• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

7 A. Persepsi ibu

1. Definisi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan. Proses selanjutnya merupakan proses persepsi, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi (Walgito, 2002).

Persepsi adalah proses menangkap arti obyek-obyek dan kejadian-kejadian yang dialami dalam lingkungan kita. Manusia bersifat emosional, sehingga penilaian terhadap mereka mengandung resiko. Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda mengenai realitas di sekelilingnya (Mulyana, 2005).

Manusia secara umum menerima informasi dari lingkungan lewat proses yang sama, oleh karena itu dalam memahami persepsi harus ada proses dimana ada informasi yang diperoleh lewat memory organisme yang hidup. Fakta ini memudahkan peningkatan persepsi individu, adanya stimulus yang mempengaruhi individu yang mencetus suatu pengalaman dari organisme, sehingga timbul berpikir yang dalam proses perceptual merupakan proses yang paling tinggi (Mulyana, 2005).

Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indera. Alat indera ini meliputi mata sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengar, hidung sebagai alat pembau, lidah sebagai alat pencecap, kulit pada telapak tangan sebagai alat peraba. Kesemuanya itu merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964 dalam Walgito, 2002).

(2)

Stimulus yang diindera kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi (Davidof, 1981 dan Walgito, 2002). Selanjutnya menurut Moskowits dan Orgel (1969 dalam Walgito, 2002) menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu.

Walgito (2002) juga menyebutkan bahwa persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dari dalam individu sendiri. Namun demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui bermacam-macam alat indera tetapi sebagian besar persepsi melalui indera penglihatan.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dinyatakan bahwa persepsi ibu adalah cara pandang ibu terhadap suatu masalah yang didapatkan dari stimulus yang diterima oleh indera sehingga menjadikan suatu respon tertentu.

2. Faktor-faktor persepsi

Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi, ada beberapa faktor yang dapat dikemukakan, (Walgito, 2002) yaitu : a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.

b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan saraf

Reseptor atau alat indera merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga haus ada saraf sensoris sebagai alat untuk

(3)

meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

c. Perhatian

Usaha untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari selluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.

Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati pada objek yang sama. Persepsi merupakan bentuk dari perilaku manusia.

Setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda meskipun mengamati pada objek yang sama. Persepsi merupakan bentuk dari perilaku manusia. Persepsi sebagai suatu bentuk perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: a. Faktor predisposisi (Predisposing factor)

Antara lain pengetahuan dan sikap terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentunya perilaku seseorang.

b. Faktor pemungkin (Enable factor)

Faktor pemungkin yaitu ketersediaan sarana dan prasarana dalam hal ini berbagai macam sarana yang dapat memberi penjelasan kepada orangtua tentang bahaya kekerasan pada anak serta cara tepat dalam mendidikan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pada anak..

c. Faktor penguat (Reinforcing factor)

Faktor penguat yaitu sikap dan perilaku dari orang-orang yang ada disekitar, dalam hal ini dapat diartikan orangtua, saudara, kerabat dan tetangga sehingga mampu membentuk ibu dengan kepribadian yang baik dan memberi pengasuhan yang terbaik pada anak.

(4)

Menurut Rahmat (2005) faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi iadalah:

a. Pengalaman seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki persepsi.

b. Motivasi motivasi yang sering mempengaruhi persepsi interpersonal adalah kebutuhan untuk mempercayai “dunia yang adil” artinya kita mempercayai dunia ini telah diatur secara adil.

c. Kepribadian dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk mengeksternalisasi pengalaman subyektif secara tidak sadar, orang mengeluarkan perasaan berasalnya dari orang lain.

3. Proses terjadinya persepsi

Proses terjadinya persepsi dapat dijelaskan sebagai berikut. Objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Perlu dikemukakan bahwa antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanan tersebut.

Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealamanan atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensorik ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, 2002).

(5)

B. Kekerasan pada anak 1. Pengertian

Kempe, dkk (1962) dalam Soetjiningsih (2005) mendefisinikan kekerasan pada anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak.Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih, 1995) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.

Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005) membuat definisi yang lebih luas yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau pengasuhnya.

David Gill (dalam Sudaryono, 2007) mengartikan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak, dimana hal ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak tentunya tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, seperti penganiayaan, pembunuhan, maupun perkosaan, melainkan juga kekerasan non fisik, seperti kekerasan ekonomi, psikis, maupun kekerasan religi.

Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan pada anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya, tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan pada anak adalah perilaku salah baik dari orangtua, pengasuh dan lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik yang termasuk

(6)

didalamnya adalah penganiayaan, penelantaran dan ekspoitasi terhadap anak.

