• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan Gerakan Keagamaan Baru Dalam Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gerakan Gerakan Keagamaan Baru Dalam Per"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Eleksio Petrich Pattiasina 75 2015 031 Laporan Bacaan Gerakan-gerakan Keagamaan di Indonesia

John Saliba

Gerakan-Gerakan Keagamaan Baru Dalam Perspektif Teologi Kristen

Tulisan John Saliba ini begitu komperhensif mengenai kultus atau gerakan keagamaan. Isu-isu yang diangkat oleh penulis begitu aktual dan dapat dipahami lebih mendalam, melalui analisisnya yang begitu terarah kepada gerakan keagamaan dan problematikanya. Dalam bagian ini, John Saliba menyatakan dengan tegas, bahwa kultus atau gerakan keagamaan baru menawarkan sebuah sistem kepercayaan dan praktek kepercayaan yang sangat perlu diperhatikan dalam terang wahyu Kristen. Dalam arti, membandingkan antara agama yang sudah mapan dengan gerakan keagamaan yang baru. Ada beberapa isu yang diangkat tentang gerakan keagamaan baru ini.1 Pertama, isu yang menganggap bahwa kepercayaan atau sifat religious pada

dasarnya merupakan gerakan keagamaan. Dalam pengertian lebih lanjut, apakah mereka disebut sebagai sungguh-sungguh nyata/ sebuah entitas agama?. Isu kedua, Hubungan Kekristenan terhadap gerakan keagaman baru. Dalam ulasan lebih lanjut, timbul suatu pertanyaan. Bagaimana mengajarkan dan mempraktekkan gerakan keagamaan baru yang berbeda dengan kekristenan dan apakah mampu mereka (baca: gerakan keagamaan baru) harmonis dengan doktrin kekristenan dan moralitas?. Isu ketiga dalam bagian ini menyangkut berbagai jenis reaksi-reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Dengan kata lain, bagaimana respon pengikut Kristen kepada gerakan keagamaan baru. Muncullah implikasi dari isu ketiga ini, khususnya mengenai masalah pastoral (pendampingan/penggembalaan) terhadap jemaat. Saliba memberi pertanyaan kritis, apa yang pastor atau pendeta katakan dan lakukan untuk menolong orang tua yang begitu khawatir dari anggota gerakan keagamaan baru dan meminta tolong kepada mereka?. Kemudian, apakah ada pendidikan yang berarti terhadap pemuda untuk dasar iman mereka, agar mereka tidak masuk dalam gerakan keagamaan yang baru?. Pada akhirnya akan timbul pertanyaan, bagaimana seseorang memperlakukan mereka tang telah meninggalkan

(2)

kepercayaannya yang sudah mapan dan bergabung dalam gerakan keagamaan baru?. Itu merupakan beberapa isu penting yang dibahas di dalam bagian ini.

Isu yang pertama, terkait dengan kultus keagamaan (baca: gerakan keagamaan) yang secara de jure maupun de facto ditanyakan kenyataannya atau keasliannya. Karena, banyak kalangan Kristen menganggap bahwa gerakan keagamaan baru sangat mudah untuk ditolak sebagai sebuah kelompok non-religius atau dengan pernyataan kerasnya kelompok agama palsu. Khususnya kaum evangelis dan kaum fundamentalis Kristen yang selalu bereaksi negative terhadap kemunculan gerakan keagamaan baru. Mereka (baca: kaum evangelis dan fundamentalis) menganggap gerakan keagamaan baru tidak mempunyai relasi spiritual yang sejati atau asli, maka harus dilawan sebagai bentuk agama palsu dan menyesatkan masyarakat. Mereka menilai, bahwa gerakan keagamaan baru selalu memanipulasi individu dengan cara mencuci otak dan pengontrolan pikiran terhadap masyarakat.2 Banyak hal negatif yang

dilontarkan terhadap gerakan keagamaan baru, seperti dituduh hanya fokus dengan mengumpulkan kekayaan di bumi dan membuat suatu permintaan yang berat dalam hal penghayataan terhadap anggota-anggotanya. Sedangkan, menurut gerakan keagaman baru bahwa mereka mengaku percaya kepada Tuhan atau dalam beberapa realitas supranatural yang terwujud dalam kehidupan manusia. Juga ditekankan, bahwa mereka meyakini ada kehidupan setelah kematian dan mereka sangat mendukung praktek spiritualitas yang mengarah kepada tujuan akhir dan transenden. Syarat yang harus kita miliki untuk hidup bersama mereka, yakni harus mengakui mereka sebagai sebuah entitas agama yang sungguh-sungguh ada/ hadir di dunia. Meskipun dalam faktanya, mereka sangat berbeda secara radikal dari kekristenan arus utama yang benar disebut sebagai Kristen. Tetapi, gerakan keagamaan baru menawarkan pilihan spiritual yang sejati kepada mereka yang bergabung. Adanya suatu jaminan kepada anggota-anggota baru. Dalam bagian ini, ada beberapa gerakan keagamaan baru dimulai kira-kira tahun 1960 dan awal 1970. Gerakan keagamaan yang dibahas di sini, sebagai berikut: the Way International (Jalan Internasional), the Children of God (Anak-anak Tuhan), the foundation of Human Understanding (of Roy Master), Nicchiren Shoshu Buddhism, Silva Mind Control, dan kelompok Hindu, seperti the Hare Krishna movement dan Transcendental Meditation.3

