• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA IBU SUKU REJANG MENGANCAM KELANGS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BUDAYA IBU SUKU REJANG MENGANCAM KELANGS"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

BUDAYA IBU SUKU REJANG MENGANCAM KELANGSUNGAN HIDUP BAYI BERAT BADAN LAHIR RENDAH

(MOTHER CULTURE THREATEN LOW BIRTH WEIGHT SURVIVAL RATE)

Demsa Simbolon

ABSTRAK

Bayi BBLR berisiko tinggi mengalami kesakitan dan kematian, sehingga dibutuhkan upaya perawatan khusus. Sementara di masyarakat masih ditemukan praktek budaya yang dapat mengancam kelangsungan hidup bayi. Penelitian pendekatan kualitatif secara Rapid Assement Prosedur bertujuan menggali informasi mendalam mengenai praktek budaya ibu suku Rejang dalam perawatan BBLR. Informan adalah ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi BBLR < 1 tahun di pilih dengan purposif sampling dengan prinsip kesesuaian dan kecukupan. Informan kunci adalah kepala puskesmas, bidan desa, orang tua informan, dukun bersalin, dan ketua adat. Dengan metode wawancara mendalam dan observasi, pengumpulan data mulai dengan pencatatan lapangan (field notes) kemudian dikembangkan menjadi expanded filed notes (transkrip). Data diolah dengan program EZ-TEXT dan dilakuan content analysis. Hasil penelitian menemukan pengetahuan ibu masih rendah, sikap unfavorable, dan praktek budaya yang tidak tepat dalam merawat bayi BBLR sehingga mengancam kelangsungan hidup bayi, seperti pemberian ASI yang tidak adekuat, MP-ASI yang kurang kandungan gizi, pencegahan hipotermia yang berbahaya, perawatan tali pusat yang tidak tepat, dan upaya pengobatan saat bayi sakit ke dukun dan pemberian ramuan-ramuan tradisonal. Perlu upaya promosi kesehatan yang lebih intensif untuk memperbaiki pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam perawatan bayi BBLR.

Kata kunci: BBLR, kelangsungan hidup, praktek budaya

ABSTRACT

Low birth weight high riks to morbidity and mortality, need a special treatment effort. While society still found a cultural practice which can menace the continuity of survival. With the approach qualitative by Rapid Assement Procedure aim to dig the information exhaustively hit the cultural practice of mother of etnis Rejang in treatment low bird weight. Informans are mother which have low birt weight less than one year which selecting with purposif sampling principally according and sufficiency. Key informan is head community health centre, countryside midwife, parent (mother), quack maternity, and custom chief. With indep interview method and observation, data collecting start with make field note, then developed to become the transkrip), coding, category, making of matrix and data interpretation. Data processed with the EZ-TEXT program, and used content analysis. Mother knowledge about treatment of low birth weght still lower, found attitude not support and a imprecise culture practices in taking care of low bith weight which can menace the continuity of survival, like gift breastfeeding which not adequat, MP-ASI which less nutrition, dangerous hypothermia prevention, imprecise center string treatment, and strive the ill baby moment medication to soothsayer and gift of ingredient tradisional. Need the more intensive health promotion effort to improve the knowledge, attitude and mother practice in treatment of baby low birth weigth.

(2)

2 Pendahuluan

Pengasuhan yang baik sangat penting untuk dapat menjamin tumbuh kembang anak yang optimal. Pengasuhan anak dalam hal perilaku yang dipraktekkan sehari-hari seperti pemberian makan, pemeliharaan kesehatan, dan stimulasi mental serta dukungan emosional dan kasih sayang akan memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak.1,2 Seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar dalam pembinaan anak. Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna maka harus dimulai sejak usia dini melalui peran ibu dan pola asuh yang baik.3 Pola asuh yang tidak tepat akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan yang akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita.

(3)

3

Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara 9%-30%, Secara nasional sekitar 7,5%.4 Angka ini lebih besar dari target BBLR yang di tetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%.8 Di Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan data medical record RSUD Curup tahun 2006-2008 angka kejadian BBLR mengalami fluktuasi, pada tahun 2006 tercatat 83 (23,15%) kasus BBLR dari 359 kelahiran. Pada tahun 2007 terjadi penurunan, tercatat sebanyak 50 (8,8%) kasus dari 569 kelahiran dan pada tahun 2008 terdapat 55 (12,4%) kasus BBLR dari 443 kelahiran.9

Kebutuhan dasar bayi baru lahir adalah kehangatan, bersih, air susu ibu dan perawatan secara aman dan waspada. Lebih rinci pelayanan kesehatan perinatal pada bayi baru lahir di Puskesmas meliputi pemeriksaan kesehatan, pemantauan tanda-tanda vital, pengenalan bayi baru lahir tidak sehat, penanganan gawat darurat, pemberian kolostrum dan ASI eksklusif, pengaturan suhu tubuh, perawatan tali pusat, pelaksanaan rawat gabung dan pelaksanaan rujukan.10 Sementara itu WHO menjelaskan bahwa kesehatan bayi neonatal ditentukan oleh pelayanan lima prinsip, yaitu: persalinan yang bersih dan aman, mempertahankan suhu tubuh, dimulainya pernapasan spontan, menyusui segera setelah lahir dan pencegahan dan tatalaksana penyakit.

