
faktor situasional dapat berupa bentuk substansi kekerasan dan kesulitan keuangan. Teori ini juga memperluas faktor-faktor ini sebagai pengaruh pertumbuhan anak yang dikombinasi kan dengan faktor eksternal.
D. PENUTUP KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dan kejahatan terhadap anak masih banyak terjadi di Indonesia. Kekerasan dan kejahatan yang sering kali menimpa anak dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti keluarga, teman, dsb.
Pningkatan kasus-kasus di atas selama ini dianggap sebagai masalah
privat sehingga tidak layak diketahui publik. Namun, berbagai sosialisasi kemudian mulai mengubah persepsi masyarakat yang melihat sebagai masalah public sehingga di bawa ke lembaga-lembaga public seperti P2TP2A.
SARAN
kasus serupa tidak terjadi lagi. Penegak kan hukum harus dilakukan bagi pelaku kekerasan atau kejahatan anak.
Disamping itu peran orang tua juga sangat penting dalam menjaga dan mendidik anak, agar anak bisa terhindar dari segala bentuk yang dapat mengancam dirinya. Peran pemerintah dan guru juga harus lebih digalakkan lagi dalam melindungi anak anak yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Pada hakikatnya sebuah bangsa yang besar dan kuat tidak terlepas dari regenerasi yang baik. Penanganan korban berdasarkan isu kekerasan pada anak harus diakhiri dengan membangun system perlindungan anak, dan perhatian masyarakat terhadap isu anak. Gugus depan tugas yang begitu banyak mestinya digabung kan menjadi satu karena pada tingkat operasional di lapangan, koordinasi perlindungan anak di dinas juga perlu di perjelas ruang lingkup permasalahan yang ditangani. Kejelasan ini sangat perlu untu kmemperlancar koordinasi dengan lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan anak, terutama korban.
DAFTAR PUSTAKA Jurnal
Kobandaha M: Perlindungan Hukum Terhadap ANAK Vol. 23/No. 8 Jurnal Hukum Unsrat.
Ivo Noviana Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI. .
Jenny Ricca S Impelementasi Kebijakan Perlindungan Anak Di Kota Pekanbaru
Riris Eka Setiani Pendidikan Anti Kekerasan Untuk Anak Usia Dini: Konsepsi dan Implementas inya.
Mulyana, Nandang, Risna Resnawaty, Gigin Basar. Penanganan Anak Korban Kekerasan.Bandung: Widya Padjadjaran, 2017
Rahmat, Anak Korban Kekerasan. Laporan Penelitian. Bandung: Universitas Padjadjaran, 2016, Abdulla ,N. (2010) Kekerasan pada
Hurlock, elizaberth B. (1998) Prikologi Perkembangan Suatu Perkemban gan Sepanjang Rentang Kehidupan
(Ed.5) Jakara Erlangga