• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH NILAI NILAI KEADILAN DALAM AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH NILAI NILAI KEADILAN DALAM AGAMA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

NILAI-NILAI KEADILAN DALAM AGAMA BUDHA

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi-studi Agama

Dosen Pembina :

Drs. Faridi, M.Si

Disusun Oleh :

Moch. Khoirul Hasbi (201310010311007)

Akbarlita Ari Kurnia (201310010311019)

Cela Petty Susanti (201310010311034)

Rahmad Rafid (201310010311040)

Hanif Zafrullah (201310010311043)

TARBIYAH A

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Meskipun banyak rintangan yang harus kami hadapi namun dalam proses pembuatan makalah ini kami dimudahkan jalan oleh-Nya. Tidak lupa salawat dan salam kami haturkan kepada junjungan kita sang Revolusioner serta pencerah bagi umat manusia, Nabi Muhammad Saw dan keluarga serta para sahabatnya. Makalah ini membahas tentang

“Nilai-nilai Keadilan dalam Agama Budha”.

Kami membuat makalah ini selain untuk mengerjakan tugas juga dengan harapan dapat menambah pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya. Kami menyadari bahwa makalah kami ini masih jauh dari kesempurnaan karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini ke depannya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Malang, 16 Desember 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I : PENDAHULUAN...1

Latar Belakang...1

Rumusan Masalah...2

Tujuan Penulisan...2

BAB II : PEMBAHASAN...3

Keadilan dalam Budha...3

Konsep Keadilan Gender dalam Budha...6

PENUTUP...15

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Sebab Akibat menjamin semua orang akan “menerima apa yang telah mereka tuai” dan oleh karena itu,“mereka yang hidup dengan pedang akan mati oleh pedang.” Pada sisi lain, orang yang hidup dalam perdamaian, akan memulai sebuah gerakan yang akan memberikan ketenangan dan kedamaian bagi orang lain pula dan masyarakat pun akan dijauhkan dari kebencian dan kekerasan. Semua yang terjadi adalah sebuah rangkaian yang tak terpisahkan. Kita berbuat kebaikan maka akan menerima kebaikan demikian sebaliknya.

Ini tidak berarti bahwa seseorang yang mengikuti Dharma hanya berdiam diri terhadap sebuah tindak kejahatan dan ketidakadilan. Apa yang dimaksudkan dalam padangan Buddhis ini adalah bahwa pengunaan kekuatan senjata atau kekuasaan adalah usaha terakhir yang sebenarnya adalah sebuah kegagalan. Buddhisme mengatakan bahwa pengunaan senjata untuk menghentikan kekerasan dan ketidakadilan untuk jangka pendek mungkin terlihat berhasil, namun pada masa mendatang memunculkan persoalan baru yakni tumbuhnya benih-benih kebencian baru, dan akhirnya akan timbul masalah yang sama lagi. Penyelesaian secara Buddhisme adalah menemukan cara-cara yang tidak mengunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan pribadi, sosial dan internasional. Dengan semangat dan kreatifitas, kebijaksanaan dan rasa welas asih, sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah secara damai akan dapat ditemukan .

Persoalan Bangsa Indonesia juga berada dalam konteks yang sama. Selagi segala kebencian dan kekerasan serta kepentingan pribadi dikedepankan maka tidak ada kedamaian, ketenangan

(5)

kaku dan sempit. Alam dan manusia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, ketika kesesatan terjadi dalam diri manusia, maka alam pun akan berubah. Alam tidak ramah karena manusia yang tidak ramah.

Hal yang terpenting menjadi tujuan dari segala kepercayaan dan agama adalah peningkatan diri dan dunia secara keseluruhan. Sebagai contoh, Nichiren Shu, sebagai sebuah kelompok Buddhis dan seluruh pengikutnya harus dengan tegas berusaha menciptakan perdamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi seluruh mahluk hidup. Hidup manusia harus dilindungi dan dihargai, dan seluruh masyarakat harus didorong ke arah perdamaian dan kebahagiaan. Oleh karena itu, Nichiren Shu secara tegas menolak segala bentuk peperangan, segala kekerasan, kebencian, pengembangan senjata nuklir, dan turut menyebarluaskan keadilan dan kedamaian dalam masyarakat. Selain menyebarluaskan nilai-nilai ini dalam masyarakat, kita percaya bahwa ajaran Sang Buddha yang dibabarkan dalam Saddharma Pundarika Sutra dan dengan mengikuti ajaran dari Nichiren Shonin, kita dapat mewujudkan sebuah kehidupan yang alami dan wajar sesuai dengan nilai-nilai kehidupan itu sendiri. Kita juga harus selalu berusaha menciptakan kedamaian dan kebahagiaan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah

Berkaca pada pemaparan latar belakang di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah nilai keadilan menurut agama Budha ?