Selain karena infeksi bakteri akibat proses persalinan dan perawatan neonatal yang tidak adekuat, faktor perilaku/kebiasaan yang merugikan seperti tidak boleh dipegang sebelum plasenta lahir atau tidak boleh menyiapkan pakai selimut/pakaian sebelum bayi baru lahir menambah risiko hipotermi pada bayi baru lahir termasuk bayi BBLB dan prematur. Demikian pula halnya dengan tidak memberikan kolostrum merupakan salah satu kebiasaan merugikan yang sering dijumpai di masyarakat.11 Disamping itu di masyarakat masih ditemukan kebiasaan menggunakan botol berisi air panas untuk menjaga kehangatan bayi. Padahal sejak tahun 1992 tidak direkomendasikan lagi penggunaan botol berisi air panas guna menjaga bayi tetap hangat.12

(4)

4

menetapkan bahwa seluruh kabupaten di Provinsi Bengkulu adalah daerah tertinggal, ini adalah satu-satunya provinsi di bagian barat Indonesia dengan predikat demikian. BKKBN Bengkulu 2004, melaporkan dari 366.506 KK penduduk tersebut, 34,73 persennya hidup di bawah standar kemiskinan (127,298 KK).4 Bappeda Bengkulu menyatakan bahwa Kabupaten Rejang Lebong termasuk Inpres Desa Tertinggal (IDT). Salah satu suku terbanyak di Kabupaten Rejang Lebong adalah Suku Rejang, yang banyak tinggal di daerah pedesaan dan pegunungan dimana masih banyak mempercayai mitos dan kenyakinan-kenyakinan yang berhubungan dengan kesehatan dan turun temurun diteruskan dari antargenerasi.

Penelitian bertujuan untuk menggali informasi secara mendalam mengenai Faktor predisposing (pengetahuan, sikap, kepercayaan), faktor pendukung (Ketersediaan Sarana, Keterjangkauan ke fasilitas, keterampilan merawat bayi), serta faktor penguat dan penghambat (keluarga, teman, petugas kesehatan) ibu dalam perilaku ibu dalam pola asuh makan dan kesehatan pada bayi BBLR.

Metode

(5)

5

dan tidak bekerja, setiap kategori dibutuhkan 2 informan, sehingga jumlah informan sebanyak 8 orang. Metode Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam dan observasi untuk melihat dokumen pengobatan dan riwayat imunisasi bayi. Semua informasi yang terkumpul dari hasil wawancara mendalam segera dianalisis tanpa menunggu semua data terkumpul. Mula-mula dilakukan pencatatan lapangan (field notes). Segera setelah kembali dari lapangan, field notes dikembangkan menjadi expanded filed notes (transkrip). Kemudian di koding, dikategorikan, dibuat matriks dan selanjutnya dilakukan interpretasi data. Data diolah dengan program EZ-TEXT kemudian dilakukan analisis isi (content analysis).

Hasil Penelitian

Rata-rata umur ibu 25,6 tahun dengan rentang umur 17 sampai 36 tahun. Umur petugas kesehatan antara 33 sampai 45 tahun. Ketua adat berumur 70 tahun dan dukun berumur 87 tahun. Pendidikan ibu sebagian besar pendidikan rendah (tidak sekolah, SD dan SMP) dan sebagian kecil ibu yang berpendidikan tinggi (SMA). Pendidikan petugas kesehatan adalah SKM dan DIII kebidanan. Sedangkan pendidikan ketua adat tamat SMP dan dukun tidak pernah sekolah. Sebagian besar ibu berstatus sebagai ibu rumah tangga dan membantu suami dikebun, hanya 2 ibu bekerja sebagai PNS dan artis sebuah organ tunggal di desa. Ketua adat bekerja wiraswasta. Jumlah anak ibu rata-rata 2 anak dengan range 1 sampai 5 anak. Berat badan lahir bayi berkisar antara 1300 gram sampai 2400 gram dengan rata-rata 1875 gram. Persalinan bayi hampir seluruhnya ditolong oleh bidan. Umur bayi berkisar 3 sampai 8 bulan dengan rata-rata 5,75 bulan.

Istilah lokal bayi BBLR antara ibu dengan informan kunci (ketua adat, dukun, bidan, ibu informan) hampir sama. Istilah local yang digunakan di masyarakat Suku Rejang adalah

“bayi kecil” atau “bayi kurang bulan”, “bayi kurang gizi” “prematur”. Menurut kedua adat

(6)

