• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan "

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di suatu negara atau daerah melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan, penurunan jumlah penduduk miskin, penurunan jumlah pengangguran, perubahan sikap masyarakat dan perbaikan sistem kelembagaan pemerintah maupun swasta. Pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat bukanlah variabel yang berdiri sendiri, namun banyak faktor yang mempengaruhinya. Dewasa ini perubahan sistem kelembagaan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diyakini mampu meningkatkan efisiensi pemerintahan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

(2)

Perdebatan yang mengemuka dikalangan praktisi ekonomi berkaitan dengan desentralisasi fiskal telah berlangsung cukup lama. Isu utama yang menarik untuk senantiasa dikaji adalah mengenai keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan salah-satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua teori yang bertentangan dalam membahas masalah tersebut. Dalam Teori Konvensional (Traditional Theory) dijelaskan bahwa desentralisasi fiskal tidak hanya menimbulkan kesenjangan antar daerah, namun juga tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi dan dapat menganggu stabilitas. Namun demikian, dalam Teori Perspektif Baru (New Perspective Theory) menilai bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi dan mereduksi kesenjangan antar daerah serta mempercepat pertumbuhan ekonomi. Penerapan desentralisasi dapat menempatkan daerah pada posisi yang lebih baik dari sisi keuangan dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat (Widhiyanto, 2008: 19)

(3)

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Widhiyanto, 2008: 20).

Usaha untuk menerapkan desentralisasi di indonesia sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Hal itu dapat dibuktikan dengan lahirnya berbagai produk Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Ada 13 Undang-undang yang mengangkut dengan desentralisasi yang pernah berlaku di indonesia mulai awal kemerdekaan hingga sekarang. Masa Pemerintah Orde Lama dan Orde Baru desentralisasi tidak sepenuhnya berjalan dan setelah reformasi desentralisasi dapat dijalankan secara nyata. Berikut Perundang-undangan yang menyangkut hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejak kemerdekaan hingga sekarang:

Tabel 1.1

(4)

Hakikat dari desentralisasi fiskal adalah adanya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, transfer dana ini merupakan penerimaan yang paling dominan bagi pemerintah daerah di banyak negara. Sumber ini membiayai 85 persen dari pengeluaran Pemerintah Daerah di Afrika Selatan, antara 67 sampai 95 persen negara bagian Nigeria, 70 sampai 90 persen pengeluaran negara-negara bagian miskin di Mexico, sekitar 72 persen pengeluaran provinsi dan sekitar 85 persen pengeluaran kabupaten/kota di Indonesia sejak dekade 1990-an. Satu alasan utama mengapa pentingnya transfer dari pusat ke daerah adalah untuk menjamin tercapainya standar pelayanan minimum di seluruh negeri karena kemampuan keuangan dan ekonomi di daerah-daerah di banyak negara cenderung tidak merata (Sidik dkk, 2002: 23).

Sebelum era desentralisasi di Indonesia kondisi keuangan daerah sangat tergantung pada Pemerintah Pusat. Pada Tahun 1968 hanya sekitar 7 persen dari total penerimaan nasional yang didistribusikan ke daerah, kondisi ini berlanjut hingga 20 tahun kemudian. Dalam masa Tahun 1990-an, Pemerintah Pusat hampir menguasai 90 persen dari penerimaan negara dan hanya 10 persen yang ditransfer ke daerah. Sehingga sistem keuangan Indonesia pada saat itu termasuk dalam kategori yang sangat buruk yang ditandai oleh ketidakseimbangan keuangan antara pusat dan daerah (Widhiyanto, 2008: 30).

(5)

seimbang, yaitu sebesar 32.6 persen dari total pengeluaran nasional didistribusikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan (World Bank, 2006: 250).

Penerapan desentralisasi fiskal di Indonesia telah merubah kebijakan fiskal nasional (APBN). Sejak Tahun 2001 transfer keuangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerindah Daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil telah menjadi penerimaan yang paling dominan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perubahan komposisi pengeluaran dalam APBN terkait dengan adanya dana perimbangan dapat dilihat secara lengkap dalam Tabel berikut:

Tabel 1.2

Proporsi Bagi Hasil Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (Dalam Persentase) Pusat Daerah Pusat Daerah Pajak Bumi dan Bangunan

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Bangunan Provisi Sumberdaya Hutan Sumber: Widhiyanto (2008) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.

(6)

daya alam. Perubahan yang sangat drastis terjadi pada sumber penerimaan Perikanan, Minyak, Gas Alam, Dana Reboisasi dan Pajak Penghasilan yang sebelum desentralisasi fiskal dikuasai Pemerintah Pusat sepenuhnya kemudian di era desentralisasi sebagian pendapatan tersebut mulai dialihkan ke daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Kemudian untuk penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan, Perikanan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan semuanya diserahkan ke daerah.