(3)

Isu kedua yang juga begitu menarik untuk dianalisis, yakni apakah gerakan keagamaan baru harmonis dengan kekristenan?.4 Sebuah pertanyaan yang membawa kepada penjelasan

mendalam oleh John Saliba dalam tulisannya. Seberapa hebatnya gerakan keagamaan baru, sehingga membuat kekristenan menjadi pesaing mereka? Atau apakah kehadiran mereka dapat menjadi pelengkap keyakinan dan praktek Kekristenan. Hal ini pada awalnya dapat dilihat dari dokumen Konsili Vatikan II yang berjudul “Deklarasi tentang hubungan dari gereja terhadap agama non-Kristen. Dalam dokumen tersebut menegaskan, bahwa banyak dari agama-agama di dunia ini mengakui secara langsung maupun tidak, keberadaan dari yang Mahatinggi atau yang transenden tersebut. Sama seperti Hindu, mereka merenungkan misteri ilahi dan mengungkapkannya dalam penyelidikan filosofis terhadap yang ilahi tersebut. Hal yang menarik, bahwa terdapat kesamaan di antara gerakan keagamaan baru dengan kekristenan. Seperti, Rosario yang dikembangkan sebagai devosi Kristen. Kebiasaan menggunakan manik-manik atau simbol-simbol sebagai bantuan untuk doa lisan dan jiwa dalam kekristenan, ternyara memiliki sejarah lampau di India yang pada mulanya orang Hindu dan Budha menggunakan manik-manik untuk berdoa, juga agama Muslim menggunakan tasbihnya. Jika dihubungkan praktek Yoga Kristen dan Kristen Zen, ada persamaannya juga. Hal ini membantu orang-orang Kristen dalam meningkatkan spiritualitas mereka. Juga gerakan keagamaan baru, seperti Transcendental Meditation berhubungan dengan refleksi terhadap diri dengan hubungannya kepada sang ilahi, hal ini senada dengan teknik keheningan kekristenan di timur yang dikenal sebagai hesychasm (menenangkan diri) yang merupakan sarana untuk berkontemplasi (berdoa). Ada beberapa respon kekristenan terhadap gerakan agama baru, yakni terjadinya pengabaian terhadap mereka (gerakan keagamaan baru). Kedua, gereja Kristen arus utama belum siap menerima kehadiran agama baru. Mereka tidak dapat memberi jawaban yang jelas dan pasti kepada jemaatnya. Ketiga, gereja kurang pengetahuan terhadap agama-agama baru dan lalai terhadap jemaatnya yang telah bergabung di dalamnya.

Isu ketiga menyangkut reaksi teologis terhadap gerakan keagamaan baru. Munculnya beberapa reaksi teologis yang membawa kepada pemahaman mendalam terhadap gerakan keagamaan baru.5 Salah satunya dengan hadirnya istilah apologetik, yakni suatu usaha untuk

membela iman katolik, khususnya. Dengan cara memahami, menjelaskan dan mempertahankan imannya secara rasional terhadap berbagai pertanyaan dan jawaban yang muncul kemudian.

(4)

Dalam bagian ini terbagi atas dua bagian, pertama adanya apologetik positif dan apologetik negatif. Apologetik positif, yakni dengan cara menguraikan dan memperjelas tentang ajaran Kristen, sambil menunjukkan bagaimana keunggulan mereka, secara moral maupun filosofis dibandingkan dengan agama lainnya. Sedangkan, apologetik negatif secara langsung menyerang keyakinan agama lain. Dengan cara menunjukkan kelemahan dan inkonsistensi mereka. Philip Johnson yang adalah seorang evangelis memberikan sebuah pendekatan inovatif kepada kekristenan dalam hubungannya dengan agama baru dan ini merupakan sebuah pendekatan pastoral yang lebih produktif. Pendekatan ini disebut juga dengan pendekatan dialogis.6 Dengan