2. Bagaimanakah konsep keadilan gender dalam agama Budha ?

C. Tujuan Penulisan

Merujuk pada rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui nilai keadilan menurut agama Budha.

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Keadilan Menurut Budha

Sang Buddha sebelumnya bernama Siddharta Gautama yang tinggal di utara India hampir 2500 tahun yang lalu. Beliau dikenal sebagai inspirasi spiritual dan pendiri aliran religius yang sekarang disebut agama Buddha. Buddha sebenarnya merupakan sebutan dan bukanlah sebuah nama. Kata ini berarti orang yang tersadarkan atau tercerahkan akan kodrat hidup dan maknanya. Buddha merupakan sebutan yang diberikan sebagai tanda bagi pencapaian spiritual tertinggi dan kebahagiaan abadi.1

Sang Buddha hidup sekitar tahun 563 – 483 SM (kaum terpelajar masih mendebatkan masa hidup dan ajaran Sang Buddha ini). Konon ia dilahirkan pada waktu bulan purnama di Taman Lumbini, Utara India, pada sebuah bukit di kaki pegunungan Himalaya, di dekat wilayah yang sekarang dikenal sebagai Nepal. Ia menikmati kehidupan yang nyaman sejak dilahirkan sebagai Pangeran, tetapi kemudian tertarik untuk mempelajari kebenaran spiritual setelah menyadari penderitaan yang menyertai kehidupan.2

Dalam versi lain, Huston Smith menceritakan: Fakta historis mengenai kehidupan beliau kira-kira seperti berikut: beliau dilahirkan sekitar tahun 560 Sebelum Masehi di India Utara, kira-kira seratus mil dari Benares. Ayahnya seorang raja. Namun, karena pada waktu itu India belum bersatu, lebih tepat kiranya menganggap ayahnya sebagai seorang bangsawan feodal. Lingkungan hidup putranya itu mirip dengan suasana Puri bangsawan Skotlandia dalam abad pertengahan. Nama lengkap beliau adalah Siddharta Gautama dari Sakya. Siddharta adalah nama kecilnya, Gautama adalah nama keluarganya, dan Sakya adalah nama marga keluarganya.3

Dalam konteksnya dengan sejarah Sang Buddha, menarik diketengahkan pendapat Karen Armstrong yang menyatakan: Saat kita berusaha meneliti tentang kehidupan Buddha, kita bergantung pada risalah-risalah agama Buddha yang banyak sekali jumlahnya, yang ditulis dalam berbagai bahasa yang ada di Asia yang bila dikumpulkan bisa memenuhi rak buku di perpustakaan. Tak mengejutkan, sejarah penulisan ajaran-ajaran Buddha ini sangat

1 Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta : Erlangga 2001), hlm. 1

2 Ibid, hlm. 1

(7)

kompleks dan banyak isi di antara sumber-sumber itu yang kontroversial. Tapi secara umum terdapat kepercayaan bahwa teksteks keagamaan ajaran Buddha yang paling berguna (sebagai rujukan) adalah yang ditulis dalam bahasa Pali, sebuah bahasa berdialek India utara dengan asal yang tidak jelas yang tampaknya serumpun dengan ragam bahasa Magadha, bahasa yang mungkin digunakan oleh Gautama sendiri.4