Selanjutnya dapat dilihat juga jumlah dan perkembangan dana perimbangan yang ditransfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang mencakup Dana Alokasi Umum (DAU), Dana alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil baik bagi hasil pajak maupun bagi hasil kekayaan alam. Tabel di bawah ini meringkas secara keseluruhan dana perimbangan dari pusat kepada daerah sebagai berikut:

(7)

Dari Tabel di atas dapat dilihat perkembangan dana perimbangan dari pusat ke daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Perubahan yang sangat drastis terjadi dari Tahun 2005 ke Tahun 2006, di mana Dana Bagi Hasil meningkat dari 49.692 Triliun menjadi 64.900 Triliun (30.6 persen). Dana Alokasi Umum meningkat dari 88.769 Triliun pada Tahun 2005 menjadi 145.664 Triliun pada Tahun 2006 atau naik menjadi 64 persen dan Dana Alokasi Khusus meningkat dari 4.764 Triliun menjadi 11.566 Triliun atau naik sebesar 142 persen dalam tahun yang sama. Pada tahun selanjutnya dana perimbangan tersebut terus meningkat, waalupun pesentasenya menurun. Pada Tahun 2007 Dana Bagi Hasil sempat mengalami penurunan sampai -0.3 persen. Dari ketiga jenis dana perimbangan di atas, Dana Alokasi Umum yang paling besar jumlahnya. Dana ini ditetapkan sebesar 25 Persen dari seluruh penerimaan dalam negeri. Selanjutnya diikuti dengan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber daya alam. Terakhir adalah Dana Alokasi Khusus yang besarannya jauh di bawah Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil.

(8)

di bawah ini meringkas dengan jelas distribusi fungsi dan wewenang pemerintahan antar jenjang pemerintahan di Indonesia.

Tabel 1.4

Distribusi Fungsi Pemerintahan Antar Jenjang Pemerintahan

Urusan/Fungsi Tanggung Jawab Sumber: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Tabel di atas menunjukkan bahwa semenjak desentralisasi dijalankan, Pemerintah Pusat hanya memegang kendali penuh dalam beberapa urusan saja atau membatasi kewenangan dalam beberapa urusan diantaranya, pertahanan dan keamanan, peradilan dan hukum, moneter dan kebijakan ekonomi makro serta agama. Adapun urusan lainya terdistribusi antar jenjang pemerintahan baik pusat, provinsi dan kabupaten/kota sebagai wujud pelaksanaan desentralisasi.

(9)

horizontal serta mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi. Semenjak desentralisasi fiskal Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan angka yang positif. Berikut dapat dilihat nilai rata-rata pertumbuhan PDRB rill per kapita sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.

Tabel 1.5

Pertumbuhan Rata-rata PDRB Riil Per Kapita Seluruh Provinsi Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal (Tanpa Migas)

Provinsi

(10)

Angka pertumbuhan rata-rata PDRB riil tanpa migas sebelum desentralisasi fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 1994 dan sesudah desentralisasi fiskal dengan menggunakan harga konstan Tahun 2000. Data di atas juga disajikan berdasarkan PDRB rill tanpa migas dengan pertimbangan tidak semua daerah di Indonesia memilki kekayaan berupa minyak dan gas, sehingga lebih tepat menggambarkan kondisi kesejahteraan semua daerah di Indonesia.

Secara umum pertumbuhan rata-rata PDRB rill per kapita setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal menunjukkan angka yang positif. Walaupun dibeberapa provinsi pertumbuhan rata-rata PDRB riil per kapita menurun tajam dibandingkan sebelum era desentralisasi fiskal seperti di Provinsi Papua dari 7.64 persen dalam Tahun 1994-2000 turun menjadi 0.81 persen dalam Tahun 2001-2004, begitu pula di Sulawesi Utara turun dari 4.44 persen menjadi 1.30 persen. Sedangkan dibeberapa provinsi lain penurunannya tidak begitu tajam.

(11)

satupun provinsi di Indonesia yang mengalami pertumbuhan negatif pada masa era desentralisasi fiskal.

Kondisi ini menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai keterkaitan antara desentralisasi fiskal atau pemberian tranfer keuangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sangatlah penting mengingat tujuan dari desentralisasi itu sendiri sebagai alat untuk mendorong Pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Maka berdasarkan latar belakang penelitian di atas penulis mencoba untuk meneliti tentang masalah tersebut dengan judul penelitian: Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Penelitian ini berusaha untuk melihat hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah berapa besar pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2004 sampai 2008?

1.3. Tujuan Penelitian

(12)

adalah untuk mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode 2004 sampai 2008.

1.4. Kegunaan Penelitian

Perubahan fundamental dalam pola hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah khususnya menyangkut dengan perimbangan keuangan dimulai sejak Tahun 2001, sehingga menarik untuk dikaji keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi pihak pemerintah dalam rangka pembuatan kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah.

