• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH AKHLAK TASAWUF TENTANG TASAAWUF (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH AKHLAK TASAWUF TENTANG TASAAWUF (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Tasawuf

TASAWUF AKHLAKI DAN TOKOHNYA

Disusun Oleh:

KELOMPOK VIII

1. M. ILMI ZIKRI FIRDAUS

27133026

2. M. RIZKY ARIF NASUTION

27131028

3. NURSYAM MELINDA

27134031

4. RAHMADANI

27131033

JURUSAN AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH A

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SU

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta Alam. yang telah menganugerahkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kita semua. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca karena telah memberikan masukan dan inspirasi untuk dapat lebih efektif menyampaikan ide dalam makalah ini. Makalah ini disusun dengan harapan dapat bermanfaat dan sebagai bahan kuliah.

Makalah ini berisi tentang Tasawuf Akhlaki dan Tokoh-tokohnya. Disadari tentunya banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Di samping itu juga masih perlu penambahan bahan-bahan yang diperlukan untuk memenuhi materi ini. Akan tetapi kiranya materi ini diharapkan dapat menambah ilmu dan wawasan serta bermanfaat bagi kita.

Medan, Desember 2014

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I...1

PENDAHULUAN... 1

BAB II...2

PEMBAHASAN... 2

A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi...2

B. Tokoh – Tokoh Tasawuf Akhlaqi...3

C. Manfaat Mempelajari Tasawuf Akhlaqi...13

BAB III...14

PENUTUP... 14

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam mendekatkan diri kepada Allah, diperlukan akhlak-akhlak terpuji terlebih dahulu karena ilmu tasawuf adalah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin. Namun kebanyakan sekarang ini banyak sekali penulis melihat orang yang berakhlak mazmumah (tercela). Jadi, untuk itu hal utama yang harus dilakukan adalah dengan memperbaiki akhlaknya terlebih dahulu, melalui beberapa tahapan-tahapan.

Akhlak menurut bahasa berarti tingkah laku, perangai atau tabi’at. Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan yang menjelaskan tentang baik dan buruk. Mengatur pergaulan manusia, dan menentukan tujuan akhir usaha dan pekerjaan. Sedangkan tasawuf ialah berasal dari bahasa arab yaitu : shufa-yashufa-shafa artinya mempunyai bulu banyak. Kemudian kata itu terjadi perubahan kata kepada mazid (tambahan) 2 huruf “Ta” dan tasdid waw, sehingga menjadi : tashufa-yashufa-tashufa. Yang artinya menjadi suf.

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Akhlaqi

Taswuf akhlaki adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para suf.

Dalam pandangan para suf berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu sama sekali. Oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap, sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:

1. Takhalli

Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang suf. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.

2. Tahalli

(6)

dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan

3. Tajalli

Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M.). Ia dilahirkan dua malam sebelum khalifah Umar bin Khaththab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

Dialah yang mula – mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu – ilmu kebatinan, kemurnian akhlaq, dan usaha menyucikan jiwa di Mesjid Bashrah. Ajaran – ajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi. Sahabat – sahabat Nabi yang masih hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya. Bahkan, ketika ada orang datang kepada Anas bin Malik, sahabat Nabi yang utama untuk menanyakan persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “bergurulah kepada Syekh ini. Saya sudah saksikan sendiri keistimewaannya. Tidak ada seorang tabiin pun menyerupai sahabat Nabi selainnya.

(7)

dikenal sebagai seorang yang wara’ dan berani dalam memperjuangkan kebenaran. Di antara karya tulisnya berisi kecaman terhadap aliran kalam Qadariyyah dan tafsir-tafsir Al-Quran.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

Abu Na’im Al-Ashbahani telah menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai berikut, ”Sahabat takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah.” Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Lebih jauh lagi, Hamka telah mengemukakan sebagian ajaran-ajaran tasawuf Hasan Al-Basri berikut ini:

1. Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tenteram lebih baik daripada rasa tenteram yang menimbulkan perasaan takut.

2. Dunia adalah negeri tempat beramal.

3. Tafakur membawa kita pada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat menyebabkan kita mengulanginya lagi. Sesuatu yang fana’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun banyaknya tidak akan menyamai sesuatu yang baqa’ betapa pun sedikitnya. Waspadalah terhadap negeri yang cepat datang dan pergi serta penuh tipuan

4. Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuk dan berapa kali ditinggalkan mati suaminya.

5. Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena berada di antara dua perasaan takut : Takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.

6. Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, akan kiamat yang akan menagih janjinya.

(8)

Berkaitan dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar flsafat Islam, menyatakan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti, ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya, tetapi kebesaran jiwanya akan kekurangan dan kelalian dirinya yang mendasari tasawufnya itu.