6

Pengetahuan mengenai ukuran bayi BBLR sebagian besar sudah baik, seorang ibu menyatakan bayi BBLR bila timbangannya di bawah 2500 gram. Namun terdapat 2 ibu menyatakan bayi BBLR bila beratnya kurang dari 2000 gram dan ada ibu yang menyatakan bayi BBLR bila beratnya kurang dari 3000 gram. Penyebab BBLR menurut ibu disebabkan karena kurang gizi, kelelahan, keturunan dan takdir, ngidam yang lama. Demikian juga orang tua informan dan dukun menyatakan bahwa penyebab bayi BBLR adalah keturunan, kurang gerak, dan kelelahan, Sementara Petugas kesehatan menyatakan bahwa penyebab BBLR adalah umur ibu yang terlalu muda, sosial ekonomi rendah, jarang periksa kehamilan. Kepercayaan ibu tentang penyebab BBLR menyatakan bahwa BBLR disebabkan karena takdir, keturunan, mitos terlalu cepat meminta langir (jeruk nipis yang dijampi dukun) untuk mendapatkan anak. Masih terdapat ibu yang menganut kepercayaan bahwa penyebab BBLR karena takdir, keturunan, mitos terlalu cepat meminta langir (jeruk nipis yang dijampi dukun) untuk mendapatkan anak.

Pemberian ASI Eksklusif dan MP ASI

Pengetahuan ibu tentang pengertian ASI eksklusif masih rendah. Hampir seluruh ibu tidak mengetahui pengertian ASI eksklusif. Demikian juga pengetahuan ibu tentang manfaat ASI masih rendah, sebagian besar ibu menyatakan dengan ASI anaknya cepat besar. Hanya seorang ibu yang menyatakan bahwa ASI bermanfaat untuk kekebalan tubuh dan perkembangan bayi.

(7)

7

pemberian pisang sebagai MP-ASI antara ibu dengan informan kunci karena dapat menyebabkan keselek, sakit perut dan pencernaannya belum siap. Petugas kesehatan juga menyatakan tidak setuju dengan pemberian pisang sebagai MP-ASI pada bayi BBLR karena pencernaan bayi belum siap. Petugas kesehatan menjelaskan bahwa masyarakat Suku Rejang umumnya tidak berhasil dalam pemberian ASI eksklusif, ibu yang sosial ekonomi rendah biasanya memberikan ASI eksklusif karena tidak mampu membeli susu formula.

Ketua adat, dukun dan petugas kesehatan menyatakan bahwa biasanya ibu memberikan madu dan teh manis, air tajin dan susu khusus BBLR bagi ibu dengan sosial ekonomi tinggi. Sebagian besar ibu memberikan madu dan teh manis dengan alasan madu dapat mempercepat pengeluaran lendir ditenggorokan, dan adanya kepercayaan tutur kata anak menjadi baik saat dewasa. Beberapa ibu memberikan teh manis dan susu khusus untuk bayi

Hampir seluruh ibu menyatakan upaya yang dilakukan agar ASI mencukupi kebutuhan bayi dengan cara banyak mengkonsumsi sayuran bening seperti jantung pisang, bayam daun katu dan banyak minum air putih. Ditemukan ibu yang mempercayai bahwa mengkonsumsi sayuran bening petai dapat memperbanyak ASI. Lama menyusui pada ibu Suku Rejang biasanya sampai 2 tahun, namun masih terdapat seorang ibu yang menyatakan bahwa lama menyusui sampai usia 3 tahun.

(8)

8

Hampir seluruh ibu memberikan kolostrum kepada bayi, namun bayi juga segera diberi susu formula khusus untuk BBLR. Petugas kesehatan menyatakan bahwa ibu dengan sosial ekonomi rendah biasanya memberikan kolostrum, namun sebagian ibu masih ada yang membuang kolostrumnya. Kendala yang sering di hadapi adalah ibu tidak berpengalaman dalam mencegah agar anaknya tidak tersedak, kendala lain adanya kebiasaan di masyarakat memberikan madu dan teh manis pada bayi sebelum ASI keluar.

Ketua adat dan dukun bayi menyatakan bahwa pada umumnya ibu memberikan makanan pendamping ASI pada saat bayinya berusia 3 bulan. Sebagian besar ibu memberikan MP ASI pada usia kurang dari 4 bulan, bahkan ada yang mulai memberikan MP-ASI usia 2 bulan. Hanya dua ibu yang memberikan MP-ASI pada bayinya saat berusia 6 bulan. Sebagian besar ibu menyatakan tidak setuju memberikan MP-ASI pada usia 1 bulan dengan alasan takut sakit, dan terlalu cepat. Ibu setuju dengan pemberian MP-ASI pada usia 1 bulan karena ASI tidak mencukupi sehingga mengakibatkan berat badan bayi tidak bertambah. Sebagian ibu setuju memberikan MP-ASI pada usia 6 bulan pada bayi BBLR dengan alasan pencernaan bayi telah siap menerima MP-ASI pada usia 6 bulan.

Sebagian besar ibu memberikan MP-ASI berupa bubur tim dengan sayuran, dan memberikan biskuit. Ditemukan ibu memberikan bubur dari tepung yang digongseng kemudian disimpan, setiap kali makan di tambah gula merah kemudian di seduh air panas, hal ini sejalan dengan pernyataan bidan desa dan ketua adat. Frekuensi pemberian makanan tambahan sebagian besar ibu menyatakan dua atau tiga kali sehari. Namun ada juga yang menyatakan ASI diberikan setiap kali anaknya lapar. Faktor penghambat pemberian MP-ASI sesuai umur disebabkan karena rasa takut berat badan anaknya tidak naik dan takut MP-ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi.

