• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korupsi dalam perspektif pancasila (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Korupsi dalam perspektif pancasila (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Perbincangan mengenai korupsi dari dulu hingga sekarang masih saja hangat dibicarakan orang. Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah masih bersifat tebang pilih dalam menegakkan hukum untuk kasus tindak pidana korupsi. Pemerintah seolah melindungi para pelaku tindak pidana korupsi dengan alasan kekerabatan atau masih anggota kroni dari partainya. Pejabat-pejabat dipemerintahan yang terjerat kasus korupsi seolah malah balik berlindung dibawah hukum dengan memanfaatkan celah kelemahan hukum.(Indonesian Coruption watch, Mengutip Republika , rabu 10 september 2003)

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi social yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.(Ermansjah Djaja,2010:12). Abdullah Hehamahua dalam Ermansjah Djaja mengemukakan bahwa “korupsi di Indonesia sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak, tidak saja keuangan Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhlantakkan pilar-pilar sosial budaya, moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan nasional. Oleh karena itu, pola pemberantasannya tidak bisa hanya oleh instansi tertentu dan tidak bisa juga dengan pendekatan parsial. Ia harus dilakukan secara komprehensif dan bersama-sama, oleh penegak hukum, lembaga masyarakat, dan individu anggota masyarakat. Untuk maksud itu, kita harus mengetahui secara persis peta korupsi di Indonesia dan apa penyebab utamanya.

Pada masa kini, korupsi telah dianggap sebagai hal yang biasa, dengan dalih “sudah sesuai prosedur”. Koruptor tidak lagi memiliki rasa malu dan takut, sebaliknya memamerkan hasil korupsinya secara demonstratif. Perbuatan kejahatan korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga kejahatan korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra- ordinary crimes). Sehingga dalam upaya pemberantasannya tampak masih memerlukan perjuangan berat dan tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi dibutuhkan “cara-cara yang luar biasa”. Dengan adanya tindakan oleh aparat penegak hukum, diharapkan kejahatan korupsi tidak semakin meluas. Bilamana penegakan hukum kurang baik seperti sekarang ini maka kejahatan semakin berkembang, korupsi semakin marak, kasus suap terjadi dimana-mana, penyalah gunaan narkotika, dan sebagainya hanya dapat dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Akhirnya, sebaik apapun peraturan perundang-undangan yang ada pada akhirnya tergantung pada aparat penegak hukumnya.

(2)

menunjukkan titik terang melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar Negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.

Pancasila sumber nilai anti Korupsi ini dibenarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai anti korupsi. Persoalannya arah idiologi kita sekarang seperti di persimpangan jalan. Nilai-nilai lain yang kita anut menjadikan tindak korupsi merebak kemana-mana. Korupsi itu terjadi ketika ada pertemuan saat dan kesempatan. Akan tetapi, karena nilai-nilai kearifan lokal semakin ditinggalkan, yang ada nilai-nilai kapitalis, sehingga terdoronglah seseorang untuk bertindak korupsi.

Saatnya pancasila kembali direvitalisasi sebagai dasar filsafat Negara dan menjadi “Prinsip prima” bersama-sama norma agama. Sebagai prinsip prima, maka nilai- nilai pancasila dan norma-norma agama merupakan dasar untuk seluruh masyarakat Indonesia berbuat baik. Sehingga, Pancasila dianggap sebagai ideologi yang bersifat universal karena dalam Pancasila ada nilai-nilai sosialis religius dan nilai-nilai etis. Sayang seribu sayang, nilai-nilai itu tampaknya belum diamalkan dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Pancasila kerap kali ditafsirkan sepihak, dan cenderung diselewengkan sejumlah oknum dan pejabat negara. Nurani sebagian pejabat di Indonesia tidak lagi berjiwa Pancasilais. Tak heran, jika korupsi merajalela dan merebak di mana mana.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi di Indonesia?

2. Mengapa penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia masih bersifat tebang pilih?

3. Bagaimana upaya pemerintah Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pindana korupsi?

1.3 Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam tulisan ini dirumuskan dalam pernyataan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor – faktor yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk menjelaskan alasan penegakan hukum tindak pidana korupsi yang masih bersifat tebang pilih di Indonesia.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Faktor – faktor yang Melatarbelakangi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”, yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. (Ermansjah Djaja, 2010 : 23). Dalam The Lexion Webster Dictionary kata korupsi berarti : kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata–kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Benveniste dalam Suyanto, korupsi didefinisikan menjadi 4 (empat) jenis, yaitu sebagai berikut.

1. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. 2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan

bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.

3. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. (Ermansjah Djaja, 2010:22)

Tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 disimpulakan ada 33 tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi yang telah dikelompokkan menjadi 7 sebagai berikut.

1. Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara. 2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap.

3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan. 4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan.

5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang.

6. Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan. 7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.

(4)

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Sebagaimana dikatakan Yamamah bahwa ketika perilaku materialistik dan konsumtif masyarakat serta sistem politik yang masih “mendewakan” materi maka dapat “memaksa” terjadinya permainan uang dan korupsi (Ansari Yamamah : 2009) “Dengan kondisi seperti itu hampir dapat dipastikan seluruh pejabat kemudian 'terpaksa' korupsi kalau sudah menjabat”. Nur Syam (2000) mengemukakan pandangannya bahwa penyebab seseorang melakukan korupsi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara ada akses kekayaan dapat diperoleh dengan cara korupsi, maka jadilah seseorang melakukan tindakan korupsi.

Pandangan lain dikemukakan Arifin (2000) yang mengidentifikasi faktor – faktor penyebab terjadinya korupsi antara lain : (1) aspek perilaku individu (2) aspek organisasi (3) aspek masyarakat tempat individudan organisasi berada. Tehadap aspek individu Isa Wahyudi (2007) berpendapat bahwa dorongan dari dalam individu antara lain : sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras. Tidak jauh berbeda dari pendapat – pendapat sebelumnya, Erry Riyana Hardjapamekas (2008) mengemukakan bahwa tingginya kasus korupsi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa (2) Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil (3) Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan (4) Rendahnya integritas dan profesionalisme (5) Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum mapan (6) Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat (7) Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral, dan etika.

Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum, dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.

1. Faktor Politik

Politik merupakan salah satu penyebab terjadiya korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik, kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku korup seperti penyuapan, politik uang merupakan fenomena yang sering terjadi. Terrence Gomes (2000) memberikan gambaran bahwa politik uang (money politik) sebagai use of money and material benefits in the persuit of political influence. “Politik uang merupakan tingkah laku negatif karena uang digunakan untuk membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota – anggota partai supaya memenangkan pemilu si pemberi uang. Selain itu, penyimpangan pemberian kredit atau penarikan pajak pada pengusaha, kongsi antara pengusaha dan pengusaha, kasus – kasus pejabat Bank Indonesia dan Menteri pada bidang ekonomi pada rezim lalu merupakan sederet kasus yang menggambarkan aspek politik yang dapat menyebabkan korupsi”. (Handoyo : 2009)

(5)

parlemen dengan cara – cara ilegal dan teknik lobi yang menyimpang (De Asis : 2000). Penelitian James Scott (Mochtar Mas'oed : 1994) mendiskripsikan bahwa dalam masyarakat dengan ciri pelembagaan politik eksklusif dimana kompetisi politik dibatasi pada lapisan tipis elit dan perbedaan antar elit lebih didasarkan pada klik pribadi dan bukan pada isu kebijakan, yang terjadi pada umumnya desakan kultural dan struktural untuk korupsi itu betul – betul terwujud dalam tindakan korupsi para pejabatnya. Robert Klitgaard (2005) menjelaskan bahwa proses terjadinya korupsi dengan formulasi M+D – A = C. Simbol M adalah monopoly, D adalah discretionary (kewenangan), A adalah accountabillity (pertanggungjawaban). Penjelasan atas simbol tersebut dapat dikatakan bahwa korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (kekuasan) ditambah dengan kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.

2. Faktor Hukum

Faktor hukum bisa lihat dari dua sisi, di satu sisi dari aspek perundang – undangan dan sisi lain lemahnya penegakkan hukum. Tidak baiknya substansi hukum, mudah ditemukan dalam aturan – aturan yang diskriminatif dan tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas sehingga multi tafsir; kontradiksi dan overlapping dengan peraturan lain. Sanksi yang tidak equivalen dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau terlalu berat; penggunaan konsep yang berbeda – beda untuk sesuatu yang sama, semua itu memungkinkan suatu peraturan tidak kompatibel dengan realitas yang ada sehingga tidak fungsional atau tidak produktif dan mengalami resistensi. Penyebab keadaan ini sangat beragam, namun yang dominan adalah: (1) tawar-menawar dan pertarungan kepentingan antara kelompok dan golongan di parlemen, sehingga memunculkan aturan yang bias dan diskriminatif. (2) praktek politik uang dalam perbuatan hukum berupa suap menyuap, utamanya menyangkut perundang – undangan di bidang ekonomi dan bisnis. Akibatnya timbul peraturan yang elastis dan multi tafsir serta tumpang tindih dengan aturan lain sehingga mudah dimanfaatkan untuk menyelamatkan pihak – pihak pemesan. Sering ula ancaman sanksinya dirumuskan begitu ringan sehingga tidak memberatkan pihak yang berkepentingan.