Di antara ajarn tasawuf Hasan Al-Bashri dan senantiasa menjadi buah bibir kaum suf adalah :

“Anak Adam! Dirimu, diriku!

Dirimu hanya satu,

Kalau ia binasa, binasalah engkau

Dan orang yang telah selamat tak dapat menolong mu.

Tiap-tiap nikmat yang bukan surga adalah hina.

Dan tiap-tiap bala bencana yang bukan neraka adalah mudah.

2. Al–Muhasibi (165–243 H) a. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah Al–Harits bin Asad Al– Bashri Al–Baghdadi Al–Muhasibi. Tokoh suf ini lebih dikenal dengan sebutan Al–Muhasibi. Tokoh suf ini lebih dikenal dengan sebutan Al– Muhasibi. Ia dilahirkan di Bashrah, Irak, tahun 165 H/781 M. Dan meninggal di negara yang sama pada tahun 243 H/857 M. Ia adalah suf dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu seperti tasawuf, hadis, dan fqh. Ia merupakan fgur suf yang dikenal senang tiada menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering kali mengintrospeksi diri menurut amal yang dilakukannya.

Al–Muhasibi menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya. Tatkala menghadapi madzhab– madzhab yang dianut umat Islam, Al–Muhasibi menemukan kelompok–kelompk. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar tentang keakhiratan. Namun jumlah mereka sangat sedikit.

(9)

kewajiban–kewajiban, wara’, dan meneladani Rasulullah. Tatkala sudah melaksanakan hal–hal di atas, menurut Al–Muhasibi, seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara fqh dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia.

b.Ajaran – Ajaran Tasawuf 1. Makrifat

Al–Muhasibi menjelaskan tahapan–tahapan makrifat sebagai berikut:

a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat merupakan wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagaimana dilakukan sebagian orang. Di antara implementasi kecintaan kepada Allah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain.

b. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap makrifat selanjutnya.

c. Pada tahad ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah–khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan oleh Allah.

d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sebagian suf dengan fana’ yang menyebabkan baqa’.

2. Khauf dan Raja’

(10)

khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.

Khauf dan raja’ dapat dilakukan dengan sempurna hanya dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia terkesan pula mengaitkan kedua sifat itu dengan ibadah dan dengan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan bahwa Al-Quran jelas berbicara tentang pembalasan pahala dan siksaan. Ajakan-ajakan Al-Quran pun sesungguhnya dibangun atas dasar targhib (sugesti) dan tarhib (ancaman). Al-Quran jelas pula berbicara tentang surga dan neraka.

Raja’ dalam pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal saleh, seseorang berhak mengharap pahala dari Allah. Inilah yang dilakukan oleh mukmin sejati dan para sahabat Nabi

Al-Qusyairi adalah salah seorang tokoh suf utama dari abad kelima Hijriyah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para suf dan tasawuf aliran Sunni pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa itu, baik dari segi teoritis maupun praktis.

(11)

Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut aliran Mu’tazilah Rafdhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya, Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairi adalah seorang yang mampu “mengompromikan syariat dengan hakikat,” Al-Qusyairi wafat tahun 465 H.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

1. Mengembalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunah

Seandainya karta Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus Sunnah, sebagaimana pernyataannya.

“Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (maksudnya para suf) membina prinsip-prinsip tawawuf atas landasan tauhid yang benar, sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah, yang tidak tertandingi serta mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu diadakan ketiadaaanya. Karena itu, tokoh aliran ini, Al-Junaid mengatakan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan seperti dikatakan Abu Muhammad Al-Jariri bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancurannya.” 2. Kesehatan Batin

Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para suf pada masanya, karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan pakaian mereka ia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana perkataannya,

(12)

tersingkapkan, niscaya tampak keburukan para suf yang mengada-ada dalam berpakaian. Setiap tasawuf yang tidak dibarengi dengan kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru serta bukannya yang batin. Dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Quran maupun As-Sunnah adalah pengingkaran Tuhan dan bukan tauhid; dan setiap pengenalan terhadap Allah (makrifat) yang tidak dibarengi kerendah hatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu dan bukannya pengenalan terhadap Allah.” kelompok tersebut telah tiada. Dalam bekas mereka, tidak ada yang tinggal dari kelompok tersebut, kecuali bekas-bekas mereka.” Kemah itu hanya serupa kemah mereka. Kaum wanita itu, kulihat, bukan mereka.” Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Tusi al-Syaf’I; dan lebih dikenal dengan nama al-Ghazali. Dia dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di suatu kampung yang bernama Gazalah, di daerah Tus yang terletak di wilayah Khurasan.

