• Tidak ada hasil yang ditemukan

Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Partisipasi Masyarakat dalam Aspek Pembiayaan Sektor Publik

Sebagai Perwujudan Hak dan Kewajibannya dalam Penyediaan Barang

dan Jasa Publik

Oleh:

Kodrat Wibowo, SE, Ph.D

Abstract

One consequence of Indonesian fscaa decentraaization and regionaa autonomy is that aocaa governments now have more responsibiaity to provide pubaic goods and services, especiaaay in fnancing aspect. Fostering citizen participation is very important to provide a better access for aocaa pubaic goods and services. This paper anaayzes some basic strategies of how pubaic, both citizen and private may abae to participate in pubaic goods and services. One important strategy proposed is voluntary contribution mechanism combined with seaective incentive: reward and punishment. Since the stronger-need participation of citizen in public goods and services may put local government in problem of free rider, determination of the reward and punishment does need an appropriate monitoring system that will lead to the more financial and political fairness between local government and its citizen.

Keyword: Pubaic Finance; Decentraaization; Pubaic Participation

I. Latar Belakang

Peran dominan dari salah satu agen perekonomian yaitu “pemerintah” dalam model sederhana untuk penyediaan barang dan jasa publik sudah tidak dapat diragukan lagi. Dengan adanya alasan perlunya pemerintah memperbaiki hasil-hasil dari adanya kegagalan mekanisme pasar (market failure) dalam pencapaian tingkat keseimbangan setiap kegiatan perekonomian, peran pemerintah sebagai penyedia barang dan jasa publik termasuk penyediaan infrastruktur telah menjadi satu pokok bahasan tersendiri dalam ekonomi sektor publik dan keuangan publik.

(2)

1999 tentang kewenangan pemerintan daerah dan UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Kedua undang-undang ini kemudian diperbaharui dan telah digantikan oleh UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 dengan beberapa perubahan yang lebih menjelaskan peranan dan hak serta kewajiban tiap tingkat pemerintahan yang lebih detail termasuk diantaranya masalah pemilihan kepala daerah. Pemerintah daerah dengan dua dasar hukum ini sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan barang dan jasa publik yang sebelumnya lebih banyak disediakan oleh pemerintah pusat lewat badan dan kementerian.1 Penyediaan barang dan

jasa publik ini adalah implementasi langsung dari upaya memperbaiki kegagalan mekanisme pasar yang terjadi pada perekonomian di tingkat daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Pendidikan dasar, kesehatan, persediaan air minum, jalan daerah dan infrastruktur daerah dikebanyakan negara disediakan oleh pemerintah daerah (Sen, 1985).

Penyediaan barang dan jasa publik dan khusunya kegiatan kepemerintahan sendiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kewenangan pemerintah daerah untuk menggali pendapatannya sendiri lewat PAD telah banyak dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh beberapa daerah, namun tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa peranan dana transfer dari pemerintah pusat (DAU dan DAK) serta penerimaan bagi hasil terhadap total penerimaan daerah masih sangat dominan. Tidak mengherankan bila kemudian dapat dilihat bahwa masalah defisit anggaran di tingkat pemerintah daerah bukan merupakan suatu strategi yang memang disengaja oleh pengambil kebijakan pembangunan perekonomian di daerah, namun lebih merupakan fenomena umum bahwa jumlah belanja pemerintah daerah lebih besar dibandingkan penerimaan pemerintah itu sendiri dengan kata lain “lebih besar pasak daripada tiang”. Istilah adanya anggaran berimbang dinamis diperiode sebelum tahun 2004 lebih memperlihatkan bahwa pemerintah daerah tetap tidak dapat lepas dari ketergantungan hutang berupa pinjaman terhadap pemerintah pusat atau pihak lain sebagai salah satu bentuk penerimaan.2 Namun seiring dengan bergulirnya

reformasi, struktur neraca belanja di Indonesia telah memisahkan aspek pembiayaan dari