Selaras dengan hal itu Susila (dalam Hamzah : 2004) menyebutkan tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang – undangan, yang meliputi: (a) adanya peraturan perundang – undangan yang bermuatan kepentigan pihak – pihak tertentu (b) kualitas perundang – undangan kurang memadai (c) peraturan kurang disosialisasikan (d) sanksi yang terlalu ringan (e) penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu (f) lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang – undangan. Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat akan mengerti akan konsekuensi dari apa yang ia lakukan. Sementara itu Rahman Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakkan hukum, mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan rendahnya “political will”. (Rahman Saleh : 2006)

3. Faktor Ekonomi

(6)

Namun pendapat ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup. Namun saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi (Sulistyantoro : 2004). Schoorl berpendapat bahwa di Indonesia pada awal tahun enampuluhan, situasinya begitu merosot, sehingga untuk gologan terbesar dari pegawai gaji sebulan hanya cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami, bahwa dengan situasi demikian para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan meminta uang ekstra (Hamzah : 1995). Hal demikian juga diungkapka oleh KPK dalam buku Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah (KPK : 2006), bahwa sistem penggajian kepegawaian sangat terkait dengan kinerja aparatur pemerintah. Tingkat gaji yang tidak memenuhi standar hidup minimal pegawai merupakan masalah sulit yang harus dituntaskan penyelesaiaannya. Aparatur pemerintah yang merasa pengahsilan yan diterimanya tidak sesuai dengan kontribusi yang diberikannya dalam menjalankan tugas pokoknya tidak akan dapat secara optimal melaksanakan tugas pokoknya.

Selain rendahnya gaji pegawai, banyak aspek ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, diantaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor ekonomi dan terjadinya korupsi, banyak pendapat menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar permasalahan korupsi. Pernyataan demikian tidak benar sepenuhnya, sebab banyak korupsi yang dilakukan pemimpin Asia dan Afrika, dan mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian korupsi tidak disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru sebaliknya, kemiskinan disebabkan oleh korupsi (Pope : 2003). Menurut Henry Kissinger korupsi politisi membuat sepuluh persen lainnya terlihat buruk. Dari keinginan pribadi untuk keuntungan yang tidak adil, untuk ketidakpercayaan dalam sistem peradilan, untuk ketidakstabilan lengkap dalam identitas bangsa, ada banyak faktor motivasi orang kekuasaan, anggota parlemen termasuk warga biasa, untuk terlibat dalam perilaku korup.

4. Faktor Organisasi

(7)

Focus attention, dapat dijadikan bagi para anggota sebagai semacam guideline untuk memusatkan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan para anggota dan organisasi sebagai kesatuan. Melalui tujuan organisasi, para anggota dapat memiliki arah yang jelas tentang segala kegiatan dan tentang apa yang tidak, serta apa yang harus dikerjakan dalam kerangka organisasi. Tindak tanduk atas kegiatan dalam organisasi, oleh karennya senantiasa berorientasi kepada tujuan organisasi, baik disadari maupun tidak. Dalam fungsinya sebagai dasar legitimasi atau pembenaran tujuan oragnisasi dapat dijadikan oleh para anggota sebagai dasar keabsahan dan kebenaran tindakan-tindakan dan keputusannya. Tujuan organisasi juga berfungsi menyediakan pedoman-pedoman bagi para anggotanya untuk menentukan cara terbaik dalam melaksanakan tugas dan melakukan suatu tindakan. Organisasi dapat berfungsi dengan baik , hanya bila anggotanya bersedia mengintegrasikan diri di bawah sebuah pola tingkah laku atau aturan yang telah ditentukan bersama. Di sinilah letak jika kurangnya keteladanan pemimpin dapat memicu perilaku korup.

2.2 Alasan Penegakkan Hukum yang masih Bersifat Tebang Pilih

Intitusi penegak hukum adalah salah satu pilar dalam penerapan rule of law di Indonesia. Proses penegakan menjadi cermin dari entitas suatu nilai yang ada dalam masayarakat. Jika respon masyarakat terhadap intitusi penegak hukum lemah maka apa yang tercantum dalam UUD NRI 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum menjadi keniscayaan. Dalam teori konfigurasi politik, hukum bersifat responsif karena hukum berasal dari masyarakat dan tidak boleh represif karena akan menimbulkan kekacauan politik, namun dalam pelaksanaan penegakan hukum, hukum tidak boleh dipolitisasi karena ranah penegakan hukum sudah menyangkut pelaksanaan dari konstitusi. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kemedekaan ini diartikan adalah merdeka dari siapapun tanpa adanya tebang pilih demi menegakkan hukum dan keadilan. Keadilan untuk siapa keadilan yang sebesar-besarnya untuk korban dan siapakah korban itu, orang yang patut diduga telah melakukan tindak pidana(dalam hal ini semua kasus). Dalam Kasus Budi Gunawan dan Bambang Widjojanto telah mengikutsertakan institusi penegak hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi versus Kepolisian Republik Indonesia tentang penetapan keduanya menjadi tersangka, ini menjadi sangat mengganggu terhadap mekanisme proses pemberantasan korupsi di Indonesia dan ketanegaraan kita, dengan keduanya ditetapkan menjadi tersangka maka reputasi dari institusi penegak hukum telah dipertanyakan, keduanya dianggap telah memenuhi 2 (dua) alat bukti yang sah untuk ditetapkan menjadi tersangka. Namun, demikian yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah kapan tindak pidana itu dilakukan dan mekanisme prosedur penetapan menjadi tersangka menjadi pertanyaan publik saat ini.

