KHASYYATULL
Â
H
DALAM AL-QUR
’
AN
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister
Dalam bidang Kajian Islam
Konsentrasi Tafsir Hadits
Oleh:
Ummi Mardliyyah
NIM : 03. 2. 00. 1. 05. 01. 0022
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KHASYYATULL
Â
H
DALAM AL-QUR
’
AN
Tesis
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Magister
Dalam bidang Kajian Islam
Konsentrasi Tafsir Hadits
Oleh:
Ummi Mardliyyah
NIM : 03. 2. 00. 1. 05. 01. 0022
Dosen Pembimbing:
Dr. Yusuf Rahman, MA
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ummi Mardliyyah
NIM : 03.2.00.1.05.01.0022
Program Studi : Kajian Islam
Konsentrasi : Tafsir Hadits
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa tesis
dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" ini adalah karya asli penulis dan
bukan hasil jiplakan. Jika di kemudian hari didapati kesalahan dalam tesis ini, maka
penulis akan mempertanggungjawabkan konsekuensinya.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Tertanda,
ii
LEMBAR
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" yang ditulis oleh
Nama : Ummi Mardliyyah
NIM : 03.2.00.1.05.01.0022
Program Studi : Kajian Islam
Konsentrasi : Tafsir Hadits
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah disetujui untuk dibawa
ke sidang ujian tesis.
Pembimbing Tanda tangan Tanggal
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" yang ditulis oleh :
Nama : Ummi Mardliyyah
NIM : 03.2.00.1.05.01.0022
Program Studi : Kajian Islam
Konsentrasi : Tafsir Hadits
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah diujikan pada sidang
ujian tesis yang dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 22 januari 2008. Tesis tersebut
telah diperbaiki sesuai dengan masukan dan arahan dari tim penguji serta diterima
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Kajian
Islam Konsentrasi Tafsir Hadits.
Jakarta, 22 Februari 2008
Tim Penguji Sidang Ujian Tesis Tanda tangan Tanggal
1. Dr. Yusuf Rahman, MA
(Pembimbing / Penguji) ___________ _______
2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA.
(Penguji I) ___________ _______
3. Prof. Dr. H.D. Hidayat, MA.
(Penguji II) ___________ _______
4. Prof. Dr. Suwito, MA.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâh wa al-syukru lillâh, segala puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Atas pertolongan-Nyalah tesis ini dapat
terselesaikan. Segala usaha dan jerih payah penulis dalam proses penulisan tesis ini,
Dialah yang menentukan hasil akhirnya. Shalawat salam tercurah ke pangkuan Nabi
tercinta, Muhammad SAW, para sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia
mengamalkan sunnahnya.
Tesis dengan judul "Khasyyatullâh dalam al-Qur'an" ini dapat terselesaikan
dengan dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis menghaturkan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada semua pihak yang turut berperan dalam proses penulisan tesis ini, di
antaranya :
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor dan Prof. Dr. Azyumardi Azra
selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku dosen pembimbing sekaligus penguji, yang
dengan penuh kesabaran dan ketelitian memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis hingga jangka waktu yang cukup lama. Semoga Allah SWT
membalasnya dengan sebaik-baik balasan.
3. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku penguji I, Prof. Dr. H.D.Hidayat,
MA., selaku penguji II, dan Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua sidang
merangkap penguji, yang telah memberikan arahan dan masukan berharga
untuk perbaikan tesis ini. Semoga Allah senantiasa berkenan melimpahkan
rahmat-Nya.
4. Segenap dosen dan staf pengajar Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah
mengalirkan ilmu dan membuka cakrawala berpikir penulis selama masa
perkuliahan. Semoga Allah SWT mencatatnya sebagai bagian dari ilmu yang
bermanfaat di dunia hingga akhirat.
5. Segenap staf karyawan di lingkungan sekretariat dan perpustakaan Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta, perpustakaan utama UIN Jakarta, perpustakaan
Ma'had al-Hikmah Mampang dan perpustakaan Iman Jama' Lebak Bulus yang
v
6. Segenap asâtîdz di lingkungan Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah
Bekasi, terutama Ustadz Dr. Ahzami, Ustadz Qusyairi, MA., Ustadz
Muhammadun, MA., Ustadz Adib, MA. yang telah memperkenankan penulis
memanfaatkan buku-buku koleksi perpustakaan pribadinya. Semoga Allah
SWT membalas kemurahan hati itu dengan anugerah berlimpah dari-Nya.
7. Kedua orang tua penulis, H.Ahmad Suyuthi dan Hj.Muslikah yang tak pernah
lelah mencurahkan cintanya pada penulis. Juga H.Siman dan Hj.Djazilah yang
sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri. Semoga Allah SWT
mengkaruniakan keberkahan di dunia dan keselamatan di akhirat.
8. Saudara-saudara penulis : mbak Is, mas Anis, lek Luthfi, mbak Us, dan lek
Ratna yang turut membantu dan memotivasi penulis agar segera
menyelesaikan kuliah.
9. Abi al-mahbûb, Muhammad Yulianto yang dengan sabar membantu dan
senantiasa memotivasi penulis, serta menjadi good partner dalam menjaga
buah hati, Fawwaz dan Qonita yang selalu meramaikan suasana. Semoga
Allah SWT menyatukan hati kita dalam bingkai asmara, al-sakinah
mawaddah dan rahmah.
10.Teman-teman di UIN Jakarta, di lingkungan pengajian Jatiluhur dan Jatiasih,
serta segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis tidak dapat membalas segala bantuan yang telah diberikan, kecuali
dengan doa, semoga Allah SWT memberikan balasan yang jauh lebih baik dan
mengkaruniakan kekuatan iman dan keluasan pengetahuan yang mampu menjadi
penghantar menuju amal pengagungan Allah al-Rahmân.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan, sehingga penulis mengharapkan saran dan masukan demi perbaikan
tulisan ini.
Makin sering kita berinteraksi dengan al-Qur'an, kita akan makin tersadar
bahwa hidup membutuhkan tuntunan dari-Nya. Dan sebaik-baik orang yang tersadar
adalah orang yang mau berjalan mengikuti tuntunan itu.
Allahummaj'alnâ wa ahlanâ min ahl al-Qur'an.
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanan dalam aksara latin :
vii C. Diftong
وأ au
يأ ai
D. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam aksara Arab dilambangkan dengan huruf "لا",
dalam aksara latin ditulis dengan huruf "al", baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qamariyah. Contoh : al-khauf dan al-nabi. Khusus lafal ﷲا dalam aksara latin
langsung ditulis Allah. Jika tersambung dengan kata lain, maka tulisannya langsung
disambungkan, misalnya ﷲاﺔﯿﺸﺧ menjadi khasyyatullâh.
E. Singkatan
Singkatan Keterangan
SWT Subhânahu wa ta'âlâ
SAW Shallallâhu 'alaihi wa sallam
AS ‘Alaih al-salâm
ra radhiyallâh 'anhu
QS. Qur'an Surat
HR Hadits Riwayat
Cet cetakan
h. halaman
j. jilid / juz
t.p tanpa penerbit
ttmp. tanpa tempat penerbit
viii ABSTRAK
KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR'AN
Dalam QS.Fathir : 28, al-Qur'an mensinyalir bahwa orang yang takut kepada
Allah SWT hanyalah ulama (orang yang mempunyai pengetahuan). Pada ayat
tersebut, kata yang digunakan untuk mengungkapkan "takut" itu adalah "yakhsyâ",
bentuk fi'il mudhâri' dari mashdar "khasyyah". Sementara dalam QS.Ali Imran : 175,
Allah SWT memberi perintah untuk takut kepada-Nya, jika seseorang mengaku
dirinya sebagai orang yang beriman. Pada ayat tersebut, kata yang digunakan untuk
mengungkapkan "takut" itu adalah "khâfû", bentuk fi'il amr dari mashdar "khauf".
Dari sini timbul pertanyaan : apa makna khasyyah" dan "khasyyatullâh" serta
"al-khauf" dan "al-khauf min Allah" dalam al-Qur'an?; apa kaitan rasa takut itu dengan
adanya pengetahuan dan keimanan?; bagaimana al-Qur'an memposisikan rasa takut
itu?; dan apa implikasinya dalam kehidupan?
