• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Dalam Sejarah Indonesia docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan Dalam Sejarah Indonesia docx"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara demokrasi. Peran rakyat di dalam negara Demokrasi sangat penting. Dalam hubungan kekuasaan, di dalam negara demokrasi rakyat memiliki kedauatan penuh. Peran rakyat dalam menentukan keputusan negara tampak dalam Pemillihan Umum (Pemilu). Dalam setiap event Pemilu, rakyar menyambutnya dengan penuh kegembiraan.

Pemilu Presiden tahun 2014 merupakan salah satu contoh dari peran serta rakyat dalam memberikan suara mereka. Ketika menjelang Pemilu, rakyat telah mempersiapkan rancangan kegiatan untuk menyambut Pemilu. Biasanya rakyat terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan calon yang mereka dukung. Lebih menarik lagi, pada Pemilu tahun 2014 ini hanya ada 2 pasangan capres dan cawapres. Rakyat terbagi dalam kelompok yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, serta ada pula yang masih berada di kubu netral. Bagian paling menarik ialah saat kampanye dan debat di acara televisi. Di sana terlihat antusiasme rakyat dalam menyambut Pemilu.

Pemilu menjadi event penting karena Pemilu adalah saat penentuan masa depan negara. Rakyat menentukan sendiri orang yang akan memimpin mereka. Keputusan rakyat ketika mencoblos menentukan siapa yang akan membawa Indonesia 5 tahun ke depan.

Di balik kehidupan politik Indonesia yang terus berkembang, ada sisi-sisi lain yang seringkali luput dari pengamatan rakyat. Di Indonesia, kelompok mayoritas terlalu mendominasi sehingga membuat kelompok minoritas tidak kelihatan. Diskriminasi kaum minoritas di Indonesia tidak tampak karena disamarkan oleh kaum mayoritas. Jika kita mengamati dengan lebih teliti, banyak persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini berkaitan diskriminasi kelompok minoritas. Yang dimaksud dengan kelompok minoritas ialah orang miskin, rasisme, agama, dan tidak kalah penting kaum perempuan (gender).

Persoalan perempuan di Indonesia telah ada sejak Indonesia belum merdeka. Indonesia telah lama menghadapi persoalan gender mulai dari relasi antar individu hingga ke dunia politik, sosial, ekonomi dan budaya.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana Iris Marion Young menjelaskan Politik Diferensiasi? 1.2.2. Bagaimana partisipasi perempuan di dalam sejarah Indonesia?

1.2.3. Bagaimana partisipasi perempuan di bidang politik Indonesia saat ini? 1.2.4. Bagaimana menilai politik di Indonesia dalam perspektif Iris Marion Young? 1.3. Batasan Masalah

Tulisan ini hanya membatasi diri pada persoalan diskrminasi gender dalam bidang politik di Indonesia menurut pandangan Iris Marion Young.

1.4. Metode Penulisan

(2)

BAB II

Iris Marion Young1: Politik Diferensiasi

Persoalan diskriminasi sulit terdeteksi karena sudah terkondisi secara struktural. Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas sering tidak disadari, bahkan dilihat sebagai sesuatu yang “normal” oleh masyarakat. Kelompok mayoritas mendominasi masyarakat, sehingga kelompok minoritas kekurangan tempat untuk menentukan setiap keputusan yang menyangkut kehidupan bersama.

Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya menjadi persoalan penting dilihat sebagai sesuatu yang normal dan sudah menjadi kebiasaan. Karena perlakuan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka masyarakat tidak menyadari bahwa hal itu merupakan “kecacatan” di dalam masyarakat. Maka dari itu, Iris Marion Young melihat bahwa persoalan diskriminasi sosial dan penepian kelompok-kelompok minoritas tidak hanya cukup diatasi secara formal melalui reformasi hukum, tetapi juga membutuhkan revolusi kebudayaan yang mendalam hingga ke mekanisme-mekanisme ketidakadilan serta prasangka-prasangka sosial.2

Iris Marion Young secara khusus membahas hal ini di dalam bukunya yang berjudul Justice and the Politics of Difference. Young memberi penekanan dan perspektif baru atas karya John Rawl. Young berada dalam diskursus seputar teori keadilan. Dia melihat keadilan dari sisi gerak sosial, cita-cita emansipasi, dan mekanisme struktural masalah ketidakadilan. Young memfokuskan pembahasan pada persoalan-persoalan komunitas budaya seperti warga kulit hitam, imigran Amerika Latin, orang Indian, perempuan, kelompok lesbian, dan gay. Menurut Young, konsep egalitarianisme formal tidak mampu menyelesaikan persoalan yang dialami kelompok-kelompok tersebut.3

Young mempersoalkan teori John Rawl tentang keadilan distributif. John Rawls membahas persoalan-persoalan struktur hukum di dalam masyarakat. Menurut Rawls, setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Dengan demikian, jaminan kebebasan yang sama bagi setiap warga negara menjadi syarat keadilan.

Menurut Young, konsep keadilan distributif Rawls mereduksi pemahaman tentang keadilan. Keadilan distributif tidak dapat membahas fenomena ketidakadilan substansial.4

Keadilan distributif melihat keadilan dari prisma distribusi yang sama secara formal bagi setiap orang. Hal ini tidak dapat menyentuh mekanisme-mekanisme yang menyebabkan ketidakadilan. Perlu memahami keadilan secara lebih mendalam supaya mengetahui sebab-sebab dasar ketidakadilan. Keadilan mengandung unsur hak, kebebasan, martabat, dan pengakuan. Unsur-unsur ini tidak dapat didistribusikan. Dengan demikian, keadilan tidak dapat dibatasi hanya pada konsep keadilan distributif.

