• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN RUMAH TOKO MENJADI RUMAH PERIBADATAN (STUDI DI KOTA SAMARINDA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN RUMAH TOKO MENJADI RUMAH PERIBADATAN (STUDI DI KOTA SAMARINDA)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 4 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN

RUMAH TOKO MENJADI RUMAH PERIBADATAN

(STUDI DI KOTA SAMARINDA)

Kukuh Sanubari Hantoro1 (Kukuh.Sanubari@yahoo.co.id)

Mahendra Putra Kurnia2 (mp_sheva@yahoo.co.id)

Irma Suriyani3 (irma_guntur@yahoo.com) Abstrak

Kebebasan menganut agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan itu dijamin UUD 1945, konstitusi tertinggi di Indonesia. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan makin banyak rumah tinggal atau ruko yang digunakan sebagai tempat ibadah, dan sekali lagi hal itu akan menjadi sumber konflik, bukan karena umat beragama bersangkutan tidak mau mengurus izin, tetapi justru izinnya dihambat oleh aparat negara sendiri yang semestinya berdiri di atas semua warganya, artinya bila diklarifikasikan akan tergambar menjadi dua bagian yaitu, memang tidak ada niat karena birokrasi yang sulit dan ada niat mengurus ijin tetapi tidak disetujui. Di wilayah Samarinda Sebrang ada satu rumah toko yang menyebabkan terjadinya konflik, karena tidak adanya izin, akan tetapi masyarakat menjadikan rumah toko tersebut sebagai kegiatan ibadah rutin yang menyebabkan warga muslim sekitar wilayah tersebut tidak setuju, karena tidak sesuai dengan prosedur yang telah ada, yaitu ruko tersebut bukan merupakan rumah ibadah melainkan untuk tempat tinggal dan usaha, Apabila ruko tersebut merupakan suatu rumah ibadah, maka ijin dari bangunan adalah ijin rumah ibadah.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan menggunakan pendekatan pendekatan Nonjudicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai, tanpa campur tangan pengadilan. Pada tipe pendekatan ini peneliti melakukan pengamatan (Observation) langsung terhadap proses berlakunya hukum pada peristiwa tertentu.

1 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2

(2)

Dari penelitian yang dilakukan di ketahui bahwa Perijinan rumah ibadah harus sesuai dengan Peraturan Menteri Bersama Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Akan tetapi apabila tidak sesuai dengan aturan seperti dibuatnya ruko untuk tempat ibadah maka dalam hal ini pemerintah dalam dapat melakukan penertiban disesuaikan dengan aturan yang berlaku yaitu ditutup atau disegel untuk kegiatan keagamaan karena tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

(3)

Pendahuluan

Warga negara Republik Indonesia yang berlatar belakang aneka ragam suku, bahasa, budaya dan agama disebut sebagai bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Untuk mempertahankan dan menciptakan keutuhan kesatuan bangsa yang bhinneka itu, para pemuka-pemuka bangsa telah menetapkan dasar dan tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Salah satu Hak Asasi Manusia yang paling hakiki adalah kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaanya masing-masing. Dalam hal mengenai toleransi beragama, pada Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 disebut Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing dan untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Pada Pasal 28 E Undang-undang Dasar 1945 disebut (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya; memilih pendidikan dan pengajaran dan seterusnya. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani. Pada Pasal 28 J Undang-undang Dasar 1945 dikatakan : setiap orang wajib menghormati hak azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara4. Demikian pula sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat 1 dan 2 undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

Ayat(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

Ayat(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu.

4

(4)

Kebebasan beragama tersebut hidup secara harmonis di masyarakat Indonesia dan saling berdampingan antara satu dengan yang lainnya, tetapi menyadari keyakinan bagi pemeluk agama dan kepercayaannya. Seperti pendapat Pdt. Pangauan Purba, Sm.Th.:5

Setiap penduduk sebagai warga negara diberi kemerdekaan untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Negara tidak hanya melindungi dan memberi kebebasan bahkan mendorong umat beragama untuk memajukan kehidupan agamanya. Perwujudan dari jaminan UUD 1945 itu adalah diakuinya agama-agama yang ada dan hidup di Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu dan Budha. Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional, maka pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupa n beragama. Pembangunan dibidang kehidupan beragama bertujuan agar kehidupan beragama itu selalu kearah yang positif dan menghindari serta mengurangi akses-akses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembanguna n kehidupan beragama, terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama, karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan antar umat beragama.