Imunisasi

(9)

9

manfaat imunisasi, ibu menyatakan bahwa walaupun anaknya sudah diimunisasi masih mengalami sakit. Menurut dukun, bayi BBLR tidak perlu diimunisasi, jika hendak diimunisasi dianjurkan untuk dimunisasi setelah berusia 4 bulan. Pengetahuan ibu tentang umur bayi mulai diimunisasi masih rendah. Sebagian besar ibu tidak mengetahui umur pertama pemberian imunisasi. Hanya dua ibu yang mengetahui bahwa umur pertama pemberian imunisasi adalah umur satu minggu untuk mendapatkan imunisasi Hepatitis B. Sebagian besar ibu menyatakan bahwa bayi diimunisasi setelah umur 1 bulan, 40 hari dan 3 bulan. Sebagian besar ibu tidak mengetahui jenis imunisasi dasar yang harus diberikan kepada bayinya. Hanya 3 ibu yang mengetahui lima jenis imunisasi dasar. Sikap ibu terhadap imunisasi menemukan bahwa sebagian kecil ibu merasa cemas dan takut kalau anaknya demam setelah diimunisasi, terdapat seorang ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya karena takut demam setelah diimunisasi dan karena larangan orang tua dan suami.

Hampir seluruh ibu membawa anaknya ke posyandu untuk mendapat imunisasi. Namun terdapat seorang ibu tidak mengimunisasikan bayinya. Menurut pimpinan puskesmas pemberian imunisasi di wilayah kerja puskesmas sesuai dengan protap dimana pemberian imunisasi sejak lahir sebelum berusia 7 hari sampai mendapat imunisasi dasar lengkap. Bidan desa menyatakan masih terdapat ibu-ibu yang tidak membawa anaknya imunisasi karena takut melanggar anjuran dukun tempat ibu melakukan periksa hamil dan persalinan. Menurut dukun bayi BBLR tidak dianjurkan untuk diimunisasi.

Keterjangkauan Fasilitas Kesehatan tidak menjadi kendala karena hampir seluruh ibu akses terhadap posyandu untuk mendapatkan imunisasi dan akses terhadap puskesmas untuk pengobatan bayi saat bayi sakit. Faktor penghambat pemberian Imunisasi menurut petugas kesehatan adalah adanya larangan dari dukun. Menurut dukun, bayi tidak dianjurkan untuk di imunisasi karena imunisasi dapat mengakibatkan bayi menjadi sakit. Demikian juga menurut ketua adat menyatakan bahwa ibu Suku Rejang yang tidak mengimunisasikan bayinya karena takut bayinya demam.

(10)

10

Seluruh ibu tidak mengetahui penyebab hipotermia pada bayi BBLR. Ibu menyatakan bahwa bayi kedinginan karena udara yang dingin, kulitnya tidak kuat, dan bedongnya kurang tebal. Sebagian ibu setuju terhadap penggunaan botol air panas untuk mencegah hipotermia pada bayi BBLR. Ibu yang tidak setuju menggunakan botol air panas karena tidak dianjurkan petugas kesehatan. Sebagian besar ibu menyatakan setuju terhadap bayi di dekap, namun terdapat ibu yang tidak setuju untuk mendekap bayi takut anaknya masih terlalu kecil.

Beberapa cara yang dilakukan ibu untuk mencegah hipotermia hampir sama, seperti menggunakan pakaian tebal, selimut, pembedongan. Beberapa ibu menggunakan lampu 100 watt dikombinasikan dengan cara pembedongan, tempat tidur khusus. Cara lain yang dilakukan ibu dengan menggunakan botol air panas dan memandikan dengan minyak kelapa juga dengan menutup pintu dan semua ventilasi. Demikian juga menurut informan kunci (ketua adat, dukun, bidan). Menurut ketua adat dan dukun masyarakat Suku Rejang biasanya menggunakan lampu dan pakai kelambu, menggunakan minyak untuk memandikan bayi. Bidan desa menjelaskan biasanya ibu membuat tempat tidur khusus, pembedongan, menggunakan botol air panas, dan tidak memandikan bayi tetapi membersihkan bayi dengan minyak kelapa sampai berat badannya normal. Keterampilan ibu untuk mencegah dan penanganan hipotermia diperoleh dari bidan, ibu, mertua dan dari tetangga.

Faktor Penghambat dalam pencegahan hipotermia sebagian besar ibu menyatakan iklim yang terlalu dingin sebagai kendala untuk mencegah hipotermia, sehingga ibu menggunakan bermacam-macam alat. Setiap hari bayi pada umumnya dibedong, berpakaian tebal dan diselimuti kemudian dipasang lampu 100 watt dan menggunakan botol air panas. Kesulitan yang dialami adalah bila ibu harus mengganti air panas. kesulitan mencegah hipotermia dapat diatasi dengan adanya dukungan dan bantuan dari ibu, mertua dan keluarga dan membantu menggantikan pakaian, bedong, mengganti air panas di botol.

