• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 Penelitian Skripsi Rinjani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 1 Penelitian Skripsi Rinjani"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Perkembangan jaman dan kemajuan teknologi yang cukup pesat memberi dampak terhadap gaya hidup masyarakatnya. Seperti halnya gaya hidup dalam hal merawat tubuh yang

banyak diminati oleh para kaum hawa. Banyak sekali cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut misalnya dengan teknologi yang canggih hingga mengubah gaya serta pola hidup masyarakat. Salah satunya adalah kesehatan dan keindahan tubuh yang merupakan suatu

anugrah yang sangat ingin dimiliki oleh setiap orang. Apalagi pada kenyataannya manusia dihadapkan pada globalisasi yang didukung dengan kemudahan-kemudahan memperoleh

informasi dari penjuru dunia. Sehingga dari ketersediaan teknologi serta kemajuannya yang pesat banyak orang khususnya wanita berlomba-lomba agar terlihat lebih ideal dimata masyarakat dengan memanfaatkan teknologi yang ada, mulai dari rambut, wajah, bahkan kulit. Berbagai

produk dan praktik dijalani dalam mengelola bagian tertentu untuk memperoleh bentuk ataupun rupa yang diinginkan. Seperti perawatan tubuh atau body care yang terdiri dari skin care

(perawatan kulit), hair care (perawatan rambut), manicure dan pedicure1, spa, Body Slimming Program dan lain-lainnya. Semua bentuk serta jenis perawatan tersebut setidaknya dapat diperoleh dengan mudah dan semakin inovatif dari waktu ke waktu. Sudah pasti industri

kecantikan dan program-program kesehatan dengan slogan-slogan “menjadi indah secara alami” ini semakin merajai pasar dengan memanfaatkan tingkat kebutuhan seseorang untuk tampil

maksimal, terutama kecantikan fisik yang juga salah satu cara agar seorang tetap merasa percaya diri. Dalam situasi ekonomi negara yang belum sepenuhnya stabil seharusnya hal tersebut

1manicure dan pedicure merupakan salah satu perawatan yang dilakukan di pusat-pusat kecantikan seperti salon

(2)

terkesan pemborosan namun, untuk urusan mempercantik dan memperindah diri jaman sekarang ini menjadi tidak terhalangi.

Keinginan seseorang untuk tampil ideal dimata masyarakat kerap kali mendominasi isi kepala mereka, sehingga tidak sedikit orang yang kemudian melakukan berbagai usaha agar terlihat sempurna. mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Berbagai produk dan praktik

dikenakan dalam mengelola bagian tubuh tertentu agar sesuai dengan kriteria ideal yang ada di mata masyarakat modern. Wanita yang pada dasarnya suka sekali memperhatikan penampilan

untuk menarik perhatian lawan jenisnya atau sekedar untuk kebersihan, sudah biasa dengan banyaknya perawatan yang ditawarkan. Pusat pusat perawatan dan kesehatan tubuh lokal hingga internasional seperti Natasha, LBC (London Beauty Center), Larissa, Jasper Pusat perawatan

Kecantikan dan salon-salon kelas atas telah menjadi bisnis yang cukup besar yang menunjukan bahwa betapa permintaan terhadap pelayanan kesehatan dan kecantikan sedang menuju suatu

titik puncaknya. Tak terhitung jumlah alat atau obat yang diproduksi untuk mengkikis lemak, atau krim-krim yang berfungsi menutrisi kulit sehingga kulit menjadi lebih putih, kencang, tidak kusam dan sebagainya. Hal ini menunjukan betapa pengelolaan tubuh telah terintegrasikan dalam

kehidupan sehari-hari.

Tidak mengherankan jika jasa maupun produk yang memberikan penawaran menarik

mengenai bagaimana seseorang dapat terlihat lebih indah dari sebelumnya menjamur di kota-kota besar dan kini sudah merambah ke daerah-daerah yang baru benar-banar tersentuh oleh dampak dari globalisasi. Di Jakarta yang menjadi pusat perekonomian kemajuan teknologi sudah

memiliki beragam alternatif perawatan untuk tubuh , dari salon kecantikan hingga klinik khusus untuk perawatan tubuh. Sehingga industri yang memberikan penawaran tersebut berangsur

angsur menjadi bisnis yang besar.2 Mendalamnya makna sosial atas kecantikan dan keindahan

(3)

tubuh serta kulit dapat terlihat nyata dalam bidang ekonomi. Di Amerika Serikat, penjualan kecantikan meningkat dari $40 juta pada tahun 1914 menjadi $18,5 miliar pada tahun 1990.3

Memang kecantikan dan keindahan sangatlah mengontrol wanita, nampaknya di mata industri ini ada saja bagian tubuh terutama kulit tubuh yang dianggap tak indah, dengan demikian pula industri kecantikan bukan hanya meraih keuntungan material namun juga berhasil memberikan

nilai tinggi pada keindahan dan kecantikan tubuh wanita yang artinya kecantikan dapat dijadikan sarana untuk mencapai tujuan. Tampaknya urusan tampangisme (Lookism) kini mulai menjadi

persoalan serius dalam perburuan kecantikan untuk selalu tampil menjadi yang terbaik dalam kehidupan sehari hari.4 Dalam abad ini, citra mendominasi persepsi kita, pikiran kita dan juga penilaian kita akan penampilan wajah, kulit atau tampang seseorang.5

Sudah menjadi hal yang lumrah jika kaum perempuan pergi ke salon, atau klinik perawatan tubuh, karena dalam banyak kultur, perawatan tubuh secara rumit hanya milik kaum

hawa. Sebaliknya, kaum lelaki merawat tubuh hanya berdasarkan atas kerapian, oleh karena itu perawatan tubuh kaum lelaki jauh lebih sederhana. Namun seiring dengan semakin berkembangnya jaman, ketertarikan kaum lelaki dengan perawatan tubuh semakin besar,

kecendrungan seorang lelaki untuk lebih memperhatikan penampilan dan perawatan tubuh semakin merebak luas, oleh sebab itu muncul istilah “metroseksual”. Yang dimaksudkan istilah

tersebut adalah kecendrungan kaum lelaki yang begitu antusias merawat tubuhnya untuk mengedepankan sex appeal (penapakan seksual) dan kepatutan akan penampilan yang sedang marak di kota besar di Indonesia.

Gaya hidup metroseksual telah menjadi tren bagi sebagian lelaki masa kini, bukan lagi pria macho berotot yang gagah perkasa tetapi juga peggambaran lelaki yang kewanita-wanitaan.

3 Anthony Synott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogyakarta: Jalansutra, 2003 hlm 137. 4David Chaney, Op. cit. hlm 17.

(4)

David Beckham, Tom Cruise dan Brad Pitt adalah segelintir selebriti ikon tren pria metroseksual dunia. Di Indonesia terdapat Fery Salim seorang selebriti yang di nobatkan menjadi ikon pria

metroseksual, menurutnya laki-laki yang rapi, bersih dan wangi bukan berarti bencong tetapi justru macho dan sexy.6

Memang masalah penampilan selalu menjadi topik utama dalam kehidupan masyarakat

perkotaan, konstruksi sosial masyarakat terhadap kecantikan dan keindahan terhadap seseorang sudah mulai bergeser yang sebelumnya memaknai sebuah keindahan kebersihan dan kecantikan

seseorang tidak hanya dilihat dari aspek fisik saja melainkan prilaku dan sifat juga menjadi kriteria. Misalnya seorang wanita dikatakan cantik jika ia memiliki prilaku yang anggun dan sopan, namun sekarang hal tersebut mulai bergeser kearah yang lebih sederhana, seorang wanita

dikatakan cantik pada saat ini jika ia memiliki anggota tubuh yang dapat mengalihkan pandangan setiap orang yang melihatnya dengan kata lain penampilan fisik saja sudah menjadi keseluruhan

dari kriteria menarik. Sekarang mulai ada standar baru atau ukuran penampilan seseorang yaitu kulit putih langsat dengan bibir pink merona serta tubuh langsing yang menjadi patokan bagaimana sesorang dapat dinilai sempurna oleh masyarakat yang melihatnya.