(13)

keinginan dan doanya tercapai. Ia meninggal sewaktu Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad, masih kecil.

Selagi masih kecil, mereka dititipkan kepada seorang suf, teman ayahnya agar bisa dididik. Karena ayahnya yang tidak berkecukupan, dan karenanya harta warisan yang ditinggalkannya untuk kedua anaknya itu tidak banyak jumlahnya, maka tidak berapa lama penerima titipan yang suf itu lalu menyerahkan mereka ke sebuah madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Guru al-Ghazali yang utama di madrasah ini adalah Yusuf al-Nassaj, seorang suf terkenal.

Pada masa kecilnya, al-Ghazali juga belajar pada salah seorang faqih di kota kelahirannya, yaitu Ahmad bin Muhammad al-Razakani. Lalu dia pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nasr al-Isma’ili. Setelah itu kemballi ke Tus dan terus pergi ke Nisapur. Di sini dia belajar pada salah seorang teolog aliran Asy’ariyah yang terkenal, Abu al-Ma’ali al-Juwaini, yang bergelar Imam al-Haramain. Tidak hanya ilmu agama yang dia pelajari di sini, tetapi juga flsafat, sehingga dia diakui dapat mengimbangi keahlian gurunya yang dihormatinya itu. Dengan tidak ragu Imam al-Haramain mengangkatnya sebagai dosen fakultas pada Universitas Nizamiyah. Bahkan dia sering menggantikan gurunya di kala gurunya berhalangan, baik untuk mewakilinya dalam memimpin maupun untuk menggantikannya dalam mengajar.

Setelah gurunya, Imam al-Haramain meninggal (478H/1085 M), al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan menetap di sana selama kurang lebih lima tahun. Dikatakan, pindahnya al-Ghazali ke sana adalah atas permintaan Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang sangat tertarik kepadanya. Dia diminta untuk memberikan pengajian tetap sekali dua minggu di hadapan para pembesar dan para pakar, di samping kedudukannya sebagai penasihat Perdana Menteri.

Dalam kesempatan al-Ghazali berada di Mu’askar, dia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana Perdana Menteri Nizam al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan itulah, agaknya, al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang berpengetahuan luas dan dalam, sehingga pada tahun 484 H/1091 M ia diangkat oleh Nizam al-Mulk menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah Baghdad. Tetapi kedudukannya ini tidak lama dipegangnya meskipun dari sana keharuman namanya tersebar ke mana-mana melalui tulisan-tulisannya, baik dalam ilmu fqh-bidang keahlian pokoknya maupun melalui tulisan-tulisannya di bidang flsafat, teologi dan lain sebagainya.

(14)

keragu-raguannya sewaktu berada di Baghdad itu, pertanyaan yang selalu membentur di hatinya adalah apakah pengetahuan yang hakiki itu, apakah ia diperoleh melalui indera atau melalui akal, ataukah dengan jalan lain. pertanyaan-pertanyaan inilah yang pada akhirnya memaksanya untuk menyelidiki kebenaran pengetahuan manusia. Pertama-tama, dia meragukan semua pengetahuan yang telah dicapai manusia pada masanya. Keraguan ini seperti diceritakannya sendiri di dalam kitabnya Al-Munqiz min al-Dalal, hampir dua bulan lamanya dan selama itu, katanya, hampir seperti kaum flosof. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan menyembuhkan penyakit keraguan itu. Ini terjadi, demikian pengakuan al-Ghazali, tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, tetapi dengan nur yang diberikan Allah ke dalam kalbunya.

Al-Ghazali meninjau kembali jalan hidup yang selama ini dilaluinya. Menurutnya, dia telah tenggelam dalam samudera godaan dan rintangan. Segala pekerjaannya, termasuk mengajar yang dipandang mulia, dia tinjau sedalam-dalamnya. Jelas, katanya, dia sedang berada di jalan yang salah, dia perhatikan berbagai ilmu ynag ridak bermanfaat untuk perjalanan ke akhirat. Niat dan tujuan dalam mendidik dan mengajar, menurutnya, tidak sebenarnya ikhlas karena Allah, tetapi dicampuri oleh motivasi ingin kedudukan dan kemasyhuran. Dia, katanya, sedang berdiri di pinggir jurang yang curam, di atas tebing yang terjal, dan hampir jatuh atau jelasnya, dia nyaris jatuh ke dalam neraka dan akan segera tercampak ke dalamnya, jika tidak mau mengubah sikap.