1 Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and Regional Geovernment

after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004

2 UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 membolehkan adanya upaya memperoleh pinjaman luar negeri selain

(3)

komponen penerimaan dan pengeluaran dalam anggaran belanja-nya, guna memungkinkan adanya suatu pola anggaran yang memang defisit atau bahkan surplus sekalipun sebagai strategi perekonomian negara dan daerah. Selanjutnya juga sebagai implementasi dari desentralisasi fiskal dan otonomi daerah yang lebih teratur, wacana pinjaman daerah yang berasal dari sumber non pemerintah pusat dengan kata lain yang berasal dari partsipasi pihak masyarakat atau swasta telah dibuka selebar-lebarnya.

Kebutuhan dana pembiayaan oleh pemerintah daerah terutama dari pinjaman daerah memang secara undang-undang masih belum jelas peraturan-peraturan pelengkapnya. Namun sudah jelas bahwa terdapat sedikitnya empat saluran dimana akses pemerintah daerah terhadap pembiayaan via pinjaman dapat dilakukan:

1. Pinjaman langsung oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah

2. Pinjaman lewat perantara publik, dalam hal ini lembaga keuangan milik negara atau daerah

3. Pinjaman langsung dari Pasar Modal, dan 4. Melalui Desentralisasi Pasar bila dimungkinkan.

Makalah ini akan lebih banyak membahas tentang saluran ke empat yaitu akses pembiayaan melalui desentralisasi pasar dari layanan publik. Saluran ini dirasakan paling memungkinkan karena kelemahan-kelemahan dari saluran 1 sampai dengan 3 yaitu misalnya pinjaman langsung dari pemerintah pusat dengan kapasitas fiskal yang terbatas hanya akan memaksa pemerintah pusat untuk mencari dana pinjaman lewat pinjaman/hutang luar negeri (on-lending to subnational tiers), jelas hal yang dihindari akhir-akhir ini. Pinjaman lewat perantara publik dalam hal lembaga keuangan milik negara atau daerah harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat mengakibatkan konflik dan kompetisi antara investasi publik dan investasi swasta. Terakhir, pinjaman langsung dari pasar modal juga terasa kurang nyaman dilakukan karena akses pasar modal yang masih terbatas di daerah-daerah luar pulau Jawa terutama Indonesia bagian timur.

(4)

Desentralisasi pasar merupakan saluran pembiayan yang melibatkan partisisipasi masyarakat dalam hal ini terutama sektor swasta dalam hal pembiayaan hingga penyampaian barang dan jasa publik yang biasanya dilakukan pemerintah kepada masyarakat umum. Dalam saluran ini, ide utama adalah bahwa pemerintah seharusnya secara luas mempromosikan partisipasi sektor swasta dalam jasa publik tradisional yang ditenggarai tidak memiliki “market failure”. Walaupun misalnya tejadi market failure, pemerintah tetap harus mempromosikan partisipasi sektor swasta ini dengan pertimbangan-pertimbangan seperti biaya dan kualitas. Selain masalah pembiayaan, upaya desentralisasi pasar ini juga didorong oleh adanya keraguan bahwa pemerintah memiliki kemampuan produksi yang efisien seperti halnya sektor swasta dan juga realita bahwa masalah “free rider” dalam pemanfaatan dan konsumsi barang dan jasa publik tidak dapat diselesakan lewat penyediaan oleh pemerintah.

Studi empiris secara historis memperlihatkan banyak potensi bagi sektor swasta untuk berpartisipasi dalam penyediaan berbagai barang publik: Coase (1974) mempelajari kemampuan swasta dalam penyediaan mercusuar; Ellig & High (1988) menggunakan penyediaan jasa pendidikan; riset pertanian (Majewsky, 1989) dan komoditas lainnya (lihat Cowen, 1988 dan Wooldridge, 1970).