Masalah inilah yang dibahas dalam tesis yang berjudul "Khasyyatullâh dalam
al-Qur'an" ini. Dengan membahas tema khasyyatullâh dan "takut pada Allah SWT"
yang diungkapkan dengan kata-kata sepadannya, maka pembahasan masalah dalam
tesis ini menggunakan metode tafsir maudhu'i dengan analisis deskriptif, komparatif
dan linguistik.
Setelah mengkajinya, penulis berkesimpulan bahwa ada tiga hal mendasar
yang berkaitan dengan khasyyatullâh, yaitu keimanan, pengetahuan dan
pengagungan. Dua poin terakhir ini sekaligus yang membedakan antara
"al-khasyyah" dan "al-khauf" secara kebahasaan, sehingga "al-khasyyah" mempunyai arti
lebih dibanding "al-khauf". Meskipun demikian, jika objek rasa takut itu adalah Allah
SWT, maka ungkapan "al-khauf min Allah" memiliki arti yang tak jauh beda dengan
ungkapan "khasyyatullâh". Kata-kata sepadan lain dari al-khasyyah dan al-khauf,
yaitu al-rahbah, al-wajal dan al-isyfâq merupakan dampak lanjutan dari keduanya.
Al-Qur'an memotivasi agar setiap mukmin mempunyai rasa itu. Rasa takut kepada
x
KHASYYATULLÂH IN THE HOLY QUR'AN
In sura Fathir : 28, the Qur'an has given the signal that the ones who have fear
in Allah Ta'ala are "ulama" (a people who have knowledge). In this verse, the word
which is being used to express the fear is "yakhsyâ", fi'il mudhâri' (the verb of present
/future tense) from mashdar "khasyyah" (type of gerund). Meanwhile, in sura
ali-Imran : 175, Allah Ta'ala said to be afraid to Him if some one admits as the faithfull
person. In this verse, the word which is being used to express the fears is "khâfû", the
type of fi'il amr (command) from mashdar "khauf"(type of gerund).
From this, there are some questions : What is the meaning of al-khasyyah and
khasyyatullâh and also al-khauf and al-khauf min Allah in the Qur'an? what is the
relation of the fears to the knowledge and the faith?
The above cases will be explored in this thesis with the title of "khasyyatullâh
in the holy Qur'an". This research uses the method of tafsir maudhu'i with descriptive
analysis, comparative and linguistics.
After doing this research, the author got the conclusion that there are three
basic points which have the relationship with khasyyatullâh, there are the faith,
knowledge and honoring God. Linguistically, the last point directly differ between
al-khasyyah from al-khauf, so al-khasyyah has higher level meaning that al-khauf. In
spite of that, if the object of fear is Allah Ta'ala, al-khauf min Allah has close
meaning with khasyyatullâh. There are also some words that have close meaning with
al-khasyyah and al-khauf, like al-rahbah, al-wajal and al-isyfâq which are the impact
of al-khasyyah and al-khauf.
xi DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan... 1
B. Permasalahan ...……….………...6
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ……….…….…………...7
D. Tinjauan Pustaka ……….……….…………8
E. Metodologi Penelitian. ………..10
F. Sistematika Penulisan .………13
BAB II SEKILAS TENTANG KHASYYATULLÂH A. Pengertian Khasyyatullâh. ……….14
B. Perbedaan al-khasyyah, al-khauf, dan kata-kata yang sepadan ………22
B.1 al-khasyyah dan al-khauf .………..24
B.2. al-rahbah……….35
B.3. al-haibah ...………...38
B.4. al-wajal dan al-isyfâq ………....39
C. Khasyyatullâh dan Ulama ………...41
D. Khasyyatullâh dan Alam ……….………..49
BAB III USLǓB AL-QUR'AN TENTANG KHASYYATULLÂH A. Definisi uslub al-Qur'an ………55
B. Uslûb al-Qur'an dalam memotivasi untuk memiliki Khasyyatullâh: B.1. Perintah dan larangan ……….57
B.2. Pujian dan celaan ………62
xii
C. Contoh orang-orang yang memiliki Khasyyatullâh
C.1. Umat sebelum Nabi Muhammad SAW………… ………91
C.2. Umat Nabi Muhammad SAW………105
BAB IV IMPLIKASI KHASYYATULLÂH DALAM KEHIDUPAN A Kehidupan Individu A.1. Mampu menahan hawa nafsu……….…..112
A.2. Dapat menerima peringatan dari Allah SWT………117
A.3. Senantiasa memperbaharui taubat ………123
A.4. Merasa waspada akan datangnya hari kiamat…….. ………....126
A.5. Tidak merasa aman dari makar Allah SWT ……….127
A.6. Mempunyai semangat dalam berlomba-lomba dalam kebaikan …………..128
A.7. Mempunyai murâqabatullâh (merasa selalu diawasi Allah SWT)………...130
A.8. Mempunyai kesungguhan dalam beramal ………...…134
B. Kehidupan Sosial B.1. Timbulnya rasa aman dalam masyarakat ………...……….137
B.2. Terciptanya keadilan sosial.. ………..138
B.3. Terciptanya kondisi masjid yang makmur..………141
B.4. Timbulnya keberanian umat Islam menjalankan perintah Allah SWT..….142
B.5.Terjalinnya kasih sayang dengan anak dan keturunannya.. ………148
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... ...………..152
B. Saran ……….153
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beragam kajian tentang Al-Qur`an dan mushthalahâtnya sudah banyak
dilakukan oleh para ilmuwan dan mufasir. Namun keberagaman kajian tersebut
seakan tidak pernah usang dan tidak ada hentinya. Al-Qur`an laksana samudera luas
membentang yang tak akan pernah habis dikuras isinya oleh siapapun. Segala
kandungannya senantiasa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam upaya turut serta mengkaji kandungan Al-Qur`an, maka penulis memilih
untuk mengangkat salah satu mushthalahât qur’âniyah sebagai bahan penelitian, yaitu
kata al-khasyyah. Suatu kata yang banyak terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an, dan
seringkali dikaitkan dengan nama-nama Allah, baik dalam redaksi lafazh jalâlah
(Allah) atau menggunakan nama Allah yang lain, yaitu al-Rahmân dan juga Rabb.
Dalam al-Qur`an, menurut Muhammad Fu’ad al-Baqi dalam al-Mu’jam
al-Mufahras li alfâzh al-Qur'ân,1 ada 40 ayat al-Quran yang mencantumkan kata
al-Khasyyah dalam berbagai shîghatnya. Setelah mengamatinya, penulis menemukan 48
term al-khasyyah dan isytiqâqnya yang masing-masing disebut dalam bentuk fi’il
mâdhi (khasyiya) sebanyak 6 kali, fi’il mudhâri’ baik mufrad (yakhsya) maupun
jama’ (yakhsyauna, takhsyauna) 25 kali, fi’il mudhâri’ yang disertai lâm amr
(walyakhsya) satu kali, fi’il mudhâri’ yang disertai lâ nahy (lâ takhsya) 3 kali, fi’il
amr (wakhsyawn) 5 kali, dan isim mashdar (khasyyah)2 9 kali. Ada beberapa ayat
yang mengandung lebih dari satu bentuk kata al-khasyyah. Seperti Q.S. al-Maidah
1
Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`an al-Karîm, (Kairo : Dâr al-Hadîts, 2001), h. 286-287.
2
ayat 3 dan 44 yang keduanya memuat dua shighat al-khasyyah, yaitu dalam bentuk
fi’il nahy dan fi’il amr.
Khasyyah adalah shîghat mashdar yang berasal dari kata “khasyiya – yakhsyâ”, semakna dengan kata “khâfa
(
ﻑﺎﺧ
)
dan ittaqâ(
ﻰﻘﺗﺍ
)
”, yangmenunjukkan arti takut, khawatir dan panik (yadullu ‘alâ khauf wa dzu’r).3 Kata
al-khasyyah dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kata “takut”.4 Dan jika ditelusuri dalam kehidupan manusia, maka kebanyakan orang merasakan takut
jika berhadapan atau membayangkan akan ada hal-hal yang merugikan,
membahayakan atau mencelakai dirinya di masa datang, baik dari sisi jasmani, jiwa
atau hartanya. Seperti takutnya orang miskin yang karena khawatir tidak mampu
membiayai kebutuhan hidup diri dan anak-anaknya, maka ia nekat menggugurkan
anak yang dikandungnya. Atau seperti seorang murid yang tidak siap menghadapi
ujian, biasanya ia akan takut melihat hasil ujian tersebut. Ini bisa dianalogikan dengan
seseorang yang merasa belum banyak amal shalehnya, akan takut membayangkan kejadian di akhirat ketika ia harus menerima ‘raport’ amalnya, dengan tangan kanan
ataukah tangan kiri.