2. Klasifikasi

Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu (Soetjiningsih, 1995). a. Dalam keluarga 1) Penganiayaan fisik 2) Kelalaian/penelantaran anak 3) Penganiayaan emosional 4) Penganiayaan seksual 5) Sindrom munchausen b. Diluar keluarga 1) dalam institusi/lembaga 2) di tempat kerja 3) di jalan 4) di medan perang

Bukan tidak mungkin anak-anak ini mendapat perlakuan salah lebih dari satu macam perlakuan tersebut di atas. Demikian pula perlakuan salah ini dapat diperoleh dalam keluarga dan di luar keluarga.

3. Bentuk perlakuan salah pada anak

Bentuk perlakuan salah pada anak terbagi sebagai berikut (Soetjiningsih, 1995 dan Lidya, 2009) :

a. Penganiayaan fisik

Penganiayaan ini termasuk cedera fisik sebagai akibat hukuman badan diluar batas, kekejaman atau pemberian racun.

b. Kelalaian

Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi. Bentuk kelalain ini antara lain 1) pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh, akan merasa kehilangan kasih sayang, gangguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan. 2) pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak

(7)

mengalami resiko untuk terjadinya trauma fisik dan jiwa. 3) Kelalaian dalam mendapatkan pengobatan meliputi : kegagalan merawat anak dengan baik misalnya imunisasi, atau kelalaian dalam mencari pengobatan sehingga memperburuk penyakit anak. 4) kelalaian dalam pendidikan yang meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu berinteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.

c. Penganiayaan emosional

Penganiayaan ini ditandai dengan kecaman kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering kali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan anak dari lingkungan atau hubungan sosial atau menyalahkan anak secara terus menerus. Penganiayaan emosi seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.

d. Penganiayaan seksual

Mengajak anak untuk melakukan aktivitas seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dimana anak tidak memahami atau tidak bersedia.

e. Sindrom Munchausen

Sindrom ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.

Menurut (Sudaryono, 2007) membagi bentuk kekerasan pada anak yang diatur dalam UU KDRT menjadi melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga, melakukan kekerasan psikis dalam rumah tangga, melakukan kekerasan seksual, dan menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun yang jelas kekerasan itu dapat mengenai anak, karena dalam keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak.

(8)

4. Faktor-faktor resiko

Delsboro (dalam Soetjiningsih, 2005) menyebutkan perlakuan salah terhadap anak adalah sebagai akibat dari pelepasan tujuan hidup orangtua, hubungan orangtua dengan anak tidak lebih dari hubungan biologi saja. Kehidupan orangtua sebagian besar diliputi pelanggaran hukum, penyalahgunaan penghasilan, pengusiran berulang, penggunaan alkohol yang berlebihan, dan keadaan rumah yang menyedihkan. Orangtua seperti ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya sendiri. Mereka menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa frustasinya, ketidaktanggungjawabannya, ketidak berdayannya dan sebagainya. Orang tua seperti kasus di atas, lebih sering menganiaya anak yang lebih besar, karena pada umumnya mereka lebih mawas terhadap sesuatu perbedaan dengan orangtua mereka, sehingga seolah-olah anak tersebut melawan orangtuanya. Anak yang dianiaya tersebut tampak oleh penganiaya sebagai saingan atau penghalang yang harus dihancurkan atau paling tidak harus disakiti.

5. Tanda dan gejala pada anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual Anak yang mengalami kekerasan fisik dan seksual akan memperlihatkan tanda-tanda sebagai berikut (Soetjiningsih, 2005) :

a. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya memar, nyeri perineal, sekret vagina dan nyeri serta perdarahan anus.

b. Tanda gagguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis,enkopresis, anoreksia atau perubahan tingkah laku.

c. Tingkah laku atau perilaku seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.

6. Akibat kekerasan pada anak terhadap tumbuh kembang

Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah pada umumnya lebih lambat daripada anak yang normal, yaitu (Soetjiningsih, 2005) :

a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.

(9)

b. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yang meliputi : 1) Kecerdasan

a) Berbagai penelitian melaporkan keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.

b) Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.

c) Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh lingkungan anak, dimana tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.

2) Emosi

a) Terjadi gangguan emosi pada perkembangan konsep diri yang positif dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk untuk percaya diri.

b) Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum dan sebagainya.

3) Konsep diri

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelak, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktivitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri. 4) Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah secara badan, lebih agresif trehadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri. 5) Hukuman sosial

Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit

(10)

teman, dan suka mengganggu orang dewasa misalnya dengan melempari batu, atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.