Perawatan kesehatan dan kecantikan tubuh atau biasa disebut beauty care memang bukanlah fenomena baru dikalangan wanita dan kaum metroseksual, terlebih lagi mereka yang

memiliki pekerjaan yang sudah bisa dikatakan profesional, tawaran-tawaran menarik mengenai perawatan yang menghasilkan sebuah kecantikan makin marak diperdengarkan dimedia dengan memanfaatkan konstruksi sosial yang ada dan gaya hidup konsumtif masyarakat, para pelaku

bisnis kecantikan ini bersaing menawarkan berbagai produk perawatan kepada mereka dimulai dari harga puluhan ribu hingga puluhan juta. Body Images salah satu slogan yang tersirat di mata

para viewer awam yang menelan mentah-mentah informasi yang disampaikan oleh para pelaku

(5)

bisnis body care, mereka membentuk sebuah pola gaya hidup yang wajib diikuti, media massa pun menjadi kiblat para viewer yang merasa memiliki kekurangan pada tubuhnya, seperti

contohnya di tahun 2014 ini maraknya produk skin care yang berasal dari korea yang menjanjikan kecantikan kemulusan bak gadis-gadis korea yang memukau dengan kulit putih mulus, tubuh langsing serta bibir yang merona. Body image dapat didefinisikan sebagai derajat

kepuasan individu terhadap dirinya secara fisik yang mencakup ukuran, bentuk, dan penampilan umum seseorang.7 Body image juga merupakan gambaran mengenai tubuh

seseorang yang terbentuk dalam pikiran individu itu sendiri, atau dengan kata

lain gambaran tubuh individu menurut individu itu sendiri. Body image pun kian

menjadi gambaran mental, persepsi, pikiran dan perasaan yang dimiliki

seseorang terhadap ukuran tubuh, bentuk tubuh, dan berat tubuh yang

mengarah kepada penampilan fsik. Gambaran mental tersebut berbicara

tentang keakuratan dalam mempersepsi ukuran tubuh, evaluasi berbicara

tentang apa yang dirasakan individu, seperti kepuasannya terhadap tubuhnya,

perhatian dan kecemasan terhadap tubuh, dan sikap berupa penilaian positif

atau negatif terhadap tubuh.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka fokus permasalahan penelitian ini adalah bagaimana

kontruksi tubuh yang dimiki oleh seseorang menjadi suatu citra dirinya dimata masyarakat yang memandangnya sebagai seorang pekerja professional dan kecantikan yang merupakan sebuah keharusan yang dijaga oleh seseorang tidak hanya oleh kaum perempuan saja melainkan kaum

lelaki demi mengikuti tren gaya hidup diperkotaan dan penelitian ini juga ingin melihat seberapa

7 Cash, T. F. (1994). Body images attitudes: Evaluation, investment, and affect:

(6)

jauh perawatan tubuh yang dilakukan oleh seorang professional perkotaan berpengaruh terhadap gaya hidupnya serta kehidupan sosialnya.

1.2 Permasalahan Penelitian

Dari penguraian latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik dengan masalah yang terjadi dalam masyarakat modern ibu kota. Dengan adanya latar belakang

permasalahan mengenai perawatan tubuh yang lebih cenderung kepada gaya hidup masyarakat modern saat ini. Maka penulis melihat bahwa seseorang yang melakukan perawatan tubuhnya

secara maksimal adalah mereka yang memiliki pemasukan setiap bulannya karena melakukan perawatan secara maksimal dibutuhkan biaya yang tidak sedikit pula. Penduduk yang termasuk angkatan kerja di Jakarta akan terlihat bahwa dominasi usia angkatan kerja yang bearda di Jakarta

dipegang oleh mereka-mereka yang berusia masih tergolong produktif yaitu usia 20 -30 tahun.8 Professional muda di Jakarta memiliki motivasi dalam memilih pekerjaan, dan pada umumnya

motivasi utama mereka adalah uang dan gaya hidup.

Peran peer group (kelompok sepermainan), diantara para professional muda itu sendiri bukanlah tidak mungkin mereka melakukan interaksi diantara sesamanya dalam

memperbincangkan perawatan tubuh yang mereka gunakan. Ada diantara mereka yang benar benar paham dan mengetahui jelas fungsi daripada perawatan tubuh tersebut bagi gaya hidupnya

ada juga yang memang hanya ikut-ikutan berkat pengaruh dari interaksi sosial yang mereka lakukan. Peran media massa baik cetak maupun elektronik berpengaruh terhadap prilaku masyarakat profesional muda mendapatkan informasi tentang selera gaya hidup yang dipengaruhi

oleh adanya iklan di televisi, Koran maupun majalah dan sekarang media sosial pun sangatlah memiliki peran yang penting.

8 Data BPS tentang penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja menurut kelompok umur, www.bps.go.id diakses

(7)

Cantik dan indah adalah dua kata yang sangat berarti jika dikaitkan dengan wanita, setiap wanita tentunya mendambakan kecantikan yang diidamkan oleh kaum lelaki ataupun

kaumnya sendiri. Untuk memiliki bagian tubuh yang cantik tersebut banyak cara yang dapat di tempuh, baik dengan penggunaan kosmetika agar terlihat lebih menawan dan menyamarkan bagian wajah yang kurang indah, menggunakan jasa perawatan wajah kesalon-salon atau kedokter

yang membuka praktik perawatan kecantikan, menggunakan tatarias wajah yang dekoratif ataupun hal-hal lainnya yang terkait dengan usaha memperindah diri. Bahkan tak sedikit wanita yang rela

menderita akibat usaha yang mereka jalani demi hal tersebut. Salah seorang psikolog Amerika terkemuka Nancy Etcoff, dalam Survival of the Prettiest: Science of Beauty (1999) menyebutkan hal tersebut dinamakan lookism yaitu teori yang menganggap bahwa bila tampilan lebih baik,

maka lebih sukseslah anda dalam kehidupan.9 Namun seiring dengan berkembangnya jaman, pemakaian produk perawatan tidak hanya dilakukan oleh kaum wanita, melainkan kaum

metroseksual pun dirasa sangat membutuhkan hal tersebut. Gejala-gejala yang menunjukan bahwa semakin banyak individu yang menginginkan agar dipandang sebagai seorang individu yang berkelas, penuh percaya diri dan memiliki prestise atau sebagainya sangat terlihat di Jakarta. Para

professional muda tidaklah luput dari hal tersebut. Jadi berapapun biayanya dan apapun cara yang ditempuhnya, mereka tidak mempedulikan, asalkan mereka memperoleh penghargaan.