(8)

Melihat kondisi saat ini kasus-kasus yang masuk dalam ranah pengadilan dinilai lambat dan berbelit-belit, inipun akan menyalahi undang-undang, hal ini dapat dilihat dengan menumpuknya perkara di pengadilan dan penyidikan yang berjalan lambat dan cenderung menggunakan masa penahanan maksimal, padahal jika dilihat dari jenis pidana, jika seseorang patut diduga telah melakukan tindak pidana dan unsur-unsur telah dipenuhi maka segera proses ke pengadilan, selain menjamin kepastian hukum juga perlindungan terhadap martabat manusia. Hal ini tidak terjadi di negara kita, perkara yang diajukan bisa memakan waktu yang lama dengan alasan masih ada perpanjangan masa penahanan dan belum P21, ini sebenarnya diperbolehkan, namun bertentangan dengan asas hukum pidana. Seharusnya mekanisme dan prosedur dalam penyidikan harus lebih jelas dan tegas agar terjaga kualitas dan integritas dalam proses penyidikan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum khususnya penyidik akan menjadi pioneer utama dalam lini penegakan hukum yang efektif dan bermartabat baik penyidik KPK maupun penyidik POLRI.

Mekanisme Integrated Criminal Justice System Tujuan hukum adalah untuk keadilan dan orientasinya untuk daya guna bagi masyarakat banyak serta peningkatan martabat kemanusiaan. Bukan sekedar sebagai instrumen kelestarian kekuasaan suatu rezim. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembentukan undang-undang secara prosedural tidak boleh melanggar kaidah konstitusi, sehingga penyimpangan secara fundamental harus dihindarkan. Oleh sebab itu penjatuhan pidana bukan semata-mata menghukum dengan seberat- beratnya namun demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan rasa aman di masyarakat serta demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Hubungan koordinasi dari institusi penegak hukum sebagai penggerak dalam meningkatkan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat lebih dikedepankan sehingga akan menjamin terhadap nilai keadilan dan kepastian hukum sendiri, bukan sebagai mata rantai yang panjang dan berbelit-belit dalam urusan penegakan hukum, seharusnya institusi itu menjadi jembatan dalam lahirnya pola pencarian keadilan dan kebenaran. Dengan adanya Integreted Criminal Justice System dalam intitusi penegak hukum, di antaranya polisi/penyidik, jaksa, hakim, advokat sampai Lembaga Pemasyarakatan, harus memiliki tugas dan fungsi yang jelas tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih jika ada indikasi patut diduga melakukan tindak pidana maka segera lakukan penyidikan dan penyelidikan, sehingga tidak ada kasus yang baru 5 atau 10 tahun kemudian baru dilakukan penyidikan sehingga barang bukti dan alat bukti yang patut diduga sebagai hasil kejahatan untuk dijadikan alat bukti masih ada dan tersimpan rapi atau bahkan sudah musnah/hilang.

Dalam pelaksanaan penegakan hukum tidak boleh disamakan dengan proses pembuatan produk hukum hasil dari mekanisme politik, perkara muncul dan hilang sesuai pesanan politik. Yang perlu dibenahi adalah memperjelas SOP dalam intitusi penegak hukum secara efektif dan berkualitas sehingga input dan output yang dihasilkan jelas dan terukur, Seperti contoh jika perkara yang sudah diproses dalam penyidikan membutuhkan waktu berapa lama untuk tiap-tiap perkara dengan spesifik masalah sampai bukti dianggap lengkap, jangan sampai kasus pencurian ayam misalkan disamakan dengan kasus korupsi atau narkoba atau sebaliknya memakan waktu yang lama untuk kasus kasus tertentu, sehingga menjadi tebang pilih dalam penegakan hukum dan tidak bisa diukur dengan prosedur kualitas dan kuantitas proses peradilan.