Menurut Lidya (2009), dampak lain dari kekerasan pada anak secara umum adalah :

a. Anak berbohong, ketakutan, kurang dapat mengenal cinta atau kasih sayang, sulit percaya dengan orang lain.

b. Harga diri anak rendah dan menunjukkan perilaku yang destruktif. c. Mengalami gangguan dalam perkembangan psikologis dan interaksi

sosial.

d. Pada anak yang lebih besar anak melakukan kekerasan pada temannya dan anak yang lebih kecil.

e. Kesulitan untuk membina hubungan dengan orang lain.

f. Kecemasan berat atu panik , depresi anak mengalami sakit fisik dan bermasalah disekolah.

g. Harga diri anak rendah.

h. Abnormalitas atau distorsi mengenai pandangan terhadap seks. i. Gangguan Personality.

j. Kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain dalam hal seksualitas.

k. Mempunyai tendency untuk prostitusi.

l. Mengalami masalah yang serius pada usia dewasa 7. Tujuan orangtua melakukan perilaku kekerasan

Orang tua memukul anak adalah kejadian yang sering kita temui sehari-hari. Suatu hal yang dikatakan lumrah bila bertujuan untuk mendidik anak. Bagi orang tua cara mendidik anak adalah hak prerogratif mereka. Terserah mereka bagaimana caranya.

Saat ini sebagian besar orang meyakini bahwa manusia memiliki tiga entitas yang saling mempengaruhi. Yakni akal pikiran, hati nurani, dan raga. Tiga entitas tersebut memiliki fungsi masing-masing. Akal pikiran untuk berpikir, hati nurani untuk merasa dan raga untuk bertindak.

(11)

Berdasarkan hati nurani dan akal pikiranlah yang membuat raga dapat bertindak. Termasuk tindakan untuk mendidik anak.

Tiap orang tua untuk mendidik anak memiliki cara masing-masing. Bagi kebanyakan orang tua memilih sistem reward and punishment. Bila anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik. Orang tuapun puas bila anak berhasil dijinakkan.

Ginott (2001) memperingatkan orang tua akan besarnya pengaruh ancaman yang dilontarkan kepada anak. Anak-anak sangat takut apabila tidak dicintai atau ditinggalkan oleh orang tuanya. Sehingga ancaman akan meninggalkan anak, secara bergurau maupun dengan marah dapat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Tetapi kadang orang tua menjadi lepas kendali, hukuman fisik yang diberikan berlebihan. Hal inilah yang sering kita temui pada media massa. Anak disundut rokok, diseterika ataupun hukuman fisik lain yang meminta perhatian masyarakat umum. Siksaan fisik yang merupakan bagian dari kekerasan pada anak. Tentu saja bagi orang yang memiliki hati nurani, spontan mengatakan bahwa hal ini merupakan masalah moral dan hukum. Suatu hal yang mesti ditindak dan dicegah untuk berulang di kemudian hari.

Berbeda kasus ekstrem itu dengan bila anak ”hanya” dicubit ataupun dipukul pipinya. Suatu hal yang masih ditolerir oleh masyarakat. Karena bagi masyarakat mendidik anak dengan hukuman fisik adalah efektif. Tujuannya adalah membuat anak menjadi disiplin. Hal inilah yang menjadikan kekerasan pada anak menjadi daerah abu-abu. Di satu sisi merupakan pelanggaran hak anak tetapi di lain pihak masyarakat merasakan manfaatnya.

(12)

Ditinjau dari segi akal pikiran maka sesuatu yang rasional bila kita melakukan hal yang mendekati harapan kita. Usaha mendidik anak, orang tua memiliki harapannya masing-masing. Anak menjadi tidak nakal ataupun menjadi disiplin. Akan tetapi mengapa orang tua banyak memilih hukuman fisik untuk mencapai harapannya. Mungkin hal ini dikarenakan pendidikan tradisional yang masyarakat anut. Penggunaan kekerasan dalam mendidik anak sudah berakar di masyarakat Indonesia sebagai suatu yang sah. Pendidikan tradisional tersebut kemudian menjadi kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi lingkaran. Anak yang mengalami kekerasan akan cenderung melakukan hal yang sama terhadap anaknya dan begitu seterusnya.