1 Iris Marion Young merupakan salah satu filsuf politik terkemuka pada seperempat abad terakhir. Young adalah seorang professor bidang ilmu politik di University of Chicago sejak tahun 2000. Karya terkenal Young ialah teori keadilan, feminisme, dan demokrasi. Young sangat ahli dalam bidang politik feminisme. Dia memperjuangkan hak perempuan yang berada di bawah kekuasaan laki-laki. Young lahir pada tanggal 2 Januari 1949 di kota New York dan meninggal ketika berumur 57 karena kanker.

2 Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), Hlm. 36.

(3)

Prinsip-prinsip keadilan John Rawls bertolak dari posisi asali, yaitu posisi yang mengonstruksikan netralitas atas dasar ketidaktahuan. Menurut Young, konstruksi seperti itu tidak beralasan. Ideal netralitas tidak mungkin terwujud. Hal ini dikarenakan masyarakat selalu hidup dengan latarbelakang sosio-politik dan budaya tertentu. Konsep ideal netralitas juga mengabaikan diferensiasi. Diskriminasi struktural di dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh perbedaan dan keunikan dari setiap manusia. Maka dari itu diferensiasi perlu mendapat tempat untuk dibahas.

Young berpendapat bahwa kekuasaan, otoritas dan penindasan merupakan parameter dasariah ketidakadilan. Otto Gusti Madung menuliskan hasil analisis Young tentang penindasan sebagai berikut:

[…] Keadilan berarti mengatasi ketakberuntungan struktural yang diderita orang atau atas dasar praktik-praktik yang sudak terbiasa di dalam masyarakat. Dari hasil analisis Young, terungkap lima bentuk penindasn, yakni pemerasan, marginalisasi, ketakberdayaan, imperalisme, dan kekerasan. Diskriminasi yang berhubungan dengan penindasan ini berdampak pada distribusi hak-hak. Maka, pembagian hak-hak yang sama secara formal bukanlah solusi terbaik untuk menciptakan keadilan karena distribusi egaliter tersebut terperangkap dalam ketaksamaan yang selalu tercipta secara baru.5

Perlakuan yang sama secara formal tidak dapat memberikan solusi bagi diskriminasi yang telah mengakar secara kultural. Menurut Young, untuk dapat menata keadilan, masyarakat harus membongkar mekanisme konstruksi dari yang lain, merefleksikan secara kritis cara pandang dan penataan gejala-gejala sosial serta mempertanyakan kembali stereotip-stereotip.

Di dalam dunia politik, ketidakadilan terungkap dalam proses peminggiran dan eksklusi. Ketidakadilan di dalam dunia politik tidak terletak pada pendapatan dan kekayaan, melainkan lebih mengarah pada kesulitan-kesulitan dalam berpartisipasi dalam kehidupan berpitik. Politik Patriarki mungkin dapat memberi kesejahteraan ekonomi, tetapi membatasi kebebasan politis.

Young tidak menolak seluruh teori John Rawls. Dia membaca teori Rawls secara kritis; ada bagian-bagian yang perlu dievaluasi dan ada bagian-bagian yang diafirmasi. Menurut Young, aspek deliberatif dan kesamaan epistemis berperan untuk mendapatkan informasi tentang keputusan politis.6 Informasi yang didapatkan dapat berupa cara, kuota,

orang-orang atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam pengambilan keputusan, dan siapa saja yang tidak memiliki peran utama.

Dalam memahami keadilan, Young juga menyentuh persoalan teori demokrasi. Young mengatakan: “Bukan hanya nilai kebebasan, tetapi jatuh-bangunnya nilai demokrasi juga sangat tergantung pada factum sejauh mana masyarakat memperhatikan secara ekonomis dan politis kepentingan berbagai kelompok dan gerakan social.”7

Persoalan diferensiasi berperan dalam pembangunan negara demokrasi. Demokrasi tidak hanya menyuarakan kebebasan rakyat, tetapi juga perlu memperhitungkan keadilan yang peka terhadap diferensiasi sosial.

5 Otto Gusti Madung, Op. Cit., Hlm. 38. 6 Ibid., Hlm. 39.

(4)

Young mengikuti pemikiran postmodern seperti Faucault secara metodologis. Refleksi tentang identitas, kekuasaan, diferensiasi dan kesetaraan universal dipengaruhi oleh pemikiran postmodern tentang universalitas dan norma-norma lintas budaya.

Kekuatan teori Young terletak pada pemaparan yang mendalam atas gejala-gejala sosial. Young tidak menyatakan teorinya dalam sebuah teori dan analisis yang mendetail, bahkan tidak semua hasil pengamatannya ia rumuskan dalam sebuah tesis. Baginya, kejelasan deskripsi menggantikan kedalaman analisis. Kritik Young atas karya John Rawls tidak dirumuskan secara sistematis dalam bentuk tesis, tetapi tetap dapat diperhitungkan sebagai karya yang ilmiah berdasarkan pemikirannya.