(9)

prinsip-prinsip fair trial maka diharapkan institusi penegak hukum mampu menjadi penyeimbang dalam gerak dan langkah dalam proses pidana baik itu pidana formil, pidana materiil maupun pelembagaan peradilan pidana, sejauhmana efek dari tingkat pidana itu mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat selama ini sehigga tidak terjadi penumpukan perkara di pengadilan dan lembaga pemasayarakatan yang over capacity serta tingkat kejahatan yang tiap tahun semakin meningkat maka perlu kecermatan dan kehati-hatian serta sikap bijak dalam menyikapi persoalan korban, saksi maupun terpidana dalam satu koridor menegakkan kebenaran dan keadilan untuk menurunkan angka kriminalitas. Melakukan komunikasi dan koordinasi antar intitusi penegak hukum secara baik, profesional, transparan dan kredibel serta berintegritas juga perlu untuk dilakukan.

Mekanisme Diskresi Penegakan hukum nantinya juga tidak lepas dari diskresi dengan tiga syarat yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB ). Diskesi dilakukan karena adanya ketiga hal tersebut di atas salah satunya demi menyelamatkan kepentingan umum. Jika demi kepentingan umum dianggap cocok dalam mengambil langkah untuk diskresi maka kebijakan inipun harus dikonsultasikan dan dikomunikasikan dengan pimpinan tertinggi dalam memutuskan perkara dan melalui uji publik terlebih dahulu sehingga tidak melanggar asas asas umum pemerintahan yang baik. Perkara ini layak untuk dilakukan diskresi jika ini menyangkut nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sehingga layak untuk memperoleh hak istimewa dan diskresi juga dipergunakan bukan untuk memperoleh imbalan, hadiah atau jasa yang berakibat pada gratifikasi tapi ini murni akan dikembalikan lagi kepada ranah hukum yang konstitusional. Diskresi juga bukan menjadi alasan dalam tebang pilih perkara.

Jenis-jenis Penjatuhan Pidana yang Dapat dilakukan Hakim terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi sesuai Undang Nomor 31 tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 adalah berupa sebagai berikut.

1. Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi  Pidana Mati

 Pidana Penjara

 Pidana Tambahan, berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, pembayaran uang pengganti sebanyak yang telah diperoleh dari hasil korupsi, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan selama paling lama 1 tahun, pencabutan hak-hak tertentu, penyitaan terhadap harta benda jika pelaku tidak membayar uang pengganti.

 Gugatan perdata Kepada Ahli Warisnya. Jika dalam pemeriksaan, terdakwa meninggal dunia, dan secara penyelidikan dibenarkan telah melakukan tindak korupsi, penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan kepada ahli waris pelaku korupsi tersebut.

2. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Korporasi

(10)

Putusan Hakim terhadap Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dapat digolongkan menjadi 2 sebagai berikut.

1. Putusan Akhir

putusan yang dikeluarkan oleh hakim atau pengadilan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi yang hadir di persidangan , sampai dengan pokok perkaranya selesai diperiksa. Penjatuhan putusan melalui proses-proses yang sesuai dengan prosedu pengadilan .

2. Putusan yang Bukan Putusan Akhir

Dalam prakteknya, putusan yang bukan merupakan putusan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela atau sering disebut putusan tussen-vonnis dalam bahasa Belanda. Putusan ini masih memungkinkan perkara tersebut dibuka kembali karena ada perlawan yang dibenarkan, juga karena dalam hal ini materi pokok perkara atau pokok perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses berikutnya belum diperiksa oleh majelis hakim.

Bentuk putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi menurut Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHP sebagai berikut.

1. Putusan bebas.

2. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum 3. Putusan pemidanaan.

(Fijnaut dan Huberts : 2002): “It is always necessary to relate anti-corruption strategies to characteristics of the actors involved (and the environment they operate in). There is no single concept and program of good governance for all countries and organizations, there is no ‘one right way’. There are many initiatives and most are tailored to specifics contexts. Societies and organizations will have to seek their own solutions.” Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa sangat penting untuk menghubungkan strategi atau upaya pemberantasan korupsi dengan melihat karakteristik dari berbagai pihak yang terlibat serta lingkungan di mana mereka bekerja atau beroperasi.

Tidak ada jawaban, konsep atau program tunggal untuk setiap negara atau organisasi. Ada begitu banyak strategi, cara atau upaya yang kesemuanya harus disesuaikan dengan konteks, masyarakat maupun organisasi yang dituju. Setiap negara, masyarakat mapun organisasi harus mencari cara mereka sendiri untuk menemukan solusinya. Di muka telah dipaparkan bahwa upaya yang paling tepat untuk memberantas korupsi adalah dengan memberikan pidana atau menghukum seberat-beratnya pelaku korupsi. Dengan demikian bidang hukum khususnya hukum pidana akan dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk memberantas korupsi. Benarkah demikian? Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal atau criminal policy oleh G.Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Nawawi Arief : 2008).

1. Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application).

2. Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment). 3. Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment / mass media).

(11)

(penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas (Nawawi Arief : 2008). Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.

Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki ‘keterbatasan’ dan mengandung beberapa ‘kelemahan’ (sisi negatif ) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara ‘subsidair’. Pertimbangan tersebut (Nawawi Arief : 1998) adalah :

1. Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi).

2. Dilihat secara fungsional/pragmatis, operasionalisasi dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi.

3. Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/paradoksal yang mengadung efek sampingan yang negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Pemasyarakatan.

4. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala), ia hanya merupakan pengobatan simptomatik bukan pengobatan kausatif karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana.

5. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub sistem) dari sarana kontrol sosial lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks.

6. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal; tidak bersifat struktural atau fungsional.

7. Efektifitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masih sering diperdebatkan oleh para ahli.

Sejatinya Lembaga Pemasyarakatan adalah Lembaga yang bertujuan untuk merehabilitasi dan meresosialisasi pelaku kejahatan. Namun dalam realita, tujuan ini sangat sulit untuk diwujudkan. Berbagai kasus narapidana yang dengan memberi suap dapat menikmati perlakuan istimewa saat berada di Lembaga Pemasyarakatan dapat memperlihatkan bahwa hukum telah bersikap diskriminatif. Dengan ini justru daftar lembaga dan aparat hukum yang terlibat dan turut menumbuhsuburkan korupsi bertambah panjang. Menurut Rubin pemidanaan (apakah dimaksudkan untuk menghukum atau memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan. Schultz menyatakan bahwa naik turunnya kejahatan tidak berhubungan dengan perubahan di dalam hukum atau kecenderungan dalam putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

(12)

kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Pengadilan adalah jantungnya penegakan hukum yang harus bersikap imparsial (tidak memihak), jujur dan adil. Banyak kasus korupsi yang tidak terjerat oleh hukum karena kinerja lembaga peradilan yang sangat buruk. Bila kinerjanya buruk karena tidak mampu (unable), mungkin masih dapat dimaklumi. Ini berarti pengetahuan serta ketrampilan aparat penegak hukum harus ditingkatkan. Yang menjadi masalah adalah bila mereka tidak mau (unwilling) atau tidak memiliki keinginan yang kuat (strong political will) untuk memberantas korupsi, atau justru terlibat dalam berbagai perkara korupsi. Lembaga atau Komisi yang melakukan penanganan terhadap Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sesuai hukum positif di Indonesia adalah sebagai berikut.

1. Lembaga Kepolisian 2. Lembaga Kejaksaan

3. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) 4. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

5. Lembaga Peradilan (Peradilan Umum dan Peradilan Ad-Hoc Tindak Pidana Korupsi)

2.3 Upaya Pemerintah Indonesia dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi

Beberapa upaya atau strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah sebagai berikut.

1. Strategi Preventif

Strategi ini dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak yang dalam pelaksanaannya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.

2. Strategi Deduktif

Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak harus dibenahi, sehingga sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberkan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya beragai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi, maupun ilmu politik.

3. Strategi Reresif

(13)

Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Publik

1. Salah satu cara untuk mencegah korupsi adalah dengan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang dimiliki baik sebelum maupun sesudah menjabat. Dengan demikian masyarakat dapat memantau tingkat kewajaran peningkatan jumlah kekayaan yang dimiliki khususnya apabila ada peningkatan jumlah kekayaan setelah selesai menjabat. Kesulitan timbul ketika kekayaan yang didapatkan dengan melakukan korupsi dialihkan kepemilikannya kepada orang lain misalnya anggota keluarga.

2. Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang baik di pemerintahan pusat, daerah maupun militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah dengan melakukan lelang atau penawaran secara terbuka. Masyarakat harus diberi otoritas atau akses untuk dapat memantau dan memonitor hasil dari pelelangan atau penawaran tersebut. Untuk itu harus dikembangkan sistem yang dapat memberi kemudahan bagi masyarakat untuk ikut memantau ataupun memonitor hal ini. 3. Korupsi juga banyak terjadi dalam perekruitan pegawai negeri dan anggota militer

baru. Korupsi, kolusi dan nepotisme sering terjadi dalam kondisi ini. Sebuah sistem yang transparan dan akuntabel dalam hal perekruitan pegawai negeri dan anggota militer juga perlu dikembangkan.