M. Arifin dalam bukunya memaparkan tokoh Sang Buddha dengan paparan sebagai di bawah ini: Agama ini timbul pada abad ke VI SM di India Utara (Daerah Kerajaan Magadha). Diajarkan oleh Sang Gautama atau Siddharta (hidup 560 SM s/d 480 SM), seorang putra Raja Magadha bernama Suddodhana. Menurut riwayat hidupnya, Gautama mula-mula beragama Hindu sebagaimana orang tuanya. Untuk mencegah pengaruh kehidupan masyarakat sekitar yang mungkin dapat melemahkan kepercayaan/keimanannya dalam agama, maka dia tidak diizinkan melihat kenyataan hidup di luar istana. Dia mengalami pendidikan isolatif dari masyarakat luas luar istana.5

ajaran pokok yang disampaikan oleh Buddha Gautama kepada murid-muridnya berupa empat kebenaran mulia yang disebut Catur Arya Satyani yang terdiri dari:

a. Dukkha, atinya penderitaan

Maksudnya bahwa hidup di dunia adalah penderitaan seperti terasa sakit menjadi tua, mati, dan berpisah dari segala yang dicintai dan tidak tercapai apa yang dicita-citakan. Oleh karena itu kesenangan sebenarnya pangkal penderitaan.

b. Samudya, artinya sebab penderitaan

Yang menyebabkan penderitaan adalah keinginan untuk hidup yang disebut tanha. c. Nirodha, artina pemadaman

Maksudnya bahwa cara pemadaman atau menghilangkan penderitaan itu dengan jalan menghapuskan Tanha.

d. Margha, artinya jalan untuk menghilangkan tanha

Bila tanha telah dihilangkan maka seeseorang akan mencapai nirwana yaitu alam kesempurnaan dimana ia akan merasakan kenikmatan yang abadi.

Untuk menghilangkan tanha manusai harus menempuh delapan jalan yang mulai yang disebut Astha, Arya, Margha yaitu:

a) kepercayaan yang benar b) niat dan pikiran yang benar

4 Karen Armstrong, Buddha, Terj. T.Widyantoro, (Yogyakarta : Bentang Budaya 2003), hlm. vii

(8)

c) perkataan yang benar

Buddha mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki hakikat keBudha-an di dalam dirinya. Shakyamuni (rahib atau yang bijaksana dari kaum Shakya) menganggap kebaikan dan potensi-potensinya di dalam hakikat manusia tidak terikat dengan tubuh jasmani. Walaupun ajaran Buddha mengandung ajaran yang terbuka bagi penafsiran yang negatif, namun dia tetap memiliki konsep positif tentang kearifan dan cinta kasih tak terbatas yang terdapat di dalam pikiran manusia. Cinta kasih Buddha demikian luas dan menyentuh aspek keadilan sosial. Inilah yang kemudian dikembangkan menjadi ajaran Enam Paramita:

1) Dana-Paramita: persembahan yang sempurna

Menurut ajaran Budha, yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya adalah watak mereka yang dibentuk oleh tingkah laku sehari-hari. Sedangkan etika sosial Budha' menekankan bahwa setiap orang harus melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kedudukan sosialnya, yang ditentukan oleh hubungannya dengan warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Dengan demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya orang yang tidak menjalankan kewajiban, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak pantas diakui atau dihargai kedudukan sosialnya.

Untuk menjalankan tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, agama Budha berpegang dan melaksanakan ajaran-ajaran tentang kebaikan (dharma). Lebih dari itu norma-norma tingkah laku sosial merupakan akar atau landasan yang akan menghasilkan apa yang disebut emosi sosial yang membangkitkan kesadaran sosial pada manusia, membina ikatan

6 Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang : PT Wicaksana 1980), hlm. 95

7 Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta : Penerbit

(9)

moral dan spiritual dalam hubungan sosial, memupuk dan memperkuat hubungan sosial, dan dengan demikian menciptakan kebahagiaan hidup dalam masyarakat.

Di tengah-tengah masyarakat luas bangsa Indonesia, umat Budha Indonesia sebagai suatu kelompok umat beragama yang berpedoman kepada Dhamma Vinaya ajaran Sang Budha Gautama sebagaimana tercantum dalam Kitab Suci Tripitaka (Pali) sesungguhnya telah memiliki suatu ajaran serta pegangan hidup yang sempurna, guna membina kehidupan jasmani dan rohani yang luhur dan sejahtera, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama di kalangan umat Budha sendiri.

Dengan keadilan, umat Buddha Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama. Dalam rangka menciptakan keadilan sosial maka perlu dikembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.

Di dalam Sigalavada Sutta, Sang Budha Gautama telah membabarkan patokan bagi Umat Budha untuk melaksanakan pergaulan dengan sesama manusia yang berbeda kelompok, kedudukan dan peranannya, yaitu hubungan timbal balik antara anak dan orang tua, guru dan siswa, suami dan istri, teman dengan sahabat, majikan dengan pekerja, para bikhhu dengan umat, yang pada hakekatnya mengembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta menghormati hak-hak orang lain.