Anak dapat menjadi frustasi akibat hukuman fisik yang diberikan. Hal ini dapat terjadi bila anak tidak mengerti mengapa dirinya diberikan hukuman fisik tersebut. Terutama bila anak diminta bertentangan dengan proses perkembangannya. Misalnya saja, anak yang berbuat salah dalam tugas yang diberikan oleh orang tua maka langsung saja dipukul. Padahal anak sedang dalam proses pembelajaran, yang kadang bila salah merupakan suatu hal yang wajar. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dapat membuat anak menjadi frustasi yang selanjutnya anak menjadi kebal. Anak cenderung membiarkan dirinya dihukum dari pada melakukannya (Solihin, 2004).

8. Upaya pencegahan kekerasan pada anak

Upaya pencegahan tindak kekerasan pada anak yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain :

a. Evaluasi diri mengenai pandangan orangtua tentang anak, apakah sudah tepat dan apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk anaknya.

b. Diskusi dan berbagi, dengan orang lain untuk mengetahui seberapa baik dan tepat perlakuan dan pandangan orangtua pada anak.

c. Perbanyak pengetahuan, pengetahuan yang tepat dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan sehingga orangtua mampu meletakkan

(13)

pandangan kita mengenai anak secara lebih tepat sehingga kita tidak akan terkungkung oleh pandangan yang belum tentu benar.

d. Peka terhadap anak. Kepekaan terhadap anak akan membuat orangtua bersegara melakukan tindakan apabila kita mendapati anak menjadi korban kekerasan baik oleh anggota keluarga sendiri atau orang lain. e. Hubungi lembaga yang berkompeten. Sekarang banyak lembaga yang

bergerak dibidang hukum, perlindungan anak dan aparat pemerintah atau penegak hukum yang bisa membantu menghadapi kekerasan pada anak.

C. Masa Kanak-kanak 1. Pengertian

Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa terpanjang dalam rentang kehidupan dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira tiga belas tahun untuk wanita dan empat belas tahun untuk pria (Hurlock, 1999).

Selama periode yang panjang ini terjadi sejumlah perubahan yang mencolok baik secara fisik maupun psikologis. Karena tekanan budaya dan harapan untuk menguasai hal-hal tertentu pada usia tertentu itu berbeda pada usia yang lain, maka anak pada awal masa kanak-kanak agak berbeda dengan anak pada akhir periode ini.

2. Batasan usia anak

Masa anak-anak ini dimulai sejak melewati masa bayi, yaitu berkisar antara usia 2 tahun hingga 13 tahun (Hurlock, 1999). Masa anak-anak dibagi menjadi :

a. Masa awal anak-anak

Periode ini berlangsung dari usia 2 tahun hingga 6 tahun. Sering kali orangtua menganggap masa awal anak-anak adalah usia mainan. Hal

(14)

ini terjadi karena seringkali anak lebih mudah menghabiskan waktunya dengan mainannya.

b. Akhir masa anak-anak

Periode ini berlangsung dari akhir usia 6 tahun hingga usia menjadi 12 atau 13 tahun yaitu ditunjukkan dengan mulai matangnya organ-organ seksual anak. Pada usia ini dimulainya anak memasuki usia sekolah. Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupan anak. Penyesuaian diri dengan tuntutan dan harapan baru dari kelas menyebabkan banyak anak yang berada dalam keadaan yang tidak seimbang. Anak mengalami gangguan emosional sehingga sulit untuk hidup bersama dan bekerja sama.

3. Tumbuh kembang anak

Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk didalamnya adalah perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih, 200).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/individu, walaupun demikian keduanya akan terjadi secara sinkron pada setiap individu.

(15)

4. Faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang

Secara umum terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, yaitu (Soetjinigsih, 2005):

1. Faktor genetik

Faktor genetik merupakan modal dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Hal yang termasuk faktor genetik adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin dan suku bangsa.

2. Faktor lingkungan

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya. Secara garis besar lingkungan ini dibagi menjadi faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam kandungan, dan faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah lahir.

Selanjutnya, Hurlock (1999) menyatakan bahwa pada masa anak-anak emosi akan sangat kuat. Pada saat ini merupakan masa ketidakseimbangan dalam arti anak akan mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit untuk dibimbing dan diarahkan. Emosi yang tinggi kebanyakan disebabkan oleh masalah psikologis dari pada masalah fisiologis. Orangtua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa hal, padahal anak merasa mampu lebih banyak lagi dan ia cenderung menolak larangan orangtua yang terkadang bagi orangtua yang kurang memahami perkembangan psikologis anak sering melakukan pola asuh yang keras

(16)

dengan berbagai macam bentuk hukuman untuk mendisiplinkan anak (Hurlock, 1999).