2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna sebagai landasan dalam penelitian selanjutnya dibidang ekonomi publik dan pembangunan ekonomi daerah. 3. Sebagai tambahan khasanah keilmuan khususnya terhadap ilmu ekonomi dan

(13)

BAB II

STUDI KEPUSTAKAAN

2.1. Landasan Teoritis

2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Fiskal

Fungsi pemerintah dalam perekonomian menurut Musgrave dan Musgrave dirinci menjadi tiga yaitu, (1) Fungsi stabilisasi di mana pemerintah dapat mengunakan kebijakan moneter dan fiskal untuk mengontrol inflasi dan pengangguran. (2) Fungsi distribusi di mana pemerintah dapat menggunakan kebijakan perpajakan dan transfer untuk menjalankan fungsi distribusi pendapatan. (3) Fungsi alokasi di mana pemerintah dapat memutuskan barang dan jasa apa yang akan diproduksi dan bagaimana memproduksinya serta sumber daya apa yang akan digunakan. Fungsi alokasi dan distribusi bukan hanya dapat dijalankan oleh pemerintah pusat, namun terkadang lebih efisisen dijalankan atau disediakan oleh pemerintah daerah. Tetapi untuk fungsi stabilitasai tidak dapat dijalankan oleh pemerintah daerah atau lebih efektif dijalankan oleh pemerintah pusat (Musgrave dan Musgrave, 1989: 445).

(14)

lebih paham dalam menyediakan barang tersebut. (2) Ekternalitas dari barang tersebut relatif kecil secara geografis, artinya manfaat dari ketersediaan barang publik tersebut hanya dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah tersebut. (3) Skala ekonomi dari penyediaan barang tersebut relatif kecil. Dari dua pandangan di atas, maka perlu adanya pelimpahan wewenang sekaligus transfer keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam urusan penyediaan barang publik atau pelayanan publik yang lebih di kenal dengan sistem desentralisasi.

Desentralisasi bukanlah suatu hal yang baru, hampir semua negara di dunia menerapkan sistem ini kecuali untuk beberapa negara kecil. Selama Tahun 1940-an sampai 1970-an kecenderungan sentralisasi sangat kuat, terutama negara-negara yang menganut paham komunis seperti China, Rusia, negara-negara di Eropa Timur dan negara-negara yang baru merdeka dengan tujuan menguatkan konsolidasi pemerintahan. Namun setelah Era 1970-an dan 1980-an kecenderungan untuk menerapkan sistem desentralisasi lebih mengemuka, banyak negara mengadopsi bentuk pemerintahan yang terdesentralisasi (Devas, 2006: 1).

(15)

permasalahan di kota menuntut adanya sistem yang lebih responsif. (5) Permasalahan keterbatasan anggaran yang dialami pemerintah pusat sehingga desentralisasi dilihat sebagai sebuah solusi. (6) Tekanan pihak donor bagi negara-negara berkembang untuk mendesentralisasikan pemerintahan sebagai cara untuk perbaikan pelayanan terhadap daerah pinggiran.

Menurut Dumairy dalam Subandi (2006: 46) menyatakan bahwa struktur perekonomian suatu negara dapat dilihat dari berbagai sudut tinjauan. Sekurang-kurangnya struktur perekonomian dapat dilihat dari empat sudut tinjauan yaitu, tinjauan makro-sektoral, tinjauan keuangan, tinjauan penyelenggaraan negara dan tinjauan birokrasi pengambilan keputusan. Dalam tinjauan berdasarkan birokrasi pengambilan keputusan, struktur ekonomi dapat dibedakan menjadi struktur ekonomi yang terpusat dan struktur ekonomi yang terdesentralisasi. Dalam struktur perekonomian yang terdesentralisir, terdapat pembagian atau pelimpahan sebagian wewenang dan fungsi pemerintahan dari pusat kepada daerah.

(16)

Secara teori pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah daerah memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibandingkan dengan pemerintah pusat. Kedekatan pemerintah daerah dengan masyarakatnya dapat menimbulkan efisiensi dalam pelayanan baik dari segi waktu dan dana. Sehingga pelayanan publik yang diberikan benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat daerahnya (Wibowo, 2008: 57)

Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai pelimpahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintahan pusat ke tingkat pemerintahan di bawahnya yang diikuti dengan pemberian dana dalam menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan. Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya pada sektor publik, karena variasi kebutuhan yang berbeda dalam pelayanan publik antar daerah tidak dapat dipenuhi dengan pelayanan yang sama oleh pemerintah pusat, hal ini akan menimbulkan inefisiensi. Oleh karena itu pemerintah daerah lebih memahami perbedaan kebutuhan dimaksud. (Widhiyanto, 2008: 23).

(17)

daerah diberikan wewenang untuk menentukan alokasi atas pengeluaranya sendiri (Khusaini, 2006: 97).