Berlandaskan pengamalan dan penghayatan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 Kerukunan umat beragama masih terbilang utuh sampai tahun 1950 di tengah-tengah negara ini walaupun ada gerakan segelintir orang yang mau menjadikan negara ini menjadi negara Islam. Adapun di Negara Indonesia banyaknya pembangunan rumah ibadah maupun gedung sekolah dapat berdiri dimana-mana tanpa ada gangguan. Sebab pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat benar-benar berjiwa nasionalis, Pancasilais dan normatif.

5

(5)

Seiring dengan perkembangan jaman modern, nilai-nilai hidup yang berlandaskan Pancasilais dan yang bertatanan kepada UUD 1945 semakin memudar. Hal ini sangat terasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat sekarang ini dimasa Reformasi. Pelaksanaan nilai-nilai pancasila dianggap sebagai penguat dari produk orde baru, sehingga masa kebebasan saat sekarang ini membawa bangsa Indonesia kedalam suasana yang mengarah pada diskriminasi dan intoleransi. Sebagai dalih penerbitan Peraturan Bersama untuk menghindari terjadinya pengrusakan rumah ibadah. Peraturan Bersama itu disebutkan bukan untuk mencegah tetapi dalam prakteknya Peraturan Bersama telah menjadi pemicu konflik antar umat beragama. Fakta-fakta yang terjadi saat ini sangat berbeda dari harapan untuk menciptakan stabilitas kehidupan bangsa yang damai menjadi berubah. Peristiwa sebagai fakta di lapangan sering terjadi mengenai persoalan-persoalan ijin, status tanah, dan aliran agama tersebut. Hampir di setiap daerah, hal ini menjadi masalah yang sangat mendasar.

Tetapi disini yang menjadi fokus adalah terbukti dari pengrusakan rumah ibadah yang semakin menjadi-jadi setelah diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 yang mengatur pendirian tempat peribadatan. Isi Peraturan Bersama ini menggambarkan adanya pengakuan hak-hak warga mayoritas atas warga minoritas. Pada Peraturan Bersama itu ada dituliskan apabila ada 90 warga sesuai dengan KTP (40 KK) yang membutuhkan tempat rumah ibadat, harus mendapatkan dukungan masyarakat paling sedikit 60 orang yang disahkan Rukun

(6)

Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan, Kecamatan.6 Untuk proses pendirian bangunan rumah ibadah telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 dan Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan pendirian rumah ibadat.

Peraturan Bersama (Perber) Tahun 2006 dari Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri Tahun 2006, antara lain mengatur tentang pendirian rumah ibadah, pada kenyataannya konflik sekitar masalah rumah ibadah di lapangan masih saja terjadi. Kekhawatiran agama tertentu terhadap proses agamisasi dari agama lain di dalam masyarakat bisa menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Tidak ada alasan apa pun bagi agama untuk menghakimi agama lain terkait perizinan. Justru dalam hal ini agama lain memberikan saran dan masukan melalui forum antaragama yang ada. Aparat negara juga menjadi bagian penting untuk mencegah terjadinya benturan dan melindungi korban kekerasan. Jika kekerasan terjadi seharusnya ada tindakan hukum sesuai prosedur yang berlaku. Jika persoalannya adalah karena izin pendirian bangunan dan kemudian mau tidak mau kelompok keagamaan yang mendirikan tempat ibadah harus memperjelas posisi izinnya. Maka ketika izin telah dimiliki, namun masih saja ada ancaman baik dari aparat negara maupun kelompok keagamaan

6 Pasal 14 ayat 2, Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan pendirian rumah ibadat.

(7)

yang lain, mereka bisa menuntut perlindungan dari negara. Peran negara yang diwakili aparat negara memang sangat penting untuk mencegah konflik bernuansa agama tersebut. Masalah izin bangunan tempat ibadah sering menjadi biang konflik, tetapi sesungguhnya pokok permasalahannya adalah sikap gamang dari aparat negara yang tidak mau memberi izin.