Idealnya pemerintah dalam promosi partisipasi sektor swasta ini harus pula menjamin bahwa sisi equity, neutrality, continuity, dan stability tetap terjamin oleh aturan-aturan yang secara jelas harus memisahkan peranan swasta dan publik dalam penyediaan barang dan jasa publik. Terdapat sedikitnya tiga jenis desentralisasi pasar yang sudah umum diberlakukan diberbagai negara, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah:

1. Privatisasi: Badan usaha milik pemerintah yang memproduksi penyediaan barang dan jasa publik secara kepemilikan akan dialihkan kepada sektor swasta.

(5)

3. Consignment of Operations: secara komprehensif atau sebagian dari operasional Badan usaha penyedia barang dan jasa publik di re-legasikan kepada sektor swasta.

Ketiga jenis desentralisasi pasar ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana perbedaan tingkat partisipasi masyarakat dalam hal ini sektor usaha swasta yang dimungkinkan dalam penyediaan batang dan jasa publik yang biasanya dilakukan oleh pihak sektor publik atau pemerintah. Pembahasan lebih lanjut dari partisipasi sektor swasta sebagai bagian dari masyarakat ini akan dilakukan lebih detail oleh makalah lainnya, karena terdapat anggota masyarakat lainnya yang tidak termasuk pengusaha sektor swasta, dalam hal ini penduduk biasa yang juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai masyarakat dalam hak dan kewajibannya dalam penyediaan barang dan jasa publik.

III. Partisipasi Masyarakat Umum III.1. Partisipasi Pembiayaan

Secara mendasar, keikutsertaan masyarakat dalam arti individu-individu terhadap penyediaan barang dan jasa publik dapat diterangkan sebagai upaya dari menekan timbulnya gejala umum free rider yang jelas akan mengurangi keberhasilan upaya pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik. Banyak studi literatur yang berupaya mengidentifikasi karakteristik masyarakat yang dapat membantu menekan atau semaksimal mungkin meniadakan gejala masalah free rider. Olson (1965) dan Hardin (1982) berpendapat bahwa obyek dari penyediaan barang dan jasa publik dalam kelompok masyarakat yang lebih kecil dapat lebih sukses dibandingkan kelompok masyarakat dengan jumlah besar.

Cara lain dalam menekan adanya masalah free rider dalam penyediaan barang dan jasa publik adalah pemberlakuan selective incentive, mengkompensasi masyarakat untuk kontribusi sukarela (voluntary contribution) mereka, beberapa cara diantaranya dengan

(6)

manfaat, hanya anggota masyarakat yang butuh manfaatlah yang lebih sukarela berkontribusi.

Kontribusi sukarela ini (kontribusi berbentuk sumbangan uang maupun sumbangan in-kind) bila digabungkan dengan kontribusi yang non-sukarela dengan kata lain dipaksakan (pajak dan retribusi), secara jumlah moneter tentunya akan dapat mendorong pada peningkatan kuantitas sekaligus kualitas dari penyediaan barang dan jasa publik dalam suatu daerah. Walaupun di daerah-daerah dengan tingkat keragaman etnis dan ketimpangan ekonomi yang tinggi, terdapat bukti empiris bahwa kualitas dan kuantitas produksi barang dan jasa publik yang mendasarkan pada voluntary contribution mechanism akan lebih buruk (Alesina et al, 1999; Easterly & Levine, 1997; Nugent and Swaminathan, 2004).3