Saragih (2003: 12), desentralisasi fiskal dan keuangan daerah merupakan dua hal yang berkaitan bila dikaji dalam konteks otonomi daerah. Keuangan daerah dalam arti sempit yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu keuangan daerah identik dengan APBD. Berbeda dengan desentralisasi fiskal yang lebih banyak bersinggungan dengan persoalan kebijakan fiskal nasional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karenanya persoalan tentang desentralisasi fiskal tidak terlepas dari konteks APBN. Otonomi daerah tanpa diikuti kebijakan desentralisasi fiskal kurang mendukung tercapainya efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh sebab itu otonomi daerah membutuhkan kebijakkan desentralisasi fiskal yang bertujuan memampukan keuangan daerah di dalam meningkatkan pelayanan publik, terutama dalam mencapai standar pelayanan minimum. Hal itu diwujudkan dalam suatu kebijakan yang disebut dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

(18)

daerah, sehingga daerah yang kurang mampu menyediakan standar pelayanan minimum harus mendapat dana transfer dari pusat. (4) Untuk mengatasi persoalan yang timbul dari menyebarnya atau melimpahnya efek pelayanan publik (spillover effect). Beberapa jenis pelayanan publik memiliki efek menyebar ke wilayah lain, dalam hal ini pemerintah daerah terkadang tidak bersedia berinvestasi dalam proyek publik seperti ini karena tidak mendapat imbalan secara ekonomi yang berarti dari proyek tersebut. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu memberikan insentif ataupun sumber keuangan kepada daerah agar bersedia menyediakan pelayanan publik tersebut. (5) Untuk mencapai tujuan stabilisasi perekonomian nasional, karena ransfer dana ke pemerintah daerah dapat ditingkatkan manakala dalam kondisi perekonomian sedang lesu dan dapat diturunkan disaat perekonomian sedang booming. Transfer dana untuk pembanguan merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini (Sidik dkk, 2002: 24-26)

(19)

Menurut Devas (2006: 1) desentralisasi mencakup tiga aspek penting. Pertama aspek administrasi di mana menumpuknya administrasi ditingkat pusat dan banyak permasalahan daerah yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Pemerintah pusat sehingga perlu pendelegasian urusan ke daerah untuk mempersingkat rentang kendali. Jika beberapa aspek pelayanan publik diserahkan ke daerah, setidaknya keputusan menyangkut pelayanan publik bisa dibuat oleh Pemerintah daerah. Hal ini sama dengan organisasi bisnis di mana manajer pusat mendelegasikan beberapa urusan ke jenjang manajer di bawahnya. Namun dalam struktur pemerintahan permasalahan itu lebih luas.

Selanjutnya adalah aspek politik di mana pemerintahan yang demokrasi akan melatih masyarakat untuk mengelola sumber daya secara efisien. Desentralisasi akan meningkatkan peluang-peluang partisipasi dan akuntabilitas, dengan demikian legitimasi demokrasi akan tercipta. Hal ini penting terutama bagi negara-negara yang mempunyai penduduk beragam suku dan beragam kebutuhan antara berbagai daerah. Pada prinsipnya desentralisasi dapat meningkatkan peluang partisipasi dan akses terhadap pembuatan keputusan bagi masyarakat daerah dalam suatu negara karena dekatnya masyarakat dengan sumber pembuat keputusan. Dengan kata lain aspirasi masyarakat lebih terakomodir.

(20)

yang mereka keluarkan. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional suatu negara pada hakikatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan serta memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

Sejalan dengan itu, Hyman (2008: 692) mengemukakan bahwa di bawah sistem pemerintahan sentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan publik dilakukan seragam dalam jumlah dan kualitas. Hal ini kurang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat daerah yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dalam sistem desentralisasi, penyediaan barang publik atau pelayanan publik lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah baik dalam jumlah dan kualitas. Atas dasar inilah sistem desentralisasi dalam pelayanan publik lebih menguntungkan dari sisi efisiensi. Atau dengan kata lain, untuk barang publik yang manfaatnya berskala nasional lebih efisien disediakan oleh pemerintah pusat dan barang publik yang manfaatnya ditingkat daerah lebih efisien disediakan oleh pemerintah daerah.

(21)

memberikan kewenangan kepada daerah-daerah. Begitu pula di China yang secara resmi menganut sentralisasi, namun secara de facto pemerintah provinsi memiliki substansi dalam melaksanakan otonomi (World Bank, 2000: 108).

Transfer fiskal dalam bentuk subsidi dan dana perimbangan lainnya pada dasarnya adalah hibah yang berasal dari level pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan di bawahnya, secara teoritis transfer fiskal diharapkan dapat mempengaruhi keseimbangan politik dan perubahan fiskal baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran. Dalam teori dijelaskan bahwa transfer fiskal akan meningkatkan pendapatan disposibel dan meningkatkan konsumsi masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi (Khusaini, 2006).

Holcombe (2006: 489) membagi jenis bantuan pusat kepada daerah menjadi dua, pertama bantuan umum (general grants) yaitu dana transfer dari Pemerintah pusat kepada daerah untuk mendanai aktifitas Pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakar yang penggunaanya sesuai dengan keinginan pemerintah daerah. Kedua bantuan khusus (categorical grants) yaitu dana yang ditransfer dari pemerintah pusat kepada daerah yang penggunaanya untuk membiayai proyek tertentu dan pemerintah pusat berhak untuk mengontrol penggunaan dana atau menentukan tujuan dari penggunaan dana tersebut.