Fondasi awal yang dibangun dalam pemikiran orang tentang apakah itu definisi cantik sekarang ini adalah jika seorang wanita memiliki tubuh yang langsing, kulit yang putih mulus, berambut panjang serta wajah yang merona. Konstruksi sosial yang dibangun dan menjadi

haegemoni yang berakibat pada usaha para wanita mendapatkan hal-hal yang dapat menyebutkan bahwa dirinya cantik sehingga timbulah rasa percaya diri yang membuat penulis ingin lebih

mendalami mengenai hal-hal yang terkait dengan usaha yang dilakukan professional muda untuk

(8)

merawat tubuhnya, baik mengenai alasan-alasan yang melatar belakangi prilaku mereka memperindah kulit dan prilaku apa yang mereka lakukan untuk menunjang kecantikan pada

kulitnya. Sehingga penulis tertarik dengan permasalahan bagaimana menggambarkan perilaku para professional muda yang cenderung konsumtif dalam memperindah kulit wajah serta tubuhnya dan kemudian melihat bagaimana trend perawatan tubuh berpengaruh terhadap gaya hidup mereka

pada jaman sekarang serta apakah ada pengaruh dari significant others terhadap prilaku professional muda tersebut, kemudian melihat pengaruh media masa terhadap prilaku mereka

untuk memperindah kulit wajah serta tubuhnya. Berdasarkan uraian diatas, maka titik berat dari penelitian ini adalah perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana konstruksi sosial tubuh dan makna perawatan kecantikan bagi professional muda

di Jakarta?

2. Bagaimana implikasi sosial perawatan kecantikan dalam gaya hidup perkotaan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan utama penelitian ini adalah

mejawab pertanyaan penelitian tersebut, yaitu menjelaskan secara mendalam bagaimana konstruksi sosial tubuh dan perawatan tubuh bagi professional muda di Jakarta setra menjalaskan

bagaimana implikasi sosial perawatan tubuh dalam gaya hidup perkotaan. Adanya tujuan penelitian tersebut membatu peneliti agar lebih fokus terhadap pertanyaan permasalahan dan diharapkan skripsi ini nantinya menyajika jawaban yang sistematis dan terstruktur. Peneliti akan

(9)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat akademisnya adalah sebagai tugas akhir skripsi untuk syarat lulus. Agar dapat

bermanfaat bagi pembaca berupa ilmu, pengetahuan dan wawasan tentang Body Care dan Gaya Hidup Profesional Muda Perkotaan dengan Studi Kasus Profesional Muda di Jakarta. Terkait dengan latar belakang, permasalahan dan tujuan, maka penelitian ini memiliki beberapa manfaat,

baik itu secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi-studi yang berhubungan dengan sociology of body dan konstruksi sosial.

Dilihat dari kenyataan yang ada, untuk mengungkap bagaimana kehidupan sosial para professional muda yang tidak mudah tanpa adanya sebuah citra tubuh. Sedangkan manfaat secara praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan kepada peneliti lain yang melakukan

penelitian serupa mengenai perawatan tubuh yang dilakukan oleh professional muda dan gaya hidup yang menuntut sebuah penampilan yang sempurna. Dengan demikian diharapkan akan

menambah pengetahuan mengenai suatu gaya hidup yang dilakoni oleh professional muda di kota besar.

1.4 Tinjauan Penelitian Sejenis

Penelitian ini diberi inspirasi dari penelitian sebelumnya dengan merujuk pada penelitian yang dianggap sejenis, diharapkan dapat melengkapi data dan fakta dari penelitian sebelumnya.

Peneliti mengambil contoh beberapa studi lain sejenis yang cukup banyak telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya meskipun dengan lokasi dan sudut pandang yang berbeda yang pertama adalah penelitian dalam bentuk skripsi yang dilakukan oleh Nur Apiyah pada tahun 2013 yang

berjudul “Modifikasi Tubuh Sebagai Ekspresi Budaya dan Gaya Hidup (Studi kasus: Pemakaian Behel, Tato dan Piercing)”10. Dalam skripsi Nur Apiyah peneliti menyimpulkan bahwa skripsi

(10)

tersebut memfokuskan kepada bagaimana seseorang melakukan modifikasi pada tubuhnya sebagai bentuk dari sebuah indentitas dirinya. Individu yang memodifikasi tubuhnya sedemikian

rupa dan menghasilkan sebuah fenomena tentang kelas sosial dalam suatu pemilihan gaya hidup yang sama. Melalui modifikasi masyarakat dapat melihat dan mengetahui gaya hidup setiap individu yang disimbolkan melalui tubuh. Modifikasi tubuh yang dimaksudkan dalam penelitian

Nur Apiyah ini adalah dilakukan seorang individu yang ingin tampil dalam kehidupan sosialnya sebagai anggota kalangan masyarakat menengah keatas. Penelitian Nur Apiyah ini dilakukan

dengan metode kualitatif dengan melakukan waancara mendalam dan lokasi penelitiannya di daerah Jakarta. Yang Kedua adalah penelitian dalam bentuk Skripsi yang dilakukan oleh Anindya pada tahun 2005 yang berjudul, “Prilaku Remaja Perempuan Untuk Mempercantik

Wajah, Suatu Tinjauan Sosiologi”.11 Dalam skripsi Anindya, peneliti menyimpulkan bahwa skripsi tersebut memfokuskan kepada prilaku remaja perempuan dalam usahanya untuk membuat

dirinya lebih cantik, khususnya bagian wajah untuk meningkatkan percaya dirinya, dan juga bagaimana industri kecantikan hadir dalam melengkapi sentuhan kesempurnaan kecantikan pada wajah. Kecendrungan estetasi perempuan terhadap usaha untuk mempercantik wajah yang

dilakukan sedemikian rupa pada wajah. Dalam hal tersebut, Anindya memaparkan media massa juga memiliki keterkaitan dalam memberikan konstruksi kecantikan pada wajah. Metodologi

yang digunakan adalah pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan penarikan informan secara purposive dan lokasi penelitian diadakan di Jakarta. Yang ketiga adalah penelitian dalam bentuk skripsi yang dilakukan bersama oleh Raisa Andea pada tahun 2010 yang

berjudul “Hubungan Antara Body Image Dengan Prilaku Diet Remaja”12 dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa Body Images merupakan suatu hal yang sangat penting bagi 11Anindya, Prilaku Remaja Perempuan Untuk Mempercantik Wajah: Suatu Tinjauan Sosiologi, Depok: Universitas

Indonesia, 2005.

(11)

kehidupan masyarakat jaman sekarang, terutama remaja. Kepedulian terhadap penampilan dan body image yang ideal dapat mengarah kepada upaya obsesif seperti mengontrol berat badan.

Pada umumnya remaja melakukan diet, berolahraga, melakukan perawatan tubuh, mengkonsumsi obat pelangsing dan lain-lain untuk mendapatkan berat yang ideal. Dari penelitian ini makna sebuah Body images bagi sesorang adalah Keinginan yang disebabkan

karena sering merasa tidak puas terhadap penampilan dirinya dan ingin dipandang selayaknya fakta sosial yang ada di mata masyrakat saai ini. Penelitian ini berbentuk skripsi dengan

metodologi yang digunakan dengan pendekatan kuantitaif yang bersifat korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dan perilaku diet pada remaja.

(12)

menunjang gaya

Berdasarkan ketiga penelitian sejenis diatas, perbedaan dengan penelitian yang hendak

(13)

memfokuskan kepada gaya hidup informan secara sosial. Skripsi yang kedua oleh Anindya perbadaannya terletak pada subjek serta objek yang di teliti, Perbedaanya terletak pada subjek

dan objek penelitian, Anindya dengan kalangan remaja sebagai informan utamanya sedangkan peneliti mewawancarai professional muda. Objek penelitian Anindya adalah sebatas pada kosmetika wajah sedangkan penelitian ini menjelaskankan keseluruhan dari perawatan tubuh

termasuk kosmetika. Yang ketiga adalah skripsi dari Raisa Andea, yang membedakan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian dimana peneliti mengambil informan dari profesional

muda sedangkan Raisa Andea Mengambil subjek dari kalangan remaja.