Penjelasan lain dari partisipasi masyarakat dapat dijelaskan dengan bahasan pendekatan perilaku strategi manusia secara ekonomi (behavioural economics) dan ketergantungan antar individu, karenanya banyak didekati analisanya lewat pendekatan game theory. Hipotesis utama pendekatan perilaku ini adalah perilaku manusia lebih bersifat

boundedly selfish dengan kata lain tidak secara murni mementingkan diri sendiri tapi lebih mementingkan kepentingan kelompoknya secara terbatas. Terdapat dua alasan mengapa voluntary contribution untuk pembiayaan hingga penyampaian barang dan jasa publik dapat terjadi: (i) konsumsi utilitas atau manfaat secara langsung dari keikutsertaan dalam kegiatan sosial dan (ii) Potensi dari keuntungan komersil di waktu yang akan datang dari network yang terbangun selama aktif berpartisipasi. Kedua alasan ini memang dapat dimengerti karena seringnya ditampilkan para pejabat, artis, pengusaha dan pejabat dalam kegiatan-kegiatan penyediaan barang dan jasa publik ini. Contoh yang paling mudah di Indonesia dalam hal ini adalah penyediaan barang publik berupa fasilitas kesehatan dasar di tingkat kecamatan hingga desa/kelurahan yaitu pos pelayanan kesehatan terpadu (posyandu) yang secara statistik terbukti telah menjadi kunci keberhasilan Indonesia di masa orde baru dalam upaya strategi kesehatan masyarakat

(7)

menuju tingkat indikator kualitas manusia Indonesia yang lebih baik. Pembiayaan posyandu sangat beragam dimulai dari sumbangan tiap pribadi anggota masyarakat hingga anggaran desa dan sumbangan lain, namun secara keuangan publik, posyandu adalah murni partisipasi masyarakat. Pada setiap kegiatan posyandu (minimal 1 kali dalam sebulan) akan hadir para pejabat pemerintahan lokal beserta pejabat dinas dan instansi terkait yang sebetulnya secara implisit merupakan faktor penjual dari kegiatan penyediaan jasa publik berupa kesehatan ini.4 Menggejalanya berbagai wabah penyakit di

Indonesia seperti demam berdarah, polio, campak, diare dan lain-lain merupakan indikasi makin menurunnya peran dari posyandu di daerah pemukiman dalam meng-komplementasi penyediaan jasa kesehatan publik oleh pemerintah pusat dan daerah.

Tentunya mekanisme voluntary contribution yang telah dipraktekkan dalam bidang kesehatan ini dapat pula diterapkan pada berbagai barang dan jasa publik lain seperti pendidikan dasar, pertamanan, keamanan, sanitasi, dan ketertiban serta lainnya, yang tentunya harus tetap berbentuk informal seperti posyandu atau satuan pengamanan (satpam) di komplek perumahan dibandingkan dengan yang berbentuk formal dan jelas-jelas dibiayai oleh pemerintah pusat maupun daerah seperti puskemas, rumah sakit umum pusat dan daerah, Satpol Pamong Praja, dan Kepolisian RI.

Pola selective incentive dengan reward untuk yang berpartisipasi atau punishment bagi yang menolak berpartisipasi dapat dimodifikasi dengan pola selective incentive yang mengadopsi sedikit dari pola pembiayaan pembangunan melalui penerimaan undian/lotre, yaitu dengan memberlakukan suatu reward berdasarkan undian bagi para anggota masyarakat yang bersedia berpartisipasi dalam pembiayaan baik secara moneter maupun

in-kind dalam penyediaan barang dan jasa publik. Landry et.al (2005) menyatakan bahwa secara experiment di lapangan telah terbukti bahwa mekanisme voluntary contribution

secara selective incentive dilihat dari kinerja hasil masih kalah jauh oleh kinerja pola

voluntary contribution dengan pendekatan rewards dengan sistem insentif lotre. Memang

4 Indonesia memperoleh penghargaan dari UNICEF dan WHO untuk kegiatan posyandu ini. Walaupun

(8)

harus dipertimbangkan dengan kuat terhadap adanya resistensi sosial dari penerapan pola insetif /undian loter ini dikarenakan adanya fakta bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan “judi” masih dianggap haram secara nilai agama dan budaya masyarakat Indonesia tanpa melihat tujuan dan aspek korespondensi antara sumber pembiayaan dan tujuan alokasi pengeluarannya yang jelas secara signifikan bertujuan untuk kesejahteraan sosial bersama.5