(22)

alokasi sumber daya pada sektor pemerintahan. Bantuan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah merupakan transfer antar jenjang pemerintahan yang dapat digunakan untuk mendanai berbagai tujuan sosial di daerah. Akhir-akhir ini, berbagai bantuan transfer digunakan sebagai cara untuk mengetahui bagaimana hubungan keuangan antar jenjang pemerintahan.

Perbandingan distribusi anggaran antar jenjang pemerintahan diberbagai negara yang melaksanakan desentralisasi fiskal didasarkan atas kebijakan desentralisasi fiskal di negara yang bersangkutan yang dipengaruhi oleh faktor sejarah, luas daerah, budaya dan politik. Tidak ada pola yang sama yang harus diikuti oleh setiap negara yang melaksanakan desentralisasi, khususnya desentralisasi fiskal (Devas, 2006: 7)

Namun demikian, secara umum terdapat tiga jenis transfer yang berlaku di Indonesia yaitu, pertama adalah Subsidi yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan rutin seperti gaji pegawai. Kedua adalah Bantuan yang bertujuan memberikan bantuan untuk pembangunan, dan ketiga Daftar Isian Proyek (DIP). Dua jenis pertama dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan sebab menjadi bagian dari Anggaran Pemerintah daerah, sedangkan DIP diklasifikasikan sebagai alokasi dalam bentuk barang, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk dalam Anggaran Pemerintah daerah (Sidik dkk, 2002: 1).

(23)

1. Pendekatan berdasarkan persentase yang merupakan strategi yang paling baik untuk pemerataan dan memciptakan keadilan bagi tiap daerah. Artinya, daerah yang potensial dari sudut ekonomi dan sumber daya alam wajar mendapatkan bagian pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang perkembangan ekonominya relatif rendah.

2. Pendekatan berdasarkan formula yang bertujuan untuk mendekati pembagian yang relatif adil dan objektif sesuai dengan kondisi terakhir perekonomian daerah.

3. Pendekatan berdasarkan kebutuhan khusus yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk tujuan membantu daerah yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

Berdasarkan tiga pendekatan di atas dapat dipahami bahwa untuk Indonesia juga mengikuti pendekatan tersebut, misalnya Dana Alokasi Umum mengikuti pendekatan formula, Dana Alokasi Khusus mengikuti pendekatan kebutuhan khusus dan Dana Bagi Hasil mengikuti pendekatan persentase.

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

(24)

Regional Bruto (Saragih, 2003: 32). Para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto mengukur total pendapatan setiap orang di dalam suatu perekonomian (Mankiw, 2000: 61).

Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan dalam pendapatan perkapita masyarakat. Secara tradisional sumber-sumber pertumbuhan ekonomi adalah: Pertama akumulasi modal yang mencakup seluruh objek yang dapat digunakan oleh manusia dalam melakukan produksi barang dan jasa. Kedua peningkatan sumber daya manusia termasuk didalamnya pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman, peningkatan sumber daya manusia dapat mempengaruhi produktifitas. Ketiga perkembangan teknologi yang dapat mempengaruhi produktifitas pekerja. Keempat adalah aglomerasi ekonomi di mana penyatuan tersebut dapat mempengaruhi produktifitas, pembagian input, penyatuan tenaga kerja dan dampak rembesan dari pengetahuan antar pekerja di sektor yang berbeda (O’Sullivan, 2009: 90).

(25)

ekonomi makro pertumbuhan ekonomi adalah penambahan Produk Domestik Bruto yang berarti juga penambahan pendapatan nasional (Tambunan, 2001: 2-3).

Lin dan Liu (2000: 4) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat melalui dua cara yaitu dengan menaikkan investasi modal baik sektor swasta maupun pemerintah dan melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimilki. Efisiensi dapat dilakukan dengan perbaikan lembaga pemerintahan dan swasta, sehingga desentralisasi fiskal mempunyai peran yang amat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar untuk berinvestasi dan

membelanjakan lebih banyak untuk berbagai sektor produktif.

2. Pemerintah daerah mampu menyediakan barang-barang publik dan jasa yang dibutuhkan, bagaimanapun pemerintah lokal akan lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Pemberian otonomi yang lebih besar, membuat Pemerintah daerah lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal sesuai dengan kebutuhan publik.

3. Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang bagi publik untuk berpartisipasi dalam pembangunan.

(26)

nasional pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan pendapatan per kapita naik terus setiap tahun (hingga krisis Tahun 1998). Namun jika dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar provinsi semakin membesar. Demikian juga kesenjangan dalam distribusi pendapatan semakin besar, bukannya semakin membaik sesuai dengan hipotesis Kuznets mengenai adanya suatu korelasi negatif pada periode jangka panjang antara tingkat pertumbuhan dengan kesenjangan dalam distribusi pendapatan, artinya pembangunan ekonomi pada saat itu tidak mampu mengatasi masalah kesenjangan antar daerah (Tambunan, 2001: 199-200).