Young memasukkan dimensi relasi kekuasaan dan penguasaan untuk memperluas penjelasannya mengenai keadilan. Keadilan distributif John Rawls tidak dapat mencakup hubungan kekuasaan. Menurut Young, kekuasaan bukanlah sebuah benda, tetapi ada dalam sebuah relasi; berbicara tentang kekuasaan menuntut adanya refleksi metodologis dan analitis tentang identitas, cara pandang, dan relasi. Kekuasaan memang berhubungan dengan keadilan. “Menurut Young Iris Marion Young, kekuasaaan, penguasaan dan penindasan merupakan parameter utama dalam menakar ketidakadilan.”8

Penindasan selalu berhubungan dengan kelompok sosial. Korban penindasan adalah individu-ndividu yang berada di dalam kelompok tersebut. Young memberi penjelasan yang lebih terperinci. Lima bentuk penindasan tersebut ialah pemerasan, marginalisasi, ketakberdayaan, imperialisme budaya, dan kekerasan.9Pertama, pemerasan.

Pemerasan tampak dalam syarat-syarat struktural yang mengatur pemberian bantuan dari satu orang ke orang lain. Bantuan hanya berperan menciptakan reorganisasi institusi dan praktik pengabilan keputusan.

Kedua, marginalisasi. Marginalisasi merupakan proses peminggiran kelompok-kelompok minoritas. Bagian dari kelompok-kelompok-kelompok-kelompok minoritas tersebut ialah perempuan, orang kulit hitam, pengangguran, dan orang cacat. Kehadiran kelompok minoritas ini tidak mendapat perhatian yang berarti di dalam masyarakat.

Ketiga, ketakberdayaan. Ketakberdayaan merupakan lemahnya kekuatan kelompok minoritas di ruang publik, sehingga kaum minoritas tidak memliki pengaruh di ruang publik.

Keempat, imperialsme. Imperialisme budaya dihubungkan dengan fenomena sosial. Praktik-praktik dan simbol-simbol budaya kelompok mayoritas menjadi peraturan umum. Kelompok mayoritas menjadi kelompok yang diutamakan, sehingga kelompok minoritas harus terpakasa mengikuti aturan yang dibuat oleh kelompok mayoritas.

Kelima, kekerasan. Kekerasan merupakan puncak dari proses peminggiran, agresi dan kebencian kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas seperti perempuan, orang kulit hitam, dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.

Dari pembagian jenis penindasan di atas, diketahui bahwa marginalisasi, pemerasan dan ketakberdayaan merupakan bentuk penindasan dalam konteks pembagian kerja. Imperialisme merupakan bentuk fenomena sosial. Dan yang terakhir, kekerasan merupakan puncak dari penindasan yang ada di dalam kehidupan masyarakat.

(5)

Proses diferensiasi sosial dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas disebabkan oleh tidak adanya partisi politis dan kuasa dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, hal ini pertama-tama tidak disebabkan oleh tidak terwujudnya keadilan distributif. Menanggapi hal ini, Young menawarkan sebuah keterbukaan radikal demokrasi deliberatif.“10 Keadilan menunutut keterlibatan semua kelompok sosial dalam diskursus

publik dan prosedur pengambilan keputusan.”

Young menekankan perlunya syarat-syarat epistemis demokrasi deliberatif karena masyarakat sering terjebak di dalam paradoks.11 Usaha untuk memperkuat demokrasi

partisipatoris seringkali hanya melibatkan kelompok-kelompok elit. Sedangkan kaum minoritas seperti perempuan, orang miskin, dan orang kulit hitam tidak memiliki partisipasi dalam demokrasi. Menurut Young, alasan fenomena di atas ialah karena adanya perbedaan titik permualaan epistemis. Sekelompok orang memanfaatkan struktur demokrasi untuk kepentingannya sendiri. selain itu, budaya patriarki juga mempersulit kaum perempuan untuk memperoleh akses pendidikan yang setara. Maka dari itu harus ada perbaikan dalam ketaksamaan epistemis.

Dalam penjelasan Young, mekanisme penindasan hanya dapat diatasi melalui konsep politik emansipatoris. Politik emansipatoris memperbaiki ketaksamaan epistemis dan memperhatikan keunikan setiap individu di dalam kelompok. “Pengakuan akan keunikan kelompok menuntut penerapan konsep egalitarianisme dan diferensiasi sekaligus di dalam politik.”12 Dengan demikian, penyelesaian persoalan kelompok-kelompok

tertindas di dalam masyarakat bukan dengan perlakuan yang sama. Setiap orang tidak dapat diperlakukan sama. Setiap individu maupun kelompok memiliki keunikannya masing-masing, sehingga menuntut adanya perlakuan yang berbeda.

Tujuan politik diferensiasi ialah membongkar ideal asimilasi represif. Hal ini berarti paksaan untuk beradaptasi dan pengambilan jarak terhadap identitas kultural harus dihapuskan. Menurut Young, perlakuan yang adil harus mengakui perbedaan dan kekhasan masing-masing kelompok.13

10 Otto Gusti Madung, Op. Cit., Hlm. 42. 11 Ibid.

12 Ibid.

(6)

BAB III

Perempuan Dalam Sejarah Indonesia

3.1. Perempuan pada awal Kebangkitan Nasional

Pluralisme merupakan fakta dasar keberadaan manusia yang harus diakui oleh kehidupan sosial masyarakat. Pengakuan ini menghantar masyarakat pada kehidupan yang adil. Dalam sejarah Bangsa Indonesia, banyak perbedaan yang telah dikondisikan sejak awal. Perbedaan-perbedaan tersebut secara hierarkis dibangun dengan “kita” sebagai pihak yang lebih superior dibanding “mereka” yang dianggap rendah.14 Pandangan hierarkis

seperti ini digunakan untuk menilai kolonialisasi fisik dan dominasi budaya suatu masyarakat terhadap masyarakat lainnya.