4. Selain sistem perekruitan, sistem penilaian kinerja pegawai negeri yang menitikberatkan pada pada proses (proccess oriented) dan hasil kerja akhir (result oriented) perlu dikembangkan. Untuk meningkatkan budaya kerja dan motivasi kerja pegawai negeri, bagi pegawai negeri yang berprestasi perlu diberi insentif yang sifatnya positif. Pujian dari atasan, penghargaan, bonus atau jenis insentif lainnya dapat memacu kinerja pegawai negeri. Tentu saja pemberian ini harus disertai dengan berbagai pra-kondisi yang ketat karena hal ini juga berpotensi korupsi, karena salah-salah hal ini justru dipergunakan sebagai ajang bagi-bagi bonus diantara para pegawai negeri.

Upaya Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

1. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan. Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.

(14)

Transparency International juga mengeluarkan toolkit mengenai pendidikan anti korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang mahasiswa pelajari saat ini adalah salah satu cara supaya mahasiswa dapat mengetahui seluk-beluk korupsi dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran akan bahaya korupsi. 3. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan

memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Dengan berkembangnya teknologi informasi, media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan mudah untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.

4. Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan korban yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.

5. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya korupsi. Menurut Pope media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi, media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi Time menyatakan bahwa ‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh sekalipun dapat dengan mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak diawasi oleh pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang melawan korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko bahwa perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh pers (Pope: 2003). Namun media juga memiliki titik lemah. Hal ini terjadi apabila media tersebut dimiliki oleh pemerintah. Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun televisi dan radio terbesar dalam suatu negara. Kita ambil contoh saja TVRI dan RRI. Karena milik pemerintah, tentu saja independensinya tidak dapat terlalu diandalkan. Salah satu titik lemah lagi dari media adalah pekerjaan jurnalisme yang berbahaya. Penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap jurnalis atau wartawan menjadi hal yang biasa (Pope : 2003). Segala macam cara akan digunakan oleh mereka (terutama yang memiliki uang dan kekuasaan) yang tidak ingin namanya tercoreng karena pemberitaan di media. Selain itu banyak pula negara yang berupaya untuk melakukan penyensoran terhadap informasi yang akan diberitakan oleh media atau bahkan pencabutan ijin usaha sebuah media.

(15)

parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti pekerjaan jurnalisme yang berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap aktivis LSM sangat sering terjadi.

7. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang pada tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones atau kamera video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television) atau data interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana banyak digunakan telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik. Namun di beberapa negara, penggunaan electronic surveillance harus disetujui terlebih dahulu oleh masyarakat, karena masyarakat tidak ingin pemerintah ‘memata-matai’ segenap aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan. Tindakan memata-matai atau ‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis dianggap melanggar hak asasi terutama hak akan privacy. Dalam beberapa kasus, negara yang otoriter justru akan menggunakan data yang terekam dalam electronic surveillance untuk melakukan intimidasi terhadap rakyatnya.

Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya mengandalkan satu instrumen hukum yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan perundang-undangan atau instrumen hukum lain perlu dikembangkan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang harus ada untuk mendukung pemberantasan korupsi adalah Undang-Undang Tindak Pidana Money Laundering atau Pencucian Uang. Untuk melindungi saksi dan korban tindak pidana korupsi, perlu instrumen hukum berupa UU Perlindungan Saksi dan Korban. Untuk memberdayakan Pers, perlu UU yang mengatur mengenai Pers yang bebas. Bagaimana mekanisme masyarakat yang akan melaporkan tindak pidana korupsi dan penggunaan electronic surveillance juga perlu diatur supaya tidak melanggar privacy seseorang. Selain itu hak warga negara untuk secara bebas menyatakan pendapatnya harus pula diatur.

Pasal-pasal yang mengkriminalisasi perbuatan seseorang yang akan melaporkan tindak pidana korupsi serta menghalang-halangi penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi seperti pasal mengenai fitnah atau pencemaran nama baik perlu dikaji ulang dan bilamana perlu diamandemen. Hal ini bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat. Masyarakat tidak boleh takut melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya. Selain itu, untuk mendukung pemerintahan yang bersih, perlu instrumen Kode Etik atau code of conduct yang ditujukan untuk semua pejabat publik, baik pejabat eksekutif, legislatif maupun code of conduct bagi aparat lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).

(16)

atau upaya yang dapat digunakan, kita tetap harus mencari cara kita sendiri untuk menemukan solusi memberantas korupsi.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan pembahasan, dan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pancasila sumber nilai anti Korupsi ini dibenarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang menegaskan bahwa Pancasila sesungguhnya merupakan sumber nilai anti korupsi.

2. Apabila disederhanakan penyebab korupsi meliputi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datang dari diri pribadi sedang faktor eksternal adalah faktor penyebab

terjadinya korupsi karena sebab – sebab dari luar.