2.1.3. Desentralisasi Fiskal Dan Pertumbuhan Ekonomi

Desentralisasi fiskal memang diyakini oleh para ahli akan mempunyai suatu efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi harus diakui bahwa dasar teoritis yang menjelaskan hubungan kedua hal tersebut saat ini masih dikembangkan dan banyak menjadi perdebatan para ahli. Bahkan, apakah desentralisasi fiskal berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi atau melalui efek efisiensi juga masih menimbulkan jawaban yang bervariasi. (Khusaini, 2006: 44-45).

(27)

dan efisien mengingat pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakat. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah memiliki keunggulan informasi tentang kebutuhan daerah. Hal inilah yang mendorong terjadinya efisiensi dalam alokasi. Kedua, dimensi persaingan antar daerah dalam hal penyediaan barang publik dan juga pelayanan publik kepda masyarakat. Sehingga dalam kondisi persaingan tersebut memungkinkan masyarakat untuk memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera. Hal ini tidak mungkin terjadi jika barang dan jasa publik disediakan seragam oleh pemerintah pusat. Namun demikian, teori tradisional juga menekankan bahwa desentralisasi yang terlalu besar dapat menimbulkan berbagai distorsi alokasi, ketimpangan regional dan instabilitas fiskal (Khusaini, 2006: 91).

Dalam pandangan Teori Perspektif Baru menjelaskan bagaimana desentralisasi fiskal akan mempengaruhi perilaku pemerintah daerah. Secara teoritik pemerintah daerah akan berperilaku berbeda ketika pemerintah pusat menyerahkan berbagai wewenang kepada pemerintah daerah, yaitu semakin berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implikasi penting teori ini adalah desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

(28)

itu, keterkaitan yang erat antara penerimaan dan pengeluaran daerah juga menjadi insentif bagi pertumbuhan ekonomi daerahm (Khusaini, 2006:92).

Salah satu kunci perbedaan antara kedua teori tersebut terletak pada penerimaan daerah dari transfer pemerintah pusat. Walaupun teori trandisional menekankan pada beberapa keuntungan dari desentralisasi fiskal, tetapi di sisi lain juga dapat menimbulkan distorsi alokatif dan memperlemah kapasitas fiskal pemerintah pusat. Perhatian teori tradisional tidak menekankan pada kemampuan keuangan pemerintah daerah dalam membiayai pengeluarannya. Sebaliknya dalam teori perspektif baru menyatakan bahwa manfaat desentralisasi fiskal jauh lebih besar daripada kerugiaannya. Keterkaitan antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah serta pembatasan redistribusi pemerintah pusat kepada daerah akan menciptakan insentif bagi pemerintah daerah dalam melakukan reformasi orientasi pasar. Reformasi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan meningkatkan basis penerimaan bagi daerah (Khusaini, 2006: 93).

(29)

pendapatan ini dapat digunakan untuk membangun sejumlah infrastruktur baru ditingkat daerah, sehingga membaiknya infrastruktur di daerah akan direspon oleh pihak swasta melalui peningkatan investasi (Feltenstein dan Iwata, 2005: 482).

Pada awal perkembangan teori federalisme fiskal, pada umumnya pemerintah diasumsikan bersifat sangat bijaksana dan akan berusaha untuk membuat keputusan-keputusan ekonomi publik yang efisien dan efektif berdasarkan keinginan publik. Oleh karena itu, justifikasi terhadap implementasi desentralisasi fiskal sangat nyata. Konsumsi semua jenis barang publik tidak dikonsumsi dalam ruang lingkup nasional, tetapi dibatasi oleh wilayah geografi dan kelompok masyarakat yang memiliki preferensi yang berbeda-beda. Dalam hal ini jika pemerintah pusat mengambil alih semua tanggungjawab dalam penyediaan barang publik, maka cenderung untuk menyediakannya secara seragam yang tentunya tidak sesuai dengan tiap daerah. Hal inilah yang mendasari argumentasi bahwa desentralisasi fiskal akan mampu menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang publik, khususnya efisiensi alokasi dan produksi (Khusaini, 2006: 93-94).

(30)

Lebih lanjut Ter-Minassian (1997: 5) mengemukakan bahwa desentralisasi fiskal secara luas dalam pengeluaran publik secara signifikan dapat mempengaruhi ekonomi secara makro. Setiap perubahan dalam komposisi pengeluaran publik dalam anggaran pemerintah daerah akan mempengaruhi permintaan agregat dan stabilisasi, misalnya jika terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah daerah secara relatif akan mempengaruhi permintaan agregat di tingkat daerah, peningkatan permintaan agregat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan juga dapat mempengaruhi tingkat harga.

Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah berada posisi yang lebih baik dibandingkan dengan pemerintah pusat dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat, selanjutnya efesiensi yang tercipta ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat daerah dan juga perekonomia nasional secara cepat (Zhang dan Zou, 1998: 223). Salah-satu tujuan pokok penerapan desentralisasi fiskal adalah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, hal ini tidak hanya berlaku di negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi ekonomi, namun disebagian besar negara maju konsep desentralisasi fiskal juga menjadi agenda penting pemerintahan. Desentralisasi fiskal memiliki hubungan tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi mealui efisiensi dari penerapan desentralisasi itu sendiri seperti efisiensi dalam alokasi, konsumsi dan produksi (Vazquez dan McNab, 2003:1598).