Pada tahun-tahun awal kebangkitan nasional Indonesia, terdapat ketegangan dalam penggunaan beberapa istilah. Ketegangan tersebut menyangkut orang-orang Jawa dan non-Jawa, terutama kaum Nasionalis Sumatera yang berlatarbelakang agama Islam. Terpilihnya Soekarno sebagai presiden RI pertama menandakan dominasi orang Jawa di Indonesia. Penunjukan ini menjadi pertanda kemenangan niai-nilai sekuler dan menyiapkan jalan bagi dominasi simbol-simbol Jawa di tingkat Nasional.

Dalam sejarah Indonesia awali, istilah “perempuan” dari Bahasa Melayu kurang mendapat perhatian. Sedangkan istilah Jawa “wanita” mulai digunakan secara lebuh luas. Perubahan penggunaan istilah ini memiliki konsekuensi tersendiri. Perempuan memiliki makna kewanitaan yang lebih dinamis, sedangkan istilah wanita mengisyaratkan makna perilaku perempuan yang halus budi bahasanya. Kehalusan bahasa tersebut dihubungkan dengan kehidupan masyarakat Jawa kelas ningrat (atas). Peran perempuan dalam kebudayaan Jawa sangat terbatas. Keberadaan perempuan ditentukan oleh suaminya. Peran perempuan hanya terbatas dalam kehidupan berkeluarga. Di sini tampak keistimewaan peran laki-laki dalam kehidupan. Keistimewaan ini menunjukkan adanya budaya Patriarki dalam masyarakat Jawa.

Pembedaan peran perempuan juga terdapat dalam ruang lingkup agama Islam tradisional. Sepanjang sejarah, perempuan Islam tidak diberi hak penuh untuk mempelajari teks-teks Islam. Oleh sebab itu perempuan tidak dapat menginterpretasi ajaran-ajaran tradisi islam secara kritis. Rendahnya kedudukan perempuan disebabkan oleh interpretasi laki-laki yang bias gender. Penyalahgunaan berbagai interpretasi agama menyebabkan perempuan menderita.

Dalam kebudayaan Jawa, peran perempuan memang kurang mendapatkan tempat yang pantas. Hal ini semakin tampak dalam kehidupan kaum priyayi. Masyarakat kelas menengah (priyayi) mendapat pendidikan Barat, sehingga peran mereka dalam kehidupan politik juga semakin besar. Terpilihnya presiden Soekarno menunjukkan bahwa kaum priyayi lebih mendominasi Indonesia. Kebijakan-kebijakan politis hingga keluarga diputuskan oleh laki-laki. Cita-cita kaum priyayi ialah membatasi peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang penuh pengabdian. Cita-cita ini menjadi tipe ideal perempuan Indonesia secara umum. Cita-cita ini semakin diperkuat oleh ketergantungan

14 Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Gender dan Pluralisme di Indonesia,” Politik

(7)

ekonomi istri terhadap suami. ketergantungan ini semakin berkembang dalam masa yang dikenal sebagai masa politik balas budi.15

Posisi patriarkal dalam keluarga-keluarga Jawa kemudian ditegaskan dengan konsep yang diperkenalkan oleh Belanda bahwa laki-laki adalah pencari nafkah bagi keluarganya. Dalam masa kolonial Belanda, hanya laki-laki yang dilibatkan dalam birokrasi.16 Di sini pemisahan nilai produktif gender semakin mendapat pembedaan. Peran

utama laki-laki ialah melakukan aktifitas produktif (publik), sedangkan perempuan ditugaskan dalam peran domestik, yaitu mengasuh anak dan melayani suami. Pemerintah Belanda membebaskan laki-laki dari tugas rumah tangga. Hal ini dilakukan Belanda supaya tidak mengganggu prodiktivitas laki-laki dalam urusan kemasyarakatan.

Di sisi lain, peran perempuan dalam masyarakan pedagang mendapat tempat yang lebih fleksibel, terbuka dan egaliter. Laki-laki dan perempuan sama-sama dapat melakukan aktivitas produktif, secara khusus terdapat di Surakarta dan Yogyakarta. Terwujudnya industri rumahan (home industry) seperti industri batik, emas dan kerajinan perak memberi kesempatan kepada perempuan untuk melakukan aktivitas produktif. Peran suami lebih sebagai penasihat, karena laki-laki bekerja di bidang yang berbeda seperti dalam lembaga-lembaga pemerintahan atau keagamaan.

Lebih dari itu, baik dari pihak Kristen maupun Islam, sama-sama mengusahakan pendidikan bagi kaum perempuan. Para misionaris mulai menyelenggarakan sekolah untuk perempuan. Sekolah ini dimaksudkan supaya dapat menyiapkan perempuan yang siap memainkan peran sebagai ibu rumah tangga di masa depan. Pihak muslim juga mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah Islam pertama ialah Mua’limat. Tujuan sekolah Mua’limat ialah mendidik perempuan muslim agar memiliki keahlian Islami. Akan tetapi kedua sekolah ini memiliki tujuan lain. Pendirian sekolah juga digunakan sebagai strategi para pemuka agama untuk memperkuat komunitas mereka.