Sementara kata “takut” jika dipadankan dengan bahasa Arab, maka akan
didapati sejumlah kosakata selain al-khasyyah. Sebagaimana yang disebutkan Ibn
Qayyim al-jawziyyah dalam Madârij al-Sâlikîn, bahwa ada beberapa kata yang
maknanya tak jauh beda dengan kata yang berarti “takut” (al- khasyyah), yaitu kata
3
Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, tth.), jilid 14, h. 228; Murtadla al-Husainî al-Zubaidî, Tâj al-'arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), jilid 19, h. 375; Ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), cet. I, h. 317; Majduddin Muhammad bin Ya'qûb al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Syirkah Maktabah wa mathba’ah musthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1952), cet. Ke-2, jilid 4, h. 326. Masing-masing kamus di atas menyebutkan bahwa kata “Khasyiya–Yakhsyâ” mempunyai 7 bentuk mashdar, yaitu: Khasyyan, Khisyyan, Khasyyâh, Makhsyâh, Makhsyiyah dan Khasyyân, kecuali Tâj al- 'Arûs
yang mengganti Khisyyan dengan Khisyyân.
4
al-wajal, al-khauf, al-rahbah, al-haibah dan juga al-isyfâq.5 Demikian juga Ahmad
al-Syirbâshi dalam bukunya, Mausû’ah akhlâq al-Qur`an, mengatakan bahwa ada
beberapa kata yang maknanya berdekatan6 dengan arti takut (khasyyah), yaitu :
al-khauf, al-rahbah, al-wajal dan al-haibah. 7
Dari sekian kosakata yang mempunyai arti takut tersebut, penulis lebih
tertarik untuk menitikberatkan penelitian ini dengan memilih judul besarnya dari kata
khasyyah, meski hal ini tidak berarti bahwa penelitian ini hanya mengambil dalil dan
menganalisa ayat-ayat al-Qur`an yang mengandung kosakata khasyyah, melainkan
juga ayat-ayat lain yang mengacu pada arti khasyyatullâh. Ini berawal dari adanya
pengistimewaan khasyyah dari kosakata-kosakata lain yang mengandung arti sama,
yaitu 'takut' dalam Q.S. Fathir : 28, di mana Allah SWT berfirman :
ﻚِﻟﹶﺬﹶﻛ
ﻪﻧﺍﻮﹾﻟﹶﺃ
ﻒِﻠﺘﺨﻣ
ِﻡﺎﻌﻧَﻷﹾﺍﻭ
ﺏﺍﻭﺪﻟﺍﻭ
ِﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻦِﻣﻭ
ُﺀﺎﻤﹶﻠﻌﹾﻟﺍ
ِﻩِﺩﺎﺒِﻋ
ﻦِﻣ
َﷲﺍ
ﻰﺸﺨﻳ
ﺎﻤﻧِﺇ
ﱠﻥِﺇ
ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ
ﺰﻳِﺰﻋ
َﷲﺍ
.
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
Ayat tersebut secara jelas memperlihatkan bahwa orang yang mempunyai
khasyyah (takut) kepada Allah SWT hanyalah 'ulama'8. Rasa takut yang dimiliki oleh
'ulama', dalam ayat tersebut diredaksikan dengan khasyyah, bukan dengan kata lain
yang sepadan. Mengapa hanya 'ulama' yang dikhususkan oleh Allah SWT dengan
khasyyah? 'Ulama' yang bagaimanakah yang mempunyai khasyyah kepada-Nya?
5
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Madârij al-Sâlikîn Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în,
(tahqîq Muhammad Hamid al-Fiqi), (Beirut : Dar al-Fikr),t.th., juz I, h. 512.
6
Dalam hal ini, al-Syirbâshî menggunakan redaksi alfâzh al-mutaqâribah in lam takun mutajânisah. Lihat Ahmad al-Syirbâshi, Mausû’ah Akhlâq al-Qur'ân, (Beirut : Dâr al-Raid al-‘Arabî, 1981, cet I, jilid 3, h. 41.
7
Ahmad al-Syirbâshi, Mausû’ah Akhlâq al-Qur'ân, hal.41.
8 Kata ulama berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak taksir dari isim fâ'il 'âlim,
Sementara di lain sisi, jika diperhatikan fenomena masyarakat muslim
Indonesia sekarang, banyak di antara mereka yang rajin menghadiri majelis dzikir9,
mendengar ceramah-ceramah agama Islam, mengikuti kajian ilmu-ilmu keIslaman,
mengikuti istighotsah, atau menyaksikan acara dan tayangan yang bermuatan (atau
sekedar ‘berbau’) religi di berbagai stasiun radio dan televisi. Apakah hal ini bisa
dikatakan bahwa keikutsertaan dalam kegiatan keagamaan dan pengetahuan
keagamaan yang didapatnya itu ada korelasinya dengan timbulnya rasa takut kepada
Allah SWT? Dengan kata lain, apakah setiap orang yang berilmu (terlebih lagi ilmu
agama) akan punya rasa takut kepada Allah SWT?
Kata lain yang sering digunakan untuk mengungkapkan takut kepada Allah
SWT adalah khauf. Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS.Ali Imran : 175 :
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
Secara bahasa, khauf berarti faza',10 yang dalam bahasa Indonesia juga
diartikan dengan "takut".11 Jika takut kepada Allah SWT dalam QS. Fathir :28 seperti
tersebut di atas yang diredaksikan dengan khasyyah dikaitkan dengan pengetahuan –
dengan dikhususkannya ulama-, maka dalam ayat ke-175 surat Ali Imran ini, takut
kepada Allah SWT yang diredaksikan dengan khauf dikaitkan dengan syarat
keimanan, seperti tampak pada akhir ayatnya : "jika kamu beriman".
9
Salah satu di antaranya yang cukup fenomenal adalah majelis dzikir “Adzdzikro” yang dipimpin oleh K.H.Arifin Ilham. Di setiap acara dzikir akbar, ratusan bahkan ribuan kaum muslimin turut menghadirinya dengan sebagian besar di antara mereka mengenakan pakaian yang serba putih.
10
Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, j. 9, h. 99.
11
Dikaitkannya "takut pada Allah SWT" yang diredaksikan dengan khauf,
sebagaimana terdapat pada ayat di atas, dengan syarat keimanan, juga terdapat pada
ayat yang menggunakan redaksi khasyyah. Hal ini terdapat pada QS. al-Taubah : 13 :
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka Telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
Dari sini timbul kesimpulan awal bahwa meskipun dalam bahasa Indonesia
khasyyah dan khauf seringkali diartikan sama, yaitu "takut", namun khasyyah
mempunyai sedikit 'kelebihan', karena jika khauf dikaitkan dengan keimanan, maka
khasyyah dikaitkan dengan keimanan dan juga dengan pengetahuan.
Hal yang menjadi perhatian penulis disini adalah : apa arti al-khasyyah yang
dimaksud dalam ayat-ayat al-Qur`an? Samakah pengertiannya dengan kata-kata lain
yang mempunyai arti sama dalam bahasa Indonesia? Jika berbeda, di mana letak
perbedaannya?.
Sedemikian kuat makna al-Khasyyah sehingga banyak dikaitkan dengan nama
Allah (Khasyyatullâh), lalu bagaimana al-Qur`an memposisikan rasa “takut” itu?
Apakah ia melarangnya? Atau justru memerintahkannya? Dalam hal-hal apa saja
yang diisyaratkan al-Qur`an dengan kata al-Khasyyah?