(31)

pusat sebagai sumber terjadinya inefisiensi pasar. Sehingga desentralisasi fiskal dianggap mampu memperbaiki alokasi sumber daya yang efisien, mendorong perkembangan pasar dan selanjutnya terciptanya pertumbuhan ekonomi (Weingast, 1995: 22).

Perkembangan pasar yang cepat menjadi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan meningkatkan investasi, dan sebagaimana diketahui bahwa investasi merupakan salah satu variabel utama dalam meningkatkan aktivitas ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi daerah sebagian besar disumbangkan oleh pengeluaran daerah, maka belum dapat dikatakan otonomi daerah berhasil. Justru sebaliknya, yaitu peran ekonomi masyarakat lokal seperti investasi harus lebih didorong untuk mempercepat pembangunan (Saragih, 2003: 29).

2.2. Kerangka Pemikiran

(32)

Transfer dana dari Pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota dalam bentuk dana perimbangan

Meningkatnya permintaan agregat di tingkat daerah Meningkatnya jumlah penerimaan/belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota

Pertumbuhan Ekonomi tingkat daerah dan nasional

Gambar 2-1

Hubungan Desentralisasi Fiskal Dengan Pertumbuhan Ekonomi

(33)

terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah atau negara (Mankiw, 2000: 13). Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi juga dapat dianalisis dengan menggunakan Kurva Perpotongan Keynesian sebagai berikut:

Gambar 2.2.

Pengeluaran Pemerintah Dan Pertumbuhan Ekonomi

Pengeluaran = E

Pengeluaran aktual

G2

E2 B ΔG Pengeluaran yang direncanakan

G1

E1 A

450

0 Y1 Y2 PDRB = Y

(Sumber: Mankiw, 2000: 13)

Dari gambar kurva di atas dapat dijelaskan pengaruh pengeluaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terhadap pertumbuhan ekonomi. Keseimbangan awal terjadi pada titik A, di mana pengeluaran aktual sama dengan pengeluaran yang direncanakan. Ketika Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mendapat bantuan dana perimbangan dari Pemerintah Pusat, maka belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota akan meningkat sebesar ΔG sehingga membentuk keseimbangan baru pada titik B. dalam hal ini pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Dengan kata

(34)

2.3. Penelitian Sebelumnya

Feltenstein dan Iwata (2005) melakukan penelitian di China mengenai pengaruh desentralisasi terhadap kinerja ekonomi makro selama Tahun 1952 sampai 1996. Data yang digunakan adalah data produk domestik bruto, inflasi dan data indikator desentralisasi yang mencakup indikator desentralisasi ekonomi dan desentralisasi fiskal. Dengan menggunakan Vector Autoregressive Model (VAR) penelitian itu berhasil menunjukkan hubungan korelasi antara desentralisasi dengan kinerja ekonomi makro. Desentralisasi ekonomi dan desentralisasi fiskal memilki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi selama periode penelitian pada level signifikansi 1 atau 5 persen. Namun desentralisasi fiskal memiliki hubungan yang negatif terhadap tingkat inflasi, hal ini terjadi karena meningkatnya pengeluaran pemerintah daerah telah mendorong terjadinya laju inflasi. artinya desentralisasi sangat bagus dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun tidak baik bagi stabilitas harga.

(35)

koefisien -1.79 pada level signifikansi 5 persen, namun untuk pengeluaran pemerintah pusat memiliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini tentunya sangat kontras dengan pandangan Teori Federalisme Fiskal dan pandangan para ahli yang menyatakan desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Adi (2005) melakukan penelitian mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten dan Kota se Jawa dan Bali. Data yang digunakan adalah PDRB kabupaten/kota se Jawa dan Bali dari Tahun 1998 sampai 2003, kemudian data tersebut dikelompkkan menjadi dua yaitu sebelum pelaksanaan desentralisasi (1998-2000) dan setelah pelaksanaan desentralisasi 92001-2003). Alat anlisis yang digunakan adalah uji beda berpasangan (uji t) dan analisis varian (Anova). Uji t digunakan untuk melmbandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah pelaksanaan desentralisasi, sedangkan Anova digunakan untuk melihat apakah terjadi perbedaan pertumbuhan antar daerah dengan tingkat kesiapan yang berbeda dalam menghadapi desentralisasi fiskal. Hasil penelitiannya menunjukkan pada taraf signifikansi 10 persen pertumbuhan ekonomi lebih baik setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal dibandingkan sebelumnya. Selanjutnya pada taraf signifikansi 1 persen membuktikan terjadi pertumbuhan yang berbeda antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Daerah-daerah yang relatif siap menghadapi desentralisasi fiskal mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah yang kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal.