1.5 Kerangka Konseptual

Pembahasan tentang Body Care dan Gaya Hidup Profesional Muda Perkotaan dengan Studi

Kasus Profesional Muda di Jakarta, maka penulis akan menjelaskan tiga konsep besar yang menjadi pokok utama dalam penelitian yaitu Gaya Hidup, Konstruksi Sosial Kecantikan dan

Posisi Sosial Tubuh Dalam Kecantikan serta teori yang mendukungnya. Fokus utama penulis adalah bagaimana gaya hidup tersebut dikaitkan dengan prilaku konsumtif serta konstruksi sosial yang memang mendukung untuk mencapai tujuan hidup mereka

1.5.1 `Gaya Hidup

Sebuah gaya hidup memungkinkan dapat digunakan sebagai cara yang mudah untuk

mengenal perbedaan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Seolah lewat gaya hidup kelompok sosial dapat diidentifikasi kehadirannya. Gaya menurut Stuart Ewen dalam adalah :

1. Gaya adalah satu wahana dimana seseorang dapat dinilai dan menilai orang lain. Gaya sebagai wahana pendefinisian diri (self)

(14)

3. Gaya sebagai elemen pembentuk kesadaran yang total dan dasyat tentang dunia sebagai informasi dan sebagai pembentuk citra. 13

Gaya hidup pada prinsipnya adalah bagaimana seseorang menghabiskan waktu luangnya dan gaya hidup mempengaruhi prilaku seseorang yang kemudia menentukan pilihan-pilihan konsumsi seseorang.14 Seseorang cenderung ingin memiliki sesuatu yang mencerminkan gaya.

Karena dengan gaya seseorang dapat mendefinisikan dirinya. Menurut Pilliang, Gaya hidup adalah pola (durasi, intensitas, kuantitas) penggunaan waktu, ruang dan barang di dalam

kehidupan sosial. Gaya hidup dibentuk didalam sebuah ruang sosial (social space), yang didalamnya terjadi sintesis antara aktivitas belanja dan kesenangan. Didalam kapitalisme masyarakat dikonstruksi secara sosial ke dalam berbagai ruang gaya hidup, yang menjadikan

mereka sangat bergantung pada irama pergantian gaya, citra, status yang ditawarkan didalamnya. Menurut Pilliang Gaya hidup adalah cara manusia consumer mengaktualisasikan dirinya lewat

semiotisasi kehidupan. Semiotisasi kehidupan tersebut merupakan suatu tanda-tanda dan kode-kode dimana diwujudkan dalam bentuk waktu, uang dan barang.15 Didalam dunia konsumerisme, apapun dapat dikontruksi sebagai bagian dari gaya hidup, selama ia dapat dirubah menjadi citra,

tanda dan gaya. Sejalan dengan pendapat A.B Susanto bahwa gaya hidup adalah cara seseorang mengkonsumsi waktu dan uangnya untuk mengaktualisasikan dirinya16. Chaney juga memahami

gaya hidup sebagai proses aktualisasi diri dimana para aktor secara refleksif terkait dengan bagaimana mereka harus hidup dalam suatu konteks interdependensi global.17Dari berbagai pendapat mengenai gaya hidup, konsep gaya hidup yang dipakai dalam penelitian ini adalah cara

13 Yasraf Amir Pilliang, Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra,

2003

14 Rhenarld Kasali, Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting, Pisitioning, Jakarta : Gramedia Pustaka

Utama, 2005, hlm 225-226

15 Yasraf Amir Pilliang, Op.cit. hlm 158

16 A.B Susanto, Potret-Potret Gaya Hidup Metropolis, Jakarta : Penerbit Kompas, 2001, Hlm 4

(15)

seseorang menampilkan identitas dirinya lewat penggunaan waktu, uang dan barang. Untuk menangkap suatu gaya hidup dapat dilihat dari barang-barang yang dimiliki dan yang dipakai

sehari-hari yang biasanya bersifat modis, trendi. Dalam artian mengikuti mode/fashion dan mengikuti trend. Tetapi untuk dapat mencapai sesuatu gaya hidup yang dinginkan, biasanya seseorang harus pula mengeluarkan biaya lebih atau ekstra. Pengeluaran biaya yang berlebih

tersebut memicu seseorang mengkonsumsi barang dan jasa. Konsumsi merupakan kegiatan menghabiskan barang dan jasa. Sejalan dengan apa yang dikatakan Pilliang bahwa konsumsi

sebagai satu proses menghabiskan / mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan dalam sebuah objek.18 Adanya kegiatan menghabiskan barang dan jasa dikarenakan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupannya. Kebutuhan merupakan sesuatu yang relatif karena setiap

orang memiliki kebutuhan yang berbeda. 1.5.2 Posisi Sosial Tubuh Dalam Kecantikan

Semenjak akhir abad ke-20, tubuh telah menjadi fokus perhatian yang meningkat dalam jajaran disiplin ilmu dan media. Tubuh telah didefinisikan kembali oleh penegasan bahwa bentuk fisik tidak hanya merupakan sebuah realitas natural, tetapi juga sebuah konsep cultural yaitu

sebuah cara penyandian (encoding) nilai-nilai masyarakat. Citra tubuh meliputi struktur-struktur signifikansi melalui sebuah budaya yang mengkonstruksi makna-makna dan posisi-posisi bagi

subjeknya. Tubuh adalah objek yang direpresentasikan maupun sebuah organisme yang dikelola untuk merepresentasikan pengertian-pengertian dan hasrat-hasrat.19 Tubuh pun erat kaitannya dengan cantik. cantik adalah inspirasi dan dambaan sekaligus menjadi cita-cita. Entah sejak kapan kata cantik mulai digunakan untuk mengidentifikasi tubuh yang ‘ideal’. Kecantikan tubuh bukan

hanya fenomena biologis, kecantikan diciptakan masyarakat dengan sangat rumit. Kecantikan adalah

18Yasraf Amir Pilliang, Op.cit. Hlm 158

(16)

bagian dari tubuh yang menjadi bagian dari atribut sosial dan identitas. Kecantikan, ketidakcantikan,

tinggi badan, berat badan, warna kulit, rambut telah menjadi identitas dalam hidup. Tubuh tidak lagi

bongkahan daging dan kiloan tulang, tubuh memiliki muatan simbolis dan kultural. Mulut, bibir,

mata, hati, dan lainnya, member kesan tak hanya sekedar melengkapi struktur tubuh biologis tapi

dibalik itu bermain dalam ide dan citra. Pengembaraan konseptual atas atas tubuh telah bergeser,

perempuan memberlakukan tubuh (nya) secara spesifik, bagai berhala. Bagi seorang Foucault, tubuh

merupakan kompleksitas yang ‘rumit’. Tubuh tak sekedar kumpulan daging dan tulang, tapi juga

representasi kekuasaan. Foucault meyakini bahwa fenomena tubuh yang sosial bukan lagi pengaruh

konsensus, melainkan perwujudan kuasa. Sehingga, kepemilikan atas tubuh oleh pemiliknya tidak

lagi bersifat permanen, tetapi dinamis. Selalu ada perasaan ‘kurang’, senantiasa berproses hingga

akhirnya terjadi eksploitasi atas tubuh. Kecantikan yang merupakan sebuah konsep dinamis atas

tubuh senantias ditafsirkan secara kompleks. Zaman yang selalu berubah ‘meminta’ tubuh ikut

menyesuaikan. Berubah atau kolot adalah pilihan serius yang dialami perempuan secara kolektif.