Jika al-Qur`an memandang rasa takut (al-Khasyyah) sebagai hal yang harus
diperhatikan oleh umat Islam, dengan banyaknya ayat yang menyebutnya dan bahkan
dikaitkan dengan nama Allah SWT, maka bagaimana al-Qur`an memberi motivasi
dan mencontohkan profil-profil orang yang punya rasa al-khasyyah? Kemudian yang
lebih harus diperhatikan lagi adalah tentang pengaruh dan implikasi al-khasyyah
Terkait dengan ulasan tersebut di atas, penulis berfikir untuk mencari tahu
hakikat takut dan hormat kepada Allah SWT dari ayat-ayat al-Qur`an, hal apa yang
selayaknya dilakukan orang yang mengaku takut kepada Allah SWT, dan pengaruh
apa yang dapat ditimbulkan jika seseorang mempunyai khasyyatullâh. Persoalan
inilah yang penulis uraikan dalam kajian ini. Dalam hal ini, penulis kemudian
memberikan judul : KHASYYATULLÂH DALAM AL-QUR`AN
B. Permasalahan
B.1. Identifikasi Masalah.
Dari judul di atas, ada beberapa permasalahan yang mungkin dapat
ditimbulkan, antara lain :
a. Apa yang dimaksud dengan al-khasyyah dan khasyyatullâh?
b. Ada berapakah ayat al-Qur`an yang menyebutkan hal itu?
c. Apakah dalam ayat-ayat tersebut, khasyyatullâh diredaksikan dengan
menggunakan kata khasyyah saja, atau ada juga dengan kata lain?
d. Apa ciri-ciri orang yang mempunyai khasyyatullâh?
e. Apa saja faktor-faktor yang dapat menimbulkan khasyyatullâh?
f.Adakah al-Qur`an memberikan contoh kisah orang yang mempunyai
khasyyatullâh dan yang tidak memilikinya?
g.Seperti apa profil orang yang memiliki khasyyatullâh pada masa sekarang?
B.2. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran-pemikiran yang menjadi latar belakang masalah dan
sederet pertanyaan seperti yang tersebut di atas, serta supaya pembahasan tidak
terlalu melebar sehingga tidak fokus, maka penulis akan membatasi masalah dengan
membuat rumusan dalam beberapa point pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa arti al-khasyyah dan Khasyyatullâh serta al-khauf dan al-khauf min Allah
sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur`an?
2. Di mana letak perbedaan antara keduanya?
3. Bagaimana cara al-Qur`an memotivasi manusia supaya mempunyai rasa
khasyyatullâh ?
4. Apa implikasi khasyyatullâh dalam kehidupan manusia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengungkap kandungan makna khasyyatullâh dalam ayat-ayat al-Qur`an.
2. Menganalisa tentang bagaimana cara al-Qur`an memotivasi manusia supaya
mempunyai khasyyatullâh.
3. Menganalisa implikasi khasyyatullâh dalam kehidupan manusia.
Sedangkan kegunaan penelitian, diharapkan pembahasan tentang
khasyyatullâh ini akan berguna untuk :
1. Menambah pemahaman umat Islam, khususnya penulis sendiri, tentang
kandungan al-Qur`an mengenai khasyyatullâh.
2. Turut mengisi khazanah keilmuan tentang pemahaman al-Qur`an mengenai
khasyyatullâh.
3. Menjadi sarana untuk mentadabburi ayat-ayat Allah yang tersurat dalam
al-Quran, khususnya tentang khasyyatullâh.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam masa penelusuran penulis selama ini tentang karya tulis ilmiah, penulis
tidak menemukan karya tulis yang secara langsung mencerminkan pembahasan
khasyyatullâh. Kata “secara langsung” yang penulis maksudkan di sini adalah buku atau karya tulis yang mencantumkan kata khasyyatullâh sebagai judulnya.
Dalam perjalanan selanjutnya, penulis menemukan buku yang mencantumkan
kata al-khasyyah dalam sub bab bagian pembahasannya, dan beberapa karya tulis
yang penulis baca dari internet, yang sedikit menyinggung tentang khasyyah atau kata
padanannya.
Buku pertama berjudul Mawsû’ah akhlâq Qur`an karya Ahmad
al-Syirbâshî. Dalam buku tersebut, al-Syirbâshî- sebagaimana yang tercantum dalam
judul buku – mengkategorikan al-khasyyah sebagai salah satu dari akhlak al-Qur`an.
Hal ini tidak membahas tentang bagaimana akhlak yang dimiliki al-Qur`an,
melainkan akhlak yang termuat dalam ayat-ayat al-Qur`an.
Seperti dalam tiap sub bab pembahasan akhlak-akhlak al-Qur`an, dalam
membahas al-khasyyah inipun al-Syirbâshî memulainya dengan memaparkan arti
kata yang dimaksud, menunjukkan kata-kata padanannya, lalu membahas ayat-ayat
yang memuat term al-khasyyah.12 Dengan pola pembahasan seperti ini, ada sedikit
persamaan antara isi tulisan al-Syirbâshî dengan bagian awal kajian penulis. Karena
pada bab kedua, penulis akan mengemukakan arti kata al-khasyyah dan khasyyatullâh
secara khusus, serta kata-kata yang semakna dengannya berikut persamaan dan
perbedaannya. Namun dalam bab ini, penulis juga akan mencantumkan pendapat para
ulama–selain ahli bahasa- tentang arti kata al-khasyyah dan khasyyatullâh secara
khusus.
Jika tulisan al-Syirbâshî terbatas pada hal-hal yang sudah penulis singgung di
atas, maka terdapat perbedaan dengan kajian yang penulis lakukan. Karena pada
bab-bab selanjutnya, penulis menggali tafsir al-Qur`an tentang uslûb al-Quran ketika
12
memotivasi orang beriman untuk memiliki khasyyatullâh berikut contoh
orang-orang yang mempunyainya, serta mencoba menerapkannya dalam pembahasan bab
keempat, yaitu tentang implikasi khasyyatullâh dalam kehidupan.
Tulisan kedua berjudul Khauf and Khashya (Fear and Reverence), karya
Fathullah Gulen.13 Di awal tulisannya, Gulen menjelaskan tentang pengertian “takut”
di kalangan sufi. Di sini, ia mengutip pendapat al-Qusyairy bahwa rasa takut bisa
membuat seseorang menahan diri dari sesuatu yang tidak disukai Allah SWT.
Pembahasan yang menyinggung tentang khasyyah baru ia kemukakan di pertengahan
tulisannya. Ia menulis, bahwa di kalangan sufi ada yang membedakan rasa takut
menjadi dua, yaitu rasa takut yang didasari kekaguman (awe), dan rasa takut yang
didasari penghormatan (reverence / khashya). Khasyyah yang sempurna adalah salah
satu karakteristik para nabi. Hal ini dikarenakan khasyyah adalah rasa takut yang
didasari adanya pengetahuan, sementara para nabi adalah orang-orang yang paling
banyak pengetahuannya tentang Allah SWT. Dalam tulisan ini, ia mengutip pula
ucapan para ulama’ seperti Abu Sulaymân Darani dan Shuhaib.
Tulisan selanjutnya berjudul Fear in the Islamic Tradition karya Akbar
Muhammad.14 Sebuah tulisan yang dikeluarkan oleh The Yale Journal for Humanities
in Medicine yang dipublikasikan tanggal 17 September 2004. Karena ini adalah jurnal
tentang kesehatan, maka tulisan Akbar juga berisi tentang rasa takut dalam tradisi
keIslaman yang dikaitkan dengan kesehatan. Di awal tulisannya Akbar memberi
pengantar bahwa dalam tradisi keyakinan umat Islam, Allah SWT adalah al-Syâfî, the
Curer / Healer (Yang Maha Menyembuhkan). Allah tidak hanya pencipta manusia,
namun Ia adalah pencipta segalanya, termasuk di dalamnya sebagai sumber
kehidupan dan juga secara tidak langsung adanya sakit itu berasal dari-Nya. Sehingga
13
http://fethullahgulen.org/a.page/books/key.concepts.in.the.practice.of.sufism/a869.html
Muhammad Fathullah Gulen, nama lengkapnya, adalah seorang ilmuwan kelahiran Erzurum Turki Timur. Tulisan ini berasal dari sebuah buku yang ia tulis, yang berjudul Key Concepts in the Practice of sufism.
14 http://info.med.yale.edu/intmed/hummed/yjhm/spirit2004/fear/amuhammad.htm
hal ini menjadikan seorang muslim harus benar-benar tunduk kepada Allah SWT dan
percaya bahwa Ialah yang juga menyembuhkan sakit.