Di antara karya al-Ghazali yang populer, yaitu; al-Munqiz min al-Dalal; Tahafut al-Falasifah; al-Iqtishad f al-I’tiqad; al-Wajiz; Ihya’ ‘ulum ad-Din; Minhaj Anwar; ar-Risalah Lauduniyah; Bidayah al-Hidayah; al-Adab di ad-Din, Raudah at-Talibin wa Umdah as-Salikin san Kitab Arbain.

b. Ajaran-Ajaran Tasawuf

(15)

seperti Ihya Ulum Ad-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, dan Ayuhal Walad.

Menurut Al-Ghazali, jalan tasawuf baru dapat dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela, sehingga kalbu dapat lepas dari segala sesuatu yang selain Allah dan berhias dengan selalu mengingat Allah. Ia pun berpendapat bahwa sosok suf adalah menempuh jalan kepada Allah, dan perjalanan hidup mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah yang paling benar, dan moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik lahir Selanjutnya, Harun Nasution juga menjelaskan pendapat Al-Ghazali yang dikutip dari Al-Qusyairi bahwa qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui hakikat segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya akan menerima illuminasi dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya-Nya kepada sang suf sehingga yang dilihat sang suf hanyalah Allah. Disini, sampailah ia ke tingkat makrifat.

(16)

Makrifat seorang suf tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si Fulan ada di dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri. Ringkasnya, makrifat menurut Al-Ghazali tidak seperti makrifat menurut orang awam maupun menurut ulama mutakallim, tetapi makrifat suf yang dibangun atas dasar dzauq ruhani dan kasyf ilahi. Makrifat semacam ini dapat dicapai oleh para khawash auliya’ tanpa melalui perantara, langsung dari Allah. Sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali. Nabi tinggi adalah melihat Allah (ru’yatullah). Di dalam kita Kimiya’ As-Sa’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah (kebahagiaan) itu sesuai dengan watak (tabiat), sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaannya. Nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah. Nikmatnya telinga terletak ketika mendengar suara yang merdu. Demikian juga, seluruh anggota tubuh, masing-masing mempunyai kenikmatan tersendiri.

Kenikmatannya qalb sebagai alat memperoleh makrifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan paling agung yang tiada taranya karena makrifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lain. Sebagaimana perasaan dapat bertemu presiden akan lebih bangga dan senang daripada perasaan bertemu menteri. Hal ini dapat dianalogikan dengan perasaan kalau dapat berhubungan dengan Allah, Tuhan penguasa alam ini, seseorang tentunya akan lebih senang dan bangga. Inilah kesenangan dan kebahagiaan sejati yang tiada taranya.

Kelezatan dan kenikmatan dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan hilang walaupun manusia sudah mati. Sebab, qalb tidak ikut mati, malah kenikmatannya bertambah karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya terang.

(17)

Adapun manfaat dalam mempelajari tasawuf akhlaki sebagai berikut :

1. Seseorang akan dapat memperoleh posisi baik di dalam masyarakat.

2. Akan disenangi orang dalam pergaulan.

3. Akan terhindar dari hukuman yang sifatnya manusiawi dan sebagai makhluk yang diciptakan Allah.

4. Orang yang bertakwa dan berakhlak akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dalam memperoleh keluruhan kehidupan dan sebutan yang baik dalam masyarakat. Jasa seseorang yang berakhlak mendapatkan perlindungan dari segala penderitaan dan kesukaran hidup.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan:

1. Tasawuf akhlaqi ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji.

2. Dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak yaitu tahap Takhalli, tahap Tahalli, dan tahap Tajalli.

3. Tokoh-tokoh dari tasawuf akhlaki ini adalah Hasan Al-Bashri, Al– Muhasibi, Al-Qusairy dan Al-Ghazali.

(18)

5. Al–Muhasibi terkesan mengaitkan sifat khauf dan raja’ itu dengan etika–etika keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati pula dengan dua sifat di atas, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat–sifat lainnya. Pangkal wara’, menurutnya, adalah ketakwaan, pangkal ketakwaan, pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri (muhasabat an-nafs), pangkal introspeksi diri adalah khauf dan raja’, pangkal khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah, sedangkan pangkal pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan. 6. Tasawuf pada masa Al-Qusairy mulai menyimpang dari

perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi-segi moral dan tingkah laku.

7. Al-Ghazali memilih tasawuf Sunni yang berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlussunnah wal Jamah. Dari paham tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi para flosof Islam, sekte Isma’iliyyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://tasawufakhlaqi.blogspot.com/

http://ucikasih.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: referensi.

(19)

Referensi

Dokumen terkait

Badan penderita akan mengadakan reaksi terhapat invasi virus AIDS dengan jalan membentuk antibodi spesifik, yaitu antibodi HIV, yang agaknya tidak dapat menetralisasi virus