3.2. Perempuan Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, peran laki-laki tetap mendapat tempat yang istimewa dibandingkan dengan perempuan. Tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya, perempuan tetap berada dibawah kekuasaan laki-laki. Kesuksesan seorang istri dilihat dari kesuksesan karir suami dan pendidikan anak-anaknya. Perempuan mendapatkan perlakuan yang berbeda, yaitu segala sesuatu ditentukan oleh laki-laki.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, laki-laki yang bergerak di bidang politik harus menjadi anggota partai Golongan Karya (Golkar). Partai ini memiliki program yang disebut P4, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Melalui program ini, pemerintah memasukkan pandangan-paandangan hegemonis terhadap perempuan dalam segala hal, mulai dari hal-hal publik hingga privat. Rakyat tidak bisa menolak program ini karena jika tidak mendapatkan sertifikat lulus P4 mereka tidak bisa mendapatkan layanan pemerintah. Lebih ironis, mereka yang menolak program ini dianggap sebagai anggota komunis.

Masyarakat ideal yang diinginkan Presiden Soeharto adalah masyarakat yang membatasi peran gender. Peran laki-laki adalah di masyarakat dan peran perempuan di lingkup domestik. Dengan menekankan peran perempuan hanya pada lingkup domestik pemerintah bisa mengendalikan mereka melalui para suami, sedangkan peran suami

(8)

sendiri diatur oleh pemerintah. Pemerintah dapat memerintah dengan lebih leluasa karena minimnya hambatan dari rakyat. Dengan demikian, pemerintah memiliki otoritas besar terhadap rakyatnya.

Pada tahun 1978, pemerintah merumuskan tipe ideal perempuan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang berhubungan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun Indonesia. Perempuan berperan penting dalam:

 Pendukung setia suami.

 Penghasil dan pendidik generasi masa depan.  Pengurus rumah tangga.

 Penghasil tambahan keuangan keluarga.  Anggota masyarakat.

Lima peran di atas menunjukkan status perempuan di dalam negara. Perempuan dapat menjadi lebih baik jika mereka menjadi anggota organisasi-organisasi yang diciptakan pemerintah, yaitu Dharma Wanita (Karya Bagus Wanita) dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Dharma Wanita dibentuk pada tahun 1964 (Dharma Pertiwi). Organisasi ini merupakan gabungan dari Persit Kartika Chandra Kirana (istri Angkatan Darat); Pia Adhya Garini (istri Angkatan Udara); Jala senastri (Istri Angkatan Laut) dan Bhayangkari (istri anggota Kepolisian).17

Para istri pegawai pemerintahan secara langsung sudah terdaftar menjadi anggota Dharma Wanita. Sedangkan PKK diatur oleh tingkat desa. Akan tetapi, meskipun perempuan sudah mendapat tempat di organisasi, mereka tetap tidak terlepas dari pengaruh patriarkis. Kedudukan perempuan di dalam organisasi ditentukan oleh kedudukan suami mereka di pemerintahan. Maka dari itu, jika perempuan aktif dalam organisasi-organisasi independen non-pemerintah, dia akan dituduh “radikal” oleh masyarakat.18

3.3. Perempuan Masa Reformasi

Di dalam masa Orde Baru, perempuan mendapat tempat di dalam organisasi-organisasi yang diciptakan oleh pemerintah. Akan tetapi tempat yang disediakan bagi perempuan tersebut masih dipengaruhi oleh laki-laki. Perempuan “dipaksa” menerima tipe ideal femininitas dan maskulinitas yang dikondisikan oleh rezim ini. Perempuan dijadikan target pasif usaha-usaha pemerintah dalam mengendalikan rakyat.

Pada masa reformasi, pemerintah memberikan ruang yang lebih terbuka bagi perempuan untuk bersuara. Perempuan dapat menengok kembali situasi politik rezim Soeharto. Belajar dari pengalaman itu, perempuan dapat mempertanyakan kembali status dan perannya di bidang politik dan juga seluruh aspek kehidupan yang selama ini telah mendiskriminasi mereka.

17 Rudiah Primariantari, “Negara Birokrasi dan Ibu (Bapak) Pejabat,” Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis, eds. Arimbi, (Yogyakarta: Kanisius 1998), Hlm. 39.

(9)

BAB IV

Kedudukan Perempuan di Bidang Politik Indonesia

4.1. Partisipasi politik perempuan

Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan ditentukan oleh partisipasi masyarakat di dalamnya. Semakin besar partisipasi masyarakat, maka semakin besar pula keberhasilan program pemerintah yang direncanakan. Pemerintah harus menyertakan peran serta masyarakat karena program pemerintah ditujukan kepada masyarakat. Program pemerintah daerah dilaksanakan oleh masyarakat, untuk masyarakat dan dari masayarakat sendiri. masyarakat tidak terdiri dari individu-individu yang homogen.

Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang dimiliki oleh setiap individu di dalamnya, termasuk perbedaan gender. Dengan demikian, proses program pemerintah tidak hanya melibatkan kelompok mayoritas, tetapi juga minoritas. Perempuan yang sering diidentifikasi sebagai kaum minoritas juga berperan dalam pelaksanaan program pemerintah.

Perempuan Indonesia memiliki peran di dalam pembangunan politik nasional.19

Perempuan dapat berpartisipasi di dalam keanggotaan partai politik, legislatif dan pemerintah. Partisipasi perempuan ini bukan hanya sebagai penghias, melainkan harus berperan aktif. Perempuan yang berpartisipasi dalam pembangunan nasional dapat menyuarakan pendapatnya dan memiliki hak dalam menentukan keputusan. Oleh sebab itu, keputusan tidak hanya berada di tangan laki-laki.

Kelemahan perempuan Indonesia sebelum reformasi ialah bahwa perempuan tidak mendapatkan pendidikan yang layak dibandingkan dengan laki-laki. Namun Indonesia saat ini berbeda. Pendidikan di Indonesia sudah berkembang dengan baik; perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Situasi pendidikan yang sudah berkembang ini mendongkrak partisipasi perempuan pada berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik.