Salah satu cara yang ditempuh oleh seorang muslim untuk meminta
kesembuhan itu adalah dengan cara shalat dan berdo’a. Di sini, akan didapati rasa
takut yang ada pada diri setiap muslim, sehingga ia akan sungguh-sungguh patuh
melaksanakan segala perintah Allah SWT. Akbar juga menyebut beberapa kosakata
yang berkaitan dengan “takut”, yaitu huzn (sedih dan cemas), faza’ (rasa sangat
takut); dan hamm (cemas, khawatir, gelisah). Berkaitan dengan pengobatan terhadap
rasa takut dan sakit, umat Islam punya kepercayaan untuk menghafal beberapa ayat
al-Quran dan hadits. Akbar menyebutkan tentang ‘formula’ ruqyah15 yang banyak
diyakini umat Islam bisa menjadi sarana memohon kesembuhan pada Allah SWT.
Selain dua judul tulisan di atas, ada beberapa tulisan lagi yang membahas
tentang rasa takut, namun dibahas dari kacamata tasawuf, dan sebagian besar hanya
dikaitkan dengan kata khauf, bukan khasyyah. Dari pemaparan di atas, dapat dilihat
bahwa ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam tulisan-tulisan tersebut
dengan penelitian yang penulis lakukan.
E. Metodologi Penelitian.
Dengan mengambil suatu kata dari musthalahât qur’âniyyah, maka kajian ini
menggunakan metode tafsir maudhû'i (kajian tafsir tematik) dengan analisa
deskriptif, komparatif dan linguistik. Langkah yang ditempuh adalah dengan
mengkaji ayat-ayat Al-Qur`an yang secara redaksional mencantumkan kata
15
Ruqyah pada hakikatnya adalah doa dan permohonan perlindungan kepada Allah SWT agar
Ia menghilangkan penderitaan dan menghilangkan penyakit. Ruqyah telah menjadi tradisi pada bangsa Arab sejak jaman jahiliyah, namun ketika itu banyak mengandung kemusyrikan seperti meminta perlindungan kepada jin dan setan (animisme), dan mengandung perkataan (mantra) yang tidak dapat dimengerti maknanya. Rasulullah SAW kemudian meluruskannya dengan mengganti mantra-mantra tersebut dengan ayat-ayat al-Qur`an (seperti surat al-Fatihah dan ayat kursi), serta doa-doa permohonan kepada Allah SWT. Lihat Yusuf Qardhawi, Mawqif al-Islâm min al-Ilhâm wa al-kasyf wa
al-Ru'â wa min al-Tamâim wa al-Kahânah wa al-Ruqâ (Pengobatan Spiritual dalam Tinjauan Islam,
khasyyah dan atau isytiqâqnya serta kata lain jika berobyek Allah SWT. Jika merujuk
pada teori yang dikemukakan oleh al-Farmawî dalam Bidâyah fi tafsîr
al-maudhû’i16, sebagaimana yang dianut juga oleh M. Quraish Shihab17, maka kajian ini
termasuk jenis tafsir yang kedua, yaitu al-tafsîr al-maudhû’i min khilâl al-Qur’ân.
Jenis yang pertama adalah al-tafsîr al-maudhû’i min khilâl al-sûrah, yaitu kajian
tafsir yang menyangkut tema pokok satu surat saja.
Kemudian jika merujuk pada pembagian jenis metode tafsir maudhu'i menurut
al-Khâlidi dalam bukunya al-Tafsîr al-maudhû’i baina al-nazhariyyah wa al-tathbîq,
maka kajian yang penulis lakukan termasuk dalam jenis yang pertama yaitu al-tafsîr
al maudhû’i li al-musthalah al-Qurâni. Adapun jenis keduanya adalah tafsîr
al-maudhû’i li al-maudhû’ al-qur’ânî, dan jenis ketiganya adalah al-Tafsîr al-maudhû’i
li al-sûrah al-Qur’âniyyah.18
Dari dua macam pembagian jenis metode tafsir maudhu'i ini, penulis tidak
melihat adanya perbedaan yang tajam, karena sebenarnya al-Khâlidî juga
membedakan objek kajian tafsir maudhu'i menjadi dua bagian sebagaimana
al-Farmawî, yaitu ayat-ayat al-Qur`an dalam satu surat saja, dan ayat-ayat al-Qur`an
secara menyeluruh. Hanya saja al-Khâlidî membuat bagian lebih detail dari jenis
tafsir maudhû'i min khilâl al-qur’ân, yaitu dengan membedakan antara tafsir
maudhu'i yang mengangkat bagian dari redaksi ayat (musthalah qur’âni) dan yang
mengangkat obyek pembahasan tanpa menekankan pada aspek musthalahnya. Oleh
karena itu, tidak menutup kemungkinan jika kajian yang penulis lakukan adalah
16
Al-Farmawî, al-Bidâyah fi al-tafsîr al-Maudhû’i, Metode Tafsir Maudhu'i : Suatu Pengantar (terj. Suryan A.Jamroh), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), h. 35-36.
17
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, (Bandung : Mizan, 1998), cet.VIII, h. xii-xiii.
18
gabungan dua jenis pertama pembagian jenis metode tafsir maudhu'i versi al-Khâlidî.
Hal ini dikarenakan selain mengangkat makna kata al-khasyyah dan isytiqâqnya
dalam al-Qur`an, penulis juga membahas tema khasyyatullâh secara lebih luas dalam
batasan kandungan makna ayat al-Qur`an.
Karena ini adalah kajian tafsir, maka sumber data diperoleh dari ayat-ayat
al-Qur`an itu sendiri sebagai primary referencenya, dengan tambahan data dari
kitab-kitab tafsir sebagai secondary referencenya. Di antara kitab-kitab tafsir yang akan penulis
gunakan sebagai referensi adalah : Tafsîr al-Qur'ân al-‘Azhîm karya Ibn Katsir dan
al-Durr al-Mantsûr karya al-Suyuthi dari segi tafsîr bi al-ma’tsûr; Rûh al-Ma’âni
karya al-Alusi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl karya al-Baidhâwi dari segi tafsîr
bi al-ra’yi; serta kitab tafsir lainnya jika diperlukan baik dari segi-segi adab ijtimâ’i,
lughawi, atau lainnya, seperti Fî Zhilâl al-Qurân karya Sayyid Quthb; Nazhm
al-Durar fi tanâsub al-âyât wa al-suwar karya al-Biqâ’î; Mahâsin al-Ta’wîl karya
al-Qâsimî dan lainnya. Sementara untuk pencarian ayat-ayat al-Qur`an, penulis
menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâzh al-Qur'ân al-Karîm karya
Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî.
Secara operasional, merujuk pada teori yang dikemukakan oleh al-Farmawî,
maka penulis menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menetapkan tema yang dibahas secara maudhu'i, yaitu khasyyah dalam
al-Qur`an.
2. Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan al-khasyyah.
3. Mencari asbâb al-nuzûl ayat-ayat tersebut, jika ada.
4. Menganalisa munâsabah (korelasi) ayat-ayat tersebut dalam masing-masing
surat.
5. Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadits bila dipandang perlu.
6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh.
7. Menarik kesimpulan dari analisis tersebut.19
19
F. Sistematika Penulisan
Pembahasan ini ditulis dalam lima bab. Dengan bab pertama berisi latar
belakang masalah yang merupakan alasan penulis memilih judul, rumusan dan
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metodologi dan
sistematika penulisan.
Sebagai dasar pijakan pembahasan bab-bab selanjutnya, pada bab kedua
penulis mengulas pengetahuan umum tentang arti kata al-khasyyah sebagaimana yang
disebutkan dalam al-Qur`an baik menurut bahasa, maupun arti al-khasyyah menurut
beberapa ulama, serta perbedaan al-khasyyah dengan kata-kata lain yang serupa
maknanya, baru setelah itu mengungkap makna khasyyatullâh secara khusus.
Setelah pengertian khasyyah dan khasyyatullâh diperjelas pada bab dua, maka
pada bab ketiga penulis memaparkan tentang bagaimana cara al-Qur`an memotivasi
umat Islam supaya mempunyai khasyyatullâh. Di sini dijelaskan ayat-ayat yang
memerintahkan dan melarang khasyyah; dan bagaimana pula pujian dan janji
al-Quran kepada orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh, maupun celaan dan
ancaman bagi yang tidak memilikinya. Dalam bab ini pula, penulis menggambarkan
kisah orang-orang yang dicontohkan al-Quran memiliki khasyyatullâh, baik pada
umat-umat terdahulu seperti para nabi dan rasul, maupun pada umat Islam seperti
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Contoh ini perlu penulis utarakan sebagai
gambaran kehidupan orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh, sehingga kita
dapat melihat pelajaran apa yang dapat dipetik dari kisah-kisah tersebut.