Padahal, kebebasan menganut agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan itu dijamin UUD 1945, konstitusi tertinggi di Indonesia. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan makin banyak rumah tinggal atau ruko yang digunakan sebagai tempat ibadah, dan sekali lagi hal itu akan menjadi sumber konflik, bukan karena umat beragama bersangkutan tidak mau mengurus izin, tetapi justru izinnya dihambat oleh aparat negara sendiri yang semestinya berdiri di atas semua warganya, artinya bila diklarifikasikan akan tergambar menjadi dua bagian yaitu, memang tidak ada niat karena birokrasi yang sulit dan ada niat mengurus ijin tetapi tidak disetujui. Di Samarinda dari data yang penulis peroleh terutama di wilayah Samarinda Sebrang ada satu rumah toko yang menyebabkan terjadinya konflik, karena tidak adanya izin, akan tetapi masyarakat menjadikan rumah toko tersebut sebagai kegiatan ibadah rutin yang menyebabkan warga muslim sekitar wilayah tersebut tidak setuju, karena tidak sesuai dengan prosedur yang telah ada, yaitu ruko tersebut bukan merupakan rumah ibadah melainkan untuk tempat tinggal dan usaha, Apabila ruko tersebut merupakan suatu rumah ibadah, maka ijin dari bangunan adalah ijin rumah ibadah. Hal ini yang menjadi konflik antara warga di wilayah tersebut karena sebuah ruko dijadikan rumah ibadah dan mengusik warga sekitar.

(8)

Pembahasan

A. Tindakan Hukum yang diberikan terhadap penyalahgunaan Perijinan Rumah Toko menjadi Rumah Peribadatan di Samarinda Sebrang.

Untuk maksud melindungi dan menjamin agar pemeluk agama menjalankan agamanya secara tertib, tenang, aman dan tentram, maka pemerintah dapat memberi perlindungan hukum dalam bentuk:

1. Mengatur yang isinya menertibkan dan mendorong agar setiap pemeluk agama melaksanakan ajaran agamanya secara konsisten melalui hukum administrasi, hukum perdata, hukum keluarga, dan cabang hukum lainnya.

2. Melarang seseorang untuk melakukan perbuatan tertentu adalah sebagai bentuk perlindungan terhadap agama dan pemeluk agama yang dilakukan oleh negara melalui hukum pidana meliputi:

a. Kemurnian atau kesucian ajaran agama yang diakui oleh negara; b. Simbol-simbol dan alat perlengkapan suatu agama, termasuk Kitab

Suci agama, secara fisik;

c. Tempat yang secara resmi dinyatakan sebagai tempat ibadah suatu agama (misalnya masjid, gereja dll);

d. Pemeluk agama atau kelompok masyarakat yang terhimpun karena agama yang diakui oleh negara;

e. Orang yang sedang menjalankan agama atau beribadah di tempat ibadah; dan

(9)

Permasalahan rumah ibadah di Kota Samarinda yaitu permasalahan agama mayoritas dan agama minoritas, agama resmi dan agama yang tidak resmi. Apabila kita lihat dari hal di atas maka sebenarnya terjadi diskriminasi antar umat beragama. Ijin bagi bangunan rumah ibadat untuk agama mayoritas tentu bukan suatu permasalahan, akan tetapi berbeda dengan umat agama minoritas. Pembangunan rumah ibadat pada dasarnya adalah bagian dari hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Meskipun diakui adanya kebebasan, akan tetapi ada pembatasan bagi umat beragama yang telah diatur dalam Surat Keputusan Bersama 2 Menteri. Di Samarinda dari data yang penulis peroleh terutama di wilayah Samarinda Sebrang ada satu rumah toko yang menyebabkan terjadinya konflik, karena tidak adanya izin, akan tetapi masyarakat menjadikan rumah toko tersebut sebagai kegiatan ibadah rutin yang menyebabkan warga muslim sekitar wilayah tersebut tidak setuju, karena tidak sesuai dengan prosedur yang telah ada, yaitu ruko tersebut bukan merupakan rumah ibadah melainkan untuk tempat tinggal dan usaha, Apabila ruko tersebut merupakan suatu rumah ibadah, maka ijin dari bangunan adalah ijin rumah ibadah. Hal ini yang menjadi konflik antara warga di wilayah tersebut karena sebuah ruko dijadikan rumah ibadah dan mengusik warga sekitar.