Secara formal, pemerintah telah memberi ruang kepada perempuan untuk berkembang. Perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Akan tetapi, masih tetap ada perlakuan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah didominasi oleh peran laki-laki. Perempuan hanya mendapatkan tempat yang terbatas. Hal ini tampak di dalam Pemilu. Partai yang berpartisipasi dalam Pemilu harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.

4.2. Kuota perwakilan perempuan Indonesia

Parlemen RI di era Reformasi memberi perhatian pada tindakan diskriminasi perempuan. Pada 1967, Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan. Deklarasi tersebut menyusun rancangan Convention on the elimination of all forms of discrimination against women20

(CEDAW). Himbauan CEDAW PBB ini baru mendapat respon pemerintah ketika era Reformasi. Salah satu himbauan CEDAW PBB ialah melakukan tindakan afirmatif.

(10)

Tindakan afirmatif merupakan langkah-langkah khusus yang diterapkan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.

Tindakan afirmatif yang dilakukan pemerintah ialah penetapan kuota 30% di dalam lembaga-lembaga. Perempuan memiliki kuota tersebut untuk dapat berpartisipasi di dalam lembaga pemerintahan. Perwakilan perempuan di dalam parlemen tertulis dalam Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 dan 2, yaitu berbunyi:

1. Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilanperempuan sekurang-kurangnya 30 persen;

2. Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah pemilihan.

Kuota kader perempuan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilu No. 10 tahun 2008 dan No. 8 tahun 2012 masih mengikuti Undang-undang Pemilu No.8 tahun 2003, yaitu:

1. Undang-undang Pemilu No. 10 tahun 2008 Pasal 8 ayat 1d mengatakan “Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan

perempuan pada

kepengurusan partai politik tingkat pusat;”

2. Undang-undang Pemilu No. 8 tahun 2012 Pasal 8 ayat 2e mengatakan “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya, dan partai politik baru dapat menjadi peserta setelah memenuhi persyaratan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.”

Dengan undang-undang Pemilu ini, perempuan mendapat kesempatan untuk masuk dalam dunia politik, secara khusus kesempatan menjadi anggota legislatif. Sistem kuota 30 persen memungkinkan perwakilan perempuan dalam menentukan keputusan. Pengambilan keputusan diharapkan dapat membawa perubahan pada cara pandang yang merendahkan perempuan. Melalui sistem kuota ini perempuan juga dapat mengaktualisasikan dirinya di hadapan laki-laki. Dengan demikian pebedaan gender dapat diatasi sedikit demi sedikit.

Imas Rosidawati mengatakan bahwa “Dengan sistem kuota sedikitnya 30 persen perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan, diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislasi berperspektif perempuan dan gender.”21

Keputusan yang diambil tidak hanya didasarkan pada pemikiran laki-laki, tetapi juga dari pihak perempuan. Hal ini dikarenakan ada hal-hal yang mencakup persoalan perempuan. Dengan kata lain, pemerintah membuat perempuan berdaya untuk terlibat dalam berbagai persoalan yang selama ini tidak diperhatian di Indonesia, yaitu persoalan yang sensitf gender.

Pemerintah harus dapat melihat kebutuhan-kebutuhan secara lebih objektif. Jika pembuat kebijakan hanya diserahkan pada laki-laki, maka kebijakan yang dibuat hanya

(11)

akan menguntungkan pihak laki-laki. Maka dari itu perempuan memiliki peran penting di politik harus menyertakan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam kepengurusan partai pusat. Meskipun kuota tersebut telah terpenuhi, tetapi bukan berarti perempuan dapat menjadi anggota legislatif dengan mudah.

Selalu ada persaingan di dalam proses Pemilu. Di dalam Pemilu langsung, rakyatlah yang memilih sendiri orang orang yang akan menjadi anggota badan legislatif. Selain terjadi persaingan antar partai politik, juga ada persaingan antar individu di dalam parti politik. Perempuan terancam tidak mendapatkan kursi kedudukan karena mereka kalah bersaing dengan laki-laki. Disposisi ini tidak hanya melihat jumlah laki-laki yang lebih banyak dari pada perempuan, tetapi juga kecenderungan rakyat memilih orang-orang yang sudah berpengalaman.

Calon-calon yang berpengalaman didominasi oleh laki-laki. Laki-laki telah lebih dulu akrab dengan kehidupan politik, sedangkan perempuan menjadi pemain baru di dalam Pemilu. Maka menjadi wajar apabila laki-laki yang lebih mendominasi; Rakyat lebih cenderung memilih calon-calon yang mereka kenal, berpengalaman dan memiliki visi sesuai harapan rakyat.

Akibat dari cara pemilihan rakyat ini ialah bahwa perempuan memiliki harapan kecil untuk dapat dipilih rakyat. Selama ini hanya beberapa perempuan yang sudah berpengalaman. Rakyat tidak banyak melihat peran aktif perempuan, sehingga rasa kepercayaan mereka kurang. Perempuan dinilai kurang teruji di dalam aktivitas politik. Perempuan “terlambat” memasuki dunia politik nasional.

Situasi diskriminasi gender ketika awal kehidupan bangsa membuat perempuan “terlambat” memasuki dunia politik. Perempuan tidak mendapat dukungan di awal, sehingga mereka hanya “duduk diam” menanti terbukanya pintu dunia politik bagi mereka. Terlebih tindakan perempuan yang independen dinilai menyalahi peraturan negara. sama seperti ketika masa Orde Baru. Presiden Soeharto akan mempersalahkan perempuan yang ikut ambil bagian di dalam pekerjaan laki-laki. Tugas perempuan hanya dalam wilayah domestik atau privat. Lebih dari itu mereka dianggap sebagai penentang negara.