3. Secara umum faktor penyebab korupsi dapat terjadi karena faktor politik, hukum, dan ekonomi, sebagaimana dalam buku berjudul Peran Parlemen dalam Membasmi Korupsi (ICW : 2000) yang mengidentifikasikan empat faktor penyebab korupsi yaitu faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi dan birokrasi serta faktor transnasional.

4. Penegakkan hukum di Indonesia ibarat pisau yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, yang artinya masih bersifat tebang pilih.

5. Penegakan hukum yang masih bersifat tebang pilih disebabkan oleh lemahnya penegekan hukum dan perundang-undangan pada aparatur atau pejabat

eksekutif (hakim, kepolisian, penyidik) yang masih dapat disuap oleh tersangka kasus korupsi.

6. Pendirian lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi adalah salah satu cara memberantas korupsi.

7. Tindakan penjatuhan hukuman pidana belum tentu akan memberikan efek jera kepada tersangka korupsi. Namun menjadi opsi terkhir.

8. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi seharusnya lebih diutamakan

contohnya dengan cara pendidikan anti korupsi dalam matakuliah Pancasila. Ini akan memberikan pola pikir dan cara pandang yang mengarahkan agar korupsi dapat dihentikan mulai dari bangku sekolah untuk kedepannya.

3.2 Saran

1. Bagi penulis berikutnya

Bagi penulis berikutnya mencari sumber referensi sebanyak-banyaknya sangat diperlukan untuk didapatkan informasi yang lebih detail dan akurat mengenai kasus korupsi.

2. Bagi pembaca

Pembaca diharapkan lebih mengkritisi fakta-fakta di lapangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi terutama di lingkungan masyarakat. Serta lebih berani untuk mengambil sikap untuk melaporkan tindak pidana korupsi yang terjadi jika sewaktu-waktu mengetahui adanya praktik korupsi. 3. Bagi pemerintah

(17)

selain upaya pemberantasan. Karena pencegahan mulai dari sejak dini dengan upaya pendidikan Anti-Korupsi akan memberikan arahan dan pandangan bagi generasi muda untuk menghindari perilaku korup di masa mendatang.

Penulis juga berharap kepada masyarakat serta pemerintah untuk memberikan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dapat segera diberantas, sehingga tercipta masyarakat yang aman dan tentram.

DAFTAR PUSTAKA Buku dan E-book :

1. Dikti, 2014, Buku Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, Kemendikbud, Jakarta. dalam www. ipdn .com (diakses tanggal 23 Mei 2016)

2. Hasbullah, F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Kencana, Jakarta. dalam www. hukumpidana .com (diakses tanggal 23 Mei 2016).

3. Mundzir, Hudriyah dkk,2013, Pendidikan Pancasila, UPT MKU Politeknik Negeri , Malang.

Artikel dan Jurnel Internet :

1. Andrisman, Tri, “Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”. Dalam Jurnal Studi Penegakkan dan Pengembangan Hukum ISBN : 978-602-7509-50-4. E-journal www.hukumpidana.com (diakses tanggal 23 Mei 2016).

2. La, Sina, 2008, “Dampak dan Upaya Pemberantasan serta Pengawasan Korupsi di Indonesia”. Dalam jurnal Hukum Pro Justitia Vol. 26 No. 1, Tahun 2008. E-journal

www.hukumpidana.com (diakses tanggal 23 Mei 2016).

3. “Penegakkan Hukum Tebang Pilih” oleh Indonesian Corruption watch. Diakses pada

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan ketebalan minimal blok cerrobend pada terapi berkas elektron pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisa dosis serap yang diterima target setelah

Dalam perkara ini, orang yang bernama Sukiran bin Suwito (alm) telah diajukan sebagai terdakwa, sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan yang

Şekil 1.31: Dirençlerin güç değerinin yazıyla belirtilmesi Mini radyo, walkman volkmen gibi az akım çekerek çalışan aygıtlarda minik boyutlu, yani küçük güçlü

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan penyertaan-Nya sehingga skripsi dengan judul “UJI POTENSI ANTIBAKTERI KOMBINASI EKSTRAK AIR

dalam teori dimensi ruang-waktu ekstra Kaluza-Klein, neubino dengan massa massifbagi mekanisme seesaw diperoleb secara alamiah yakni dari moda Kaluza-Klein.. KATA KUNCI:

Senyawa koordinasi merupakan senyawa yang tersusun atas atom pusat dan Senyawa koordinasi merupakan senyawa yang tersusun atas atom pusat dan ligan (sejumlah anion atau molekul

Untuk mendukung pengerjaan analisa kondisi eksisting pada simpang tak bersinyal maupun bundaran dengan volume kendaraan periode hari rabu dan sabtu pada jam

Tujuan dari adanya SIAK adalah untuk menyediakan data dan informasi berskala nasional dan daerah mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil yang akurat,