Pada bab keempat penulis menguraikan tentang implikasi al-khasyyah dalam
kehidupan, baik secara individual maupun sosial. Pembahasan pada bab empat ini
juga sekaligus jawaban tentang manfaat mengapa khasyyatullâh mempunyai
pengaruh signifikan dalam kehidupan manusia.
14 BAB II
SEKILAS TENTANG KHASYYATULLÂH
A. Pengertian Khasyyatullâh
Ditinjau dari asal katanya, khasyyatullâh terdiri dari dua kata, yaitu khasyyah
dan Allâh, yang berarti bahwa khasyyah berobyek langsung kepada Allah. Khasyyah
adalah shîghat mashdar yang berasal dari kata “khasyiya – yakhsyâ”, semakna
dengan kata “khâfa
(
ﻑﺎﺧ
)
dan ittaqâ(
ﻰ
ﻘﺗﺍ
)
”, yang menunjukkan arti takut,khawatir dan panik (yadullu ‘alâ khauf wa dzu’r).1 Kata al-khassyah juga bisa dipakai
untuk arti metafora (maĵâz), yang berarti rajâ'(mengharap) dan ‘alima (mengetahui).2
Sementara jika dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur`an, al-khasyyah berarti rasa
takut yang disertai penghormatan atau pengagungan, sebagian besar timbul dari
adanya pengetahuan tentang sesuatu yang ditakuti.3 Hal ini didasarkan pada firman
Allah Q.S. al-Fathir ayat 28 yang berbunyi :
ِﻣﻭ
ﻚِﻟﹶﺬﹶﻛ
ﻪﻧﺍﻮﹾﻟﹶﺃ
ﻒِﻠﺘﺨﻣ
ِﻡﺎﻌﻧَﻷﹾﺍﻭ
ﺏﺍﻭﺪﻟﺍﻭ
ِﺱﺎﻨﻟﺍ
ﻦ
ُﺀﺎﻤﹶﻠﻌﹾﻟﺍ
ِﻩِﺩﺎﺒِﻋ
ﻦِﻣ
َﷲﺍ
ﻰﺸﺨﻳ
ﺎﻤﻧِﺇ
ﺰﻳِﺰﻋ
َﷲﺍ
ﱠﻥِﺇ
ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ
.
1
Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, tth.), jilid 14, h. 228; Murtadla al-Husainî al-Zubaidî, Tâj al-'arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), jilid 19, h. 375; Ibn Fâris, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), cet. I, h. 317; Majduddin Muhammad bin Ya'qûb al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîth, (Kairo: Syirkah Maktabah wa mathba’ah musthafâ al-Bâbî al-Halabî, 1952), cet. Ke-2, jilid 4, h. 326. Masing-masing kamus di atas menyebutkan bahwa kata “Khasyiya–Yakhsyâ” mempunyai 7 bentuk mashdar, yaitu: Khasyyan, Khisyyan, Khasyyâh, Makhsyâh, Makhsyiyah dan Khasyyân, kecuali Tâj al- 'Arûs
yang mengganti Khisyyan dengan Khisyyân.
2
Ibn Manzhûr, Lisân al-'Arab, h. 228-229; al-Zubaidî, Tâj al-'Arûs, h. 376
3
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun.
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang punya rasa takut (khasyyah)
kepada Allah hanyalah para ulama (orang-orang yang berpengetahuan). Yaitu orang
yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah.4 Dengan demikian khasyyatullâh
berarti rasa takut kepada Allah SWT yang disertai pengagungan kepada-Nya dan
didasari atas pengetahuan tentang-Nya.
Contoh lain penggunaan derivasi lafal khasyyah seperti terdapat dalam Q.S.
al-Nisa ayat 25 :
ﻢﹸﻜِﺗﺎﻴﺘﹶﻓ
ﻦِﻣ
ﻢﹸﻜﻧﺎﻤﻳﹶﺃ
ﺖﹶﻜﹶﻠﻣ
ﺎﻣ
ﻦِﻤﹶﻓ
ِﺕﺎﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ
ِﺕﺎﻨﺼﺤﻤﹾﻟﺍ
ﺢِﻜﻨﻳ
ﹾﻥﹶﺃ
ﹰﻻﻮﹶﻃ
ﻢﹸﻜﻨِﻣ
ﻊِﻄﺘﺴﻳ
ﻢﹶﻟ
ﻦﻣﻭ
ُﷲﺍﻭ
ِﺕﺎﻨِﻣﺆﻤﹾﻟﺍ
ﻦﻫﺭﻮﺟﹸﺃ
ﻦﻫﻮﺗﺍَﺀﻭ
ﻦِﻬِﻠﻫﹶﺃ
ِﻥﹾﺫِﺈِﺑ
ﻦﻫﻮﺤِﻜﻧﺎﹶﻓ
ٍﺾﻌﺑ
ﻦِﻣ
ﻢﹸﻜﻀﻌﺑ
ﻢﹸﻜِﻧﺎﳝِﺈِﺑ
ﻢﹶﻠﻋﹶﺃ
ﻦِﻬﻴﹶﻠﻌﹶﻓ
ٍﺔﺸِﺣﺎﹶﻔِﺑ
ﻦﻴﺗﹶﺃ
ﹾﻥِﺈﹶﻓ
ﻦِﺼﺣﹸﺃ
ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ
ٍﻥﺍﺪﺧﹶﺃ
ِﺕﺍﹶﺬِﺨﺘﻣ
ﹶﻻﻭ
ٍﺕﺎﺤِﻓﺎﺴﻣ
ﺮﻴﹶﻏ
ٍﺕﺎﻨﺼﺤﻣ
ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ
ﻒﺼِﻧ
ِﺏﺍﹶﺬﻌﹾﻟﺍ
ﻦِﻣ
ِﺕﺎﻨﺼﺤﻤﹾﻟﺍ
ﻰﹶﻠﻋ
ﺎﻣ
ﻢﹸﻜﹶﻟ
ﺮﻴﺧ
ﺍﻭﺮِﺒﺼﺗ
ﹾﻥﹶﺃﻭ
ﻢﹸﻜﻨِﻣ
ﺖﻨﻌﹾﻟﺍ
ﻲِﺸﺧ
ﻦﻤِﻟ
ﻚِﻟﹶﺫ
ُﷲﺍﻭ
ﻢﻴِﺣﺭ
ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ
.
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
4
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kebolehan menikahi budak-budak wanita
hanya diperuntukkan bagi mereka yang selain perbelanjaannya tidak cukup untuk
menikahi wanita merdeka, juga punya rasa takut jika tidak dapat menahan dirinya
sehingga terjerumus pada perbuatan zina, serta tidak mampu bersabar. 5
Pada Q.S. al-Nisa : 25 di atas, meski al-khasyyah tidak dikaitkan secara
langsung kepada Allah SWT, namun rasa takut itu bermuara pada Allah SWT.
Ungkapan “takut zina” bukan berarti zina adalah sesuatu yang dihormati dan orang
yang takut zina merasa bahwa zina lebih kuat daripada dia sehingga layak ditakuti,
tapi lebih berarti “takut kepada Allahlah yang menghalanginya melakukan zina”.