III.2. Partisipasi Masyarakat non Pembiayaan

Sebenarnya partisipasi masyarakat dalam penyediaan barang dan jasa publik lebih banyak dikaitkan dengan hubungan masyarakat sebagai objek dari mekanisme politik dan public choice dalam proses pengambilan kebijakan. Partisipasi dalam definisi yang dikeluarkan oleh World Bank dan Asian Development Bank adalah suatu proses melalui keterpengaruhan dari dan antar stakeholders serta pembagian fungsi pengawasan terhadap inisiatif pembangunan, pengambilan keputusan, serta sumber-sumber daya yang mempengaruhinya. Dalam definisi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), partisipasi masyarakat ini dijelaskan sebagai upaya mencapai ide bahwa masyarakat adalah pelaku pembangunan yang dimulai dari tahap perencanaan hingga tahap implementasi dan pengawasan terhadap program dan proyek pembangunan. Program dan proyek pembangunan ini termasuk diantaranya program dan proyek untuk pembangunan sosial dan program dan proyek untuk infrastruktur ekonomi. Beberapa jenis partisipasi masyarakat dalam program-program pembangunan yang bersifat penyediaan barang dan jasa publik termasuk infrastruktur ekonomi (Pretty, 1995) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Information Disclosure, masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahukan tentang adanya suatu program yang telah diputuskan atau bahkan disahkan. Peran masyarakat dalam hal ini adalah pasif karena mereka yang berpartisipasi hanyalah penerima dampak dan manfaat dari program dan proyek. Dalam bentuk partisipasi ini tidak terdapat sistem umpan balik (feedback) yang sistematis.

5 Di Amerika Serikat seluruh negara bagian yang tidak memiliki sumber penerimaan lotre sebagian

(9)

2. Konsultansi Publik, masyarakat berpartisipasi dengan cara dikonsultasikan. Agen eksternal (konsultan) mendefinisikan masalah dan pengumpulan informasi dan mengawasi analisa yang diperoleh. Konsultasi dengan publik ini tidak mewajibkan agen eksternal untuk memperhitungkan pendapat masyarakat namun

feedback yang diperoleh dimungkinkan responsivitasnya dan akuntabiliti-nya. Dalam jenis konsultasi ini, hal-hal yang berkaitan dengan masalah opsi dan resiko dapat pula didiskusikan.

3. Functional Participation, masyarakat didorong untuk berpartisipasi guna mencapai tujuan dan sasaran program dan proyek pembangunan. Partisipasi ini diharapkan dapat menurunkan besaran biaya dan patuh pada syarat-syarat prosedural. Sifat yang terasa pada jenis konsultasi ini adalah dimungkinkannya suatu negosiasi antara pelaksana program dan proyek dengan pihak masyarakat yang menerima dampak dan benefit dari program dan proyek.

4. Interactive Participation, masyarakat berpartisipasi lewat kemitraan dengan agen external pada tahap awal yang strategis dan sepanjang implementasi program tersebut.

5. Self Mobilization, masyarakat berpartisipasi dengan inisiatif sendiri terutama bila pemerintah, LSM dan sektor swasta menyediakan kerangka dan sistem yang memungkinkan partisipasi ini terjadi.

(10)

IV. Kesimpulan

Untuk aspek partisipasi masyarakat lewat peran sektor swasta dan individu masyarakat, sepertinya peraturan dan perundang-undangan yang telah tersedia cukup memadai untuk

dijadikan dasar pemikiran perlunya suatu Masterplan Pembiayaan Daerah yang meliputi

seluruh komponen masyarakat beserta kepentingan-kepentingannya. Khusus untuk program dan proyek penyediaan barang dan jasa publik, karena berbeda kaidahnya dengan program dan proyek yang dilaksanakan oleh sektor swasta, ada baiknya

ditenggarai pentingnya kombinasi SWOT analysis dengan Regulatory Impact

Assesstment (RIA)6, minimal secara parsial guna melengkapi analisa dampak keseluruhan

dari Masterplan Pembiayaan Daerah yang melibatkan konsultasi publik yang lebih

dalam analisa dan bahasannya hingga ke tahap monitoring dan evaluasi dari program dan proyek tersebut.