Demikian pula dipupuk sikap suka memberikan pertolongan kepada orang yang memerlukan agar dapat berdiri sendiri. Demikian juga dipupuk sikap suka bekerja keras dan sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.

B. Konsep Keadilan Gender dalam Buddha

Buddha bersabda: "Perempuan, dari perumah tangga sampai yang telah meninggalkan keduniawian, dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus (tingkat kesucian pertama), Tingkat yang kembali sekali lagi (tingkat kesucian kedua), Tingkat Yang Tak Kembali (tingkat kesucian ke-tiga), Tingkat Arahat (tingkat kesucian terakhir). Oleh karenanya perempuan seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Pandangan Buddha pada kemampuan pencapaian Pencerahan oleh perempuan dirangkum dengan baik oleh seorang murid perempuan beliau bernama Soma.

(10)

berpikir seperti ini: Oleh karena "Saya perempuan " atau "Saya pria" Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ..."Mara (penggoda) akan dapat menyapanya.8

Buddha mengajarkan, bahwa perempuan sebagai halnya laki-laki bebas untuk memilih perannya; sebagai ibu, isteri, pengusaha, biarawati, dan lainnya.

Kedudukan perempuan dalam Budha Dharma adalah sangat istimewa. Sang Budha memberikan kebebasan penuh kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang religius. Sang Budha adalah guru spiritual pertama yang memberikan kebebasan religius kepada kaum perempuan. Keadaan spiritual tertinggi dapat diraih baik oleh laki-laki atau perempuan. Tidak hanya dalam hal spiritual, tetapi juga dalam hal duniawi. Sang Budha membebaskan perempuan dari konsep bahwa perempuan harus menikah atau harus mempunyai anak laki-laki. Langkah Sang Budha untuk mengizinkan perempuan memasuki kehidupan suci termasuk sangat radikal untuk masa itu. Sekalipun begitu Sang Budha memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk membuktikan bahwa mereka juga mempunyai kapasitas untuk mencapai tingkatan tertinggi dalam kehidupan religius.9

Dalam naskah Budhis, ajaran Sang Budha menganjurkan dengan kuat kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam moral spiritual dan kemampuan sosial. Sasana atau persaudaraan Budhis terdiri dari Bhikkhu, Bhikkhuni, Upasaka dan Upasika, baik organisasi Bikkhu dan Bhikkhuni memiliki status yang sama. Disamping perempuan yang meninggalkan keduniawian menjadi bikkhuni, upasika, dalam masyarakat Budhis juga aktif dan sangat kuat dalam jalan spiritual mereka. Sang Budha menyatakan bahwa untuk keduanya laki-laki dan perempuan diperlukan praktek yang sama yang membawa seorang ke Nirwana.10 Keadaan spiritual tertinggi dapat diraih baik laki-laki maupun perempuan dan

tidak membutuhkan pertolongan laki-laki atau perantara pendeta untuk mencapainya, tidak ada arti jenis kelamin dalam melaksanakan Dharma jika orang memiliki kebijaksanaan, pengetahuan dan ketenangan.

Dalam periode Rg-Veda, perempuan kelihatan mempunyai tempat terhormat dalam masyarakat India, tetapi selanjutnya bersamaan dengan dominasi masyarakat oleh kasta pendeta Brahmana, trend posisi perempuan yang menurun mulai nyata. Hukum Brahmana, yang dikatakan hukum yang paling kejam dan anti perempuan. Ada kepercayaan yang sangat

8 Bhikkhuni Sasanakosalla Santini, “Kebodohan dan Egoisme Penyebab Ketidaksetaraan”,

dalam Jo Priastana (ed), Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, (Jakarta : Yasodhara Puteri 2004), hlm. 42 - 43

(11)

kuat bahwa hanya anak laki-laki yang dapat menjaga kelangsungan garis keluarga. Perempuan yang menikah tergantung apakah ia dapat melahirkan seorang anak laki-laki atau tidak, seorang gadis muda yang tidak menikah dianggap rendah oleh masyarakat dan dijadikan sebagai obyek kecaman mereka. Dipercaya bahwa perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk mencapai surga melalui kebaikannya sendiri, tetapi hanya dapat melalui kepatuhan mutlak kepada suaminya. Sudah jelas bahwa posisi perempuan dalam ajaran Budhis berbeda dengan yang dijelaskan diatas. Tidak hanya dalam hal spiritual, tetapi juga dalam hal duniawi. Sang Budha membebaskan perempuan dan konsep bahwa perempuan harus menikah atau harus mempunyai anak laki-laki. Dalam Sigalovada Sutta Budha mengajarkan hubungan antara suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga, menekankan pentingnya hubungan timbal balik saling mengisi pada tugas dan tanggung jawab yang sama penting dengan laki-laki dalam kehidupan keluarga.11