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa rasa takut yang
diredaksikan dengan kata al-khasyyah berarti mengandung arti khasyyatullâh (takut
karena menghormati dan mengagungkan Allah, serta takut yang dilandasi
pengetahuan tentang Allah). Penulis menyimpulkan demikian karena dari 48 kata
khasyyah, dalam berbagai shîghatnya, yang terdapat pada 40 ayat, 30 di antaranya
berobyek langsung kepada Allah (baik yang diredaksikan dengan Allah, Rahmân,
Rabb, atau dhamîr yang merujuk kepada Allah). Sementara 18 lainnya terbagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kata-kata khasyyah, dalam
berbagai shîghatnya, yang tidak berobyek langsung pada Allah, namun jika ditelusuri
penjelasannya lebih lanjut, akan didapati bahwa khasyyah tersebut mengandung arti
takut pada Allah. Hal ini sebagaimana terlihat pada contoh ayat di atas, yaitu
Q.S.al-Nisa : 25. Sedangkan kelompok kedua adalah kata-kata yang mengandung larangan
5
untuk takut pada selain Allah. Sebagaimana yang terlihat pada Q.S.al-Taubah : 13
yang berbunyi :
ﺓﺮﻣ
ﻝﻭﺃ
ﻢﻛﻭﺃﺪﺑ
ﻢﻫﻭ
ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ
ﺝﺍﺮﺧﺈﺑ
ﺍﻮﳘﻭ
ﻢﺎﳝﺃ
ﺍﻮﺜﻜﻧ
ﺎﻣﻮﻗ
ﻥﻮﻠﺗﺎﻘﺗ
ﻻﺃ
ﻥﺃ
ﻖﺣﺃ
ﷲﺎﻓ
ﻢﻮﺸﲣﺃ
ﲔﻨﻣﺆﻣ
ﻢﺘﻨﻛ
ﻥﺇ
ﻩﻮﺸﲣ
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya)? Padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir rasul dan merekalah yang pertama kali memerangi kamu. Mengapakah kamu takut kepada mereka? Padahal
Allahlah yang berhak kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
Ayat 13 pada surat al-Taubah di atas memuat dua bentuk kata khasyyah, yaitu
هﻮﺸﺨﺗنأ dan ﻢﻬﻧﻮﺸﺨﺗأ
.
Pada kata pertama,هﻮﺸﺨﺗنأ, obyek khasyyah (dhamîr “hu”)merujuk pada Allah. Sementara pada kata ﻢﻬﻧﻮﺸﺨﺗأ, obyek khasyyah (dhamîr “hum”),
merujuk pada orang-orang musyrik, sebagaimana yang disebutkan pada ayat-ayat sebelum ayat ini. Pada ayat ini Allah bertanya : “Mengapa engkau takut pada mereka (orang-orang musyrik?)” Meski redaksi yang digunakan tidak langsung menggunakan
bentuk nahy (larangan), namun pertanyaan ini mengandung arti larangan.
Al-Baidhawi mengatakan bahwa pertanyaan ini mengandung arti taubikh (menghinakan /
merendahkan), yaitu Allah SWT merendahkan orang yang takut pada
orang-orang musyrik.6 Pada kelanjutan ayatnya, Allah SWT mencantumkan hal yang
seharusnya dilakukan oleh orang beriman dengan ungkapan “Padahal Allahlah yang berhak kamu takuti, jika kamu orang yang beriman”.
Sementara pada ayat ketiga surat al-Maidah juga didapati dua derivasi kata
khasyyah dalam bentuk larangan dan perintah, yaitu ﻢﻫﻮﺸﺨﺗﻻ dan نﻮﺸﺧاو . Larangan
khasyyah tersebut berobyek dhamîr “hum” yang merujuk pada orang-orang kafir.
Sedangkan perintah khasyyah berobyek pada dhamîr mutakallim yang merujuk pada
Allah.
Al-khasyyah banyak disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur`an. Mayoritas ayat
yang berbicara tentang al-Khasyyah, menyebutnya dengan dikaitkan pada tiga nama
Allah, yaitu “Allâh, al-Rabb, dan al-Rahmân”. Ahmad Al-Syirbâshî menyimpulkan
bahwa al-khasyyah yang dihubungkan dengan nama “Allâh” menyimpan arti “tidak
ada yang layak disembah selain Allah dan tidak ada yang memiliki keagungan seperti
yang dimiliki Allah”.7
Ia memberi contoh ayat al-Qur`an, yaitu :
Q.S. al-Taubah ayat 18 :
ﹶﺓﺎﹶﻛﺰﻟﺍ
ﻰﺗﺍَﺀﻭ
ﹶﺓﹶﻼﺼﻟﺍ
ﻡﺎﹶﻗﹶﺃﻭ
ِﺮِﺧﻵﹾﺍ
ِﻡﻮﻴﹾﻟﺍﻭ
ِﷲﺎِﺑ
ﻦﻣﺍَﺀ
ﻦﻣ
ِﷲﺍ
ﺪِﺟﺎﺴﻣ
ﺮﻤﻌﻳ
ﺎﻤﻧِﺇ
َﷲﺍ
ﱠﻻِﺇ
ﺶﺨﻳ
ﻢﹶﻟﻭ
ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃ
ﻰﺴﻌﹶﻓ
ﻦﻳِﺪﺘﻬﻤﹾﻟﺍ
ﻦِﻣ
ﺍﻮﻧﻮﹸﻜﻳ
ﹾﻥﹶﺃ
.
Hanyalah yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah
orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang-orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ibn Katsîr menafsirkan lam yakhsya illa Allâh dengan lam ya'bud illa Allâh
(tidak menyembah selain Allah).8 Hal ini dapat dipahami pula bahwa orang yang
memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang menyembah Allah SWT karena
takut pada-Nya (berniat untuk beribadah kepada Allah SWT).
Sementara jika al-khasyyah dihubungkan dengan nama “Rabb”, al-Syirbâshî
menyatakan, bahwa hal itu mengandung maksud : "Dialah yang telah menciptakan
dan mengatur semua makhluk-Nya. Dengan rahmat-Nya, Ia memberi petunjuk,
bimbingan dan segala ketentuan (takdir) makhluk-Nya. Ia juga punya kuasa untuk
menghilangkan semua karunia itu. Sehingga dengan demikian, layaklah ia untuk
ditakuti dan diagungkan manusia".9 Al-Syirbâshî menyebut contoh ayat al-Qur`an
tentang hal ini, antara lain :
7
al-Syirbâshî, Mausû’ah, h. 42.
8
Ibn Katsîr, Tafsîr, jilid 2, h.342. Bandingkan dengan Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, (t.tmp. : t.p, tth.), j.2, h.91.
9
Q.S. al-Ra’ad ayat 21 :
ﹶﻞﺻﻮﻳ
ﹾﻥﹶﺃ
ِﻪِﺑ
ُﷲﺍ
ﺮﻣﹶﺃ
ﺎﻣ
ﹶﻥﻮﹸﻠِﺼﻳ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍﻭ
ﻢﻬﺑﺭ
ﹶﻥﻮﺸﺨﻳﻭ
ِﺏﺎﺴِﺤﹾﻟﺍ
َﺀﻮﺳ
ﹶﻥﻮﹸﻓﺎﺨﻳﻭ
.
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang menerangkan
tentang sifat-sifat orang yang berakal, yang dapat mengambil pelajaran dari Allah
SWT. Orang yang berakal itu adalah orang yang menepati janji, dan juga orang yang
mau menghubungkan tali persaudaraan. Dalam ayat inilah ditemui gambaran tentang
adanya bimbingan Allah SWT dalam kehidupan manusia, yaitu dalam hal hubungan
kasih sayang (shilat al-rahim) yang seyogyanya dilaksanakan oleh manusia yang
berakal.10
Selanjutnya al-Syirbâshî juga menyimpulkan bahwa al-khasyyah yang
dihubungkan dengan nama al-Rahmân menyimpan makna bahwa orang yang dihiasi
sifat al-khasyyah layak mendapatkan ridho dari Allah. Sementara keridhoan Allah ini
diberikan atas kemurahan-Nya sebagai Dzat yang mempunyai rasa kasih sayang
(al-Rahmân), dan Dzat yang memberikan segala kenikmatan (al-Mun’im). Di antara
rahasia lainnya adalah keinginan Allah untuk menyebutkan bahwa orang-orang yang
mempunyai sifat al-khasyyah ini tidak pernah punya sifat gelisah dan cemas, karena
ia berhubungan dengan Dzat Sang Sumber segala kasih sayang, yaitu Rahmân
al-Rahîm.11 Dalam hal ini al-Syirbâshî mencontohkan Q.S. Yasin ayat 11
ﺮﹾﻛ
ﱢ
ﺬﻟﺍ
ﻊ
ﺒ
ﺗﺍ
ِﻦﻣ
ﺭِﺬﻨﺗ
ﺎﻤﻧِﺇ
Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-Ma'tsûr, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), j.1, h. 280. Al-Suyuthi juga menuliskan riwayat dari Sa'id bin Jubair yang mengartikan "wa yakhsyauna rabbahum" dengan "takut untuk memutuskan hal yang Allah perintahkan untuk disambungkan".11
Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah
walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia.