5. Tugas perkembangan pada anak-anak

Hal terpenting bagi anak-anak adalah usaha meletakkan dasar-dasar untuk hati nurani sebagai bimbingan untuk perilaku benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai sumber motivasi bagi anak-anak untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai hal yang salah bilamana mereka sudah terlalu besar untuk selalu diawasi orangtua atau pengganti orangtua.

Tugas perkembangan yang paling penting bagi anak-anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orangtua, saedara-saudara kandung dan ornag-orang lain. Hubungan emosional yang terdapat selama masa bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Alasannya adalah karena hubungan dengan orang laindalam masa bayi berdasarkan ketergantungan bayi pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan emosionalnya, terutama kebutuhan kasih saying, tetapi anak-anak harus belajar memberi dan menerima kasih saying. Singkatnya, ia harus belajar terikat keluar daripada terhadap dirinya sendiri (Hurlock, 1999).

6. Pengaruh kekerasan pada pertumbuhan dan perkembangan anak Kekerasan pada anak sering dianggap hal yang wajar karena secara sosial dipandang sebagai cara pendisiplinan anak. Kekerasan pada anak memperoleh perhatian publik lebih serius jika korban tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa kepada anak-anak jumlahnya bertambah banyak, dan menimbulkan dampak yang sangat menyengsarakan anak-anak (Irwanto et al., 2004).

Terjadinya kekerasan dalam keluarga disebabkan oleh pengalaman masa kecil yang berpengaruh pada kepribadian, sikap dan pandangan hidup individu. Orang tua yang pada saat masa kecilnya mempunyai latar belakang mengalami kekerasan cenderung meneruskan pendidikan tersebut kepada anak-anaknya yang disebut "pewarisan kekerasan antar

(17)

generasi". Kondisi seperti ini akan menjadi suatu siklus dimana anak yang dibesarkan dengan kekerasan nantinya juga akan membesarkan anaknya dengan kekerasan.

Anak masih berada pada tahap pertumbuhan dan perkembangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pengalaman yang pernah dialami selama rentang kehidupannya. Optimalisasi tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi pada situasi lingkungan dimana mereka tumbuh. Lingkungan yang tidak kondusif yaitu yang dapat menghambat tumbuh kembang anak sehingga menyebabkan anak tidak dapat tumbuh secara optimal. Salah satu lingkungan yang tidak kondusif pada anak adalah anak yang tumbuh dengan perlakuan dan kekerasan serta peneantaran yang dialaminya (Lidya, 2009).

(18)

D. Kerangka teori

Skema 2.1 Kerangka teori Sumber : Walgito, 2002 E. Variabel penelitian

Variabel penelitian ini adalah persepsi ibu terhadap kekerasan pada anak. Hal ini mengandung arti bagaimana cara pandang ibu mengenai tindakan kekerasan pada anak yang tujuan awalnya adalah memberikan pendidikan untuk mendisiplinkan anak. Variabel dalam penelitian ini, akan dibagi menjadi sub variabel meliputi pengertian kekerasan, alasan ibu melakukan kekerasan, faktor pendorong, dan dampak yang terjadi dari tindak kekerasan yang dilakukan ibu.

Faktor risiko orangtua - rasa frustasi

- tidak tanggung jawab - tidak berdaya

Persepsi ibu tentang kekerasan terhadap anak: Objek yang dipersepsi Alat indera, syaraf, dan

pusat susunan saraf Perhatian Terjadinya kekerasan - Dalam keluarga - Di luar keluarga atau faktor lingkungan Bentuk kekerasan pada

anak - Penganiayaan fisik - Kelalaian - Penganiayaan emosional - Penganiayaan seksual - Sindrom munchausen

Referensi

Dokumen terkait

Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk/tindakan perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, trafiking, penelantaran, eksploitasi

Berdasarkan beberapa pengertian tentang bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan suatu bentuk tindak kekerasan yang bertujuan untuk

a. Eksploitasi, baik ekonomi maupu seksual ; c. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan ; e. Perlakuan salah lainnya. Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan

a. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.. Berbagai penelitian melaporkan keterlambatan dalam

i. Mencegah terjadinya manipulasi usia, eksploitasi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap anak, perdagangan anak, pernikahan dini pengangkatan anak ilegal ataupun tindakan

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi,

1) Peningkatan emosional pada masa remaja awal dikenal sebagai masa strom dan stress. Peningkatan emosional ini hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang

2001- 2004 Pembuatan dan pemeliahraan hutan rakyat Peningkatan pendapatan rakyat 2004-2009 KMDN Kampanye pembinaan cinta lingkungan bagi anak-anak 2005-2009 GNRHL/GERHAN