Perempuan telah tertinggal dalam mengendarai partai politik. Hampir tidak ada perempuan (kecuali Megawati) yang pernah menjadi pemimpin partai politik, padahal menurut aturan peundang-undangan salah satu persyaratan sebagai calon legislatif adalah keaktifan calon legislatif.22

Perempuan seharusnya dapat menyuarakan pendapatnya dengan lebih lantang. Di Indonesia, banyak perempuan yang memiliki kompetensi yang unggul dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik. Perempuan telah menjabat kedudukan tertentu di lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka adalah pegawai negeri sipil, hal yang tidak

(12)

memungkinkan mereka masuk dalam lingkaran legislatif. Undang-undang telah menetapkan bahwa pegawai negeri sipil tidak boleh menjadi anggota partai politik.23

(13)

BAB V

Partisipasi Perempuan

Dalam Perspektif Politik Diferensiasi Iris Marion Young

5.1. Politik diferensisasi di dalam sejarah Indonesia

Analisis yang ditawarkan oleh Iris Marion Young telah membuka pikiran kita dalam memahami persoalan diskriminasi gender. Menurut Young, persoalan diskriminasi kaum perempuan tidak bisa hanya diselesaikan secara hukum dan ekonomi. Diskriminasi gender telah mengakar sangat dalam hingga menyentuh mekanisme-mekanisme struktural yang menindas perempuan. Studi gender merupakan instrumen kritik dan analitik sosial yang dapat membantu kita melihat ketidakseimbangan antara kekuasaan dan gender.

Young menegaskan bahwa ia menolak ideal netralitas. Manusia selalu hidup dalam situasi sosio-politik dan kultural tertentu. Setiap individu memiliki perbedaan dan kekhasannya masing-masing. Pengabaian terhadap perbedaan dan kekhasan individu merupakan bentuk ketidakadilan. Ideal netralitas mengandung konsep egalitarianisme, yaitu sebuah gambaran struktur sosial publik yang patriarkis.

Struktur Patriarki di Indonesia mempersulit perempuan untuk berkiprah di dunia publik. Mulai masa awal kebangkitan nasional sampai masa Orde Baru, diskriminasi gender sangat tampak, bahkan sengaja dikondisikan oleh pemerintah. Dengan demikian perempuan terlambat masuk ke dalam dunia politik.

Keterlambatan yang dialami perempuan disebabkan oleh dominasi laki-laki di tanah air. Laki-laki menentukan segala sesuatu, mereka menjadi tolak ukur peraturan. Sedangkan perempuan berada di bawah otoritas laki-laki. Perempuan tidak dihargai di dunia publik. Ruang lingkup mereka hanya sebatas ruang privat.

Indonesia sebelum reformasi adalah Indonesia yang tidak memiliki toleransi terhadap perempuan. Meskipun pada masa Orde Baru Presiden Soeharto menampung perempuan di dalam organisasi Dharma Wanita dan PKK, perempuan tetap dalam kondisi tertindas. Perempuan tidak dapat menyuarakan pendapatnya melalui organisasi-organisasi tersebut. hal ini disebabkan oleh karena pemerintah yang mengatur segalanya.

Instrumen-instrumen HAM yang dibangun di atas fundamen budaya patriarki lebih mengungkapkan pengalaman-pengalaman ketidakadilan yang dialami kaum pria dan sering tidak dapat mengakomodasi pengalaman-pengalaman penderitaan yang khas perempuan.24

PBB sudah mengeluarkan himbauan CEDAW, tetapi pemerintah Indonesia tidak menanggapi hal itu dengan baik. buktinya diskriminasi gender masih berjalan. CEDAW baru terealisasi ketika masa reformasi. Masa reformasi menjadi fajar baru bagi kebebasan perempuan.

(14)

5.2. Politik Diferensiasi masa Reformasi.

Perempuan mulai berani mengeluarkan suara ketika pemerintahan Soeharto runtuh. Perempuan terbebas dari “penjara” yang selama berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus bukanlah persamaan perlakuan antas laki-laki dan perempuan, melainkan harus mengubah konstruksi dari yang lain.

Perlakuan yang egaliter formal tidak dapat memberikan solusi bagi diskriminasi yang telah mengakar secara kultural. Menurut Young, untuk dapat menata keadilan, masyarakat harus membongkar mekanisme konstruksi dari yang lain, merefleksikan secara kritis cara pandang dan penataan gejala-gejala sosial serta mempertanyakan kembali stereotip-stereotip.

Di dalam dunia politik, ketidakadilan terungkap dalam proses peminggiran dan eksklusi. Ketidakadilan di dalam dunia politik tidak terletak pada pendapatan dan kekayaan, melainkan lebih mengarah pada kesulitan-kesulitan berpartisipasi dalam kehidupan berpolitik. Politik Patriarki mungkin dapat memberi kesejahteraan ekonomi, tetapi membatasi kebebasan politis.

Kekayaan dan pendapatan negara yang besar memang mendukung kesejahteraan bangsa Indonesia, akan tetapi hal itu tidak memberikan solusi bagi perbedaaan gender. Kesejahteraan yang sesungguhnya ialah ketika terdapat penerimaan perbedaan di dalam masyarakat. Penerimaan itu juga yang mempersatukan bangsa. suatu bangsa akan terpecah jika perbedaan dijadikan instrumen politik.