Pada ayat di atas, khasyyah yang berobyek pada al-Rahmân (Allah yang Maha
Penyayang) mempunyai kaitan erat dengan akhir ayatnya, yaitu adanya berita
gembira berupa ampunan dan pahala yang mulia, di mana ampunan dan pahala itu
diberikan oleh Allah SWT sebagai Maha penyayang.
Al-Qusyairi, seperti yang dikutip oleh al-Biqa'i, mengatakan bahwasanya hal
itu mengandung isyarat tentang rasa khasyyah yang disertai dengan harapan (raja`).
Ini juga menandakan bahwa kata khasyyah lebih halus dibandingkan dengan kata
khauf.12 Sementara al-Zarkasyî, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syûman bin
Ahmad al-Ramlî dalam bukunya al-Khauf min Allâh, berpendapat bahwa rasa takut
yang dihubungkan dengan lafadz al-Rahmân (salah satu nama Allah yang
menunjukkan bahwa Allah Maha Pengasih), mengandung arti pujian yang paling
indah bagi orang yang punya rasa takut itu. Di mana orang tersebut takut kepada-Nya
karena mempunyai pengetahuan bahwa Dia adalah Yang Maha luas kasih sayangnya.
Sebagaimana hal itu juga pujian yang berarti bahwa orang tersebut takut kepada-Nya,
padahal Dia ghaib (tak terjangkau oleh panca indera).13 Dinamakan pujian karena hal
itu menggambarkan keimanan yang jujur, bahwa meskipun Allah SWT yang
mengawasinya tak terlihat dengan mata kepala, namun orang yang mempunyai
khasyyatullâh tetap merasa takut kepada-Nya.
Jika contoh ayat-ayat tersebut di atas diperhatikan, maka akan didapati bahwa
ada beberapa kata al-khasyyah (baik yang diikuti dengan kata al-Rahman maupun
12
Burhan al-din Abi al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqâ'i, Nazhm Durar fi Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, (Kairo : Dar al-kitab al-Islami, 1992), j.8, 186. Bandingkan dengan keterangan dalam Abî al-Sa'ûd bin Muhammad al-'Imadi al-Hanafi, Tafsîr Abî al-Sa'ûd aw Irsyâd al-'Aql al-Salîm ila Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, (Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tth.), j.6, h.198.
13
kata al-Rabb) dilanjutkan dengan kata bi al-ghaib, seperti pada QS. Qaf ayat 33, QS.
Yasin ayat 11, QS. al-Anbiya’ ayat 49, dan QS. al-Mulk ayat 12. Kata al-ghaib,
menurut al-Alma'i, adalah sesuatu yang hanya Allah yang dapat mengetahuinya, atau
dapat juga dijangkau oleh sebagian hamba-Nya yang dapat memahami wahyu-Nya. Ia
selanjutnya menjelaskan adanya tiga jenis al-ghaib, yaitu : satu, sesuatu yang hanya
diketahui Allah SWT, seperti masalah ruh dan datangnya kiamat; dua, sesuatu yang
Dia perlihatkan pada hamba-Nya yang terpilih sebagaimana diisyaratkan dalam
QS.al-Jin :26-27; tiga, sesuatu yang kadang dapat diketahui beberapa orang dengan
sarana ilmiah, seperti posisi bintang di langit dan mikroba.14
Beberapa penjelasan tentang maksud ungkapan al-khasyyah bi al-ghaib
sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat tersebut disampaikan oleh para mufasir, yaitu:
1. Al-khasyyah bi al-ghaib berarti orang yang takut kepada Allah dalam
kesendiriannya, sehingga tak ada seorangpun yang mengetahui hal itu kecuali
Allah.15
2. Hal itu mengandung arti orang yang takut pada siksa Allah yang tak tampak.
Di mana hal ini berbanding terbalik dengan orang-orang kafir yang tetap tidak
peduli dengan peringatan Allah baik yang tampak maupun yang tak tampak.16
3. Hal itu mengandung arti orang yang takut kepada Allah yang tidak tampak
dalam pandangan mata mereka.17 Rasa takut pada sesuatu yang tidak dilihat
14
Zahir bin 'Awadh al-Alma'i, Dirâsât fi al-Tafsîr al-Maudhû'i li al-Qur`an al-Karîm, (Riyadh : Mathâbi' al-Farazdaq al-Tijâriyah, 1405 H), h.258-259.
15
Ibn Katsîr, Tafsîr, jilid 4, h. 228. Bandingkan juga dengan keterangan yang dituliskan oleh al-Baidhawi ketika menafsirkan QS. Fathir : 32 (juz 4, h.416) dan QS. Al-Mulk : 12 (juz.5, h.363), serta al-Baghawi ketika menafsirkan QS. Qaf: 33 (juz 4, h.225).
16
al- Qâsimî, Mahâsin al-Ta’wîl, (Beirut : Dar al-Fikr, tth.), jilid 11, h. 262. Bandingkan juga dengan keterangan yang dituliskan oleh al-Baidhawi ketika menafsirkan QS. Fathir : 32 (juz 4, h.416), dan QS. Al-Mulk : 12 (juz.5, h.363), dan QS. Yasin : 11 (juz 4, h.427), serta al-Suyuthi ketika menafsirkan QS. Yasin : 11 (h. 427).
17
Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur'ân, (Beirut : Dâr al-Syurûq, 1992), jilid 8, h. 192. Bandingkan juga dengan keterangan yang sama yang dituliskan Baghawi ketika menafsirkan QS. al-Anbiya' : 49 (juz 3, h.247) dan al-Suyuthi ketika menafsirkan QS. Qaf: 33 (h. 480).
ini membutuhkan perasaan yang bersih dan pengetahuan yang mendalam. Hal
ini sesuai dengan ganjaran yang dijanjikan Allah seperti yang terdapat pada
akhir ayat 12 Surat al-Mulk, yaitu akan mendapat ampunan dan pahala yang
besar.
Beberapa penafsiran ini, menurut penulis, dapat dipahami, diterima, dan
dijadikan rujukan untuk menafsirkan ayat-ayat tentang al-khasyyah yang dikaitkan
dengan al-ghaib. Hal ini dikarenakan Allah SWT sebagai obyek rasa takut itu adalah
dzat yang memang ghaib (tak terjangkau indera), dan rasa takut kepada Allah SWT
tersebut tak jarang timbul jika seseorang ingat bahwa Allah SWT mempunyai adzab
yang pedih, di mana adzab tersebut juga ghaib (siksa neraka merupakan hal ghaib,
atau siksa dunia juga ghaib; tak dapat diprediksi kedatangannya). Dan jika seseorang
sudah menyadari hal-hal itu, maka iapun akan merasa takut pada Allah SWT secara
jujur, mengikuti perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya, meskipun ia dalam
keadaan seorang diri, tanpa harus ditampakkan di hadapan manusia.
B. Perbedaan antara al-Khasyyah dan al-Khauf dan kata-kata yang sepadan Ada beberapa kosakata yang mempunyai arti yang berdekatan dengan kata
Al-khasyyah, karena memiliki arti rasa takut, yaitu al-khauf, al-Rahbah, isyfâq,
al-wajal, dan al-haibah.18 Ibn Qayyim al-Jauziyyah menyebutkan dalam bukunya,
Madârij al-Sâlikîn, beberapa kata yang semakna dengan khasyyah (arti takut) yaitu
al-khauf, al-Rahbah, al-haibah, dan al-Isyfâq.19 Al-Fairûz Âbâdi mengatakan bahwa
al-khasyyah, al-khauf, al-wajal dan al-Rahbah adalah beberapa lafadz yang
berdekatan maknanya, namun bukan sinonim.20 Hal senada juga ditulis oleh
18
Penulis mendapati bahwa semua kosakata tersebut terdapat dalam ayat-ayat al-Quran, kecuali kata al-haibah. Meskipun demikian, beberapa literatur sufisme menganggap kata ini mempunyai kesamaan arti dengan al-khasyyah .
19
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Madârij al-Sâlikîn Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în,
(tahqîq Muhammad Hamid al-Fiqi), (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), juz I, h. 512.
20