Dalam naskah Budhis, Sang Budha mengajarkan kelemahan umat manusia tidak dilihat dan jenis kelamin. Perhatian Sang Budha bukan pada kelemahan laki-laki atau perempuan, tetapi kelemahan seluruh umat manusia tanpa memperhatikan jenis kelamin. Secara fisik, laki-laki dan perempuan berbeda, seperti yang dinyatakan oleh Alisan Jaggar tidak ada hal yang begitu murni seperti "kewanitaan". Seseorang tidak hanya produk jenis kelamin, tetapi merupakan produk golongan, kebudayaan, pendidikan, masyarakat, ekonomi, ras, kepribadian, dan sebagainya. jenis kelamin hanyalah sebagian lagi yang kita punya. Sang Budha membuang semua label ini dan mengungkapkan sifat alami manusia itu sendiri. Perhatian utama Budha Dharma adalah pada bagaimana mengubah kelemahan dari laki-laki dan perempuan yaitu seperti sikap egois, keramahan/kebencian, keserakahan dan ketidak tahuan.12

Abad ini diwarnai dengan berbagai tantangan dan perombakan tata dunia yang lebih baik, yang membutuhkan persepsi dan sikap baru manusia, timbulnya emansipasi perempuan yang kemudian mendalami jati dirinya dalam gerakan feminis merupakan hal baru dalam kehidupan perempuan yang juga merupakan perjuangan untuk meningkatkan harkatnya sebagai manusia yang terhormat pula. Studi perempuan dan peranannya dewasa ini menjadi penting, terutama setelah adanya pertemuan-pertemuan para wali perempuan di dunia internasional untuk bersama meningkatkan peranan dan harkat martabat dari berbagai segi.

Suatu analisis baru berdasarkan agama yang dipelopori oleh kaum theologi feminis mulai berkembang dan merintis suatu studi kaitan antara agama dan peran perempuan dalam

11 Ibid, hlm. 9

(12)

cahaya kitab suci masing-masing. Banyak perubahan terjadi dari institusi keagamaan dengan makin banyak ditahbiskannya pendeta-pendeta dan ulama perempuan, partisipasinya yang makin bertambah dalam lembaga keagamaan maupun bergesernya pandangan terhadap norma dan nilai keagamaan yang merugikan perempuan. Karena agama merupakan dasar perilaku manusia yang dianut, maka banyak masalah timbul dari kaum perempuan apabila dalam pengabdiannya dibatasi oleh peraturan yang merugikan kemajuan jiwanya. Umumnya masyarakat masih dipengaruhi oleh interpretasi pemuka agama yang umumnya kaum laki-laki, yang tentu saja akan tetap memantapkan kekuasaannya.

Sebenarnya penampilan perempuan dalam agama-agama di dunia telah banyak ditulis dengan peringatan yang ditunjukkan kepada para perempuan yang dianggap pelopor atau suci di abadnya. Terbukti kemajuan kepada makhluk perempuan atau Dewi yang melambangkan kesucian sudah ada semenjak berabad-abad lampau dalam sejarah manusia. Mulai Mesir purba, Yunani purba sampai berkembangnya agama dan kepercayaan diberbagai benua, selalu ada sosok atau simbol kesucian perempuan yang dipuja. Di abad dua puluh ini dengan timbulnya emansipasi perempuan, maka mulailah tergerak dari kalangan kaum agama terutama tokoh perempuannya untuk mengadakan studi yang mendalam tentang hakikat perempuan ditinjau dari segi agama, dengan ini dikatakan, kalau perempuan sudah beremansipasi, ia seharusnya menyelami jati dirinya inilah yang disebut feminisme, mencari hakiki sebagai manusia. Posisi signifikan perempuan dalam Budha seperti dicontohkan oleh Prajapati Gautami sebagai Theolog Feminis Budhis Abad 5 SM.