Kecantikan telah merambah lebih jauh ke arah bentuk dan penampilan tubuh, seperti perut

yang langsing, kulit yang kencang, pinggul dan pantat yang ‘berbentuk’, wajah yang kinclong,

rambut yang terurai halus, wangi badan yang semerbak, nafas yang mendesah, hingga pilihan kata

yang meluncur dari mulut, dan sebagainya. Bagi Synnot, kecantikan direpresentasikan oleh pola dan

bentuk diatas secara publik.20 Kecantikan telah menjadi publik karena adanya panopticon21 dari

publik ‘yang lain’. Mata publik tidak lagi menjadi bagian dari organ biologis, tetapi sebagai

pengawas bagi tubuh. Mata adalah pula penjara bagi tubuh yang lain. Perempuan merasa diawasi

oleh ‘mata’ publik.

Dengan demikian, kecantikan adalah wacana yang diproduksi senantiasa, terus menerus,

setiap saat, dalam jangka waktu yang tak terhingga oleh pasar tanpa disadari oleh

perempuan-20 Anthony Synnot, Op.Cit, hlm126.

21 Konsepsi Michel Foucault mengenai ‘the panopticon’ bisa dimaknai sebagai ‘penjara yang

(17)

perempuan yang mengalami dan berkeinginan cantik itu sendiri. Sehingga, jika keiginan untuk

menjadi cantik dihentikan oleh individu-individu tersebut, maka pasar dengan segala perangkat

pengawas dan jaringan kontrol senantiasa memberi peringatan, bahkan pengalienasian terhadap

individu yang tidak ingin merayakan kecantikan tersebut. Perempuan-perempuan ini pun dipaksa

untuk mengikuti selera pasar secara pasrah dan ikhlas. Pengawasan dan kontrol atas kecantikan

perempuanlah yang menjadikan kondisi psikis perempuan-perempuan tersebut bisa dikategorikan

sakit atau sehat. Ia akan didapuk menjadi sehat jika bisa ikut mendalami dan mengikuti kuasa pasar

tersebut, dan akan dikategorikan sakit jika ia abai terhadap perintah pasar tersebut. Foucault

mengkategorikan tubuh yang patuh sebagai tubuh yang normal, dan yang tidak patuh adalah

sebaliknya. Wacana kecantikan dan feminitas perempuan tidak dapat dilepaskan dari konstruksi

budaya patriarki yang memberikan kuasa pada laki-laki untuk memberikan pengakuan atas feminitas perempuan di satu sisi, dan perempuan untuk selalu mencari pengakuan atas

feminitasnya dari pihak laki-laki.22 Mengetahui nilai simbolis adalah tingkat penampilan visual tubuh tertentu yang dihargai. Ini bisa mencakup pakaian, pewarnaan badan (termasuk pemakaian

kosmetika), atau bahkan ukuran dan bentuk tubuh. Simbol-simbol hasil seleksi kaum laki-laki inilah yang menjadi ukuran ideal mengenai kecantikan bagi wanita. Dan sekarang ini symbol-simbol seleksi ukuran ideal kecantikan bukanlah milik kaum hawa saja, perawatan kecantikan

juga sangat mempengaruhi sebagian pria terutama yang hidup ditengah kemegahan ibu kota, para pria tersebut terkenal dengan sebutan pria metroseksual.

Secara etimologis metroseksual memiliki akar kata metropolis yang berarti perkotaan, dan seksual yang berarti berhubungan dengan jenis kelamin tertentu (dalam kasus metroseksual, jenis kelamin yang dimaksud adalah pria), jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa metroseksual

(18)

adalah pria yang hidup di tengah perkotaan dan mengikuti gaya hidup metropolitan. Menurut Mark Simpson dalam artikelnya “Here Come The Mirror Men” menyebutkan, “Metrosexual is

the trait of an urban male of any sexual orientation who has a strong aesthetic sense and spends a great amount of time and money on his appearance and lifestyle” atau dapat diartikan bahwa metroseksual adalah ciri dari seorang pria perkotaan yang memiliki suatu orientasi seksual

tertentu dengan rasa estetika yang tinggi, dan menghabiskan uang dan waktu dalam jumlah yang banyak demi penampilan dan gaya hidupnya.23

Teori Giddens yang memaparkan konsep gender menyangkut perbedaan secara psikologi, sosial dan budaya antara laki – laki dan perempuan. Namun, dengan hadirnya kaum metroseksual teori tersebut menjadi sedikit naif. Dari segi psikologis, seorang pria metroseksual

memiliki beberapa kecenderungan psikologis sama seperti yang dimiliki wanita, seperti memperhatikan kecantikan raganya, suka berdandan (meskipun tidak berdandan seperti wanita),

dan hasrat berbelanja yang tinggi. Secara sosialpun pria metroseksual lebih senang berkumpul dan bersosialisasi dengan banyak orang, seperti kaum sosialita yang biasanya perempuan. Dan secara budaya, pria metroseksual gemar merawat diri di salon dan menghabiskan uang yang

cukup besar untuk berbelanja demi kesenangan, bukan kebutuhan (pleasure shoping). Tentu seorang pria tidak menjadi seorang metroseksual secara otomatis atau disebabkan bawaan

genetis. Pasti ada pengaruh dari luar. Yang berperan untuk mempengaruhi atau membentuk pola pikir (mindset) atau sudut pandang (point of view) gendernya, yang adalah agen sosialisasi gender. Masalah mengenai agen sosialisasi gender yang mempengaruhinya berkaitan dengan

feminisme yang akan dibahas lebih lanjut dalam sub-pembahasan berikut. Emansipasi wanita sebagai penyebab fenomena metroseksual Sejak dulu status dan peran wanita sudah diapriori

23Dikutip dari essay yang ditulis dalam situs http://www.marksimpson.com/here-come-the-mirror-men/ tanggal 20

(19)

sebagai kaum inferior yang hanya memiliki fungsi sebagai pelayan dan pendamping kaum pria semata. Inilah yang menjadi penyebab efisien gerakan emansipasi wanita. Lalu, seiring dengan

berjalannya waktu kaum wanita menyadari bahwa mereka memiliki peran yang lebih luas yang bisa membuat statusnya setara dengan kaum pria. Wanita mulai mendobrak segala paradigma demi mencapai kesetaraan dalam berbagai sektor seperti pendidikan, pekerjaan dan peran dalam

masyarakat. Di Indonesia hal tersebut dibarometeri oleh R.A Kartini. Masuknya wanita dalam sektor pekerjaanlah yang secara tidak langsung metroseksual. Tempat bekerja ditenggarai

sebagai agen sosialisasi gender yang secara tidak langsung mensosialisasikan metroseksualisme. Namun hanya tempat bekerja yang formal dan terdapat di perkotaanlah yang secara tidak langsung mensosialisasikan metroseksualisme.

Di dalam tempat bekerja formal yang terdapat di perkotaan wanita dituntut untuk tampil dengan menarik dan merepresentasikan sisi estetika yang ada pada dirinya. Dan karena terjadi

interaksi yang terus – menerus antara wanita – wanita pekerja tersebut dengan para lelaki yang bekerja di tempat yang sama. Pada akhirnya para laki – laki dalam raung lingkup pekerjaan tersebut terpengaruh secara psikologis untuk tampil sebaik wanita didalam ruang lingkup

kerjanya. Dampak dari pengaruh secara psikologis inilah yang pada akhirnya berimplikasi pada kebudayaan para laki – laki tersebut. Karena memperhatikan estetika ragawinya akhirnya para

laki – laki ini melakukan perawatan yang mirip dengan yang dilakukan wanita dan untuk menunjang penampilannya mereka menghabiskan uang dengan jumlah besar dalam berbelanja pakaian maupun aksesoris.