Daftar Pustaka

Alesina, A. and R. Perotti (1996). ‘Income Distribution, Political Instability and Growth’.

European Economic Review, 40, 1203-28.

Bardhan, Pranab, Maitreesh Ghatak and Alexander Karaivanov, “Inequality, Market Imperfections, and the Voluntary Provision of Collective Goods”, University of Chicago University Press, 2002

Coase, R.H. ’”The Lighthouse in Economics." Journal of Law and Economics, October 1974, 357-376.

Cowen, Tyler, ed. The Theory of Market Failure: A Critical Examination. Fairfax, Virginia: George Mason University Press, 1988.

Easterly, W. and R. Levine (1997). ‘Africa’s Growth Tragedy: Policies and Ethnic Divisions’, Quarterly Journal of Economics; 112 (4), 1203-50.

Ellig, Jerome and Jack High. The Private Supply of Education: Some Historical Evidence." In The Theory of Market Failure: A Critical Examination, edited by Tyler Cowen. Fairfax, Virginia: Goerge Mason University Press, 1988.

6 Metode ini banyak digunakan di negara-negara anggota OECD untuk penilaian evaluasi terhadap suatu

(11)

Kodrat Wibowo, “Lessons from Previous Taxes’ Studies to Indonesian Lokal and Regional Geovernment after Fiskal Decentralization”, Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, Vol. III No. I, 2004

Landr, Craig, Andreas Lange, John A. List, Michael K. Price and Nicholas G. Rupp, Toward An Understanding Of The Economics Of Charity: Evidence From A Field Experiment, NBER, 2005

Majewski, John. "Farming and the Public Good: Social Incentives and Agricultural Research in England, 1600-1850." Photocopy, Department of History, University of California, Los Angeles, 1989.

Pretty, J.N. (1995) ‘Participatory learning for sustainable agriculture’, World Development 23(8) 1247–63

(12)

BIODATA PENULIS

Referensi

Dokumen terkait

“Meretas Involusi Kajian Hukum Islam di Indonesia: Pengalaman Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”, Asy-Syir‘ah: Jurnal Ilmu Syari‘ah dan

Pengolahan limbah yang baik dan lebih bijak oleh pelaku industri dapat mendorong terciptanya lingkungan yang sehat. Pengelolaan limbah ini sangat penting baik

Harapan dikembangkannya suatu media pembelajaran berupa alat peraga dengan teknologi Augmented Reality tersebut adalah guna untuk membantu memvisualisasikan proses daur

Persamaan ini menunjukan bahwa hubungan kemampuan berpikir kritis dan konsep diri dengan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan kelas V di SD Negeri 01 Mempawah

Namun, pada tindakan siklus I belum semua siswa aktif dalam melakukan pengamatan sesuai hasil observasi yang menunjukkan bahwa aktivitas belajar siswa hanya mencapai

Hasil penelitian menunjukkan tahap-tahap untuk mengetahui hasil dari proses pembelajaran teknik dasar gitar elektrik di Sekolah musik prodigy conservatory of music, dasar

Preferensi pakan tikus pada beberapa perlakuan beras menunjukkan varietas yang disukai adalah Pandan Wangi dengan rata-rata konsumsi 6,82g ekor -1 , kemudian berturut-.

Berdasarkan perubahan sistem informasi penyewaan bus pariwisata yang berjalan dan setelah kebutuhan-kebutuhan sistem yang baru telah ditentukan, maka langkah-langkah