(36)

Indonesia selama periode 1994 sampai 2004. Untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan pendapatan daerah digunakan alat analisis Indeks Theil (Theil Index), dengan data yang digunakan antara lain, jumlah penduduk dan PDRB. Sedangkan untuk melihat keterkaitan desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi digunakan model regresi dan data yang digunakan adalah, PDRB perkapita, dana perimbangan, indeks pembangunan manusia dan kepadatan penduduk tiap wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak penerapan desentralisasi fiskal Tahun 2001, kesenjangan pendapatan antar daerah menurun, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien -0.280 pada tingkat signifikansi 1 persen. Begitu juga dengan dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan nilai koefisien 3.677 pada tingkat signifikansi 1 persen.

(37)

terhadap pertumbuhan ekonomi, di mana koefisien dari beberapa indikator desentralisasi menunjukkan angka yang positif pada tingkat signifikansi 1 persen.

2.4. Hipotesis

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Sifat dan Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pustaka yang bersifat pengujian hubungan antara variabel desentralisasi fiskal/dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode Tahun 2004 sampai 2008. Ruang lingkup penelitian mencakup seluruh Provinsi di Indonesia yang berfokus pada data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rill Provinsi seluruh Indonesia sabagai variabel terikat. Selain itu juga menggunakan data Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai variabel bebas.

3.2. Jenis dan Sumber Data

(39)

Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil. Karena keterbatasan data maka data diambil dari Tahun 2004 sampai 2008.

3.3. Model Analisis

Untuk melihat bagaimana pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dilakukan dengan menggunakan alat ukur analisa data panel. Adapun persamaan umum panel data adalah sebagai berikut:

Y = β1 i+β2X2i + β3X3i +β4X4i + Ui

yang dapat diubah menjadi,

Yi = β1 + βi + β2DAUit + β3DAKit+ β4DBHit +ei

Yi = PDRB riil di Provinsi i β1 = Konstanta

βi = Konstanta dari tiap-tiap unit kerat silang (cross-section unit)

β2 β3 β4 = Koefisien Regresi

DAUit = Jumlah Dana Alokasi Umum di Provinsi i selama periode t

DAKit = Jumlah Dana Alokasi Khusus di Provinsi i selama periode t

DBHit = Jumlah Dana Bagi Hasil di Provinsi i selama periode t

ei = error terms.

(40)

observasi selama periode tersebut. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi antar wilayah di Indonesia.

Adapun untuk mengetahui model estimasi yang sesuai dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Estimasi dengan model Fixed Effect

2. Dilakukan Redundant Test untuk mengetahui apakah model yang sesuai adalah Pool Least Square atau Fixed Effect. Hipotesis nol dari test ini adalah bahwa model yang sesuai adalah Pool Least Square.

3. Estimasi dengan model Random Effect

4. Dilakukan Hausman Test untuk mengetahui apakah model yang sesuai adalah Fixed Effect atau Random effect. Hipotesis nol dari test ini adalah bahwa model yang sesuai adalah Random Effect.

5. Setelah model yang sesuai diperoleh, Estimasi yang digunakan adalah estimasi yang diperoleh berdasarkan hasil uji panel data tersebut diatas.

3.4. Definisi Operasional Variabel

Untuk membatasi penelitian pada variabel-variabel yang digunakan maka perlu dirumuskan definisi operasional variabel agar penelitian terfokus pada variabel yang digunakan. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(41)

Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil yang dihitung dalam satuan juta rupiah.

2. Dana Alokasi Umum adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pendekatan formula yang dihitung dalam satuan juta rupiah.

3. Dana Alokasi Khusus adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pendekatan kebutuhan khusus yang dihitung dalam satuan juta rupiah.

4. Dana Bagi Hasil adalah dana transfer dari Pemerintah Pusat dari sumber pajak dan sumber daya alam kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pendekatan persentase yang dihitung dalam juta rupiah.

Gambar

Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 1.3Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2005-2009
Tabel 1.4Distribusi Fungsi Pemerintahan Antar Jenjang Pemerintahan
+4

Referensi

Dokumen terkait

Sekunder. Rekapitulasi output hasil analisis yang berkaitan dengan pengaruh secara parsial pada model II adalah sebagai berikut:.. Artinya, setiap peningkatan Konsumsi Rumah

Oleh karena itu apabila ada perselisihan, remaja akan mencari teman sebaya mereka atau mereka bertindak nekad melakukan kejahatan untuk membuktikan kepada orang tua atau orang

[r]

Oleh sebab itu penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh rapat umum pemegang saham perseroan dari suatu lembaga keuangan syariah bukan bank setelah nama-nama

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh variasi kadar perekat phenol formaldehida, serta mengetahui kadar perekat terbaik terhadap kualitas papan partikel dari

Dalam rencana ini, akan diperkatakan sepintas lalu sifat-sifat manuskrip milik Abdul Mulku Zahari dari segi bahan, zaman pengarangan, huruf yang digunakan, nilai sejarah, budaya

Batasan masalah terfokus pada penerapan IFRS pada PSAK 50 dan 55 tentang penurunan nilai sehingga tujuan penelitian ini untuk akibat penerapan PSAK terhadap

(2007) dan Anderson dan Reeb (2003) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa perusahaan dengan kepemilikan saham pengendali oleh keluarga memiliki konflik keagenan yang