Salah satu alasan tidak terdaftarnya gereja atau ruko tersebut adalah adanya syarat pemenuhan dari jumlah jemaat adalah statis sekitar 37-40 orang sementara dalam aturan harus 90 orang, dan persetujuan dari

(10)

lingkungan masyarakat yang berbeda agama, serta bangunan tersebut bukan merupakan bangunan peribadatan, akan tetapi bangunan Ruko.

Sebagaimana dimaksud bahwa untuk proses pendirian bangunan rumah ibadah telah diatur dalam Pasal 14 Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.

(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat

paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

(11)

Kemudian pada Pasal 19 Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 & Nomor: 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”. Mengatur tentang perizinan sementara yang menyatakan bahwa:

(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan -gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten / kota.

(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Masalah Perizinan Rumah Ibadah Antar Umat Beragama. Sebagian masalah di seputar rumah ibadah ini mencerminkan konflik antar masyarakat sipil atau antarumat beragama. Seperti, kasus yang terjadi di atas padahal kita tahu masalah agama adalah hak setiap warga Negara dan ini telah mendapat perlindungan dari Negara. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 E ayat 1, 2, dan 3 telah diatur mengenai hak setiap warga Negara untuk memeluk agama dan mendapat kebebasan dan pelindungan dalam menjalankan ibadahnya.

(12)

Adapun tindakan Kesbangpol bersama dengan FKUB dan Departemen agama dalam hal konflik rumah ibadat adalah:7

1. Penelitian, dalam hal penelitian yang berarti dari instansi terkait mempelajari masalah penyebab timbulnya konflik yang terjadi,

2. Rapat koordinasi dengan instansi yang terkait dengan kerukunan umat beragama,

3. Peninjauan, dalam hal ini instansi yang menaungi masalah rumah ibadat bersama-sama meninjau ketempat terjadinya konflik untuk mengetahui kondisi dan situasi yang terjadi,

4. Telaah staf Walikota, mengenai hal ini adalah putusan yang diberikan dari hasil yang telah dirundingkan secara bersama-sama dengan para instansi terkait serta perwakilan dari masing-masing umat Bergama. Dari tindakan di atas yang dilakukan oleh instansi terkait ataupun pemerintah maka dalam hal memberikan keputusan sudah dianggap final dan masing-masing dari perwakilan untuk agama harus dapat menerima apa yang telah menjadi keputusan, dalam hal keputusan dilihat dari Peraturan Bersama Bersama 2 Menteri. Tidak ada alasan apa pun bagi agama untuk menghakimi agama lain terkait perizinan. Justru dalam hal ini agama lain memberikan saran dan masukan melalui forum antaragama yang ada. Aparat negara juga menjadi bagian penting untuk mencegah terjadinya benturan dan melindungi korban kekerasan. Sekali kekerasan terjadi seharusnya ada tindakan hukum sesuai prosedur yang berlaku. Jika persoalannya adalah

(13)

karena izin pendirian bangunan dan kemudian mau tidak mau kelompok keagamaan yang mendirikan tempat ibadah harus memperjelas posisi izinnya. Maka ketika izin telah dimiliki, namun masih saja ada ancaman baik dari aparat negara maupun kelompok keagamaan yang lain, mereka bisa menuntut perlindungan dari negara.

Proses pendirian rumah ibadah, diantaranya yaitu Pasal 13:

(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Kemudian pada Pasal 14 menyatakan bahwa:

(1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

(2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi : a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat

paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

(14)

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat.

Selanjutnya diatur pula pada Pasal 15 yang menyatakan bahwa:

Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

Kemudian Pasal 16 menyatakan bahwa:

(1) Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.

(2) Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat(1).