Saat ini media massa menjadi alat yang paling berpengaruh dalam globalisasi suatu ide. Dimana segala informasi bisa menyebar dengan mudah keseluruh dunia dalam waktu yang

(20)

sebagai penyebar gender stereotyped advertising yang artinya memuat iklan yang menunjang stereotip gender seperti misalnya, iklan yang mempromosikan produk perawatan kecantikan

direpresentasikan oleh wanita dan hal yang berbau maskulin seperti iklan sepeda motor direpresentasikan oleh laki – laki, sepertinya sudah tidak berlaku lagi sekarang.

Metroseksual yang sudah menjadi fenomena dianggap sebagai target pasar yang

menjanjikan oleh para pengusaha. Sehingga para produsen perawatan kecantikan seperti sabun pencuci muka, pelembab wajah dan losion tubuh yang tadinya hanya dirancang untuk wanita,

kini dirancang pula untuk pria dengan label “for men”. Bahkan kuatnya arus metroseksual yang berkembang di Negara- negara di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang, membuat para produsen kecantikan di Negara- negara tersebut mengeluarkan produk make-up for men. Hal

tersebut bisa disebut anomali yang dampaknya bisa benar-benar menghilangkan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Giddens yang sudah kita bahas sebelumnya. Di Indonesiapun

fenomena ini bisa mulai kita rasakan sekarang, namun belum se-ekstrem Negara-negara tersebut. Selain itu, media massa juga mengekspos para tokoh – tokoh metroseksual, yang mana orang tersebut memang sudah dikenal dari aspek lain. Sebagai contoh sebut saja David

Beckham. Pemain sepak bola yang sudah tidak diragukan lagi kemampuan dan sepak terjangnya dalam dunia persepakbolaan internasional ini adalah salah seorang metroseksual. Ia bisa

menghabiskan puluhan ribu dollar dalam sebulan untuk merawat ketampanannya dan menunjang penampilannya. Ia juga tidak pernah memakai baju yang sama dalam setiap kesempatan aktivitasnya di luar rumah. Yang lebih ekstrem, suami dari Vicotrya Beckham ini pernah mencat

kuku – kukunya berwarna pink. Dan sebelum pergi ke setiap acara, dia menghabiskan waktu yang lebih lama dari istrinya untuk berdandan. Beckham bisa menghabiskan waktu 2 sampai 3

(21)

Beckham, walhasil ia menjadi model dalam berbagi produk perwatan tubuh dan pakaian ternama dan menjadi role – model bagi para metroseksual di berbagai belahan dunia.

Metroseksual adalah hasil dari kesetaraan gender karena metroseksual timbul dari produk kesetaraan gender pula yaitu emansipasi wanita. Emansipasi wanita yang meluas keseluruh dunia disusul dengan meluasnya fenomena metroseksual. Akibat emansipasi wanita,

interaksi antara wanita dengan pria menjadi sangat intens sehingga pria secara psikologis terpengaruh oleh kecenderungan wanita yang memperhatikan penampilannya. Selain itu disisi

lain emansipasi menimbulkan ketidak setaraan gender baru, yang kali ini dialami kaum laki – laki pada sebagian masyarakat. Sehingga laki – laki bisa mengalami disorientasi yang mengacu pada metroseksualisme

Di zaman modern ini tidak hanya pekerjaan dan pendidikan saja yang menjadi tolak ukur status seseorang, melainkan dari penampilan. Penampilan yang kadang bisa mengkamoflase

status sosial seseorang menjadi concern tersendiri tidak hanya bagi kaum perempuan tapi bagi kaum laki – laki. Atas kesadaran akan estika akan penampilannya, maka fenomena metroseksual ini muncul. Media massa adalah salah satu agen sosialisasi gender yang paling memiliki andil

besar dalam isu metroseksual ini. Disamping mempengaruhi masyarakat dengan iklan – iklan yang memperomosikan produk - produk yang bernuansa metroseksual keseluruh dunia. Media

massa juga mengekspos tokoh – tokoh metroseksual, sehingga fenomena metroseksual menyebar ke seluruh dunia.

1.5.3 Konstruksi Sosial Kecantikan

Kecantikan ibarat sebuah mitos dan legenda. Berbagai kisah tentang wanita yang cantik dan feminim banyak di abadikan dalam berbagai bentuk di sekitar kita. Kisah-kisah di dalam

(22)

digambarkan sebagai sosok yang memiliki penampilan menawan. Sebenarnya, tidak ada definisi baku mengenai arti dari kecantikan wanita, oleh karena itu seperti di sebutkan diatas kecantikan

ibarat sebuah mitos dan legenda berarti tidak ada definisi pasti mengenai makna kata cantik dan kecantikan. Penulis melihat bahwa makna kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu tergantung dari lingkungan sosial dan budaya yang melatar belakangi. Pada awalnya konsep

kecantikan merupakan ukuran yang dibuat oleh laki-laki karena kuasa yang mereka miliki sehingga banyak wanita beusaha tampil cantik sesuai dengan ukuran-ukuran tersebut agar dapat

diakui oleh laki-laki namun pada jaman sekarang ini makna cantik yang hanya milik perempuan mulai bergeser, kecantikan juga menjadi perhatian kaum lelaki yang terbentuk dari sebuah konstruksi sosial di masyarakat di jaman modern ini.

Konstruksi sosial atas realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, A

Treatise In the Sociological of Knowledge. Di dalam bukunya mereka menjelaskan proses sosial terjadi melalui interaksi, dimana realitas dibentuk secara terus-menerus oleh individu dan dialami bersama secara subyektif. Berger dan Luckmann mengawali penjelasan mengenai realitas sosial

dengan memisahkan antara pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas atau kenyataan adalah kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas, dan memiliki keberadaan (being) yang

tidak tergantung dari kehendak kita sendiri; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan mempunyai karakteristik yang spesifik.24 Menurut Berger, kenyataan bersifat plural, dinamis dan dialektis. Realitas bersifat memaksa kesadaran tiap

individu terlepas individu tersebut suka atau tidak. Bahwa pengetahuan hakikatnya merupakan sebuah realitas yang hadir di dalam kesadaran individu. Oleh karena itu, pengetahuan bersifat

24Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi

(23)

subjektif dan realitas bersifat objektif. Demikian pula makna cantik dilihat dari perspektif konstruksi sosial tidak pernah merupakan realitas tunggal yang bersifat statis, namun merupakan

realitas yang bersifat plural, dinamis dan dialektis. Sehingga makna cantik pun akan selalu berubah seiring berkembangnya jaman.

Makna cantik berkembang menjadi sebuah realitas objektif karena pada awalnya

masyarakat sendiri yang membentuk realitas tersebut. Makna cantik yang berkembang secara umum merupakan realitas sedangkan pemahaman cantik yang diterima oleh tiap-tiap individu

barulah disebut dengan pengetahuan. Berger memiliki pandangan tentang konstruksi realitas kehidupan sehari-hari. Ia membagi menjadi dua bagian besar yaitu masyarakat sebagai realitas objektif dan masyarakat sebagai realitas subjektif.