(11)

11

bahwa tanda-tanda anak sakit adalah rewel, demam. Sebagian besar ibu menyatakan bahwa manfaat mencegah bayi sakit adalah agar anaknya tidak sakit, dan beberapa ibu menyatakan agar anaknya tidak tertular penyakit. Hampir seluruh ibu menyatakan bahwa untuk mencegah infeksi dengan tidak membawa keluar rumah agar tidak tertular penyakit dari orang lain. Seagian ibu setuju untuk melarang keluarga dekat dengan bayi BBLR agar tidak menularkan penyakit. Ibu yang tidak setuju menyatakan bila larangan keluarga untuk mendekati anaknya karena takut tersingung.

Hasil triangulasi data menunjukkan terdapat persamaan pendapat antara ibu dengan informan kunci mengenai perilaku ibu Suku Rejang dalam pengobatan saat bayi sakit. Sebagian besar ibu menyatakan pertolongan pertama dengan membawa ke petugas kesehatan seperti bidan dan dokter, setelah beberapa hari tidak mengalami kesembuhan ibu membawa ke dukun. Seorang ibu menyatakan bila anaknya sakit tidak mendapat pertolongan dari petugas kesehatan tetapi hanya mendapat pengobatan dari neneknya yang berprofesi sebagai dukun. Menurut ketua adat perilaku ibu Suku Rejang dalam pengobatan bayi sakit tergantung pada jenis sakitnya, ketua adat menyatakan ibu-ibu menggunakan kombinasi yaitu dengan pengobatan medis dan tradisional.

(12)

12

“tesapo (ditegur oleh roh halus)” dan “sisik (rewel, badan kurus)”. Sebagian besar ibu

mempercayai beberapa penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh petugas kesehatan seperti “tesapo” dan “sisik”. Adanya kepercayaan ini disebabkan karena cara pengobatan dengan menggunakan langir (3 buah jeruk nipis yang telah dijampi kemudian diusapkan kemuka dan badan bayi) merupakan pengobatan tradisional yang turun-temurun masih dipraktekkan sampai saat ini.

Perawatan Tali Pusat

Tujuan perawatan tali pusat menurut ibu adalah agar tidak mengalami infeksi, agar tali pusatnya cepat lepas, cepat sembuh. Namun terdapat seorang ibu yang tidak mengetahui tujuan perawatan tali pusat. Hampir seluruh ibu melakukan cara yang kurang tepat untuk merawat tali pusat, diantaranya menggunakan betadin yang tidak dianjurkan lagi. Cara lain yang juga tidak tepat dengan menggunakan tempurung yang dikikis kemudian di taburkan ke sekitar pusat yang telah puput dan menggunakan logam agar pusat tidak menonjol. Demikian juga menurut bidan desa terdapat kebiasaan masyarakat Suku Rejang merawat tali pusat dengan cara-cara tradisional, seperti penggunaan kunyit dan ramuan tradisional. Ketua adat, dukun juga menjelaskan terdapat kebiasaan masyarakat memotong tali pusat menggunakan semilu yang telah dijampi. Penggunaan tempurung yang dikikis kemudian di taburkan di sekitar pusat setelah puput, menekan logam di atas pusat agar pusat tidak menonjol. Menurut ibu informan agar tali pusat cepat kering ditaburkan kikisan tempurung di sekitar tali pusat.

(13)

13 Pembahasan

Dengan pendekatan kualitatif hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan ke populasi lain. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri dengan melakukan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah di uji coba. Sumber data adalah informasi yang dikemukakan oleh informan sehingga kemungkinan bias atau lupa karena informasi yang diberikan mengandalkan daya ingat dan perasaan informan. Situasi saat pengumpulan data sangat mempengaruhi informasi yang disampaikan ibu, seperti kehadiran anak-anak yang berisik dan anggota keluarga lain yang terkadang ikut menjawab saat ibu menyampaikan pendapatnya.

Karakteristik ibu menunjukkan bahwa kejadian BBLR tidak hanya terjadi pada ibu yang berusia muda (< 20 tahun) dan usia yang terlalu tua (> 35 tahun) bahkan lebih banyak terjadi pada usia 20-35 tahun. Rendahnya pendidikan ibu berdampak pada rendahnya pengetahuan ibu dalam pola asuh makan dan kesehatan bayi BBLR, sehingga terdapat sikap dan praktek budaya yang tidak sesuai dengan kesehatan. Banyaknya ibu yang tidak bekerja merupakan pendukung adanya waktu yang lebih luang untuk mengasuh anak dalam pemberian makan dan perawatan anak. Jumlah anak ibu rata-rata adalah 2 anak memberi peluang kepada ibu untuk merawat bayinya dengan baik. Hampir seluruh persalinan di tolong oleh bidan desa, hanya seorang ibu yang persalinannya ditolong oleh dukun.