Perempuan di Indonesia saat ini memiliki peluang besar untuk berkiprah di dalam dunia politik. wilayah yang dahulu terlarang kini telah terbuka bagi perempuan. Perempuan mendapat kuota 30% salam keanggotaan partai politik. Jumlah minimal tersebut dapat menjadi awal untuk perempuan memulai karir di bidang politik.

Perempuan memiliki kendala dalam memenuhi kuota 30% di dalam partai politik, kendala perempuan tersebut ialah bahwa perempuan menganggap politik adalah wilayah laki-laki. Selain itu kualitas ilmu pengetahuan yang dimiliki perempuan harus ditingkatkan. Laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sesuai kebutuhan mereka tanpa menghilangkan kekhasan aspek lain.

Pemerintah harus dapat melihat kebutuhan-kebutuhan secara lebih objektif. Jika pembuat kebijakan hanya diserahkan pada laki-laki, maka kebijakan yang dibuat hanya akan menguntungkan pihak laki-laki. Maka dari itu perempuan memiliki peran penting di dalam kehidupan politik Indonesia.

(15)

di dalam politik. Dengan demikian, penyelesaian persoalan kelompok-kelompok tertindas di dalam masyarakat bukan dengan perlakuan yang sama. Setiap orang tidak dapat diperlakukan sama. Setiap individu maupun kelompok memiliki keunikannya masing-masing, sehingga menuntut adanya perlakuan yang berbeda.

Indonesia adalah negara yang Bhineka Tunggal Ika. Keberagaman menjadi satu karena memiliki tujuaan yang sama. Inilah yang perlu dipupuk oleh masyarakat. Peran di dalam pemerintahan sudah tersedia, suara perempuan semakin mendapat tempat yang pantas. Akan tetapi egalitas formal bukanlah penyelesaian perbedaan gender di Indonesia.

(16)

BAB VI Kesimpulan

Diskriminasi dan peminggiran kelompok-kelompok minoritas yang seharusnya menjadi persoalan penting dilihat sebagai sesuatu yang normal dan sudah menjadi kebiasaan. Karena perlakuan tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka masyarakat tidak menyadari bahwa hal itu merupakan “kecacatan” di dalam masyarakat. Maka dari itu, Iris Marion Young melihat bahwa persoalan diskriminasi sosial dan penepian kelompok-kelompok minoritas tidak hanya cukup diatasi secara formal melalui reformasi hukum, tetapi juga membutuhkan revolusi kebudayaan yang mendalam hingga ke mekanisme-mekanisme ketidakadilan serta prasangka-prasangka sosial.

Partisipasi perempuan di bidang politik di Indonesia sudah terbuka. Perempuan mendapatkan kuota 30% di dalam partai politik dan juga dalam pencalonan anggota legislatif. perempuan mendapatkan ruang yang lebih luas untuk bergerak. Kini perempuan dapat memasuki ruang publik dan ruang privat tanpa adanya peraturan yang menghalangi.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Buku utama:

Madung, Otto Gusti. Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia. Maumere: Penerbit Ledalero, 2011.

Buku sekunder:

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. “Gender dan Pluralisme di Indonesia,” Politik Multikulturalisme, ed. Robert W. Hefner. Yogyakarta: Kanisius, 2007

Hungtinton, Samuel P., Joan M. Nelson. Partisipasi Politik di Negara Berkemban, terj. Sahat Simamora. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1994.

Lovenduski, Joni. Politik Berparas Perempuan, terj. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Primariantari, Rudiah. “Negara Birokrasi dan Ibu (Bapak) Pejabat,” Perempuan dan Politik Tubuh Fantastis, eds. Arimbi. Yogyakarta: Kanisius 1998.

Artikel:

Pasya, Gurniwan K. “Peran Wanita Dalam Kepemimpinan Politik.”

Rosidawati, Imas. “Keterwakilan Perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat, Kesiapan Partai Politik, dan Perempuan Indonesia di Arena Politik Praktis.”

Undang-undang Pemilu:

UU Pemilu No. 12 tahun 2003

UU Pemilu No. 10 tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis, dari 30 soal Matematika Rekayasa, yang termasuk dalam kategori diterima berjumlah 18 soal, yang terdiri atas 1 soal yang tingkat kesukarannya

Penelitian bertujuan untuk menguji aktivitas antimikroba tumbuhan sirih merah (Piper betle Linn.) dari ekstrak etanol fraksi n-heksan dan etilasetat, terhadap Staphylococcus

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Janganlah salah seorang dari kalian menyuruh orang lain untuk berdiri dari tempat duduknya lalu ia duduk padanya..

(6) Guru membuat keompok-kelompok siswa. Pelaksanaan tindakan kegiatan yang dilakukan guru pada tahap pelaksanaan ini adalah: 1) Guru membuka pembelajaran dengan

Beban yang bekerja pada struktur seperti beban mati (dead load), beban hidup (live load), beban gempa (earthquake), dan beban angin (wind load) menjadi bahan

Kondisi tersebut dapat didukung dengan pendapat dari Fathurrohman dan Suryana (2011: 53) yang mengatakan bahwa fungsi dari supervisi akademik ialah sebagai satu dari

Definisi Islam dirumuskan dengan “Islam agama rahmatan lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam), yang maknanya, umat Islam sadar bahwa adanya keragaman memang

Dimana pengguna dapat belajar tentang kebudayaan sekitar dan mengetahui tentang konten lokal yang terdapat pada budaya Bali yang terdapat dalam satu kawasan resort, dimana