 Masyarakat sebagai realitas objektif

Pada dasarnya masyarakat tercipta sebagai realitas objektif karena adanya berbagai

individu yang mengeksternalisasikan dirinya atau mengungkapkan subjektivitas masing-masing lewat aktifitasnya.25. Menurut Berger, individu cenderung untuk melakukan aktifitas yang sama dengan yang pernah ia lakukan, atau dengan kata lain mereka terbiasa (terhabitualisasi). Dari

aktifitas yang telah ter-habitualisasi inilah kemudian muncul yang disebutBerger dengan tipikasi. Tipikasi ini dapat memunculkan sebuah pranata sosial apabila, (1) ditransmisikan dari generasi

ke generasi hingga usianya melampaui usia aktor-aktor yang memunculkan tipikasi mutual di masa awal, (2) mampu menjadi patokan berperilaku bagi anggota-anggota suatu kolektivitas pada umumnya.26 Jadi tipikasi timbal balik ini dapat berubah menjadi sebuah pranata atau

institusi sosial saat ia sudah berlaku luas, eksternal (objektif), dan bersifat memaksa terhadap kesadaran tiap individu pembentuknya.

(24)

 Masyarakat sebagai realitas subjektif

Berger berpendapat bahwa hubungan antara individu dan masyarakat merupakan hubungan

dialektis yang saling membentuk dan menentukan. Menurutnya, manusia lahir sebagai tabula rasa dimana ia siap untuk menerima internalisasi dari masyarakat dalam kesadarannya. Di dalam proses internalisasi inilah individu menerima definisi situasi institusional yang disampaikan

orang lain.27 Tidak hanya mampu memahami definisi orang lain, namun individu ini juga menjalin definisi tersebut bersama-sama sehingga membentuk pendefinisian bersama. Setelah

proses inilah individu baru dapat diterima sebagai anggota masyarakat dan berperan dalam pembentukan dan pengubahan masyarakatnya.

Senada dengan yang telah dikemukakan Berger, manusia sesuai hakikatnya sebagai makhluk

pencari makna memperoleh makna kehidupan dari proses dialektika yang melibatkan tiga proses yaitu eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.28 Eksternalisasi yaitu proses penyesuaian diri

manusia dengan lingkungannya. Obyektivasi yaitu proses tatanan kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas obyektif yang terpisah dengan subyektivitas. Tindakan-tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan membentuk lembaga-lembaga yang merupakan milik

bersama. Lembaga-lembaga ini mengendalikan dan mengatur perilaku individu. Internalisasi menyangkut identitas diri individu kedalam realitas obyektif. Dalam proses internalisasi,

manusia menjadi produk masyarakat. Untuk mencapai taraf ini, individu secara terus menerus berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial dan budayanya, sehingga akhirnya mereka dibentuk sebagai suatu pribadi dengan suatu identitas yang bisa dikenal secara subyektif

dan obyektif.29 Ketiga proses ini merupakan momen proses dialektika yang berlangsung secara 27Samuel Hanneman , Op.Cit,hlm 37.

28Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi

Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari), Jakarta: LP3ES, 1990, hlm 3-5.

29Peter L. Berger, Thomas Luckmann, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterajemahkan dari buku

(25)

terus-menerus. Jika dalam proses ini ada momen yang diabaikan maka akan mengakibatkan terjadinya distorsi.

Proses pembentukan konstruksi tersebut juga dapat digunakan untuk menjelaskan konstruksi cantik yang sebelumnya telah terbangun di masyarakat. Dimana dalam hal ini yang turut membentuk konstruksi tersebut adalah media massa. Iklan kecantikan merupakan media

massa yang berperan untuk mengendalikan dan mengatur perilaku individu dalam memaknai kecantikan. Hal tersebut sesuai dengan proses obyektivasi dalam dialektika yang mengatur

individu secara kolektif. Secara terus-menerus, proses pengaturan perilaku individu dilakukan oleh media massa dengan ide-ide yang terus dipaparkan kepada setiap individu. Ide-ide yang terus ditangkap oleh individu lama-kelamaan akan mempengaruhi pemikiran-pemikirannya. Saat

individu-individu tersebut bertemu satu sama lain dan saling bertukar pendapat, saat itu juga terbentuklah suatu pemikiran obyektif hasil dari konstruksi yang diberikan oleh media massa.

Hal tersebut berkaitan dengan proses internalisasi dimana manusia sebagai individu mulai dinilai juga secara obyektif. Dalam hal ini, praktek serta produk perawatan tubuh hadir di tengah-tengah masyarakat yang tengah terkonstruksi dalam hal kecantikan. Klinik kecantikan ini merupakan

sebuah lembaga yang berperan sebagai sebuah alat yang memberikan layanan jasa bagi anggota masyarakat yang membutuhkannya. Konstruksi sosial sendiri tidak berlangsung dalam ruang

hampa, tetapi sarat dengan kepentingan-kepentingan. Sehingga konstruksi cantik itu juga akan terbentuk atas dasar adanya kepentingan-kepentingan. Seperti halnya praktek serta produk yang memiliki kepentingan untuk menjual jasa dan produk kecantikannnya kepada masyarakat dan

konsumen khususnya. Berger menjelaskan bahwa dunia sosial dibangun oleh makna-makna yang diberikan oleh manusia dalam batasan-batasan realitas. Oleh sebab itu, keberadaan konstruksi

(26)

1.6 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan menggunakan

pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif ini memiliki karakteristik dengan mendeskripsikan suatu keberadaan sebenarnya, tetapi laporan bukanlah sekedar berbentuk kejadian tanpa suatu interpretasi ilmiah. Peneliti menggunakan metode ini dengan tujuan untuk menggali secara lebih

mendalam fenomena wanita yang memperindah diri melalui peran skin care dan cenderung mengarah kepada gaya hidup konsumtif. Cresswell mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai

sebuah proses penyelidikan untuk memahami masalah social atau masalah manusia berdasarkan pada penciptaan gambaran holistic lengakap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secaran terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah.30

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling dimana

pemilihan informan didasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu dari peneliti sehingga akhirnya mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber. Adapun kriteria yang ditentukan oleh peneliti adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan pekerjaan setiap harinya

di wilayah segitiga emas Jakarta yang terlibat dalam perawatan kecantikan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka informan inti penelitian ini adalah pekerja professional berumur antara 20-35

tahun. Jumlah informan yang diambil adalah sebanyak 8 informan dari 3 wilayah yang termasuk ke dalam segitiga emas Jakarta yaitu Jalan HR Rasuna Said, Jalan Jenderal Soedirman dan Jalan MH Thamrin. Subjek informan dalam penelitian ini terdiri dari informa kunci dan informan

berjumlah 8 orang yang terdiri dari 4 orang professional muda berjenis kelamin wanita dan 4 orang professional muda berjenis kelamin laki-laki yang bekerja di sekitar jalan Jendral 30John W Creswell, Research Design, Qualitative, Quantitative Approaches (terjemaahan), (Jakarta: KIK Press,

(27)

Sudirman, jalan HR Rasuna Said dan jalan MH Thamrin. Dipilihnya lokasi tersebut dikarenakan ketiga jalan yang sering disebut sebagai segitiga emas Jakarta menjadi pusat lapangan pekerjaan

para professional muda sekaligus kawasan elit di Jakarta. 2. Peran Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, peran peneliti adalah sebagai instrument utama dalam

pengumpulan data secara langsung. Seperti yang dikemukakan Creswell bahwa peneliti kuualitatif merupakan alat utama dalam mengumpulkan data dan analisis data serta peneliti

kualitatif harus terjun langsung ke lapangan ketika melakukan observasi partisipasi di lapangan.31 Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan observasi lapangan, yakni pengamatan secara langsung turun ke lokasi penelitian. Observasi lapangan yang dilakukan

adalah dengan melakukan pembuatan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan krpada subjek penelitian atau informan. Selain itu, peneliti juga melakuakn persiapan untuk melakukan

pendekatan dengan calon informan. Pendekatan dilakukan untuk meminta kesediaan calon informan serta untukmenjalin hubungan baik dari awal dan membentuk sebuah kepercayaan.