Dan terakhir pada Pasal 17 menyatakan pula:

Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

(15)

Dari hasil wawancara dari Kesbangpol adapun pendapat dari pemilik toko adalah:

1. Sudah mengetahui tentang keberadaan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”.

2. Melakukan kegiatan keagamaan di ruko tersebut karena banyak keluarga dekat yang satu agama.

3. Rumah ibadat agak jauh dari tempat mereka tinggal.

Dalam hal ijin tersebut dari hasil yang didapat menurut wawancara bahwa ruko yang ditempati adalah ijin Rumah Toko bukan ijin Rumah Ibadat, maka dalam hal ini pemerintah dalam hal penertiban disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Maka untuk sementara ruko tersebut ditutup atau disegel untuk kegiatan keagamaan karena tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya. Akan tetapi menurut masyarakat sekitar, bahwa dalam hal perijinan pemerintah sering kali mempersulit ijin untuk mendirikan rumah ibadat padahal, kebebasan menganut agama dan beribadah menurut agama dan keyakinan itu dijamin Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jika hal ini terus berlanjut, maka akan makin banyak rumah tinggal atau ruko yang digunakan sebagai tempat ibadah, dan sekali lagi hal itu akan menjadi sumber konflik, bukan karena umat beragama

(16)

bersangkutan tidak mau mengurus izin, tetapi justru izinnya dihambat oleh aparat negara sendiri yang semestinya berdiri di atas semua warganya.8

Untuk proses pendirian bangunan rumah ibadah telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”. Jadi dalam hal perijinan rumah ibadah harus sesuai dengan ijin dan apabila ijin dari bangunan tersebut adalah Rumah Toko, maka sebaiknya dilakukan perubahan ijin sesuai dengan aturan yang berlaku. Adapun hasil dari wawancara Kesbangpol Kota Samarinda, berkaitan dengan konflik yang terjadi di Samarinda Sebrang, dinyatakan bahwa proses konflik adalah dilakukan dengan cara pertemuan instansi terkait dan apabila mendapat suatu kesimpulan sesuai dengan aturan maka itulah suatu keputusan yang mutlak. Dalam hal ini berarti rumah toko tidak bias digunakan untuk rumah ibadah dan kegiatan yang dilakukan tidak dapat lagi terlaksana seperti biasanya, terkecuali sudah mendapat ijin.

B. Upaya yang dapat dilakukan agar tercipta ketertiban hukum dalam hal perijinan rumah toko di Kota Samarinda

Adapun cara pendirian rumah ibadah menurut Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam

8

(17)

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat:

Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Adapun fungsi dan tujuan rumah ibadat adalah pada Pasal 13 Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat yang menyatakan bahwa:

(1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

(2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu

(18)

ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Sedangkan dalam hal pendirian Rumah Toko adalah sebagai berikut:9 1. Mengambil formulir di Dinas Perkerjaan Umum setempat

2. Formulir diisi dan ditandatangani di atas materai Rp. 6000 oleh pemohon

3. Formulir dilegalisir kelurahan dan kecamatan dimana bangunan akan didirikan

4. Lampiran-lampiran yang diperlukan masing(-masing 3 rangkap) adalah:

a. Gambar denah, tampak (minimal 2 gambar), potongan (minimal 2 gambar), rencana pondasi, rencanaatap, rencana sanitasi serta site plan.

b. Gambar konstruksi beton serta perhitungannya. c. Gambar konstruksi baja serta perhitungannya

d. Hasil penyelidikan tanah serta uji laboratorium mekanika tanah untuk bangunan berlantai 2 atau lebih.

e. Surat keterangan kepemilikan tanah/sertifikat HM (Hak Milik)/HGB (Hak Guna Bangunan).

f.Surat persetujuan tetangga, untuk bangunan berhimpit dengan batas persil.

g. Surat kerelaan tanah bermaterai Rp.6000 dari pemilik tanah yang diketahui oleh Lurah serta camat, apabila tanah bukan milik pemohon.

9

(19)

h. Surat Perintah Kerja (SPK) apabila pekerjaan diborongkan i. Ada izin usaha (HO) untuk bangunan komersial

j. Ada izin prinsip dari pejabat Kepala Daerah bila lokasi bangunan menyimpang dari Tata Ruang Kota.