(14)

14

karena keturunan dan takdir, hal ini juga ditemukan pada ibu di Bogor menemukan masih ada ibu yang percaya bahwa BBLR disebabkan karena keturunan.14

Pemberian ASI dan MP ASI

Pengetahuan ibu tentang pengertian ASI eksklusif, manfaat ASI, umur yang tepat dalam pemberian MP ASI masih rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian di Bogor.14 Hal ini berdampak pada praktek pemberian MP ASI dini sehingga gagal dalam pemberian ASI eksklusif. Keadaan ini diperberat dengan banyaknya ibu yang tidak setuju dengan pemberian ASI eksklusif dengan alasan ASI eksklusif dapat menghambat perkembangan anak, dan menyatakan bahwa ASI saja sampai 6 bulan tidak mencukupi kebutuhan gizi sehingga hampir seluruh ibu memberikan susu formula khusus untuk bayi BBLR, apalagi bayi yang lahir di rumah sakit telah disediakan susu formula untuk BBLR.

Ditemukannya sebagian besar ibu tidak setuju memberikan pisang sebagai makanan tambahan pada bayi BBLR merupakan hal yang positif, namun adanya peran orang tua ibu yang menyarankan pemberian makanan tambahan diusia 3 atau 4 bulan merupakan faktor penghambat pemberian ASI. Hasil penelitian Sutomo (2002) juga menemukan bahwa ibu BBLR dikabupaten Bogor tidak setuju terhadap bayi yang diberi makanan (pisang) terlalu cepat karena bayi masih kecil dan pencernaannya belum kuat. Mereka menyatakan bayi boleh diberi pisang setelah berusia 4 bulan. Sebagian besar ibu tidak setuju memberikan MP-ASI pada usia 1 bulan pada bayi BBLR dengan alasan takun sakit, terlalu cepat. Terdapat 2 ibu yang setuju dengan pemberian MP-ASI pada usia 1 bulan bila ASInya tidak mencukupi. Sebagian besar ibu setuju memberikan MP-ASI pada usia 6 bulan pada bayi BBLR dengan alasan pencernaan bayi telah siap pada usia tersebut. Terdapat beberapa ibu yang tidak setuju dengan pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan dengan alasan takut bila berat badan bayi tidak bertambah.

(15)

15

dan teh manis dengan alasan agar kelenzar di tenggorokan bayi cepat keluar. Perilaku ini tidak sesuai dengan petunjuk Departeman Kesehatan yang melarang pemberian makanan/minuman secara dini selain ASI. Ibu biasanya memberikan ASI sejak ASInya keluar sampai usia 2 tahun.11 Perilaku dalam upaya untuk mencukupi kebutuhan ASI Pada umumnya ibu menyatakan upaya yang dilakukan agar ASI mencukupi kebutuhan bayi dengan cara banyak minum, mengkonsumsi sayuran bening seperti jantung pisang, bayam, daun katu, dan terdapat kepercayaan bahwa mengkonsumsi sayur petai juga dapat meningkatkan jumlah ASI. Menurut petunjuk Departemen Kesehatan untuk meningkatkan suplai ASI, selain minum yang cukup (sedikitnya 3 liter sehari) ibu juga perlu minum setiap kali menyusui, minum pil zat besi selama 40 hari setelah bersalin, dan minum vitamin A (200.000 unit).15

(16)

16

pendorong pemberian MP-ASI adanya dukungan keluarga dalam membantu memberikan MP-ASI.

Imunisasi

Hasil penelitian menemukan masih terdapat ketidaktahuan ibu tentang pengertian imunisasi, manfaat imunisasi, waktu pemberian imunisasi, dan jenis imunisasi dasar. Dan ditemukan ibu yang menyatakan bayi tidak perlu diimunisasi karena imunisasi mengakibatkan anak menjadi sakit. Petugas kesehatan menyatakan ibu yang tidak membawa anaknya imunisasi karena takut melanggar anjuran dukun tempat ibu bersalin dan periksa hamil. Menurut dukun bayi BBLR tidak dianjurkan untuk diimunisasi. Rasa takut menurut bidan desa berasal dari tidak adanya dukungan suami dan keluarga. Suami melarang anaknya dibawa untuk imunisasi karena pengalaman dari riwayat imunisasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ibu dan keluarga tentang imunisasi masih rendah.

Hampir seluruh ibu akses terhadap posyandu untuk mendapatkan imunisasi dan akses terhadap puskesmas untuk pengobatan bayi saat bayi sakit. Akses ibu ke posyandu dalam imunisasi merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan program imunisasi. Namun dalam penelitian walaupun ibu akses terhadap puskesmas dalam pengobatan bayi sakit, namun factor kepercayaan dan pengaruh orang tua, suami dan dukun mengakibatkan ibu membawa anaknya yang sakit berobat ke dukun. Faktor penghambat pemberian Imunisasi adalah adanya larangan dari suami dan orang tua ibu dan larangan dukun pemeriksa dan penolong persalinan. Menurut Dukun bayi, bayi tidak dianjurkan untuk di imunisasi karena imunisasi dapat mengakibatkan bayi menjadi sakit.