Untuk mendapatkan sebuah data yang berkualitas memanglah sulit, akan tetapi dengan

dibekali oleh pengetahuan mengenai metode penelitian, teori/konsep, serta latihan-latihan tertentu yang peneliti dapatkan selama menuntut ilmu di jurusan sosiologi, akan memudahkan

peneliti dalam memperolah data yang berkualitas. Peneliti juga harus cepat tanggap ketika melihat gejala gejala yang terjadi di masyarakat. Untuk menambah data dan sebagai data sekunder, maka peneliti menambah data dari berbagai literature yang ada seperti buku, majalah,

koran, internet, artikel dan studi kepustakaan.

(28)

Lokasi penelitian ini difokuskan pada jalan Sudirman, MH Thamrin dan HR Rasuna Said yang berada di daerah Jakarta Selatan. Waktu penelitian dimulai dari bulan agustus 2014.

Mencari informan yakni para professional muda perkotaan yang bekerja di kawasan tersebut yang terdiri dari 4 wanita dan 4 pria secara random. Peneliti akan bertanya kepada mereka tentang pengaruh perawatan tubuh yang mereka lakukan dengan gaya hidup serta citra mereka

dimata masyarakat serta implikasi sosial yang mereka rasakan sebelum dan sesudah menggunakan perawatan kecantikan tersebut.

4. Etika penelitian

Etika dalam suatu penelitian sangat penting untuk dilakukan agar informan percaya, merasa nyaman, tidak merasa terganggu, berkomunikasi tanpa jarak hingga dapat membina

keakraban diantara informan dan peneliti (rapport). Untuk itu peneliti harus memahami karakteristik social, baik dari pandangan peneliti sendiri, maupun sikap dan gesture informan

ketika berinteraksi dengan peneliti atau dengan sesamanya.

5. Teknik pengumpulan data

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui pengamatan dan observasi lapangan. Peneliti melakukan wawancara

tatap muka, wawancara empat mata serta wawancara secara pribadi, jika informan tidak dapat diamati secara langsung, mereka memberi informasi secara “tidak langsung” yang disaring melalui pandangan obyek wawancara. Kemudian peneliti juga melakukan Studi komparasi yakni

(29)

informasi yang peneliti dapatkan telah menjelaskan gejala yang terjadi. Kemudian penelusuran historis dengan mengacu pada sumber sumber ilmiah yang dikomparasikan dengan kutipan

wawancara dengan informan yang telah ditentukan. Pengumpulan data lainnya dilakukan dengan bentuk dokumentasi, dokumentasi pribadi seperti jurnal dan foto. Dokumentasi dapat diakses diwaktu yang dipilih peneliti, sumber informan yang tidak menonjol, mengharuskan pengamatan

untuk mencari informasi ditempat yang sulit ditemukan. 32

6. Triangulasi Data

Teknik triangulasi data dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua cara yaitu secara

langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi ketika peneliti turun lapangan dan mendapatkan berbagai informasi mengenai penelitian dimana informasi yang diperoleh tidak

serta merta ditelan begitu saja oleh peneliti. Proses pemilihan data sebelum di tuangkan ke dalam tulisan ini pun telah dilakukan, serta melakukan pengecekan ulang terhadap data-data yang telah didapatkan dengan menimbangkan hasil wawancara dari informan dengan fakta yang ada di

lapangan. Sehingga data yang didapat dan digunakan dapat dijamin keabsahannya. Untuk melakukan triangulasi data peneliti membutuhkan informan kunci yang sangat mendukung bagi

penelitian ini, yakni wanita yang kesemuanya bekerja di kawasan segi tiga emas Jakarta. Untuk menghasilkan data yang valid peneliti juga melakuka kroscek terhadap segala informasi yang didapat dari berbagai sumber. Adapun cara tidak langsung yang peneliti gunakan adalah dengan

menggunakan literatur yang berkaitan dengan penelitian, baik berupa buku ataupun jurnal resmi yang diperoleh oleh peneliti.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari beberapa bab dan sub bab didalamnya dan dibawah ini adalah sistematika penulisan, antara lain:

(30)

 BAB 1 : di Bab ini berisi pendahuluan dengan sub bab latar belakang, permasalahan

penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan penelitian sejenis, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penelitian.

 BAB 2 : posisi sosial wilayah Sudirman, MH. Thamrin dan Rasuna Said serta Profil Profesional Muda Pengguna Body Care yang terdiri dari informasi mengenai daerah

Sudirman, Thamrin dan Rasuna Said Jakarta Selatan, informasi dari 4 orang profesional muda wanita dan 4 orang profesional muda laki-laki yang bekerja di kawasan tersebut. Berisi

pengantar, profil informan, dan posisi sosial kawasan segitiga emas Sudirman, Thamrin dan Rasuna said serta sosial, budaya dan ekonomi daerah tersebut.

 BAB 3 : dalam Bab ini mengambil tema tentang perawatan tubuh dan konstruksi sosialnya bagi professional muda Jakarta.

 BAB 4 : di Bab ini penulis mengambil tema tentang implikasi sosial perawatan tubuh

dalam gaya hidup masyarakat perkotaan.

 BAB 5 : dalam Bab 5 yang juga akhir dari penelitian ini sebagai penutup yang berisi

kesimpulan dan saran yang diajukan oleh peneliti terhadap permasalahan penelitian. Berisi simpulan yang telah didapat selama menulis skripsi milai dari Bab 1 sampai Bab 4 mengenai

Gambar

Tabel 1.1

Referensi

Dokumen terkait

Karyawan yang percaya bahwa kebutuhan mereka sesuai dengan tuntutan pekerjaan mereka cenderung untuk menyarankan cara- cara baru dalam melakukan sesuatu dan membantu

Media yang digunakan adalah TSA (Tryptic Soy Agar), dibuat dengan cara: 45,7 g serbuk TSA dituangkan ke dalam 1 L aquades mendidih pada labu Erlenmeyer, kemudian

Skripsi dengan judul ”PELAKSANAAN PERDAMAIAN (DADING) DALAM GUGATAN HARTA BERSAMA (Studi Kasus Perkara Nomor 0924/Pdt.G/2015/PA.Kds)”.Secara umum bertujuan untuk

tidak cukup didalam satu silinder karena katup atau gasket bocor, atau cincin torak yang macet atau patah. Penemuan dari penyebab yang tepat dan perbaikannya sangat penting

Jumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada kartu stok dan memberi dengan warna merah dibawah jumlah penerimaan dan

Selain itu persepsi pendengar ini juga menjadi bahan pertimbangan dan masukkan bagi radio Swaragama FM sebagai media massa yang memiliki fungsi sosial dengan

Perbedaan metode ekstraksi maserasi, perkolasi, sokletasi dan refluks dapat menghasilkan kadar flavonoid total yang berbeda dari ekstrak metanol daun kersen (Muntingia

a) Konservasi Energi secara umum adalah adalah upaya sistematis, terencana, dan terpadu guna melestarikan sumber daya energi serta meningkatkan