5. Formulir yang telah diisi beserta lampiran-lampirannya diserahkan ke DPU.

6. Pemohon (yang mengurusi IMB) akan diberitahu apakah permohonan izin bangunan disetujui atau tidak.

Adapun fungsi dari rumah toko adalah mampu menampung kegiatan dalam skala ekonomi kecil dan izin usaha untuk bangunan komersil. Dari hal di atas dapat penulis ambil suatu kesimpulan bahwa dari prosedur sampai pada fungsi antara rumah ibadat dengan rumah toko adalah jelas sangat berbeda, jadi mengenai untuk penempatan pada tujuan kegunaan didirikannya adalah sesuai dengan peruntukan. Terkait dengan permasalahan yang terjadi maka dapat kita lihat bahwa rumah toko tidak selayaknya dijadikan tempat peribadatan rutin bahwa dalam hal ini fungsi rumah toko tersebut harus dikembalikan pada proses awal mula didirikan. Bagi agama-agama resmi seharusnya berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 mendapatkan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya pada pelaksanaannya tetap mendapat pembatasan-pembatasan yaitu melalui ketentuan perihal pendirian Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Rumah Ibadat.

(20)

Penutup Kesimpulan

1. Perijinan rumah ibadah tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Bersama Nomor 8 dan Nomor 9 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam hal dibuatnya rumah toko ( ijin ruko ) untuk tempat ibadah yang beralamat di Samarinda Sebrang, sehingga pemerintah dapat melakukan penertiban disesuaikan dengan aturan yang berlaku yaitu ditutup atau disegel untuk kegiatan keagamaan karena tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya.

2. Pemerintah dalam pelaksanaan harus dapat mencegah sebelum konflik terjadi dan melakukan sosialisasi untuk mendorong saling pengertian, toleransi dan penghormatan sehubungan dengan kebebasan beragama dalam rangka menjamin adanya ketertiban hukum.

Saran

1. Dalam hal ini seharusnya pihak Kesbangpol Kota Samarinda membuat aturan perpanjangan dari Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat”. Agar dalam penyelesaian konflik umat beragama khususnya dalam hal ijin bangunan

(21)

peribadatan di Kota Samarinda dapat diselesaikan secara lebih efektif dan tidak hanya mengacu pada Peraturan Nasional, akan tetapi Daerah Kota Samarinda memiliki penyelesaian tersendiri mengingat adanya budaya sosial masyarakat yang berbeda disetiap daerah masing-masing.

Daftar Pustaka A. Buku

Andie A Wicaksono, 2007, Ragam Desain Ruko (Rumah Toko), Penebar Swadaya, Jakarta

A.W Widjaja, 1999, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra Bakti, Bandung.

Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Philipus M. Hadjon, et.all, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta.

Siswanto Sunarno, 2009, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1976 tentang cara penyiaran Agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dan pendirian rumah ibadah

Republik Indonesia, Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 & Nomor : 8 Tahun 2006 Tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan pendirian rumah ibadat.

(22)

C. Literatur lain

Pendapat Pendeta Pangauan Purba, SM.TH., Buletin Narhasem Edisi Februari 2011 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/39537/4/ http://www.anneahira.com/desain-rumah-toko -14848.htm

Referensi

Dokumen terkait

Desain Penelitian ini adalah menggunakan Belt Transect Kuadran berukuran 1 meter x 1 meter. Pengambilan sampel secara beraturan untuk mengetahui

Penelitian ini berjudul Strategi Komunikasi News Presenter dalam penyampaian berfokus pada strategi komunikasi News Presenter dalam penyampaian berita pada program

Decesion Tree : Komoditas yang Akan Dipilih Padi Jagung Kedelai Kacang Hijau Panen Normal Panen Tidak Normal Panen Normal Panen Tidak Normal Panen Normal

En la conversió de Sant Jordi en patró popular de Catalunya hi tlligué un pro- tagonisme clau 1'Associació Catalanista d'Excursions Científiq~es~~, que ja el 1879

Kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan (Tjiptono, 2000)

Selain kendali glikemik, faktor-faktor lain yang diduga berhubungan dengan gangguan kognitif pada penyandang DM tipe 2 meskipun penelitian-penelitian yang ada belum jelas

Berdasarkan analisis uji hipotesis, gains score yang digunakan untuk mengetahui adakah pengaruh pemberian musik sebagai pengiring kerja terhadap peningkatan produktivitas

TINGKAT REALISASI KEUANGAN TH 2020 PENGUKURAN KINERJA ESELON IV BADAN KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAERAH.. TRIWULAN III KABUPATEN KLATEN