(13)

pencukuran rambut dan memakai jubah kuning, dengan tujuan Budha bisa mengizinkan masuk pada perkumpulan Bikkhu.

Seorang Bikkhu senior, Thera Ananda melihat itu semua terharu dan ikut memperjuangkan permohonan Prajapati Gautami yang tanpa menyerah itu sebagai simpati rohaniawan laki-laki kepada wanita. Dan Thera Anandapun bertanya kepada Budha "Yang mulia Budha, apakah perempuan dapat pula mempunyai kemampuan untuk menaiki titian kesucian sebagai Sotupanna, anagami dan Arahat apabila ia membebaskan din dari keduaniwian kearah pembebasan agung Nirvana dibawah disiplin yang diajarkan Sang Budha? Jawab Sang Budha "Bila Prajapati Gautami bisa menerima peraturanperaturan, dapatlah ia diakui sebagai bentuk pentahbisannya". Kemudian diuraikan peraturan tersebut dalam Vinaya bagi para Bikkhu, Gautami menyatakan bahwa bersedia mengikutinya. Selesai mengucapkan ditahbiskanlah Gautami sebagai Bikkhuni pertama, yang kemudian diikuti oleh kelima ratus pengikutnya. Dengan demikian terbentuklah Sangha Bikkhuni. Organisasi wanita yang demokratis pertama dalam kalangan umat Budhis, ketuanya dipilih dari mereka yang mahir dalam Dharma, bukan karena kedudukan atau asal-usul. Kemudian diajarkan pula oleh Budha, bahwa martabat manusia ditentukan oleh perbuatannya, oleh amal dan kebijakannya dan bukan oleh keturunan, suku atau jenis kelamin.

Dengan terbukanya tingkat kesucian, lembaga latihan bagi kaum perempuan, maka kedudukannya menjadi berubah. Persepsi terhadap perempuan tidak lagi sebagai makhluk biologis untuk pemuas nafsu, tetapi dapat dihormati layaknya rohaniawan yang dapat mengajarkan agama dan menjadi tauladan membawa kesejahteraan batiniah bagi masyarakat dan bangsa. Aktualisasi diri wanita sebagai manusia yang dapat mencapai puncak pencapaian kemanusiaan mendapat wadah kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Sejak itu Sangha (perkumpulan) Bhikkhuni meluas diberbagai negara. Putri Sanghamita anak raja Asoka dengan restu ayahnya pergi ke Sri Langka untuk menahbskan para Bhikkhuni sejak abad 35 SM, perkumpulan Bhikkhuni mendapat pengikut di Cina, Korea, Taiwan dan sekitarnya, di Indonesia menurut Moh. Yamin, Candi Sewu merupakan asrama dari ratusan Bhikkhuni sejak abad kedelapan masehi.

(14)

atau lebih khusus lagi, perasaan sayang terhadap orang lain baik pada tetangga maupun masyarakat. Dalam hal ini cinta kasih dapat diwujudkan dengan selaku berlaku adil pada semua makhluk tanpa memandang jenisnya.

Ada berbagai macam persembahan. Yang paling umum adalah persembahan harta-benda misalnya, pakaian, barang perabotan atau perhiasan kepada para pencari kebenaran, pemimpin agama atau orang miskin. Mempersembahkan sesuatu kepada orang lain adalah wujud cinta, bahkan sekalipun tidak memberikan berupa barang, orang dapat memberikan senyuman. Senyuman di wajah akan membantu dunia menjadi lebih baik. Senyuman harus diberikan pada semua orang tanpa memandang status sosial.

Persembahan berupa ajaran adalah tingkatan yang lebih tinggi, karena ini merupakan persembahan spiritual. Cara memberi persembahan ajaran, dengan kata lain, mengajarkan kebenaran, adalah persembahan cinta kasih yang terbaik kepada orang-orang yang kurang secara spiritual; seperti gurun pasir yang merindukan siraman kebenaran untuk menghilangkan dahaga spiritualnya. Di zaman Shakyamuni, orang-orang awam biasanya mempersembahkan berbagai macam barang kepada para biksu atau biarawati, tapi apa yang mereka terima kemudian jauh lebih berharga dari apa yang mereka berikan. Para pencari kebenaran mengungkapkan rasa terima kasih mereka kepada orang-orang awam dengan cara mengajarkan kebenaran. Sementara orang-orang awam yang telah mengikuti ajaran Budha menjelaskan ajaran ini kepada mereka yang belum tersadarkan keyakinannya. Ini pun dapat dianggap sebagai Persembahan Ajaran dan cinta kasih yang besar.