Pencegahan Hipotermia, Pengobatan Bayi Sakit

(17)

17

ibu setuju terhadap penggunaan botol air panas untuk mencegah hipotermia pada bayi BBLR, hal ini sama seperti praktek di Bogor hampir seluruh ibu yang mempunyai bayi BBLR setuju untuk mencegah hipotermia dengan menggunakan botol air panas karena pengaruh anjuran petugas kesehatan (bidan). Ibu juga setuju untuk mencegah hipotermia dengan mendekap bayi, hal ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat Suku Rejang yang selalu menggendong bayinya terutama saat sakit. Namun ibu di Kabupaten Bogor tidak setuju bayi BBLR didekapkan ke dada ibunya dengan alasan repot karena harus mengasuh anak yang lain, merasa takut karena bayinya kecil.14

Beberapa cara yang dilakukan ibu untuk mencegah hipotermia hampir sama, yaitu dengan cara-cata tradisional, seperti menggunakan botol air panas, pakaian tebal, selimut, pembedongan, menyalakan lampu 100 watt di tempat tidur khusus bayi BBLR. Namun terdapat tindakan yang kurang tepat dengan menutup pintu dan semua ventilasi. Perilaku ibu Suku Rejang dalam mencegah hipotermia kurang tepat, karena penggunaan lampu 100 watt terlalu panas dan kurang efektif untuk mencegah bayi hipotermia ditambah dengan kebiasaan ibu menutup pintu dan semua ventilasi. Alasan tindakan tersebut karena iklim Kabupaten Rejang Lebong sangat dingin, terutama di malam hari karena secara geografis Kabupaten Rejang Lebong merupakan daerah pegunungan. Cara tradisional yang dilakukan ibu untuk mencegah hipotermia adalah memandikan bayi dengan minyak kelapa sesuai dengan saran dari tokoh masyarakat dan dukun di daerah setempat. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian di Kabupaten Bogor untuk mencegah bayi hipotermia umumnya ibu membungkus dengan kain agar bayi tetap hangat (pembedongan), menggunakan botol air panas yang disimpan di kiri kanan bayi dan bayi di seka dengan air hangat.14

(18)

18

panas yang efektif untuk bayi BBLR karena adanya kontak kulit ibu dan kulit bayi (skin to skin contact). Petunjuk Departeman Kesehatan untuk mencegah hipotermia adalah dengan cara menghangatkan bayi sesegera mungkin, penggunaan inkubator digunakan sesuai kebutuhan. Apabila tidak tersedia metode kanguru, cara lain adalah dengan penyinaran lampu 60 watt dengan jarak minimal 60 cm.11

Ibu sebagian besar setuju untuk melarang orang lain berdekatan dengan bayi BBLR untuk mencegah penularan penyakit. Di Kabupaten Bogor juga menemukan bahwa sebagian besar ibu di Kabupaten Bogor setuju melarang orang yang sakit pilek terlalu dekat dengan bayi agar bayi tidak tertular penyakit.14 Menurut petunjuk Departemen Kesehatan dalam buku pedoman pelayanan kesehatan perinatal tentang perlunya BBLR dipisahkan dari orang sakit karena bayi BBLR mudah terkena infeksi, oleh karena itu sangat perlu untuk mencegah agar bayi tidak sakit.16

Ditemukan perilaku ibu dalam pengobatan bayi sakit masih kurang tepat. Sebagian besar ibu menyatakan pertolongan pertama dengan membawa ke petugas kesehatan seperti bidan dan dokter, namun setelah beberapa hari tidak mengalami kesembuhan ibu membawa ke dukun. Menurut dukun bayi yang sakit harus ditimang dan dipakaikan gelang tiga warna agar tidak diganggu roh jahat. Petugas kesehatan menyatakan bahwa ibu masih melakukan praktek-praktek tradisional seperti minta jeruk yang telah dijampi dari dukun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Kabupaten Bogor sebagian besar membawa bayinya yang sakit ke Petugas Kesehatan dan selebihnya mengobati dengan ramuan yang diperoleh dari dukun.14

Perawatan Tali Pusat.

(19)

19

Terdapat cara perawatan tali pusat yang tidak tepat dengan menggunakan tempurung yang dikikis kemudian di taburkan ke sekitar pusat yang telah puput dan menggunakan logam agar pusat tidak menonjol, penggunaan kunyit dan ramuan tradisional. Adanya perilaku negative ini karena pengaruh dukun yang menolong persalinan. Hasil penelitian ini hampir sama dengan di Kabupaten Bogor terdapat seorang ibu menggunakan abu kayu bakar di campur asam dan air berdasarkan anjuran dukun bayi di daerah tersebut.14 Petunjuk Departeman Kesehatan menganjurkan bahwa dalam merawat tali pusat tidak mengoleskan salep ataupun zat lain ke tali pusat, dan menghindari pembungkusan tali pusat. Tali pusat yang tidak tertutup akan mengering dan puput lebih cepat dengan komplikasi yang lebih sedikit.17