memperhatikan perkembangan zaman dan perubahan budaya, sehingga munculnya pluralisme. Bahkan gerakan ke arah globalisasi. Tujuan pendekatan dialogis ini, agar injil tidak lagi mengkonversi keyakinan agama lain, melainkan saling mengenal/mengeksplorasi dengan dialog keyakinan satu terhadap yang lain. Metode dialog ini diadopsi dari konsili vatikan II yang pada mulanya hanya hubungan antara kekristenan, sekarang dikembangkan menjadi hubungan kekristenan terhadap agama non-kristen. Dalam konsili vatikan II menyatakan, bahwa sebagai anggota dari ras manusia, semua orang dari asal yang sama, pasti mempunyai makna dan tujuan hidup. Terlebih lagi, semua manusia mencari Tuhan, dalam bentuk misteri ilahi dalam hidup mereka. Dalam dokumen yang lain terdapat ‘deklarasi kebebasan manusia’, dengan cara menjunjung tinggi nurani individu, bahkan mereka yang telah berpindah agama atau tidak mempunyai agama tertentu.7

Dokumen-dokumen gereja dunia membahas tentang tujuan akhir dari dialog tersebut antara gereja Kristen adalah suatu persatuan, dalam pengertian bersifat ekumenis. Gerakan ini untuk membangun satu hubungan kesatuan seluruh umat Kristen di dunia. Dalam hal ini usaha gereja-gereja Kristen (Protestan, Ortodoks dan Katolik) untuk membangun satu persatuan yang nyata di dunia ini. Tujuan terciptanya persatuan ini, bukan untuk memaksa setiap gereja Kristen memberi identitasnya atau menjadi satu dengan gereja baru untuk menggantikan semua denominasi. Tujuan utamanya agar adanya kerjasama dan saling pengertian satu dengan yang lain antara gereja. Pernyataan ini telah terlihat dari pertemuan dewan gereja sedunia atau The World Council of Churches (WCC) pada tahun 1986. Pada pertemuan tersebut berbicara mengenai gerakan agama baru yang hadir di dunia, dan usaha gereja untuk memahami gerakan keagamaan baru dengan ideologi mereka yang berbeda. Oleh karena itu pertemuan dewan gereja

(5)

sedunia dengan tegas menyatakan bahwa harus melindungi hak-hak gerakan keagamaan baru dalam dunia ini. Dari hal tersebut terbentuk respon-respon terhadap gerakan keagamaan baru yang mencakup empat bidang utama dalam pelayanan gereja, yakni pendidikan, dialog, pelayanan dan pembaharuan gereja, dan kolaborasi ekumenis.

Hal ini merupakan perubahan dari metode penginjilan yang lama, sekarang dengan mempertimbangkan deklarasi kebebasan beragama, maka martabat dan hak-hak asasi manusia tidak dapat diganggu gugat. Karena, pluralisme merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal maupun ditolak dalam kehidupan ini. Maka, saran dari John Saliba terhadap pendeta maupun pastor, yakni harus belajar dan berani berteologi dengan agama-agama lain. Agar dapat memberi arahan yang jelas dan baik kepada banyak orang. Kemudian dapat memberikan landasan yang baik terhadap orang tua kepada iman mereka, agar dengan baik membimbing anak dalam mengatasi gerakan keagamaan yang baru itu.

(6)

kita dapat mengenal identitas diri kita lebih dalam dan mulai mengenal identitas agama-agama baru di sekitar kita. Pada akhirnya, masyarakat yang beradab (civil society) terbentuk di bumi kita ini.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Mayoritas penduduk sudah merasa nyaman dengan bangunan relokasi tersebut, walaupun tingkat ekonomi yang berbeda beda, dan kebutuhan ruang yang berbeda beda, tetapi dengan ukuran

16 Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar fisika siswa yang diajarkan strategi scaffolding dalam penyajian problem solving

Adalah benar nama tersebut diatas telah melaksanakan Penelitian atau Observasi di SMK Kasih Ananda Jakarta terhitung mulai tanggal 1 Agustus s/d 31 Agustus 2015 dalam rangka

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas semen segar dan pengaruh perbedaan waktu pelepasan water jacket dalam proses ekuilibrasi terhadap kualitas

Penelitian penggunaan minyak ikan lemuru pada ternak ruminansia, terutama pada ternak kambing belum pernah dilaporkan, oleh karena itu penelitian tentang Pengaruh

Hasil interaksi mengajar dan pembelajaran di TK Bhayangkari Maros menunjukkan bahwa ada lima bentuk tindak tutur yang digunakan oleh anak usia prasekolah dalam

Kedua model pembelajaran (model pembelajaran realistik setting kooperatif dan model pembelajaran konvensional) cenderung berinteraksi dengan kuat dengan gaya kognitif

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama maka semakin mantap eksistensi Peradilan Agama, baik dalam kedudukannya sebagai Peradilan