Jenis persembahan yang lain adalah mempersembahkan kedamaian pikiran kepada orang yang sedang cemas dan takut, menderita atau bersedih hati dengan jalan mencarikan jalan keluar bagi persoalan yang mereka hadapi. Persembahan dalam bentuk harta-benda, ajaran atau kedamaian pikiran disebut "Tiga Persembahan" yang sangat besar maknanya dalam hubungannya dengan cinta kasih pada semua makhluk.

Dalam konteksnya dengan cinta kasih bahwa wujud konkret cinta kasih Buddha terlihat misalnya jika membuka kembali perjalanan semedi sang Buddha. Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bulan purnama, di tepi sungai Neranjara, ketika ia sedang mengheningkan cipta di bawah pohon Assatta (pohon Bodi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernafasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya, sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:

(15)

c) Cuti upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentukbentuk kehidupan, baik atau buruk, bergantung pada prilaku masingmasing,

d) Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan pada Avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan.

Dengan pengetahuan tersebut, ia mendapatkan penerangan yang sempurna, pengetahuan sejati dan kebebasan batin yang sempurna. Dia telah mendapatkan jawaban teka-teki kehidupan yang selama ini dicarinya, dengan pengertian penuh sebagaimana tercantum dalam empat ‘Kasunyatan mulia’ yaitu Penderitaan, Sumber Penderitaan, Lenyapnya Penderitaan, dan delapan cara yang utama menuju lenyapnya penderitaan itu.13

Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusa’ atau guru dari manusia. Satu minggu setelah mendapatkan penerangan sejati itu, ia terus saja duduk di bawah pohon Bodi menikmati pengalaman rohaninya. Pada Minggu terakhir melalui perenungan mendalam, ia berhasil mengetahui sebab akibat dari rangkaian penderitaan. Yaitu ‘Karena adanya Karma maka terjadilah bentuk karma, karena adanya bentuk karma maka terjadi kesadaran; karena terjadi kesadaran, terjadilah bentuk batin karena adanya keinginan, terjadi ikatan terjadi proses ‘dumadi’, karena proses dumadi terjadilah tumimbal lahir, karena tumimbal lahir, terjadilah umur tua, kelapukan, kesusahan, rapat tangis, kesakitan, kesedihan, kematian, dan sebagainya.14

Pada saat kedua malam ia menemukan sebab akibat yang saling tergantungan terbalik, misalnya bila tidak ada ini tidak ada itu dan seterusnya, karena lenyapnya proses dumadi, lenyaplah umur tua, kelapukan, kesusahan, ratap tangis, dan lenyaplah semua rangkaian penderitaan. Pada saat malam ketiga Buddha merenungkan sebab akibat yang saling bergantungan itu dengan cara langsung dan terbalik sekaligus.

Kemudian setelah tujuh Minggu menetap dengan tujuh kali bergeser tempat di sekeliling pohon Bodi, maka hari terakhir dari peristiwa-peristiwa yang suci itu, datanglah dua saudara, Tapusa dan Bhaluka yang terpesona melihat wajah Sang Buddha. Keduanya lalu mempersembahkan nasi, jajan dan madu serta memohon menjadi pengikutnya. Itulah pengikut Buddha yang pertama.

Setelah itu Sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain, karena darmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana. Jadi kepada siapakah darma itu harus diajarkan, kepada bekas gurunya, mereka sudah mati, kepada bekas muridnya

13 Abdurrrahman, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta : PT Hanindita ofset IAII Sunan Kalijaga Press 1988), hlm. 109.

(16)

barang kali, maka ia pergi ke Benares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kasunyatan itu.

Tentang pengembaraan dia ketika bermeditasi untuk mencapai pencerahan bahwa apa yang ditempuh Sang Buddha dalam hidupnya adalah rangka menebarkan cinta kasihnya kepada semua makhluk. Buddha pernah disakiti orang, kemudian tidak membalasnya tetapi ia minta pengampunan.

Peristiwa-peristiwa tersebut di atas sangat penting di dalam agama Buddha, yang disebut ‘dharma cakra pravartana sutera’, yaitu ‘pemutaran roda dharma’ yang selalu diperingati oleh para penganut agama Buddha.