Kesimpulan dan Saran

Pengetahuan ibu tentang perawatan bayi BBLR masih rendah, ditemukan sikap yang tidak mendukung dan ditemukan praktek-praktek budaya yang tidak tepat dalam merawat bayi BBLR. Untuk meningkatkan pengetahuan, memperbaiki sikap yang tidak mendukung dan perilaku ibu yang negatif perlu suatu kebijakan konkrit. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Rejang Lebong perlu membuat dan mengembangkan media promosi kesehatan seperti pembuatan spanduk, poster, lieflet, booklet, brosur dan jenis lainnya tentang pemberian ASI, MP-ASI, Perawatan bayi dan pengobatan bayi sakit.Untuk menyamakan persepsi diantara pimpinan puskesmas dan seluruh staf khususnya pengelola program KIA dan seluruh bidan desa Dinas Kesehatan perlu kegiatan rutin tingkat kabupaten, tingkat wilayah, pertemuan profesi, dan kunjungan lapangan untuk mengenal masalah dan mengevaluasi program yang telah berjalan serta mencari upaya yang tepat untuk memperbaiki perilaku masyarakat Suku Rejang khususnya dalam pola asuh makan dan kesehatan pada bayi BBLR. Pimpinan Puskesmas perlu melakukan Monitoring dan Koordinating kegiatan bidan desa di masyarakat untuk menghindari penerapan perawatan bayi BBLR yang tidak sesuai dengan standar pelayanan kebidanan.Merencanakan jadwal program penyuluhan di masyarakat

(20)

20

pelatihan tentang perawatan bayi BBLR. Melakukan penyuluhan kesehatan kepada remaja putri, Wanita Usia Subur dan ibu tidak hanya di posyandu tetapi dengan melakukan kunjungan langsung ke rumah atau melalui organisasi kemasyarakatan yang ada (pengajian) tentang permberian ASI, MP-ASI, imunisasi, perawatan dan pengobatan.

Daftar Pustaka

1. Engle, Pl. 1997. Teh Initiative Assesment Analysis and Action Improve Care to Nutrition. UNICEF. New york. Dalam Diana, Fivi Melva (2006). Hubungan Pola Asuh dengan Status gizi Anak balita di Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang kota Padang tahun 2004. Jurnal Kesehatan Masyarakat, September 2006, I (1):19-23

2. Husaini, M.A. 1997.Peranan Gizi dan Pola Asuh meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak. Puslitbang Gizi. Bogor.

3. Darmadji, S, dkk. 1993. Perkembangan anak balita program bina keluarga balita. Buku IV Kantor Menteri Negara Urusan Wanita. Jakarta.

4. Badan pusat Statistik, BKKBN, Departemen Kesehatan. 2007. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 1991-2007. Jakarta:Badan Pusat Statistik.

5. Simbolon, D. 2006. Kelangsungan hidup bayi di perkotaan dan pedesaan Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Volume 1. Edisi 1. Agustus 2006.

6. Depkes 2000. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jakarta. Direktorat jenderal bina kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

7. Husaini, M.A. 1998. Penanggulangan Akibat dan Dampak Krisis Moneter terhadap Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat : Tinjauan dari Sudut Pandang Sumber Daya Manusia. Semarang: Universitas Diponegoro.

8. Depkes. 2004. Profil Kesehatan Indonesia, Pusat Data InformASI Departemen Kesehatan RI. Jakarta.

9. RSUD Curup 2008. Laporan Tahunan RSUD Curup. Curup-Bengkulu

10.Departemen Kesehatan RI. 1994. Pelayanan Antenatal di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta : Depkes RI.

11.Depkes 1999. Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Depkes. Jakarta.

12. Pratomo, H. 1998. Pandangan dan kebiasaan perawatan bayi baru lahir pada wanita di Gugus Pulau seram barat kabupaten Maluku tengah propinsi Maluku. Jurnal epidemiologi Indonesia. Volume 2 edisi 2, 1998

13. Kresno, S., Hadi, E.N., Wuryaningsih C.E. 1998. Aplikasi penelitian kualitatif dalam pemantauan dan evaluasi program kesehatan. FKM UI

14. Sutomo, O. 2002. Perilaku ibu-ibu dalam merawat bayi berat lahir rendah (studi kasus di Kabupaten Bogor tahun 2002). Tehsis. FKU UI. Depok.

15.Depkes 2005. Apa dan mengapa tentang Vitamin A. Jakarta. Direktorat jenderal bina kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

16.Depkes 1996. Buku pedoman pelayanan kesehatan perinatal di wilayah kerja puskesmas. Depkes. Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan. Program Sarjana Strata Satu Pendidikan

Pada menu lihat data tadi, admin juga bisa menghapus data obat yang telah tidak terdaftar pada apotek tempat praktek bersama dokter spesialis dengan memilih

Pada penelitian ini hanya dibatasi pada tahapan implementasi basis data dengan menggunakan SQL Server 2008 dari diagram basis data sampai dengan melaukan uji query

20+ Contoh Soal UAS Bahasa Inggris Kelas 9 SMP/MTs Semester Genap Terbaru - Bagi Adik adik dimana saja berada yang ingin sekali mempelajari Soal UAS Bahasa Inggris Kelas 9

Penulis menyimpulkan bahwa Data - data yang diperlukan untuk analisis yang bersifat historis dapat diintegrasikan ke dalam data warehouse, memberikan kemudahan bagi pihak

(2) Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak

Salah satu cara untuk meningkatkan kuat tekan beton adalah dengan cara memberikan bahan tambah seperti mikrosilika sebagai bahan pozzoland atau bahan yang lain

Griya Indah Anugerah tidak boleh membiarkan pesaing baru untuk masuk dengan produk mereka yang lebih baik dan bagus dari pada produk CV.. Griya Indah