Begitu juga Taman Isipatana di Benares yang merupakan tempat asal mula kelahiran ajaran Buddha dan Sangha, para pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi ummat Buddha. Sejak peristiwa pemutaran roda dharma tersebut mulailah Siddharta Gautama yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajarannya di seluruh India mulai dari kota Rajagraha, yang berpokok pada ‘tiga kebajikan kebenaran’, bahwa:

 Kehidupan manusia itu pada dasarnya tidak bahagia, sebab-sebab tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri, terbelenggu oleh nafsu,

 pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika semua nafsu dan

hasrat dapat ditiadakan, yang dalam ajaran Buddha adalah ‘Nirwana’,

 menimbang benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah yang benar, berusaha yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar.15

Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajarannya sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya yang memerlukan banyak’ Wihara’.

Pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di Kusiwara yang letaknya sekitar 180 km dari kota Benares. Ia meninggal tanpa menunjuk siapa yang menjadi penerusnya, sehingga di kemudian hari ajarannya terpecah menjadi dua golongan yaitu Theravada (Hinayana) dan Mahasangika (Mahayana).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam perspektif Buddha tampaknya keadilan tidak jauh artinya dengan pengertian secara umum yaitu esensinya adalah persamaan hak antara pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula dalam masalah gender ditemukan konsep yang tidak membedakan antara pria dengan

15 Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H.

(17)
(18)

BAB III

Kesimpulan

Semua agama yang ada dimuka bumi mempunyai nilai-nilai keadilan sebagaimana apa yang mereka yakini dalam agama yang dianutnya.nilai keadilan dalam sebuah agama merupakan tempat untuk menciptakan kedamaian, toleransi antar agama. Menurut agama budha jika manusia lebih mengedepankan kekerasan, kebencian dan kepentingan pribadi maka tidak akan ada kedamaian dalam dunia ini.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Gillian Stokes, Seri Siapa Dia Buddha, alih bahasa, Frans Kowa, (Jakarta : Erlangga 2001), hlm. 1

Huston Smith, Agama-Agama Manusia, Terj. Safrudin Bahar, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Anggota IKAPI 2001, hlm. 107.

Karen Armstrong, Buddha, Terj. T.Widyantoro, (Yogyakarta : Bentang Budaya 2003), hlm. Vii.

M. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta : CV. Sera Jaya 1991), hlm. 79

Moh.Rifa'i, Perbandingan Agama, (Semarang : PT Wicaksana 1980), hlm. 95.

Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha, Jalan Menuju Pencerahan, (Jogjakarta : Penerbit Saujana 2004), hlm. 85.

Bhikkhuni Sasanakosalla Santini, “Kebodohan dan Egoisme Penyebab Ketidaksetaraan”, dalam Jo Priastana (ed), Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, (Jakarta : Yasodhara Puteri 2004), hlm. 42 – 43.

Yayasan PMVBI, Wanita dan Budha Dharma, (Jakarta : Karania 1990), hlm. 2.

Abdurrrahman, Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta : PT Hanindita offset IAIN Sunan Kalijaga Press 1988), hlm. 109.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan pada awal bulan juni 2014 terhadap tiga perawat dimasing-masing ruangan yaitu ruang Kampar, Indragiri dan Siak Rumah

Pemberdayaan ( empowerment ) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program (misalnya, kebijakan pembangunan pertanian

Dengan media pengumpulan data wawancara penulis dapat menggunakan hasil jawaban dari responden sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kriteria apa saja yang akan digunakan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, peneliti akan meneliti Studi Kasus Penundaan Perkawinan Berdasarkan kitab Tajul Muluk pada Masyarakat Amuntai di

Menurut Basu Swastha dan Hani Handoko (2000:4), pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan – kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga,

Kadar aspal optimum yang digunakan adalah 6.00% pada campuran Laston Lapis Antara dengan nilai stabilitas marshall sisa yaitu 96.87 % yang telah memenuhi syarat

Serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera setelah ter!adi bencana adalah tanggap darurat B. Pemerintah telah membuat sebuah lembaga yang khusus menangani bencana

Kadar Total Suspended Solid (TSS) pada air sungai sesudah tercemar limbah cair tahu secara keseluruhan di atas baku mutu yang telah ditetapkan yang disebabkan adanya limbah cair